Reinhart sama sekali tak berani bersuara. Ia benar-benar merasa sangat ketakutan. Sementara bunyi ketukan di pintu depan masih terdengar, meski tak sekuat tadi.“Kok kayak nggak ada orangnya ya? Apa udah check out?” Reinhart menajamkan telinga, berusaha untuk menangkap dan mengenali suara siapa yang ada di luar.Suara ketukan terdengar lagi. Kali ini disertai panggilan.“Permisi Pak. Apa Bapak ada di dalam? Anu, di lobi ada yang cari Bapak.”Reinhart mulai berani mendekat ke arah pintu. Setelah memastikan kalau yang berada di depan itu adalah pegawai hotel, Reinhart membuka pintu kamarnya.“Ya. Ada apa?” tanya Reinhart.“Di lobi ada yang cari Bapak. Kemarin Bapak ada pesan kan? Kalau ada anak perempuan bernama Misty yang cari Bapak, kami diminta untuk memberitahu terlebih dulu ke sini.”“Iya. Mereka ada berapa orang?”“Tiga orang Pak. Yang satunya laki-laki.”“Yang dua orang itu, ada nyebutin namanya nggak?”“Ada Pak. Mbak Azzalyn sama Pak Bintang namanya.”Reinhart berna
“Mau apa kamu?” Bentak Misty judes.“Turun sekarang. Biar aku yang bawa motornya.”“Pa an sih? Ngigau kali nih orang.” Misty makin berang.“Kenapa Koma?” Tanya Reinhart.“Maaf Om. Biar saya aja yang bawa motornya. Kalau berkendara sendirian malam-malam begini, terlalu berbahaya buat perempuan.” Jawab Koma.Azzalyn, Bintang dan Reinhart akhirnya paham. Ternyata Koma hanya menawarkan diri untuk mengantar Misty. Namun sebaliknya, Misty justru merasa tersinggung. Ia pikir, Koma sedang meremehkan dirinya.“Sok tau! Memangnya kamu pikir aku selemah itu? Aku nggak pernah takut meski harus pulang sendiri. Karena selama ini aku sendirian aja ke mana-mana.”“Sekarang ini musim begal. Apalagi jalan di sini kebanyakan sepi dan gelap. Kamu nggak takut motor kamu dirampok begal?” “Trus apa peduli kamu? Aku mau dibegal kek, mau dirampok kek, mau diculik kek. Apa urusannya sama kamu? Oh, aku tahu. Sebenarnya kamu itu yang begal. Sok baik padahal kamu yang punya niat nggak bener.” Misty mengo
Jam menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Bintang terlihat sibuk membersihkan meja makan. Ia dan Reinhart baru saja selesai sarapan. Meski mungkin mereka tak cukup tidur, tapi mereka tetap bangun pagi. Apalagi Bintang harus bekerja. Sementara Reinhart memang tak terbiasa bangun siang.“Kamu pulang kerja jam berapa Bintang?” Tanya Reinhart sambil membantu mengumpulkan piring kotor. Bintang yang melihat Reinhart ikut sibuk, secepat kilat mengambil piring yang ada di tangan lelaki paruh baya itu.“Nggak usah, Om. Biar saya aja. Om nggak usah repot-repot.”“Yah jangan gitu lah. Om nggak enak kalau nggak ngapa-ngapain. Apalagi Om di sini Cuma numpang. Seenggaknya bantu beberes kan?”“Nggak usah Om. Saya nggak anggap Om lagi numpang, tapi lagi nemenin saya. Saya senang Om di sini, jadi saya punya teman ngobrol kalau pulang malam.”“Jadi kamu pulangnya malam?” Reinhart meminta jawaban dari pertanyaan yang tadi belum sempat dijawab oleh Bintang.“Selama ini sih memang saya lebih suka
