Bintang menurunkan kaca mobilnya dan memberi isyarat pada seorang gadis di seberang jalan. Meski dalam kondisi pemandangan yang gelap, gadis berpakaian serba hitam itu mendekat dengan menggunakan motornya.“Ikut kami dari belakang, ya Misty. Kita cari tempat yang aman untuk bicara.” Kata Bintang, disambut anggukan lemah dari gadis yang ternyata adalah Misty.Setelah mengetahui kalau Reinhart tak berada di rumah dan bahkan rumahnya dalam keadaan kacau, mereka memutuskan untuk memanggil Misty guna mengetahui keadaan yang sebenarnya.Malam dingin berangin yang semakin larut tak lagi Misty pedulikan. Sepanjang jalan ia hanya bisa menangis di balik helm yang menutup kepalanya. Rasa khawatir terhadap Reinhart yang sudah ia anggap sebagai Ayah, membuatnya tak bisa berhenti menitikkan air mata.Misty takut terjadi apa-apa pada orang yang selama ini telah baik padanya. Ia sudah kehilangan ayah kandung, Misty tak ingin lagi kehilangan orang yang telah ia anggap seperti ayahnya sendiri.Dal
“Kita buat laporan ke polisi. Bilang ada perampokan yang terjadi di rumah Om Reinhart. Tapi yang bikin laporan harus Misty, karena selama ini Cuma Misty yang memang sering bolak-balik ke rumah Om Reinhart dan berhubungan dengannya. Apalagi dengan memakai status Misty yang selama ini menjadi kurir pengantar makanan Om Reinhart, aku rasa nggak akan jadi bahan kecurigaan polisi. Mungkin Misty hanya akan dimintai keterangan. Beda dengan kita. Kalau kita yang melapor urusannya bisa panjang. Polisi bisa mencurigai kita.” Azzalyn menjelaskan panjang lebar.“Masuk akal juga apa yang kau katakan, Azzalyn. Apa kau mau melakukannya Misty?” tanya Rudi sambil menoleh ke arah gadis yang pipinya tampak basah karena menangis.“Sebenarnya Misty takut sama polisi. Tapi demi mengetahui keberadaan Om Rein, Misty akan melakukannya.” Ujar Misty mantap.“Bagus. Tapi kapan sebaiknya kita melapor?” “Sekarang juga, Om. Kalau tunggu besok pagi atau siang, keburu tetangga Om Reinhart menyadari kalau ada yan
“Halo, Rudi. Kenapa kau terkejut seperti itu melihatku datang? Apa aku tak boleh main-main ke sini? Kamu jangan lupa, aku mantan bos mu.” Riska berkata dengan santai sambil melihat-lihat dan memegang barang pajangan di lemari. Sementara Rudi menjadi semakin merasa was-was. Entah apa maksud kedatangan Riska ke rumahnya kini, setelah kejadian semalam. Apa Riska benar-benar sudah tahu tentang Reinhart?“Maaf. Aku hanya tak menyangka. Sebab setahuku sudah lama sekali sejak terakhir kali kau main ke sini. Aku jadi terkejut. Entah ada angin apa sampai tiba-tiba kau ada di ruang tamu ku sekarang.” Sindir Rudi, berusaha untuk tetap tenang. Ia tak mau terpancing akal bulus perempuan licik di hadapannya ini.“Entahlah. Aku sendiri juga nggak tahu pasti alasanku datang kemari. Aku hanya merasa.... Nggak enak hati.” Kata Riska dengan nada seperti mengejek.Rudi berdehem. Berusaha untuk bersikap senormal mungkin. Selagi Riska belum memergokinya secara langsung kalau ia bersekutu dengan Azzaly
