Suamiku terus memaksa hingga berhasil membawaku berdiri dengan tangan yang masih menjambak. Sementara aku berusaha menguatkan pertahanan dengan mengeraskan tubuh di lantai. Tapi apa daya, tenagaku tak sebanding dengan tenaga lelaki itu. Dua kali hentakan dan tarikan di tangan ia berhasil membuatku berpindah posisi. "Sakit, Mas. Hentikan!" jeritku meminta. Akan tetapi, ayah dari putriku itu benar-benar tak ada rasa iba dan peduli. Ia terus saja membawaku hingga sampai di depan pintu utama.
Darah kembali membasahi kasa yang membungkus luka. Mas Reno menghentikan perbuatannya sesaat untuk membuka pintu. Begitu benda ber-engsel itu terbuka tangan ini di tarik lagi hingga kami berdua berada di teras.Bruk!"Aaw," teriakku kesakitan.Hujan lebat disertai petir menyambut tubuhku yang didorong paksa oleh Mas Reno, hingga terjatuh di lantai berbaping block. Rintik air hujan laksana jarum yang dengan leluasa menembus hijab dan piyama. Lutut seketika perih, tapi aku gegas bangkit mencoba berlari untuk mengejar daun pintu yang terlihat akan ditutup oleh pria tak punya hati itu. Namun, terlambat sudah, benda persegi telah menutup rapat dan terkunci.Brak!Brak!Pintu kupaksa membuka dengan bahu yang di dorong kencang, tapi kerja kerasku tak membuahkan apa-apa. Pintu jati tetap mengunci sempurna tak bisa terbuka."Buka pintunya, Mas!!!"Brak!Brak!Brak!"Bukaaa!!!"Aku memukul-mukul pintu dengan kencang. Darah semakin banyak keluar hingga pintu penuh dengan jejak merah. Aku tak perduli asal Mas Reno mau membukakan pintu rumah itu sudah lebih dari cukup."Buka, Mas ... buka! Jangan perlakukan aku seperti ini. Buka, hiks hiks hiks. Kasihan Qairen. Gimana kalau nanti ia nangis dan cari aku? Buka, Mas ...!" Teriakanku seolah tak ada artinya, tenggelam di antara derasnya hujan dan kuatnya petir.Beberapa waktu pintu terus kugedor paksa, tetapi Mas Reno tak juga punya hati untuk membukakan. Lelah, tubuh melorot di depan pintu. Suara petir bercampur kilat menjadi baground menyeramkan di balik punggung. Otak tak dapat berpikir jernih saat seperti ini. Diriku hanya bisa menangis mengharap belas kasih dari suami sendiri. Pintu masih kugedor, tapi tak se-ekstrim tadi karena tenaga telah habis. Suara pun terus menggema memanggil-manggil suamiku itu, walau berakhir dengan panggilan lirih dalam sengguguan.****Tabuh berbunyi. Azan subuh berkumandang dari masjid yang tak begitu jauh. Mataku mengerjab perlahan. Tak ingat sejak kapan aku mulai tertidur di depan pintu dalam keadaan kuyup. Hembusan angin serasa ingin menyatu dengan raga. Rasa dingin yang tak terkira mulai menjalari. Tubuhku merespon, ia menggigil hebat. Bibirku bergetar. Tak ada yang bisa dilakukan selain memeluk diri sendiri, sembari berusaha merapatkan tubuh lebih jauh ke tembok rumah. Qairen, aku tiba-tiba merindukan putri semata wayangku itu.Biasanya, ia akan terbangun di jam-jam sebelum subuh lalu dengan suara celat memintaku untuk menggendongnya dengan kain jarik. Mendekati azan subuh, barulah ia kembali nyenyak dan aku bisa mulai beraktifitas seperti beribadah dan mengurus segala kebutuhan papanya.Akan tetapi, sampai azan telah habis