Sekali lagi kutelusuri pahatan sempurna pada diri bocah kecil itu. Dimulai dari mata, bibir, hidung, dagu dan seluruh inti wajahnya. Perkataan Mas Reno tadi seketika mengganggu dan menyentil egoku. Diri pun ter-sugesti manakala tiba-tiba teringat dengan ucapan tante beserta sepupu-sepupuku yang selalu mengatakan jika wajah Qairen tak sedikit pun menuruni wajah dari papanya.
Tak hanya mereka, Mama Chintya—mertuaku dan Ruri—adik ipar juga sama. Jika berkunjung dan menggendong Qairen selalu membubuhi perkataan yang menyakitkan. Wajah anakku lebih mirip seperti wajah papa tetangga. Menyedihkan memang, walaupun dalam candaan. Namun, tak seharusnya mereka mengatakan itu pada cucu dan ponakan sendiri. Hanya kedua orangtuaku saja yang tak akan berkata demikian. Mereka selalu menjaga perasaanku dengan mengatakan bila wajah anak kecil masih berubah-ubah mengikuti umur. Tanggapi saja ocehan mereka sebagai candaan semata tanpa harus memasukkannya ke dalam hati. Mengingat itu semua menjadikan netra ini semakin tak puas menelusuri wajah mungil itu. Menjelajah setiap inci demi inci pahatan sempurna di sana. Bibir, mata yang terpagar oleh bulu mata lentik dan belahan di dagu Qairen semua menurun dari diriku. Kulit tubuh yang dimiliki Qairen pun lebih ke warna kulit keluarga kami, putih bersih ketimbang kulit Mas Reno dan keluarga besarnya. Hidung Qairen nurun ke mama sedangkan alisnya nurun ke papa, walaupun tak mirip-mirip sangat. Jika dilihat-lihat memang tak ada satupun dari pahatan wajah putriku ini yang menuruni wajah papanya—Mas Reno.DegAstaghfirullah. Kenapa tiba-tiba pikiranku terikut picik seperti pikiran mereka? Seolah mengaminkan diri sendiri bahwa benar telah berselingkuh. Ya, Allah ampuni aku. Maafkan mama Qairen. Seketika mata ini mengabur, menyimpan buliran bening yang sewaktu-waktu siap tumpah menyapa pipi. Semakin lama buliran itu semakin menumpuk, hingga bendungannya tak lagi mampu menahan. Akhirnya, denting tetes air asin jatuh juga dan tak sengaja mengenai hidung dan mata putri kecilku. Dalam terpejam, Qairen mengedip pelan dan menggeliat. Cepat kuseka tetesan yang mengenai dirinya dengan ujung kain jarik. Tak mau terulang lagi, aku segera menjauhkan wajah dari anak itu dengan berbaring di sampingnya. Dalam keadaan telentang kubebaskan air mata untuk tumpah ruah sebanyak-banyaknya. Belum puas menangis rasa mual kembali menggangu. Ulu hati seperti ada yang mendesak. Aku turun dari ranjang menuju dapur berniat untuk membuat minuman hangat mujarab dari geprekan jahe, serai, kayu manis dan madu. Minuman pavorit jika perut dalam keadaan begini. Tak lagi kuhiraukan apa dan bagaimana keadaan Mas Reno. Terserah dia, mau apa di pagi ini. Minuman panas telah tersaji di meja makan. Aku terus mengaduk dan mencicipinya sedikit demi sedikit dari sendok teh. Segala macam pikiran melalang buana entah kemana, tapi yang paling kupikirkan saat ini adalah tentang video itu. "Aku sudah membuat janji dengan dokter Aslan. Hari ini juga kita akan tes DNA Qairen!"Suara orang yang tak ingin didengar kembali mengusik. Ya, Mas Reno, pria itu telah rapi dengan pakaian kantornya, padahal waktu masih menunjukkan pukul enam kurang. Sakit? Jangan ditanya! Sakitnya bahkan telah mengubah hati menjadi mati rasa untuk lelaki di hadapanku ini. Aku masih ingin melayani Mas