“Ada pesan untuk Kak Bintang, Om? Biar nanti aku sampaikan.” Ujar Dwita dengan santainya. Ia tak menyadari kalau apa yang ia lakukan adalah sesuatu yang sangat tidak sopan. Yaitu mengangkat telepon orang lain, saat pemilik handphone sedang tidak ada di tempat.“Nggak usah. Biar nanti aku telfon lagi. Lagian ngapain kamu sembarangan ngangkat telfon di HP Bintang? Kamu siapanya emang? Pacarnya? Jadi anak jangan lancang, Dwita. Kamu nggak boleh seenaknya berbuat seolah-olah kalau barang orang lain adalah barang kamu juga.” Omel Rudi. Dia memang paling tak suka dengan sifat anak perempuan Krisna itu. Terlalu manja, egois dan arogan. Berbeda dengan Abyl yang cenderung lebih kalem dan tahu sopan santun.“Apaan sih Om? Tahu-tahu marah aja. Om juga emang siapanya Kak Bintang sih? Sampai ngomel-ngomel nggak jelas, cuma karena aku angkat telfon di HP nya!” Dwita menjawab dengan sengit. Dia memang tak suka ditegur, meski oleh orang yang jauh lebih tua sekalipun.“Kamu itu ya, kalau dikasih ta
Azzalyn sempat diam tak merespon saat Bintang mengatakan kalau mereka hampir mendapatkan titik terang soal pembunuhan Paman Bandi. Pikirannya campur aduk. Rasa terkejut karena tak menyangka dan senang menjadi satu.“Halo, Azzalyn. Kamu masih di sana?” Tanya Bintang saat ia tak mendengar jawaban dari Azzalyn.“Iya aku di sini Bintang,” Azzalyn seakan tersadar dan langsung menjawab. “Jadi bagaimana? Informasi apa yang udah kamu dapat soal pembunuhan Paman? Siapa yang memberitahumu?” Tanyanya lagi, penasaran.“Ceritanya panjang. Nanti kita omongkan saat dalam perjalanan aja. Aku juga udah nelfon Om Rudi tadi. Jadi kalau kalian sudah siap, sebentar lagi aku ke sana. Tapi sebelum menjemput kalian, aku akan menjemput Koma dulu.”“Jadi nama orang suruhan Om Rudi yang mau bantu kita itu namanya Koma?” tanya Azzalyn.“Iya. Kalau gitu udah dulu ya. Aku mau turun sekarang.” “Iya, hati-hati di jalan.” Kata Azzalyn, dan langsung memutuskan sambungan telepon mereka.“Kak Bintang udah mau je
Waktu menunjukkan hampir pukul setengah delapan malam. Suasana rumah makan yang tadinya tak terlalu ramai, kini terlihat hampir penuh. Mungkin karena memang ini sudah masuk jam makan malam.“Nggak usah terlalu terburu-buru. Makan pelan-pelan aja,” ujar Bintang sambil tersenyum saat melihat Misty yang terlihat mengunyah makanannya dengan cepat.“Misty emang gini kalau makan, Kak. Bukan karena buru-buru, tapi emang udah terbiasa makan cepat.” Sahut Misty sambil mengelap bibirnya yang berminyak karena lauk ayam goreng yang tadi ia pesan.“Biar aja dia makan cepat. Kenyataannya, memang dia kan yang paling akhir selesai makan?” Dengan santainya Koma mengatakan itu di depan Misty.Misty yang disindir merasa tersinggung. Ia masih kesal dengan sikap Koma sebelumnya yang sama sekali tak menyambut uluran tangan saat di dalam mobil tadi. “Aku paling terakhir selesai makan karena pesananku yang datang paling belakangan. Lagian kamu tadi bilang nggak lapar, nggak mau makan. Tapi pesan duluan
Mobil semakin melaju dengan kencang, seolah sedang berpacu dengan waktu. Tampak wajah Misty dan Koma yang cemberut karena dipaksa untuk duduk bersebelahan di kursi belakang. Sementara Azzalyn duduk di depan bersama Bintang, karena mereka memang berniat untuk membicarakan masalah pembunuhan Paman Bandi.“Dwita yang memberitahuku, kalau beberapa bulan yang lalu ada salah satu anak buah kepercayaan Mamanya yang disuruh pulang kampung. Namanya Harjiman.” Sampai di sini kalimat Bintang berhenti. Seolah sedang menunggu respon dari Azzalyn.“Bukankah Jiman itu adalah nama anak buah Paman Bandi yang waktu itu kita curigai karena ia tak datang lagi saat Paman Bandi turun melaut waktu kejadian itu?” Tanya Azzalyn memastikan. Bintang mengangguk. “Dan Dwita bilang, Harjiman itu dulunya adalah seorang anggota pasukan khusus di kepolisian. Ia punya banyak keahlian, salah satunya adalah sebagai perakit dan penjinak bom.”“Jadi kemungkinan besar memang dia.” Ujar Azzalyn. “Apa Dwita bilang dia p