berkumandang suara tangisan Qairen tak terdengar. Bahkan, semenjak aku menidurkannya di kamar sebelah. Apa Mas Reno mampu menenangkan putri kami?"Haaaa ... amaaaa ... amaaaa ...."Baru saja mengingat anak itu, suara tangisannya memecah pagi. Perlahan, kubawa diri untuk bisa berdiri tegak. Menggedor pintu pelan sebagai isyarat agar Mas Reno segera membukakan pintu. Aku ingin bertemu Qairen dan menenangkannya. Namun, kuperkirakan sudah sepuluh menit berlalu, pintu tak jua kunjung dibuka."Nana ... amaaaa ... ana ... amaaa, aaaaaaa."Suara tangisan Qairen belum juga berhenti. Itu pasti karena ia belum melihat wajahku sedari bangun tidur. Qairen memang dekat dengan papanya, tapi untuk urusan menggendong dan mengedot gadis kecil itu akan tetap memilih aku—mamanya."Aaaaaaa, amaaaaaa, amaaaa, aaaaa."Suara anak kunci yang diputar membuatku hampir terlonjak saking bahagianya. Mas Reno pasti menyerah dengan tangisan anak kami. Aku berharap dengan dibukakannya pintu rumah pria itu akan menghambur ke pelukan. Meminta maaf karena telah menghukumku tidur di luar semalaman dalam keadaan hujan petir dan mau percaya jika semua ini adalah fitnah semata. Ya, semua akan baik-baik saja. Pagi ini semuanya akan kembali seperti semula—seperti biasa. Itu harapku.Sesosok wajah tampan menyembul dari balik pintu."Mas Re—"Brak!Dua buah koper sedang ia lemparkan ke halaman. Aku kaget bukan kepalang. Pikiran-pikiran positif tadi seketika terbang melayang hilang tak berbekas. Ternyata, amarah Mas Reno belum juga sirna. Bahkan, ia bersungguh-sungguh ingin mengusirku di pagi buta seperti ini."Itu koper-koper milikmu! Jangan takut, semua barang-barang pribadi kamu sudah ada di sana, termasuk yang kecil-kecil sudah aku masukkan ke sana. Aku pun tak sudi masih menyimpan barang kamu di rumah ini," ujar pria itu dengan senyum smirknyaHatiku tercabik mendengar perkataannya. Tidak! Aku tak akan pergi dari rumah ini. Ini rumahku sendiri. Istanaku! Hasil kerja kerasku!"Aku tak akan pergi dari rumah ini, Mas. Ini rumahku. Jika ada yang harus pergi dari sini, itu kamu, bukan aku!" ucapku tegas, berdiri kokoh menantang bola matanya."Huh, sudah kuduga kamu akan lupa Malaya. Tak ingatkah kamu dengan surat perjanjian pra nikah kita?"Perkataan Mas Reno sontak menyadarkanku akan sesuatu. Ingatan seketika menghantarkan diri pada hari di mana aku dan Mas Reno mendatangi notaris untuk menandatangani surat perjanjian pra nikah. Perjanjian yang kubuat sendiri atas usul dari sepupuku—Syafira. Ia beranggapan, walaupun Mas Reno begitu mencintaiku perjanjian seperti itu harus tetap dibuat hitam di atas putih. Syafira takut jika suatu saat Mas Reno akan berubah. Aku pun menyetujui karena kupikir ide Syafira itu tak terlalu buruk. Ia hanya ingin diriku berjaga-jaga untuk di masa depan.Tapi hari ini, perjanjian itu malah menjadi kanker yang menggerogoti diriku secara perlahan karena salah satu dari isinya adalah menyerahkan seluruh harta benda, baik harta bersama maupun harta bawaan kepada pihak yang dirugikan jika salah satu dari kami terbukti melakukan perselingkuhan. Ya, aku yang membuat semua isi perjanjian itu dengan sadar karena