Reno dengan beradu mulut, tapi dipikir-pikir rasanya percuma. Manalagi keadaan tubuhku yang semakin dirasa tak enak saja. "Baiklah, Reno. Aku akan turuti semua kemauanmu, tapi dengan syarat!" Kuhentikan ucapan sekaligus melirik lelaki itu. Memastikan apa reaksinya dari hasil perkataanku. Tak ada! Mas Reno hanya diam. Wajah tampan yang setiap pagi selalu kutatap sebelum beranjak dari pembaringan itu, hanya memberi senyum smirk. "Apapun syarat dari kamu akan aku turuti, Malaya. Namun, aku juga punya syarat yang sama seperti dirimu. Jika kau setuju, aku pun akan setuju dengan semua persyaratan yang kau berikan," ujarnya mendekati meja makan lalu duduk bersebrangan dengan diriku. "Baik, aku setuju?" balasku pasti. "Oke! Sekarang, katakan apa persyaratan darimu," tekan Mas Reno.Pria itu memundurkan tubuh, bertopang punggung pada sandaran kursi serta melipat tangan di depan dadanya. Pose yang sangat menyebalkan, pikirku. Aku menarik napas berat dan menghembuskannya kuat lalu kembali menatap pria itu penuh penekanan. "Syarat pertama, jika Qairen terbukti memang anakmu, maka kau harus meminta maaf kepadaku di hadapan seluruh keluarga besar kita berdua. Kedua, akui jika semua foto-foto dan video menjijikkan itu adalah fitnah semata dan kita berdua akan mencari tahu kebenarannya bersama-sama. Syarat ketiga, ubah seluruh aset kita atas nama Qairen. Bagaimana? Kau setuju?" ucapku mantap dengan syarat-syarat yang kuajukan barusan. Mas Reno kembali menyunggingkan senyum mengejek. Lesung pipi yang ada semakin masuk ke dalam. Menambah ketampanan dari wajah pria itu, tapi hari ini ketampanan itu musnah berganti dengan kebencian. "Baik, aku sangat menyetujui semua persyaratan dari kamu, Malaya, dan sekarang dengarkan syarat-syarat dariku. Kau siap mendengarnya?""Tentu, katakan saja," balasku acuh dan kembali mengaduk air rempah di dalam gelas. Meneguknya hingga hampir habis. Rasa hangat menjalar di bagian ulu hati hingga perut mulai terasa melilit. Sepertinya, gas busuk yang bersarang di dalam sana dipaksa untuk keluar. "Pertama, jika Qairen terbukti benar bukan anak biologisku, maka segala sesuatu yang ada dalam surat perjanjian pra nikah kita akan berlaku."Bussh, tretttet bussh. Angin busuk tak kuasa untuk di pertahankan di dalam perut. Ia keluar begitu saja bahkan diikuti dengan suara khasnya. Aku tak peduli dengan alis Mas Reno yang saling bertaut memandangku. Kuanggap ucapan lelaki itu sama busuknya dengan bau gas perut yang baru saja meracuni lubang hidung kami berdua. Mas Reno mengibaskan satu tangan di depan hidungnya, berusaha menghalau apa yang barusan ia hirup. Mampus kau! Batinku sedikit terhibur melihat dia menderita. "Kedua," lanjut Mas Reno tak perduli lagi. "Kau akan aku talak saat itu juga dan segera pergi dari rumah ini tanpa membawa apa pun. Ketiga, aku akan menunjukkan semua foto dan video mesum itu sebagai bukti pada keluarga besarmu dan keluarga besarku. Bagaimana?"Aku sedikit tersentak dengan semua persyaratan yang diajukan Mas Reno. Jika balik ke masa lalu, segala yang ada di rumah ini 90% nya adalah hasil dari kerja kerasku semasa gadis dan juga pemberian papa dan mamaku. Mas Reno tak ikut andil apa pun di dalamnya. Ia hanyalah seorang pria sederhana yang kuangkat derajatnya hingga bisa menduduki jabatan bagus di perusahaan Om