“Menurutku yang membuat setumpuk baju terjatuh di lantai itu adalah Om Reinhart sendiri. Mungkin dia sudah menyadari kalau ada yang mengawasi rumahnya begitu kalian keluar. Dan dengan cepat dia ke kamar, membuka lemari dan mengeluarkan tas atau apa pun itu, yang aku tebak sudah lama ia persiapkan jauh-jauh hari, takut kalau terjadi hal-hal seperti ini. Jadi dia sudah mempersiapkan semua hal-hal penting yang bisa dia ambil dan bawa kapan pun hanya dengan sekali gerakan. Jadi, saat ada orang yang mengetahui keberadaannya di sini dan berusaha untuk membahayakan hidupnya, Om Reinhart sudah mempersiapkan segalanya dan lari sebelum orang-orang itu menangkapnya. Menurut tebakanku, dia lari lewat pintu belakang, karena itu kalian lihat pintu itu tadi dalam keadaan tak terkunci. Dan kemudian ia melompat keluar pagar dengan tangga yang ada di tembok belakang.”Begitu detail penjelasan Koma. Membuat ketiga orang di depannya memandang kagum. Ternyata dia memang bukan orang yang bisa diremehkan s
Tiga tahun kemudian “Sayang, kau sudah siap?”Bintang membuka pintu kamar dan melihat Azzalyn yang sedang sibuk mengganti popok bayi lelaki mereka yang baru berumur 5 bulan.“Tunggu sebentar lagi. Ezra agak rewel hari ini.” Azzalyn tampak mengantuk, bisa dilihat dari kantung matanya yang menghitam.Merawat seorang bayi memang sungguh sangat tidak mudah.“Ezra mau dibawa juga? Bukannya dia sedang pilek?” Bintang kini duduk di samping ranjang, memperhatikan istrinya yang sedang memakaikan celana baru untuk Ezra.“Dia tetap di rumah. Batuknya bisa semakin menjadi karena kalau sudah sesiang ini banyak debu jalanan. Oma kan di rumah, jadi ada yang menjaga Ezra.”Azzalyn membersihkan tangannya yang terkena sedikit bedak bayi saat tadi memakaikan pada sang anak.“Harum sekali,” Azzalyn menghirup bau tangannya. “Coba kamu cium,” ia mendekatkan telapak tangan pada Bintang.“Biasa saja. Lebih harum aku.” Bintang tersenyum dengan penuh percaya diri.“Jangan terlalu tinggi menilai dirimu,” ejek
Dwita kembali mengalihkan pandangannya keluar jendela. Azzalyn bernafas lega karena apa yang ia khawatirkan tak terjadi.“Dwita, sungguh aku tak pernah berniat untuk menyakitimu ataupun Abyl. Kepergian Abyl, juga merupakan pukulan berat buatku.” Azzalyn menyeka air mata yang sempat jatuh setitik. “Hatiku juga hancur saat melihat orang yang aku sayangi meninggal dengan tragis di depan mataku sendiri.” Sambungnya.Kini Azzalyn juga ikut menatap keluar jendela.“Apa kau tahu, saat awal-awal menjalin hubungan dengan Abyl, aku ingin sekali mendekatimu? Sejak dulu aku ingin sekali punya adik perempuan, karena aku adalah anak tunggal. Tapi sikapmu yang tak pernah menampakkan rasa bersahabat membuatku tak berani berharap banyak. Ketika tahu kalau aku dan Abyl bersaudara, hatiku menjerit karena merasa hidup ini sungguh tak adil. Saat itu, aku benar-benar sangat mencintainya. Bahkan sampai kini pun, bagiku Abyl memiliki tempat khusus di dalam hati ini. Posisinya tak bisa dijelaskan dengan ka