yakin pada diri sendiri jika aku tak akan pernah melakukan perbuatan sehina itu. Aku tipe wanita yang setia pada satu pasangan, dan itu diaminkan oleh Syafira dan Mas Reno."Sudah ingat, Malaya?"Suara Mas Reno menyadarkanku. Ia kembali tersenyum sinis seperti mengejek sembari melipat kedua tangan di depan dada."Mas ... itu ...."Aku tak sanggup melanjutkan perkataan. Aku benar-benar kalah telak."Amaaaaaa... amaaaa... aaaa."Suara tangisan Qairen lagi-lagi terdengar."Tidak bisa, Mas. Bagaimana nasib Qairen jika mamanya pergi dari rumah ini. Kamu nggak mikirin nasib anak kita?"Aku masih berusaha mengambil hati dari suamiku itu. Berharap ia akan berpikir seribu kali untuk memisahkan aku dengan Qairen. Mas Reno pasti paham jika putri kami masih membutuhkan sosok seorang ibu."Baiklah. Bila masalahnya Qairen, kau tak perlu takut."Mas Reno melebarkan daun pintu lalu pergi meninggalkanku. Tak ingin menunggu di luar aku turut masuk mengekor pria itu di belakangnya. Lelaki itu membuka pintu kamar kami dengan segera. Tak sabar, aku menabrak tubuh Mas Reno yang ada di ambang pintu untuk melihat putri kecilku. Tampak Qairen kami sedang duduk dengan kaki berlipat ke belakang sambil memegang dotnya."Amaaaa ... amaaaa ...."Putriku ngedot dengan mata sesekali terpejam menahan kantuk dan sesekali menangis memanggil-manggil diriku. Jika hati dalam keadaan normal, Qairen akan tampak lucu, tapi tidak saat ini. Hatiku mencelos. Bagaimana bisa Mas Reno membiarkan anaknya duduk sendirian seperti itu. Memegang dot dalam keadaan mengantuk dan sesekali hampir terguling ke belakang. Sungguh luar biasa. Aku berhambur ke ranjang ingin menimang putriku. Semalaman tak bersamanya, rasa seminggu tak bersua."Bawa anak itu bersamamu, Malaya! Setelah dipikir-pikir, aku pun jadi curiga jika Qairen itu ... bukanlah darah dagingku sendiri!"DuarBagaikan besi panas yang ditancap ke ubun-ubun, otak langsung pecah. Begitulah yang kurasakan. Dengan entengnya bibir sang kekasih hati mengutarakan keraguan dari buah cinta kami. Sehina itukah diriku di matanya? Aku menghentikan tangan yang hendak mengangkat Qairen, berbalik badan dan menyeret langkah untuk mendekati papa dari anakku itu. Dengan pasti telapak tangan yang terluka naik ke udara dan, Plak! Plak! Dua tamparan dari tanganku mendarat di pipi lelaki bajingan itu dengan mulus. Ia hanya membalas dengan kekehan kecilnya lalu meludah ke lantai. Benar-benar bukan Mas Renoku. "Biadab! Iblis! Kau sanggup mengatakan Qairen bukan anakmu, hah! ? Kau boleh menghinaku! Kau boleh menyakitiku, tapi tidak untuk anak tak berdosa itu, Reno Armasyah! Camkan itu!" ucapku pedas padanya tanpa embel-embel 'Mas' lagi karena penghormatanku sudah hilang untuknya. Hatiku telah sakit untuk caci makinya pada diri ini. Namun, semuanya tak sebanding dengan rasa sakit dan benci yang kurasakan atas