Abi—adik kandungnya Papa. Bagaimana dengan tak tahu malunya, ia meminta semua harta itu tanpa ingin membagi sedikit pun kepadaku dan Qairen, padahal di dalam persyaratanku tak ada sedikit pun aku membahas harta buatku dan perceraian. "Bagaimana, Malaya? Kenapa kau lama sekali berpikirnya? Apa kau takut dengan persyaratan dariku? Jika benar begitu—""Baiklah Reno Armansyah. Aku menyetujui semua persyaratan darimu," potongku cepat tak ingin berlama-lama lagi berinteraksi dengannya. Lagian, sedari awal akulah orang yang menggaungkan persyaratan pra nikah itu. Air dalam gelas kuteguk habis, setelah itu meninggalkannya sen
Aku masih bisa memaklumi jika Mama yang marah denganku dan berucap tak semestinya, tapi mendengar Ruri berkata dan berlaku kasar serta menamai diri ini, aku tersinggung. Harga diri serasa sedang diinjak-injak olehnya. Memang kami seumuran, tapi aku adalah kakak iparnya. Tidak sepantasnya ia berkata seperti itu walau seribu kali diri ini membuat kesalahan. Aku tak suka! "Ya, kau tak perlu pegang-pegang Mama, Malaya. Mama merasa jijik dengan tanganmu itu yang sudah penuh dengan dosa! Seperti tangan wanita murahan!" ucap Mama Chintya menimpali perkataan anak gadisnya. DegAku benar-benar kaget mendengar penuturan dari mulut Mama Chintya sendiri. Ia berbeda, tidak seperti Mama Chintya yang biasa kukenal. Gigi-gigiku sampai bergemelutuk menahan geram. Selama tiga tahun lebih mengenal wanita itu, ia merupakan sosok yang memiliki kepribadian yang sangat menyenangkan. Keibuan, lembut, perhatian dan penyabar menjadi ciri khasnya. Dari situ pula dapat kusimpulkan bila sifat Mas Reno menurun
"Aaaa ... aaaa ... huuuh, sakit! Hentikan perempuan kotor!" jerit dan teriak Ruri menggema. Meninggalkan rasa mendengung di telinga. Ya, tak puas menampar pipi, jari jemari lentik ini mencari celah di antara helaian rambut gadis itu. Mencengkram kuat lalu menghentakkan kepalanya berulangkali ke bawah lutut. Mau tak mau ia mengikuti irama tarikan. Jika tidak begitu kupastikan kulit kepalanya akan mudah terlepas dari tengkorak. Beruntung, aku melayangkan tamparan serta jambakan di saat Ruri masih santai berselonjoran di sofa, sehingga gadis itu tak sempat untuk melindungi diri dari serangan."Hentikan, Malaya! Kau sudah gila, ya!?" histeris Mama Chintya berusaha menarik tangan dari rambut anak gadisnya, padahal apa yang dia lakukan semakin membuat putrinya bertambah kesakitan. "Aaaah, Mama ...," rintih Ruri menyedihkan.Seperti gasing, kubawa kepala Ruri memutar. Gadis berkulit sawo matang itu hanya meraung dan menjerit tanpa melakukan perlawanan. Terkesan bodoh memang, tetapi itu su
Langkahku sesaat terhenti karena ponsel tiba-tiba terdengar nyaring. Namun, sejurus kemudian kaki kembali melangkah tak mengindahkan ponsel. Diri terlalu malas untuk menerima panggilan dari siapa pun setelah tragedi bersama mertua dan ipar barusan. Bercanda ria dan bersenang-senang bersama Qairen menjadi pilihan tepat buat saat ini.Melalui jendela kupastikan keadaan di luar, apakah mama mertua dan Ruri beneran sudah pergi atau masih berada di sana. Tak ada. Tampaknya mereka benar-benar telah meninggalkan rumahku.Setelah susu hangat berpindah ke dalam botol dot aku membawa Qairen nyantai di taman belakang dengan mendudukkannya di jogger stroller berkaki tiga. Qairen anteng bersandar dengan dot susu di mulut, sedangkan aku sesekali sibuk memeriksa apotek hidup dan warung hidup yang memenuhi taman.Ya, aku membudidayakan beberapa tanaman bermanfaat yang tersusun rapi di dalam pot. Seperti jahe, temulawak, daun sirih, kumis kucing, dan lidah buaya, sedangkan untuk urusan dapur aku menan