Bu Narti berjalan perlahan dengan secangkir teh manis hangat di tangannya. “Minum teh dulu.” Ia menyerahkan cangkir itu pada Azzalyn yang sedang termenung di depan jendela terbuka yang menghadap langsung ke pekarangan di samping rumah.“Terima kasih.” Azzalyn langsung meminum sedikit teh yang diberikan padanya. Sesaat terjadi kecanggungan antara nenek dan cucu itu. Mereka sama-sama ingin memulai percakapan, hanya tak tahu harus memulai dari mana.“Apa kamu mau duduk?” Bu Narti menawarkan. Azzalyn hanya mengangguk dan langsung mengekor di belakang Bu Narti.“Akhirnya kau datang juga ke sini menjengukku. Terima kasih.” Bu Narti seakan tak kuasa menahan rasa harunya. Ia sibuk menyeka air mata yang jatuh tanpa henti.Azzalyn menunduk sambil menggigit bibir. Ia sendiri pun sedang berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis. Hidungnya sudah terasa perih dan kelopak matanya mulai panas.“Apa selama ini Oma sendirian?” Azzalyn bertanya, meski ia sendiri sudah tahu jawabannya.Bu Nart
“Aku tidak tahu, Bintang. Seharusnya aku merasa senang dan bahagia dengan pernikahan ini. Tapi kenapa, hatiku seakan terasa kosong? Seharusnya, saat aku bersanding di pelaminan nanti, ada Ibu atau Mbahku. Atau Ayah. Atau mungkin Paman Bandi. Tapi--- di hari bahagiaku nanti, tak ada siapa-siapa yang akan menjadi saksi kebahagiaan kita. Bukankah, nasibku begitu malang dan kasihan?”Air mata Azzalyn tumpah tak tertahankan. Berulang kali ia menelan saliva, agar tangisnya tak pecah. Namun hal itu justru membuat tenggorokannya sakit. Hidungnya perih dan kelopak matanya memanas. Bintang meraih Azzalyn ke dalam pelukannya. Hatinya juga ikut sakit mendengar kalimat yang keluar dari mulut gadis yang ia cintai itu.“Jangan terlalu bersedih, Azzalyn. Jangan merasa kalau hanya hidupmu yang begitu menyedihkan. Meski tak ada satu pun dari mereka yang hadir, tapi ada Om Reinhart, ada Om Rudi, Misty dan Koma. Kita saling memiliki, Azzalyn. Kita bahagia meski anggota keluarga kita tak lengkap. Buka
“Azzalyn....”Bintang memeluk Azzalyn yang kini sedang duduk dengan sebuah selimut tebal membungkus tubuhnya. Hati pemuda itu senang sekali karena melihat Azzalyn dalam keadaan baik-baik saja.“Bintang...” Azzalyn membalas pelukan pria yang sedang dekat dengannya itu.“Syukurlah kau tak apa-apa Azzalyn. Aku senang sekali begitu mendapat telepon dari kantor polisi. Aku dan Misty langsung kemari.”“Misty juga ke sini?”“Iya, tapi dia masih ada di mobil, menunggu Koma yang menyusul di belakang bersama Om Rudi. Kami semua mengkhawatirkanmu.” Bintang kembali memeluk Azzalyn. Seakan tak ingin kehilangan gadis itu lagi.“Terima kasih karena sudah mengkhawatirkan aku. Aku baik-baik saja.” Azzalyn tersenyum.“Apa kau terluka?” Bintang memindai tubuh Azzalyn, dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Memastikan kalau tak ada luka sedikit pun di sana.“Tidak. Mungkin hanya luka kecil atau tergores. Tapi aku sungguh tidak apa-apa.”“Tapi kudengar Tante Riska sempat berusaha untuk menembakmu.”“Mema
“Di mana ini?” Azzalyn berjalan terhuyung-huyung sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tempat ia berdiri sekarang terasa asing. Ia baru saja siuman dari tidur panjang akibat pengaruh sesuatu yang disuntikkan oleh Riska, setiap kali ia tersadar.Azzalyn tahu, kalau Riska telah membawanya ke suatu tempat yang sangat jauh. Namun ia tak tahu pasti di mana keberadaannya kini.Sementara Riska, sejak ia terbangun dan keluar dari mobil, tak terlihat sama sekali. Entah apa maksud wanita itu membawanya sampai sejauh ini. Bukankah kalau memang Riska berniat untuk membunuh, sekarang ia sudah pasti berada di alam yang berbeda?Tapi Azzalyn dapat memastikan kalau dia masih hidup. Hanya saja ia sekarang berada di daerah antah berantah yang sepi dan hanya dikelilingi oleh pepohonan. Apa mungkin ini adalah sebuah hutan?Kepala Azzalyn pusing, namun ia tetap harus melangkahkan kaki untuk mencari pertolongan. Mobilnya tak bisa hidup sama sekali, seakan sengaja dirusak. Sementara hari seben