Sekali lagi kutelusuri pahatan sempurna pada diri bocah kecil itu. Dimulai dari mata, bibir, hidung, dagu dan seluruh inti wajahnya. Perkataan Mas Reno tadi seketika mengganggu dan menyentil egoku. Diri pun ter-sugesti manakala tiba-tiba teringat dengan ucapan tante beserta sepupu-sepupuku yang selalu mengatakan jika wajah Qairen tak sedikit pun menuruni wajah dari papanya. Tak hanya mereka, Mama Chintya—mertuaku dan Ruri—adik ipar juga sama. Jika berkunjung dan menggendong Qairen selalu membubuhi perkataan yang menyakitkan. Wajah anakku lebih mirip seperti wajah papa tetangga. Menyedihkan memang, walaupun dalam candaan. Namun, tak seharusnya mereka mengatakan itu pada cucu dan ponakan sendiri. Hanya kedua orangtuaku saja yang tak akan berkata demikian. Mereka selalu menjaga perasaanku dengan mengatakan bila wajah anak kecil masih berubah-ubah mengikuti umur. Tanggapi saja ocehan mereka sebagai candaan semata tanpa harus memasukkannya ke dalam hati. Mengingat itu semua menjadikan n
Aku sedikit tersentak dengan semua persyaratan yang diajukan Mas Reno. Jika balik ke masa lalu, segala yang ada di rumah ini 90% nya adalah hasil dari kerja kerasku semasa gadis dan juga pemberian papa dan mamaku. Mas Reno tak ikut andil apa pun di dalamnya. Ia hanyalah seorang pria sederhana yang kuangkat derajatnya hingga bisa menduduki jabatan bagus di perusahaan Om Abi—adik kandungnya Papa. Bagaimana dengan tak tahu malunya, ia meminta semua harta itu tanpa ingin membagi sedikit pun kepadaku dan Qairen, padahal di dalam persyaratanku tak ada sedikit pun aku membahas harta buatku dan perceraian. "Bagaimana, Malaya? Kenapa kau lama sekali berpikirnya? Apa kau takut dengan persyaratan dariku? Jika benar begitu—""Baiklah Reno Armansyah. Aku menyetujui semua persyaratan darimu," potongku cepat tak ingin berlama-lama lagi berinteraksi dengannya. Lagian, sedari awal akulah orang yang menggaungkan persyaratan pra nikah itu. Air dalam gelas kuteguk habis, setelah itu meninggalkannya sen
Aku masih bisa memaklumi jika Mama yang marah denganku dan berucap tak semestinya, tapi mendengar Ruri berkata dan berlaku kasar serta menamai diri ini, aku tersinggung. Harga diri serasa sedang diinjak-injak olehnya. Memang kami seumuran, tapi aku adalah kakak iparnya. Tidak sepantasnya ia berkata seperti itu walau seribu kali diri ini membuat kesalahan. Aku tak suka! "Ya, kau tak perlu pegang-pegang Mama, Malaya. Mama merasa jijik dengan tanganmu itu yang sudah penuh dengan dosa! Seperti tangan wanita murahan!" ucap Mama Chintya menimpali perkataan anak gadisnya. DegAku benar-benar kaget mendengar penuturan dari mulut Mama Chintya sendiri. Ia berbeda, tidak seperti Mama Chintya yang biasa kukenal. Gigi-gigiku sampai bergemelutuk menahan geram. Selama tiga tahun lebih mengenal wanita itu, ia merupakan sosok yang memiliki kepribadian yang sangat menyenangkan. Keibuan, lembut, perhatian dan penyabar menjadi ciri khasnya. Dari situ pula dapat kusimpulkan bila sifat Mas Reno menurun