"Halo, Dok, ini saya, Amon ...."Atensiku teralihkan atas pembicaraan Pak Amon dengan dokter Aslan, karena pada saat yang bersamaan Mbok Lani masuk ke dalam kamar diikuti seorang wanita muda yang aku taksir berusia 19 atau 20 tahunan. Aku tak mengenal siapa wanita itu, sebab seminggu yang lalu ia belum tampak ada di rumah ini. Apa pembantu baru mama? Ah, nanti saja kutanyakan. Urusan mama jauh lebih penting dari dirinya, batinku. "Mbak, tolong jagain anak saya!" ucapku sambil menyerahkan Qairen yang masih saja menangis, walaupun tak sekencang tadi kepadanya. Wanita muda itu mengangguk lalu menerima gadis kecilku dengan takut-takut. "Susunya ada di dalam—"PlekAku menepuk dahi pelan, merutuki diri yang lupa membawa ponsel dan tas yang berisi segala keperluan Qairen dari dalam mobil saking paniknya tadi. "Saya ke mobil sebentar ambil susu," kataku melanjutkan pada wanita itu lalu meninggalkannya. Dengan langkah lebar kutuju di mana mobil terparkir. Sesekali aku berlari kecil agar s
Perkataan Mbok Lani yang mendadak membuatku semakin susah untuk berpikir jernih. Ayo, Malaya, berpikir cepat! Ambil keputusan! Bisikku pada diri sendiri. "Mbak Hanum, kamu ikut saya! Jagain Qairen di sana!" titahku akhirnya meminta ia untuk turut serta. Wanita berkucir satu itu mengangguk dan memilih langkah besar mendekati mobilku karena Qairen ada dalam gendongannya. "Duduk di depan aja!" perintahku lagi gemes saat melihat wanita itu sedikit kebingungan antara duduk di depan atau di belakang, padahal ia jelas-jelas tahu kalau jok belakang sudah tak memungkinkan dirinya dan Qairen untuk duduk di sana. "Pak Amon dan kamu, Mas, jaga rumah!" pintaku berpindah pada dua orang pria beda generasi itu. Mereka spontan mengangguk sopan. Begitu semua penumpang sudah siap di tempatnya, aku gegas melajukan kendaraan menuju rumah sakit. Ya, beginilah jadinya. Semenjak papa meninggal, sopir pribadi di rumah ini mengundurkan diri. Mama tak membutuhkan sopir lain karena ia pun tak lagi suka beper
Om Santo terdiam. Wajahnya tiba-tiba pias. Pria itu tampak tak nyaman dengan pertanyaanku. Gestur tubuhnya menyatakan demikian. Pria yang sudah tak mengenakan jas kerjanya lagi itu memperbaiki posisi. Yang tadinya masih bersandar kini duduk tegak. Sesekali ia menelan ludah. Apa pertanyaanku sebegitu susahnya? "Hahaha. Kamu masih penasaran sama itu, Ay?" Sedikit kaget karena pertanyaanku di balas dengan gelak tawa dan juga pertanyaan balik. Sepertinya, pria dengan tinggi kurang lebih 170 senti itu ingin mencairkan suasana dengan tawa renyahnya, tapi aku sama sekali tak tertarik untuk menanggapi tawa itu.Aku hanya ingin tahu siapa wanita itu. Bisa saja itu istrinya atau ... selingkuhannya seperti cerita-cerita novel yang sering kubaca. Duh, aku benar-benar jadi tersugesti oleh hal-hal demikian. Ya, walaupun sudah setahun ini ia menjadi bagian dari keluarga, aku sama sekali tak mengenal Om Santo lebih jauh. Yang kutahu, ia hanya sebatas teman papa. Sudah pernahkah ia berumah tangga?