“Apa yang terjadi? Bagaimana bisa Azzalyn menghilang?” Bintang terlihat panik, padahal ia baru saja turun dari mobilnya dan menemui Misty yang menunggu di teras rumah mewah Azzalyn. “Misty sendiri tidak yakin, Kak Bintang. Semalam Mbak Azzalyn pergi keluar sebentar, mau beli makanan buat kami. Tapi Misty tunggu sampai malam dia tak pulang-pulang.” Misty menangis, karena takut terjadi apa-apa dengan Azzalyn. Andai saja semalam dia tak menolak untuk ikut, pasti Azzalyn tak akan menghilang. Sementara itu, Bintang yang bingung hanya bisa mondar-mandir. “Aku khawatir hilangnya Azzalyn ada hubungan dengan Tante Riska yang kabur dari penjara.” Bintang berkata pelan, seolah sedang berbicara sendiri. “Apa sebaiknya kita tanya dengan Om Rudi?” Misty memberikan ide. “Mungkin saja sebagai orang yang pernah dekat dengan keluarga Tante Riska, dia tahu di mana biasanya Tante Riska menyembunyikan musuh-musuh yang diculik.” “Benar juga. Kenapa aku tak bisa berpikir samp
Dwita mengamuk dan melempar apa pun yang berada di dekatnya. Suara tangisannya bercampur jerit histeris, cukup memekakkan telinga.“Dwita, Oma mohon jangan seperti ini. Sadarlah! Berhentilah berteriak.” Bu Narti menangis sambil berusaha memeluk tubuh Dwita yang terlihat kurus.Penampilan gadis itu sungguh sangat berbanding terbalik dengan yang dulu. Hal itu juga yang membuat Bintang kini tercengang tak percaya.Dwita yang dulu ia kenal sebagai seorang gadis ceria yang cantik dan berbadan berisi, kini terlihat tinggal tulang yang dibalut kulit. Badannya pun tak lagi cerah bercahaya seperti dulu. Rambutnya apalagi, entah sudah berapa lama rambut panjang itu tak disisir.“Bintang, bisakah kau membantu Oma mendiamkannya? Tolonglah, mungkin kalau mendengar suaramu dia bisa sedikit tenang. Sejak pindah ke rumah ini malam itu, Dwita selalu menyebut namamu.” Suara Bu Narti mengejutkan Bintang yang sejak tadi seakan terhipnotis.Spontan ia mengangguk dan mendekati Dw
“Sudah, jangan menangis lagi, Misty. Om pasti akan datang ke sini sesekali untuk menjengukmu.”Reinhart masih berusaha membujuk Misty yang menangis sejak tadi dalam pelukannya. Gadis itu seakan tak mau melepaskan tubuhnya.“Om tidak pernah bilang kalau akan pergi keluar negeri.” Suara Misty nyaris tak tertangkap dengan jelas, namun Reinhart masih bisa mendengarnya.“Maafkan Om, Misty. Om harus menemui anak istri di Amerika. Mereka tak mau pulang ke Indonesia karena tak ingin berurusan lagi dengan Riska. Meski dia sudah dipenjara, tak ada yang bisa menjamin kalau dia tak membalas dendam dan berbuat ulah. Om akan tetap menjagamu meski kita berjauhan, Misty. Setiap bulan Om akan mengirimi kamu uang, bukankah kamu bilang ingin lanjut kuliah?”Misty menggeleng. “Misty Cuma ingin Om tetap di sini. Kalau Om pergi, tidak ada yang menjaga Misty lagi.” Rengeknya.Reinhart hanya tersenyum sambil mengelus pucuk kepala Misty.“Siapa bilang? Masih ada Bintang dan jug