"Aaaa ... aaaa ... huuuh, sakit! Hentikan perempuan kotor!" jerit dan teriak Ruri menggema. Meninggalkan rasa mendengung di telinga. Ya, tak puas menampar pipi, jari jemari lentik ini mencari celah di antara helaian rambut gadis itu. Mencengkram kuat lalu menghentakkan kepalanya berulangkali ke bawah lutut. Mau tak mau ia mengikuti irama tarikan. Jika tidak begitu kupastikan kulit kepalanya akan mudah terlepas dari tengkorak. Beruntung, aku melayangkan tamparan serta jambakan di saat Ruri masih santai berselonjoran di sofa, sehingga gadis itu tak sempat untuk melindungi diri dari serangan."Hentikan, Malaya! Kau sudah gila, ya!?" histeris Mama Chintya berusaha menarik tangan dari rambut anak gadisnya, padahal apa yang dia lakukan semakin membuat putrinya bertambah kesakitan. "Aaaah, Mama ...," rintih Ruri menyedihkan.Seperti gasing, kubawa kepala Ruri memutar. Gadis berkulit sawo matang itu hanya meraung dan menjerit tanpa melakukan perlawanan. Terkesan bodoh memang, tetapi itu su
Langkahku sesaat terhenti karena ponsel tiba-tiba terdengar nyaring. Namun, sejurus kemudian kaki kembali melangkah tak mengindahkan ponsel. Diri terlalu malas untuk menerima panggilan dari siapa pun setelah tragedi bersama mertua dan ipar barusan. Bercanda ria dan bersenang-senang bersama Qairen menjadi pilihan tepat buat saat ini.Melalui jendela kupastikan keadaan di luar, apakah mama mertua dan Ruri beneran sudah pergi atau masih berada di sana. Tak ada. Tampaknya mereka benar-benar telah meninggalkan rumahku.Setelah susu hangat berpindah ke dalam botol dot aku membawa Qairen nyantai di taman belakang dengan mendudukkannya di jogger stroller berkaki tiga. Qairen anteng bersandar dengan dot susu di mulut, sedangkan aku sesekali sibuk memeriksa apotek hidup dan warung hidup yang memenuhi taman.Ya, aku membudidayakan beberapa tanaman bermanfaat yang tersusun rapi di dalam pot. Seperti jahe, temulawak, daun sirih, kumis kucing, dan lidah buaya, sedangkan untuk urusan dapur aku menan
"Halo, Dok, ini saya, Amon ...."Atensiku teralihkan atas pembicaraan Pak Amon dengan dokter Aslan, karena pada saat yang bersamaan Mbok Lani masuk ke dalam kamar diikuti seorang wanita muda yang aku taksir berusia 19 atau 20 tahunan. Aku tak mengenal siapa wanita itu, sebab seminggu yang lalu ia belum tampak ada di rumah ini. Apa pembantu baru mama? Ah, nanti saja kutanyakan. Urusan mama jauh lebih penting dari dirinya, batinku. "Mbak, tolong jagain anak saya!" ucapku sambil menyerahkan Qairen yang masih saja menangis, walaupun tak sekencang tadi kepadanya. Wanita muda itu mengangguk lalu menerima gadis kecilku dengan takut-takut. "Susunya ada di dalam—"PlekAku menepuk dahi pelan, merutuki diri yang lupa membawa ponsel dan tas yang berisi segala keperluan Qairen dari dalam mobil saking paniknya tadi. "Saya ke mobil sebentar ambil susu," kataku melanjutkan pada wanita itu lalu meninggalkannya. Dengan langkah lebar kutuju di mana mobil terparkir. Sesekali aku berlari kecil agar s
Perkataan Mbok Lani yang mendadak membuatku semakin susah untuk berpikir jernih. Ayo, Malaya, berpikir cepat! Ambil keputusan! Bisikku pada diri sendiri. "Mbak Hanum, kamu ikut saya! Jagain Qairen di sana!" titahku akhirnya meminta ia untuk turut serta. Wanita berkucir satu itu mengangguk dan memilih langkah besar mendekati mobilku karena Qairen ada dalam gendongannya. "Duduk di depan aja!" perintahku lagi gemes saat melihat wanita itu sedikit kebingungan antara duduk di depan atau di belakang, padahal ia jelas-jelas tahu kalau jok belakang sudah tak memungkinkan dirinya dan Qairen untuk duduk di sana. "Pak Amon dan kamu, Mas, jaga rumah!" pintaku berpindah pada dua orang pria beda generasi itu. Mereka spontan mengangguk sopan. Begitu semua penumpang sudah siap di tempatnya, aku gegas melajukan kendaraan menuju rumah sakit. Ya, beginilah jadinya. Semenjak papa meninggal, sopir pribadi di rumah ini mengundurkan diri. Mama tak membutuhkan sopir lain karena ia pun tak lagi suka beper
