“Nggak usah repot-repot. Aku bisa ke sana sendiri.” Ujar Abyl acuh.Shelby terlihat tak senang dengan perlakuan Abyl yang begitu dingin padanya. Sekali lagi ia melihat ke arah Azzalyn yang tampak sibuk. Gadis itu bahkan tak mempedulikan mereka sama sekali.Dalam hati, Shelby mengakui kalau Azzalyn sangat cantik. Bahkan meski hanya memakai seragam waitress dengan gelungan rambut yang sederhana namun rapi, kecantikan Azzalyn tetap terpancar.Kulit putih bersih, hidung yang bangir dan bulu mata tebal lentik membuat semua orang mungkin berpikir kalau Azzalyn menggunakan jasa salon kecantikan mahal. Dan alisnya, hitam lebat berserat dengan bentuk yang bagus dan alami, seolah ia tak memerlukan lagi riasan dari pensil alis ataupun semacamnya.Bentuk wajah Azzalyn yang mungil, membuatnya terlihat seperti Barbie. Shelby jadi iri setengah mati. Penampilan Azzalyn yang alami terlihat seperti jauh lebih muda dari dirinya. Padahal usia Azzalyn seumuran Abyl, yang artinya 4 tahun lebih tua dari
“Kamu bawa barangnya kan?” Tanya Bintang, disambut anggukan Azzalyn.“Di mana?”“Ada di loker.”Bintang diam sejenak. “Kalau menunggu acara selesai, aku takut dia keburu pergi. Tapi bagaimana mau memberinya barang itu kalau kamu sedang bertugas?”“Yang mana orangnya?” Tanya Azzalyn.“Dia yang sedang berbicara dengan Om Kris sekarang.”Azzalyn memicingkan mata. Jarak antara Buffett tempatnya bertugas dengan panggung tempat di mana orang yang dimaksud itu berada cukup jauh.“Bintang, sini....” Azzalyn memberi kode dengan tangan agar Bintang mendekat. Bintang menurut, dengan mencondongkan sedikit badan, ia menajamkan pendengarannya.“Apa kamu bisa bantu aku untuk membawanya ke sini?” Azzalyn bertanya setengah berbisik.Bintang memandang serius wajah gadis yang disukainya itu.“Bisa sih. Tapi emangnya kamu mau kasih barang itu di sini? Di depan banyak orang? Apa nggak apa-apa?”“Mau gimana lagi? Apa ada kesempatan lain? Kecuali kita bisa dapat alamat tempat tinggalnya, aku ra
“Azzalyn, biar aku saja yang memberikan barang itu padanya.” “Tapi...” Azzalyn tampak ragu. “Percayakan saja padaku, Azzalyn. Barang itu pasti sampai ke tangannya.”“Bukannya seperti itu. Hanya saja Om Reinhart benar-benar berpesan agar aku yang menyampaikannya sendiri. Karena aku yang nantinya akan menjadi penghubung antara Om Reinhart dan orang yang bernama Rudi Haryo itu.”“Jangan khawatir. Aku hanya menyampaikannya. Dan akan kupastikan dia bertemu langsung denganmu nanti. Lagi pula, kalau kau yang memberikan barang itu di tempat dan di tengah keramaian seperti ini, aku takut Tante Riska curiga dan ia menjadi lebih waspada.”Azzalyn diam. Ia berpikir kalau apa yang dikatakan Bintang itu cukup masuk akal.“Lalu, memangnya kalau kamu yang memberikannya Tante Riska nggak akan curiga?” tanya Azzalyn memastikan.“Aku pasti akan berhati-hati. Sekarang adalah kesempatan bagiku untuk mendekatinya tanpa perlu membuat orang lain heran atau curiga. Karena biar bagaimanapun sekarang a
“Begini saja, Om. Bagaimana kalau kita bertemu di luar? Saya akan membawa Om untuk berbicara langsung dengan orang yang membawa barang ini.” Rudi menggeleng. “Nggak! Aku nggak mau bertemu dengan orang lain. Yang mau aku temui adalah pemilik baju ini.”Bintang menghela napas.“Saya nggak tahu di mana pemilik baju ini. Tapi kalau Om memang benar-benar mau berjumpa dengannya, maka Om harus bertemu dulu dengan orang yang menitipkan baju ini pada saya.”“Baik, temui aku besok jam 1 siang di Restoran Alam Laut. Kita...”“Maaf Om,” Bintang menyela kalimat Rudi. “Kita nggak bisa sembarangan menentukan tempat dan waktu bertemu. Itu terlalu beresiko.” Sambung Bintang.“Jadi, mau kamu bagaimana?” tanya Rudi sebal. “Berikan saya nomor HP Om. Saya yang akan menghubungi Om begitu mendapat waktu dan tempat yang tepat untuk bertemu.”“Kenapa juga saya harus nurut kemauan kamu? Memangnya kamu bisa dipercaya begitu aja? Kita baru bertemu lagi setelah sekian lama. Kita dulu juga nggak akrab. B