“Dwita??” tanya Azzalyn, seperti memastikan siapa perempuan yang mengangkat telepon Bintang.Azzalyn berniat menanyakan keadaan Reinhart yang berada di rumah Bintang. Tak disangka, saat ia meneleponnya, yang terdengar justru suara seorang wanita di seberang sana.“Iya. Kenapa kalau ini aku? Ngapain kamu pagi-pagi udah nelfon Kak Bintang?!” suara Dwita terdengar judes. “Memangnya kenapa? Nggak ada larangan kan kalau aku nelfon dia? Kamu siapa sampai protes kayak gitu?” balas Azzalyn tak kalah sengit.“Kak Bintang mau ngantar aku pergi kerja. Jangan ganggu dia!”“Bodo amat! Lagian kamu sendiri aja pagi-pagi udah ada di sana dan minta antar kerja. Kamu pikir Bintang ikhlas ngantar kamu? Ingat, tempat kerja kamu sama Bintang itu berlainan arah. Kamu minta antar kerja, bisa-bisa dia yang terlambat ngantor. Dasar anak nggak punya pikiran!”“Nggak peduli. Yang penting Kak Bintang ngantarin aku. Bilang aja kamu iri...”Belum sempat Dwita menyelesaikan kalimat, Bintang sudah merebut po
“Nggak makan dulu?” Tanya Koma saat menemui Misty yang duduk menunggu di lobi hotel tempatnya menginap.“Nggak usah, aku masih belum lapar. Ini kan masih sore. Mending kita jalan sekarang biar nggak terlalu malam di jalan.” “Tapi kan aku janji traktir makan.”“Nanti kita singgah makan di jalan aja. Kayak tempat kemarin.”“Ya udah, tunggu sebentar aku ambil barang-barangku dulu di atas.”Koma kembali ke kamar dan mengambil beberapa barang bawaannya yang tidak terlalu banyak. Bisa dibilang hanya sebuah waist bag dan baseball cap kesukaannya. Ia segera turun dan menyerahkan kunci pada resepsionis.“Cuma segini aja barang bawaan kamu?” Tanya Koma, saat melihat hanya ada sebuah kardus di sepeda motor dan tas ransel yang dipakai Misty.“Iya. Barang-barangku emang nggak banyak. Aku Cuma hidup sendiri dan ngekos.”Koma sempat terdiam. Entah kenapa ia tiba-tiba merasa simpati dengan gadis mungil di hadapannya itu.“Ayo jalan. Malah ngelamun!” omel Misty.Koma menghidupkan motor. Ia
“Masuklah, Azzalyn.” Bintang mempersilahkan Azzalyn masuk ke dalam rumah setelah sebelumnya gadis itu sempat menunggu agak lama di depan pintu rumah Bintang. Seperti sebelumnya, Bintang sibuk merapikan kekacauan di dalam rumahnya. Azzalyn mengangguk dan langsung masuk menuju ke ruang tengah. Tempat biasa Bintang berbaring sambil menonton TV. Di situ, sudah ada Reinhart yang sedang asyik makan buah potong sambil menonton acara komedi. Ia terlihat hanya memakai kaos singlet dan celana pendek. “Malam Om...” Azzalyn menyapa Reinhart dengan ramah sambil menganggukkan kepalanya. “Eh, ada Azzalyn rupanya.” Reinhart refleks berdiri dan menunjuk ke arah sofa. “Duduk...” katanya lagi. “Makasih Om.” Reinhart kembali duduk saat Azzalyn sudah lebih dulu duduk. “Mau minum apa, Azzalyn?” tawar Bintang. “Kalau ada, air putih dingin aja Bintang. Oh iya, di jalan tadi aku beli ini buat camilan.” Azzalyn menyerahkan sebuah kantong plastik yang sejak tadi ia pegang. Ia lupa menyerahkannya pada B
Pukul 10 malam, Misty dan Koma telah sampai di rumah Bintang. Wajah lelah begitu terlihat, karena mereka telah menempuh perjalanan yang cukup jauh. “Dari sana tadi mulai jalan jam berapa?” tanya Azzalyn sambil menghidangkan teh hangat. “Kami mulai jalan sekitar jam 5. Cuma ada singgah sebentar buat makan.” Jawab Misty. Sementara Koma sudah menyeruput teh hangatnya. Syukurlah kalau kalian sampai dengan selamat.” Ujar Reinhart. “Apa kita bilang sekarang dengan mereka, Om? Mumpung ada Koma.” Tanya Azzalyn. “Mau ngomong apa emangnya?” Koma tampak penasaran. “Biar Om Reinhart aja yang bilang,” Azzalyn berkata sambil memandang ke arah Reinhart. “Begini, kita perlu gerak cepat untuk mengambil alih aset keluarga Krisna. Terutama yang akan menjadi hak milik Azzalyn. Kami butuh seseorang untuk menghubungkan antara aku dan Rudi. Karena Rudi yang akan mengirimkan semua dokumen, sementara aku yang akan mengatur proses pengambil-alihan. Setelah kami berunding tadi, kami sepakat kalau yang ak