"Bukankah Dokter Aslan sedang di luar kota, ya, Om?" tanyaku begitu nama dokter itu disebutkan.Bayang-bayang akan penglihatanku atas dirinya di rumah sakit tadi menghantarkan pada pikiran negatif. "Luar kota?" Om Abi membeo akan pertanyaanku. "Iya, Om tidak tau?" balasku. "Ck! Iya, mungkin Om kamu lupa. Iya, iya, Dokter Aslan udah balik dari luar kota. Baru aja. Tadi ... Tante sendiri yang memintanya untuk kemari," jelas Tante Nilam mengubah nada suaranya menjadi lebih lembut. "Oh, ya udah. Kalau begitu Malaya mau memeriksa jasad mama dulu. Mari, Om, Tante."Kusudahi membaur dengan mereka. Selanjutnya aku menuju jasad mama yang telah ditutupi lebih banyak lagi kain jarik. Kusentuh kaki membujur itu pelan-pelan. Mama ... maafkan Malaya. Karena Malaya, sampai membuat mama seperti ini. Bu Laila menatapku iba, begitu juga kedua wanita yang masih setia berada di sebelahnya. "Bu, maafkan saya, ya," ucapku pada ketua pemandi jenazah itu. Aku merasa jika sikap dan perkataanku yang men
"Oh, tadi saya lihat sama Non Syafira di taman samping, Non. Coba lihat dulu, mana tau masih di sana," jawabnya. "Baik, terima kasih, ya," ucapku lagi. "Sama-sama, Non," balasnya. Aku berpindah ke samping rumah. Kediaman mamaku memang begitu besar. Setiap sudut dipenuhi dengan berbagai aneka bunga bermacam warna. Di taman belakang tumbuh berbagai pohon buah dan pohon peneduh. Seperti pohon mangga, pohon rambutan, pohon ketapang, dan beberapa pohon lain yang aku lupa namanya. Kata mama, dulu—ia sendiri yang menanam dan merawatnya hingga sampai sesempurna ini. Ah, itu dia. Ternyata, putri kecilku memang sedang bersama tantenya—Syafira. Mereka menikmati gemercik air pancur yang diperuntukan untuk kolam ikan mas Koi kesayangan almarhum papa. Tawa dan canda terlihat dari raut dan bibir mereka. Aku berniat mendatangi keduanya melalui lorong yang menghubungkan kamar para pembantu dengan taman di mana gadis beda generasi itu berada. "Kenapa kamu ikutan bersuara di sana, Naina! Bagaimana
"Maaf, ibu dan bapak-bapak sekalian. Dengan tidak mengurangi rasa hormat dari pihak ahli bait, sebaiknya kita semua kembali ke depan saja. Biarkan masalah ini ditangani dan diselesaikan dulu oleh pihak keluarga. Mari semuanya!"Pak RT berinisiatif membubarkan para pelayat yang masih memenuhi ruangan. Di ujung sana, tampak Bu Laila dan kedua temannya begitu kerepotan saat menjawab tanya dari beberapa ibu-ibu pelayat. Dapat kurasakan tatapan aneh dari berpuluh pasang mata itu setelah mungkin mendapatkan jawaban dari para pemandi jenazah itu. Bisik-bisik menjadi pelengkap. Ibarat sebuah hidangan di atas meja, akulah yang dijadikan menu utamanya. "Ayo bapak dan ibu sekalian, kita menunggunya di depan saja!" ulang Pak RT memberi perintah dan ajakan pada mereka yang masih terlihat enggan untuk meninggalkan tempat asal keributan. Kemungkinan tak enak hati untuk tak mengindahkan titah orang berpengaruh di lingkungan ini, akhirnya pada pelayat berangsur-angsur beranjak. Walaupun demikian, a