“Anda pasti sudah mendengar kalimat tadi dengan jelas. Jadi saya rasa, saya nggak perlu lagi menjelaskan,” tegas Azzalyn.Rudi tertawa kecil. “Kalau mau ngomong itu pakai logika. Pakai akal sehat. Jangan mengatakan sesuatu yang nggak masuk akal, yang tidak mungkin akan dipercaya orang.” Kata Rudi dengan seringai mengejek.“Saya nggak berbohong. Saya mengatakan yang sebenarnya. Dan kalau anda mau bertemu dengan Om Reinhart, maka hal yang pertama kali harus anda lakukan adalah mempercayai omongan saya.” Jawab Azzalyn dengan nada ketus. Membuat senyum yang tadinya mengembang di wajah Rudi langsung menghilang.“Jadi benar, kamu memang ada hubungan dengan Reinhart? Kamu tahu di mana dia sekarang?” tanya Rudi, mendadak serius.Kali ini giliran Azzalyn yang menyeringai, merasa kalau umpannya berhasil.“Gimana kalau kita duduk dulu, Om?” Bintang berusaha mencairkan suasana.Meski terlihat enggan, Rudi tetap menuruti kemauan dua anak muda di depannya itu, dan duduk di kursi. Ia kini tela
“Nggak perlu. Om tahu apa yang kamu khawatirkan. Tapi percayalah, orang sepertiku sudah lebih lama mengalami hal-hal seperti ini. Om bahkan jauh lebih waspada dan punya persiapan khusus saat menghadapi bahaya.” Ujar Rudi sambil tersenyum. Bintang dan Azzalyn hanya bisa berpandangan. Mungkin mereka baru sadar, kalau orang di depannya itu bukanlah orang sembarangan. Rudi adalah pebisnis yang sudah pasti sering mendapatkan ancaman pembunuhan atau semacamnya. Dan tentu saja ia sudah jauh lebih berpengalaman dalam menjaga dan melindungi diri sendiri. “Kalau gitu Om duluan. Om tahu apa yang harus dilakukan. Dan kalian, sebaiknya berhati-hati saat pulang nanti,” pamit Rudi sambil tersenyum dan menganggukkan kepala. Setelah punggung Rudi menghilang di balik pintu cafe, Bintang mengalihkan pandangan ke arah Azzalyn yang tampak setengah termenung. “Jadi, apa kita pulang sekarang atau kamu mau ke tempat lain dulu?” tanya Bintang. “Kita tunggu setengah jam lagi di sini. Setelah itu kamu antar
“Kalian nggak perlu keluar lagi. Terlalu berbahaya kalau sering keluar masuk di rumah ini. Apalagi kita semua ada dalam daftar orang yang diperhatikan gerak-geriknya oleh Riska.” Reinhart berkata dengan pelan.Semua yang ada di ruangan itu terdiam. Membenarkan perkataan Reinhart.“Tunggu sebentar...” Reinhart berkata sambil berjalan ke arah sebuah lemari kaca. Ternyata ia mengambil handphone-nya. “Mau pesan makanan apa?” Tanyanya kemudian.“Terserah Om aja.” Sahut Azzalyn pendek, sambil memandang ke arah Bintang dan Rudi, seolah meminta persetujuan.“Iya terserah kamu aja, Rein. Yang penting kamu enak makan. Kami ngikut aja. Pesan yang banyak, biar aku yang bayar.” Kata Rudi.Reinhart mengangguk dan menekan sesuatu di layar hp. Sepertinya ia menelepon seseorang.“Ya halo... Tolong belikan makanan yang biasa. Tapi kali ini belikan lebih banyak. Kira-kira untuk porsi 4 orang. Dan juga belikan kopi yang biasa ku pesan, beli 5 dan jangan lupa camilan kesukaanku. Bisa kan?”Terdenga
“Setahuku rumahmu itu nggak pernah dijual. Aku pernah ke sana melihatnya. Memang kosong tak ada yang menempati, tapi saat aku ke sana, ada seorang tukang kebun dan seorang asisten rumah tangga yang sedang membersihkan di dalam dan luar rumahmu.” Jelas Rudi.“Mungkin aja pemilik baru rumah Om Reinhart sedang tak ada di tempat.” tebak Bintang, yang sedari tadi Cuma diam. Rudi menggeleng. “Nggak, menurut pengakuan mereka, rumah itu milik Reinhart yang sedang pergi ke luar negeri. Mereka hanya datang seminggu dua kali untuk membersihkan rumah itu. Dan mereka tetap digaji dengan sistem transfer.”“Apa yang menggaji mereka adalah Kris?” Tanya Reinhart. “Soalnya aku nggak pernah merasa mentransfer uang buat gaji ART.” Sambungnya.“Ya siapa lagi kalau bukan dia?” ujar Rudi sambil tersenyum. “Kris pasti melakukan ini semua, karena dia yakin bahwa suatu saat nanti kau pasti akan kembali ke rumah itu. Dan selama ini, dia yang menjaga rumah itu untukmu. Bukankah dia adalah orang yang baik?”