“Bagaimana persiapan kita?” tanya Reinhart. “Semua udah beres Om. Di sana, Om Rudi sedang menyiapkan berkas yang akan diambil alih. Dan Misty juga mulai besok sudah bisa bekerja di rumah Om Rudi.” Jawab Bintang. “Terus, gimana dengan rencana kamu yang mau pergi mencari preman pembunuh yang terlibat dalam pembunuhan orang tua Azzalyn?” “Saya dan Koma akan pergi besok, Om. Karena besok hari Minggu, jadi Misty tak perlu bekerja di rumah Om Rudi. Koma tak perlu mengawasinya.” “Bagus. Semoga semua rencana kita bisa berjalan lancar.” Ujar Reinhart. Bintang hendak menjawab lagi, namun urung saat ponselnya terasa bergetar panjang. Tanda ada seseorang yang menelepon. Dahi Bintang berkerut saat melihat nama yang tertera di layar. Meski berat, Bintang tetap menjawab panggilan telepon itu setelah sebelumnya sempat menjauhkan diri dari Reinhart. Cukup lama Bintang berbicara di telepon. Reinhart bahkan mendengar sedikit perdebatan antara Bintang dengan lawan bicaranya. “Siapa?” tanya Reinha
Tiga tahun kemudian “Sayang, kau sudah siap?”Bintang membuka pintu kamar dan melihat Azzalyn yang sedang sibuk mengganti popok bayi lelaki mereka yang baru berumur 5 bulan.“Tunggu sebentar lagi. Ezra agak rewel hari ini.” Azzalyn tampak mengantuk, bisa dilihat dari kantung matanya yang menghitam.Merawat seorang bayi memang sungguh sangat tidak mudah.“Ezra mau dibawa juga? Bukannya dia sedang pilek?” Bintang kini duduk di samping ranjang, memperhatikan istrinya yang sedang memakaikan celana baru untuk Ezra.“Dia tetap di rumah. Batuknya bisa semakin menjadi karena kalau sudah sesiang ini banyak debu jalanan. Oma kan di rumah, jadi ada yang menjaga Ezra.”Azzalyn membersihkan tangannya yang terkena sedikit bedak bayi saat tadi memakaikan pada sang anak.“Harum sekali,” Azzalyn menghirup bau tangannya. “Coba kamu cium,” ia mendekatkan telapak tangan pada Bintang.“Biasa saja. Lebih harum aku.” Bintang tersenyum dengan penuh percaya diri.“Jangan terlalu tinggi menilai dirimu,” ejek
Dwita kembali mengalihkan pandangannya keluar jendela. Azzalyn bernafas lega karena apa yang ia khawatirkan tak terjadi.“Dwita, sungguh aku tak pernah berniat untuk menyakitimu ataupun Abyl. Kepergian Abyl, juga merupakan pukulan berat buatku.” Azzalyn menyeka air mata yang sempat jatuh setitik. “Hatiku juga hancur saat melihat orang yang aku sayangi meninggal dengan tragis di depan mataku sendiri.” Sambungnya.Kini Azzalyn juga ikut menatap keluar jendela.“Apa kau tahu, saat awal-awal menjalin hubungan dengan Abyl, aku ingin sekali mendekatimu? Sejak dulu aku ingin sekali punya adik perempuan, karena aku adalah anak tunggal. Tapi sikapmu yang tak pernah menampakkan rasa bersahabat membuatku tak berani berharap banyak. Ketika tahu kalau aku dan Abyl bersaudara, hatiku menjerit karena merasa hidup ini sungguh tak adil. Saat itu, aku benar-benar sangat mencintainya. Bahkan sampai kini pun, bagiku Abyl memiliki tempat khusus di dalam hati ini. Posisinya tak bisa dijelaskan dengan ka