"Kenapa, Non?"Mbok Lani dan Mbak Hanum bertanya serempak seraya mengikuti arah pandangku. "Itu, Mbok, itu bukannya—""Uuuu ... Amaaa atoh ni. Amaaa ... atoooh."Pusatku pada sosok di depan terpecah, berganti pada Qairen yang tiba-tiba saja menangis kecil sambil menghentak-hentakkan pantatnya dalam pangkuan. Kulihat ia sebentar untuk memastikan mengapa tiba-tiba bertingkah seperti itu. Gadis kecilku menunjuk ke arah lantai, ia meringis dan masih menghentakkan badan. Ternyata, jajanan yang belum dibuka terlepas dari pegangannya dan jatuh ke bawah. Kuambil bungkusan berwarna kuning terang itu lalu membersihkannya sebentar. Begitu benda itu kuserahkan pada Qairen kemudian melihat lagi ke arah tadi, sosok itu sudah menghilang. Fokusku menyusuri area sekitar, tapi keberadaannya tetap tak terjamah oleh netraku. Ke mana dia? Kenapa cepat sekali menghilangnya? "Non? Non Malaya kenapa? Kok kayak orang Kebingungan gitu? Cari siapa sih, Non?" tanya Mbok Lani. Bahkan, sesekali wanita paruh b
"Bukankah Dokter Aslan sedang di luar kota, ya, Om?" tanyaku begitu nama dokter itu disebutkan.Bayang-bayang akan penglihatanku atas dirinya di rumah sakit tadi menghantarkan pada pikiran negatif. "Luar kota?" Om Abi membeo akan pertanyaanku. "Iya, Om tidak tau?" balasku. "Ck! Iya, mungkin Om kamu lupa. Iya, iya, Dokter Aslan udah balik dari luar kota. Baru aja. Tadi ... Tante sendiri yang memintanya untuk kemari," jelas Tante Nilam mengubah nada suaranya menjadi lebih lembut. "Oh, ya udah. Kalau begitu Malaya mau memeriksa jasad mama dulu. Mari, Om, Tante."Kusudahi membaur dengan mereka. Selanjutnya aku menuju jasad mama yang telah ditutupi lebih banyak lagi kain jarik. Kusentuh kaki membujur itu pelan-pelan. Mama ... maafkan Malaya. Karena Malaya, sampai membuat mama seperti ini. Bu Laila menatapku iba, begitu juga kedua wanita yang masih setia berada di sebelahnya. "Bu, maafkan saya, ya," ucapku pada ketua pemandi jenazah itu. Aku merasa jika sikap dan perkataanku yang men
"Oh, tadi saya lihat sama Non Syafira di taman samping, Non. Coba lihat dulu, mana tau masih di sana," jawabnya. "Baik, terima kasih, ya," ucapku lagi. "Sama-sama, Non," balasnya. Aku berpindah ke samping rumah. Kediaman mamaku memang begitu besar. Setiap sudut dipenuhi dengan berbagai aneka bunga bermacam warna. Di taman belakang tumbuh berbagai pohon buah dan pohon peneduh. Seperti pohon mangga, pohon rambutan, pohon ketapang, dan beberapa pohon lain yang aku lupa namanya. Kata mama, dulu—ia sendiri yang menanam dan merawatnya hingga sampai sesempurna ini. Ah, itu dia. Ternyata, putri kecilku memang sedang bersama tantenya—Syafira. Mereka menikmati gemercik air pancur yang diperuntukan untuk kolam ikan mas Koi kesayangan almarhum papa. Tawa dan canda terlihat dari raut dan bibir mereka. Aku berniat mendatangi keduanya melalui lorong yang menghubungkan kamar para pembantu dengan taman di mana gadis beda generasi itu berada. "Kenapa kamu ikutan bersuara di sana, Naina! Bagaimana