"Sialan kau! Berani-beraninya ikut campur urusan ma-ji-kan! Singkirkan tanganmu itu dariku! Atau ... kau akan menyesal saat ini juga!" perintah Mas Reno dengan menekanan kata 'majikan' untuk lelaki yang juga berstelan koko itu—Norman."Saya nggak akan ikut campur, Tuan Reno, andaikan anda bisa memperlakukan Non Malaya dengan lebih manusiawi!" sahut lawan bicara dari putra kebanggaan mama Chintya itu. Ucapannya terdengar santai. Namun, tegas di telinga. "Lancang! Kau itu hanya seorang jo-ng-os di rumah ini! Tak pantas menceramahiku!"DegMas Reno, tega sekali bibirnya mengeluarkan kata-kata itu. Bagai orang tak beradab, begitu entengnya ia mencela orang lain hanya karena status pekerjaan. Hei, apa pria itu lupa dengan status yang pernah ia sandang dahulu? Ya, status yang hampir sama persis dengan lelaki yang barusan ia hina. Mas Reno benar-benar telah mengubah sifat dan perangainya. Sifat dan perangai yang dulu begitu kubanggakan di dirinya kini telah memudar. Seiring memudarnya cint
"Apa-apaan kamu ini, Malaya? Kamu udah nggak waras, ya? Permintaan kamu itu sungguh gila. Mama udah meninggal. Kenapa harus mempersulit lagi?!"Aku membalikkan badan ke aska suara. Tak tahu darimana, tiba-tiba Mas Reno muncul. Tak segan, pria itu mengataiku gila dan tak waras di tengah keramaian dengan suara keras. Namun, aku tak ambil pusing. Kuanggap ucapannya hanya sebatas angin lalu yang tak ada faedahnya. Kembali badan kubalikkan ke arah papa tiriku. "Bagaimana, Om? Om setuju, kan, kita bawa lagi mama ke rumah sakit sekarang?" ucap dan tanyaku mengulang keinginan pada lelaki yang bergelar suami kedua mamaku itu. "Kamu ini memang benar-benar sudah gila, ya!" tukas Mas Reno sambil memaksa tubuhku untuk kembali melihat ke arahnya dengan penuh amarah. Amarah yang tersulut karena aku tak mengindahkan perkataannya tadi. Mungkin! Terlihat jelas jika pria itu menolak usulanku mentah-mentah. Padahal, aku tak meminta pendapatnya sama sekali. "Ay ...."Om Santo akhirnya membuka mulut. Na
Apa putriku bersama papanya? Atau dengan Om Santo? Otakku langsung terhubung kembali pada dua nama tersebut. "Tadi sama Tuan Reno, Non. Non Qai endak mau dipegang siapa-siapa kecuali ama papanya," jawab Mbok Lani terlihat tak enak hati. Raut wajahnya menyirat rasa bersalah. Aku terdiam sebentar."Yaudah, gak papa, kok, Mbok. Saya hanya khawatir aja. Takut anak itu merengek kayak di rumah sakit tadi kalau sama orang lain. Tapi kalau sama papanya, bagus lah," timpalku berusaha bersikap sewajarnya.Entahlah. Padahal kalau boleh jujur, aku sedikit gelisah saat tahu Qairen bersama pria itu. Pria yang meragukan darah dagingnya sendiri. Terlihat tubuh mama sudah diletakkan di atas meja khusus untuk memandikan mayit. Bu Laila, yang kuketahui selaku ketua dalam seluruh proses pardu kifayah jenazah di lingkungan kami melakukan tugasnya.Dimulai dengan doa memandikan jenazah, lalu mengguyur tubuh mama dengan air wewangian beberapa kali. Dilanjutkan dengan memberi sabun. Mengguyur air kembali