Bu Narti berjalan perlahan dengan secangkir teh manis hangat di tangannya. “Minum teh dulu.” Ia menyerahkan cangkir itu pada Azzalyn yang sedang termenung di depan jendela terbuka yang menghadap langsung ke pekarangan di samping rumah.“Terima kasih.” Azzalyn langsung meminum sedikit teh yang diberikan padanya. Sesaat terjadi kecanggungan antara nenek dan cucu itu. Mereka sama-sama ingin memulai percakapan, hanya tak tahu harus memulai dari mana.“Apa kamu mau duduk?” Bu Narti menawarkan. Azzalyn hanya mengangguk dan langsung mengekor di belakang Bu Narti.“Akhirnya kau datang juga ke sini menjengukku. Terima kasih.” Bu Narti seakan tak kuasa menahan rasa harunya. Ia sibuk menyeka air mata yang jatuh tanpa henti.Azzalyn menunduk sambil menggigit bibir. Ia sendiri pun sedang berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis. Hidungnya sudah terasa perih dan kelopak matanya mulai panas.“Apa selama ini Oma sendirian?” Azzalyn bertanya, meski ia sendiri sudah tahu jawabannya.Bu Nart
“Aku tidak tahu, Bintang. Seharusnya aku merasa senang dan bahagia dengan pernikahan ini. Tapi kenapa, hatiku seakan terasa kosong? Seharusnya, saat aku bersanding di pelaminan nanti, ada Ibu atau Mbahku. Atau Ayah. Atau mungkin Paman Bandi. Tapi--- di hari bahagiaku nanti, tak ada siapa-siapa yang akan menjadi saksi kebahagiaan kita. Bukankah, nasibku begitu malang dan kasihan?”Air mata Azzalyn tumpah tak tertahankan. Berulang kali ia menelan saliva, agar tangisnya tak pecah. Namun hal itu justru membuat tenggorokannya sakit. Hidungnya perih dan kelopak matanya memanas. Bintang meraih Azzalyn ke dalam pelukannya. Hatinya juga ikut sakit mendengar kalimat yang keluar dari mulut gadis yang ia cintai itu.“Jangan terlalu bersedih, Azzalyn. Jangan merasa kalau hanya hidupmu yang begitu menyedihkan. Meski tak ada satu pun dari mereka yang hadir, tapi ada Om Reinhart, ada Om Rudi, Misty dan Koma. Kita saling memiliki, Azzalyn. Kita bahagia meski anggota keluarga kita tak lengkap. Buka
“Azzalyn....”Bintang memeluk Azzalyn yang kini sedang duduk dengan sebuah selimut tebal membungkus tubuhnya. Hati pemuda itu senang sekali karena melihat Azzalyn dalam keadaan baik-baik saja.“Bintang...” Azzalyn membalas pelukan pria yang sedang dekat dengannya itu.“Syukurlah kau tak apa-apa Azzalyn. Aku senang sekali begitu mendapat telepon dari kantor polisi. Aku dan Misty langsung kemari.”“Misty juga ke sini?”“Iya, tapi dia masih ada di mobil, menunggu Koma yang menyusul di belakang bersama Om Rudi. Kami semua mengkhawatirkanmu.” Bintang kembali memeluk Azzalyn. Seakan tak ingin kehilangan gadis itu lagi.“Terima kasih karena sudah mengkhawatirkan aku. Aku baik-baik saja.” Azzalyn tersenyum.“Apa kau terluka?” Bintang memindai tubuh Azzalyn, dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Memastikan kalau tak ada luka sedikit pun di sana.“Tidak. Mungkin hanya luka kecil atau tergores. Tapi aku sungguh tidak apa-apa.”“Tapi kudengar Tante Riska sempat berusaha untuk menembakmu.”“Mema
“Di mana ini?” Azzalyn berjalan terhuyung-huyung sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tempat ia berdiri sekarang terasa asing. Ia baru saja siuman dari tidur panjang akibat pengaruh sesuatu yang disuntikkan oleh Riska, setiap kali ia tersadar.Azzalyn tahu, kalau Riska telah membawanya ke suatu tempat yang sangat jauh. Namun ia tak tahu pasti di mana keberadaannya kini.Sementara Riska, sejak ia terbangun dan keluar dari mobil, tak terlihat sama sekali. Entah apa maksud wanita itu membawanya sampai sejauh ini. Bukankah kalau memang Riska berniat untuk membunuh, sekarang ia sudah pasti berada di alam yang berbeda?Tapi Azzalyn dapat memastikan kalau dia masih hidup. Hanya saja ia sekarang berada di daerah antah berantah yang sepi dan hanya dikelilingi oleh pepohonan. Apa mungkin ini adalah sebuah hutan?Kepala Azzalyn pusing, namun ia tetap harus melangkahkan kaki untuk mencari pertolongan. Mobilnya tak bisa hidup sama sekali, seakan sengaja dirusak. Sementara hari seben