"Maaf, ibu dan bapak-bapak sekalian. Dengan tidak mengurangi rasa hormat dari pihak ahli bait, sebaiknya kita semua kembali ke depan saja. Biarkan masalah ini ditangani dan diselesaikan dulu oleh pihak keluarga. Mari semuanya!"Pak RT berinisiatif membubarkan para pelayat yang masih memenuhi ruangan. Di ujung sana, tampak Bu Laila dan kedua temannya begitu kerepotan saat menjawab tanya dari beberapa ibu-ibu pelayat. Dapat kurasakan tatapan aneh dari berpuluh pasang mata itu setelah mungkin mendapatkan jawaban dari para pemandi jenazah itu. Bisik-bisik menjadi pelengkap. Ibarat sebuah hidangan di atas meja, akulah yang dijadikan menu utamanya. "Ayo bapak dan ibu sekalian, kita menunggunya di depan saja!" ulang Pak RT memberi perintah dan ajakan pada mereka yang masih terlihat enggan untuk meninggalkan tempat asal keributan. Kemungkinan tak enak hati untuk tak mengindahkan titah orang berpengaruh di lingkungan ini, akhirnya pada pelayat berangsur-angsur beranjak. Walaupun demikian, a
"Sialan kau! Berani-beraninya ikut campur urusan ma-ji-kan! Singkirkan tanganmu itu dariku! Atau ... kau akan menyesal saat ini juga!" perintah Mas Reno dengan menekanan kata 'majikan' untuk lelaki yang juga berstelan koko itu—Norman."Saya nggak akan ikut campur, Tuan Reno, andaikan anda bisa memperlakukan Non Malaya dengan lebih manusiawi!" sahut lawan bicara dari putra kebanggaan mama Chintya itu. Ucapannya terdengar santai. Namun, tegas di telinga. "Lancang! Kau itu hanya seorang jo-ng-os di rumah ini! Tak pantas menceramahiku!"DegMas Reno, tega sekali bibirnya mengeluarkan kata-kata itu. Bagai orang tak beradab, begitu entengnya ia mencela orang lain hanya karena status pekerjaan. Hei, apa pria itu lupa dengan status yang pernah ia sandang dahulu? Ya, status yang hampir sama persis dengan lelaki yang barusan ia hina. Mas Reno benar-benar telah mengubah sifat dan perangainya. Sifat dan perangai yang dulu begitu kubanggakan di dirinya kini telah memudar. Seiring memudarnya cint
"Apa-apaan kamu ini, Malaya? Kamu udah nggak waras, ya? Permintaan kamu itu sungguh gila. Mama udah meninggal. Kenapa harus mempersulit lagi?!"Aku membalikkan badan ke aska suara. Tak tahu darimana, tiba-tiba Mas Reno muncul. Tak segan, pria itu mengataiku gila dan tak waras di tengah keramaian dengan suara keras. Namun, aku tak ambil pusing. Kuanggap ucapannya hanya sebatas angin lalu yang tak ada faedahnya. Kembali badan kubalikkan ke arah papa tiriku. "Bagaimana, Om? Om setuju, kan, kita bawa lagi mama ke rumah sakit sekarang?" ucap dan tanyaku mengulang keinginan pada lelaki yang bergelar suami kedua mamaku itu. "Kamu ini memang benar-benar sudah gila, ya!" tukas Mas Reno sambil memaksa tubuhku untuk kembali melihat ke arahnya dengan penuh amarah. Amarah yang tersulut karena aku tak mengindahkan perkataannya tadi. Mungkin! Terlihat jelas jika pria itu menolak usulanku mentah-mentah. Padahal, aku tak meminta pendapatnya sama sekali. "Ay ...."Om Santo akhirnya membuka mulut. Na
Apa putriku bersama papanya? Atau dengan Om Santo? Otakku langsung terhubung kembali pada dua nama tersebut. "Tadi sama Tuan Reno, Non. Non Qai endak mau dipegang siapa-siapa kecuali ama papanya," jawab Mbok Lani terlihat tak enak hati. Raut wajahnya menyirat rasa bersalah. Aku terdiam sebentar."Yaudah, gak papa, kok, Mbok. Saya hanya khawatir aja. Takut anak itu merengek kayak di rumah sakit tadi kalau sama orang lain. Tapi kalau sama papanya, bagus lah," timpalku berusaha bersikap sewajarnya.Entahlah. Padahal kalau boleh jujur, aku sedikit gelisah saat tahu Qairen bersama pria itu. Pria yang meragukan darah dagingnya sendiri. Terlihat tubuh mama sudah diletakkan di atas meja khusus untuk memandikan mayit. Bu Laila, yang kuketahui selaku ketua dalam seluruh proses pardu kifayah jenazah di lingkungan kami melakukan tugasnya.Dimulai dengan doa memandikan jenazah, lalu mengguyur tubuh mama dengan air wewangian beberapa kali. Dilanjutkan dengan memberi sabun. Mengguyur air kembali