"Sul—""Mbak!!!"Pekik amarah tenggelam saat tanganku buru-buru disentak seseorang. Itu Syafira. Aku mendengus kaget sekaligus kesal pada gadis bermanik biru muda akibat ditimpa soflens itu. Sementara, ia membelalak disusul gelengan beberapa kali agar aku menghentikan maksud. "Mbak, sabar! Jangan buat keributan! Kasihan Bunda, Mbak. Suasana masih dalam berduka. Biarkan aja dulu. Setelah mama mbak dimakamkan, aku sendiri yang akan mengusirnya nanti!"Dengan tegas Syafira menenangkanku. Mungkinkah sedari tadi ia mengawasiku saat sadar akan kehadiran Sultan di sini? "Istighfar, Mbak. Mbak mau buat keributan saat jenazah masih terbaring di sana? Mbak mau buat almarhum bunda sedih? Mbak nggak sayang sama bunda? Hem?" ulangnya menasehatiku dengan tanya yang telak menyudutkan hati. "Astaghfirullah al-azim."Seketika aku beristighfar. Menetralkan rasa yang membuncah di dada. Benar apa kata Syafira. Aku tak boleh meloloskan amarah di tengah keramaian. Logika dan sabar harus bermain. Apalagi
Kututup buku yang berisi ayat Yasin, tahtim, tahlil, dan doa tersebut lalu meletakkannya di sebelah tubuh membujur mama. Netra dengan kelopak yang terasa menutup akibat bengkak karena tangis, terus menjurus pada si empu pemberi salam, walaupun begitu payah kurasakan. Hufh. Aku menghela napas berat. Kehadiran wanita ini membuat suasana hatiku kembali kacau. Andaikan diminta untuk memilih, dengan tegas aku akan memilih agar ia tak perlu hadir. Karena jika ada sosoknya, atmosfer seketika bisa berubah—panas dan gerah. Lihatlah. Baru mendengar salamnya saja, kusadari bila seluruh mata di ruangan ini menjurus tak mau melepas arah pada wanita langsing, tetapi sedikit berisi itu, saat dirinya berjalan angkuh dan berlenggak lenggok mendekati jasad mama. Di belakangnya mengekor dua orang gadis modis yang tak kalah cantik. Salah satunya persis seperti wanita itu. Berjalan angkuh dengan dagu terangkat tinggi, sedangkan gadis satunya lebih sopan, melangkah dengan membungkukkan sedikit badan.
"Biar saya sendiri saja, Mbak," ucapku seraya melepas tangan Mbak Hanum yang masih setia melingkar di pinggang. "Non—"Gadis itu menggantung ucap saat telapak tangan kunaikkan ke arahnya. Ia pun terdiam dan berhenti berkata-kata, di mana, aku pun tak lagi memedulikan reaksi kedua wanita beda generasi itu atas tingkah lakuku. Kecamuk yang menyerang mental membuatku mengesampingkan sikap dan sopan santun. Huff. Gegas aku berlalu tanpa sepatah kata. Seumpama raga tak lagi bertulang, kuayun kaki menuju rumah. Sesampainya di ruang keluarga yang telah disulap menjadi ruang berkabung, aku berhenti sebentar. Beberapa jarak dari jenazah mama yang sudah dibaringkan menghadap kiblat, aku mematung. Menatap dalam tubuh kaku beliau yang ditutup kain batik serta dilapisi selendang putih transparan. Beberapa orang menatapku iba. Bisik-bisik yang tak dapat diartikan menemani kebisuanku. "Nak Malaya, kenapa bengong di sini? Ke sana, yuk! Kita yasinan." Aku membuang pandang ke samping saat seseora