“Apa yang terjadi? Bagaimana bisa Azzalyn menghilang?” Bintang terlihat panik, padahal ia baru saja turun dari mobilnya dan menemui Misty yang menunggu di teras rumah mewah Azzalyn. “Misty sendiri tidak yakin, Kak Bintang. Semalam Mbak Azzalyn pergi keluar sebentar, mau beli makanan buat kami. Tapi Misty tunggu sampai malam dia tak pulang-pulang.” Misty menangis, karena takut terjadi apa-apa dengan Azzalyn. Andai saja semalam dia tak menolak untuk ikut, pasti Azzalyn tak akan menghilang. Sementara itu, Bintang yang bingung hanya bisa mondar-mandir. “Aku khawatir hilangnya Azzalyn ada hubungan dengan Tante Riska yang kabur dari penjara.” Bintang berkata pelan, seolah sedang berbicara sendiri. “Apa sebaiknya kita tanya dengan Om Rudi?” Misty memberikan ide. “Mungkin saja sebagai orang yang pernah dekat dengan keluarga Tante Riska, dia tahu di mana biasanya Tante Riska menyembunyikan musuh-musuh yang diculik.” “Benar juga. Kenapa aku tak bisa berpikir samp
Dwita mengamuk dan melempar apa pun yang berada di dekatnya. Suara tangisannya bercampur jerit histeris, cukup memekakkan telinga.“Dwita, Oma mohon jangan seperti ini. Sadarlah! Berhentilah berteriak.” Bu Narti menangis sambil berusaha memeluk tubuh Dwita yang terlihat kurus.Penampilan gadis itu sungguh sangat berbanding terbalik dengan yang dulu. Hal itu juga yang membuat Bintang kini tercengang tak percaya.Dwita yang dulu ia kenal sebagai seorang gadis ceria yang cantik dan berbadan berisi, kini terlihat tinggal tulang yang dibalut kulit. Badannya pun tak lagi cerah bercahaya seperti dulu. Rambutnya apalagi, entah sudah berapa lama rambut panjang itu tak disisir.“Bintang, bisakah kau membantu Oma mendiamkannya? Tolonglah, mungkin kalau mendengar suaramu dia bisa sedikit tenang. Sejak pindah ke rumah ini malam itu, Dwita selalu menyebut namamu.” Suara Bu Narti mengejutkan Bintang yang sejak tadi seakan terhipnotis.Spontan ia mengangguk dan mendekati Dw
“Sudah, jangan menangis lagi, Misty. Om pasti akan datang ke sini sesekali untuk menjengukmu.”Reinhart masih berusaha membujuk Misty yang menangis sejak tadi dalam pelukannya. Gadis itu seakan tak mau melepaskan tubuhnya.“Om tidak pernah bilang kalau akan pergi keluar negeri.” Suara Misty nyaris tak tertangkap dengan jelas, namun Reinhart masih bisa mendengarnya.“Maafkan Om, Misty. Om harus menemui anak istri di Amerika. Mereka tak mau pulang ke Indonesia karena tak ingin berurusan lagi dengan Riska. Meski dia sudah dipenjara, tak ada yang bisa menjamin kalau dia tak membalas dendam dan berbuat ulah. Om akan tetap menjagamu meski kita berjauhan, Misty. Setiap bulan Om akan mengirimi kamu uang, bukankah kamu bilang ingin lanjut kuliah?”Misty menggeleng. “Misty Cuma ingin Om tetap di sini. Kalau Om pergi, tidak ada yang menjaga Misty lagi.” Rengeknya.Reinhart hanya tersenyum sambil mengelus pucuk kepala Misty.“Siapa bilang? Masih ada Bintang dan jug