"Sul—""Mbak!!!"Pekik amarah tenggelam saat tanganku buru-buru disentak seseorang. Itu Syafira. Aku mendengus kaget sekaligus kesal pada gadis bermanik biru muda akibat ditimpa soflens itu. Sementara, ia membelalak disusul gelengan beberapa kali agar aku menghentikan maksud. "Mbak, sabar! Jangan buat keributan! Kasihan Bunda, Mbak. Suasana masih dalam berduka. Biarkan aja dulu. Setelah mama mbak dimakamkan, aku sendiri yang akan mengusirnya nanti!"Dengan tegas Syafira menenangkanku. Mungkinkah sedari tadi ia mengawasiku saat sadar akan kehadiran Sultan di sini? "Istighfar, Mbak. Mbak mau buat keributan saat jenazah masih terbaring di sana? Mbak mau buat almarhum bunda sedih? Mbak nggak sayang sama bunda? Hem?" ulangnya menasehatiku dengan tanya yang telak menyudutkan hati. "Astaghfirullah al-azim."Seketika aku beristighfar. Menetralkan rasa yang membuncah di dada. Benar apa kata Syafira. Aku tak boleh meloloskan amarah di tengah keramaian. Logika dan sabar harus bermain. Apalagi
Kututup buku yang berisi ayat Yasin, tahtim, tahlil, dan doa tersebut lalu meletakkannya di sebelah tubuh membujur mama. Netra dengan kelopak yang terasa menutup akibat bengkak karena tangis, terus menjurus pada si empu pemberi salam, walaupun begitu payah kurasakan. Hufh. Aku menghela napas berat. Kehadiran wanita ini membuat suasana hatiku kembali kacau. Andaikan diminta untuk memilih, dengan tegas aku akan memilih agar ia tak perlu hadir. Karena jika ada sosoknya, atmosfer seketika bisa berubah—panas dan gerah. Lihatlah. Baru mendengar salamnya saja, kusadari bila seluruh mata di ruangan ini menjurus tak mau melepas arah pada wanita langsing, tetapi sedikit berisi itu, saat dirinya berjalan angkuh dan berlenggak lenggok mendekati jasad mama. Di belakangnya mengekor dua orang gadis modis yang tak kalah cantik. Salah satunya persis seperti wanita itu. Berjalan angkuh dengan dagu terangkat tinggi, sedangkan gadis satunya lebih sopan, melangkah dengan membungkukkan sedikit badan.
"Biar saya sendiri saja, Mbak," ucapku seraya melepas tangan Mbak Hanum yang masih setia melingkar di pinggang. "Non—"Gadis itu menggantung ucap saat telapak tangan kunaikkan ke arahnya. Ia pun terdiam dan berhenti berkata-kata, di mana, aku pun tak lagi memedulikan reaksi kedua wanita beda generasi itu atas tingkah lakuku. Kecamuk yang menyerang mental membuatku mengesampingkan sikap dan sopan santun. Huff. Gegas aku berlalu tanpa sepatah kata. Seumpama raga tak lagi bertulang, kuayun kaki menuju rumah. Sesampainya di ruang keluarga yang telah disulap menjadi ruang berkabung, aku berhenti sebentar. Beberapa jarak dari jenazah mama yang sudah dibaringkan menghadap kiblat, aku mematung. Menatap dalam tubuh kaku beliau yang ditutup kain batik serta dilapisi selendang putih transparan. Beberapa orang menatapku iba. Bisik-bisik yang tak dapat diartikan menemani kebisuanku. "Nak Malaya, kenapa bengong di sini? Ke sana, yuk! Kita yasinan." Aku membuang pandang ke samping saat seseora