"Oweekk! Oweekk!"
Suara tangis anak bayi, kini menggema mengelilingi seluruh ruang rawat inap Nara. Dengan kedua netranya yang masih terpejam, badan mungil itu terlihat sedikit menggeliat, membuat wanita yang tengah menggendongnya rela tak berkedip menatapnya."Sayang! Ini mama, Sayang! Apa kabar? Akhirnya mama bisa melihat dan menggendongmu seperti ini!" tutur Nara dengan sebuah senyuman yang tak luntur dari wajah polosnya tanpa makeup.Seolah sedang menyimak apa yang sedang mamanya katakan, seketika saja tangis bayi mungil itu terhenti. Badannya yang tadi bergerak-gerak, kini nampak terlihat diam dan nyaman berada di pelukan Nara. Hingga setelahnya, terlihat bibir mungil tersebut terlihat terbuka dan bergerak-gerak lucu.Sungguh demi apa pun, ini adalah momen yang paling bahagia bagi Nara setelah pernikahannya dengan Dimas. Segala rasa takut dan khawatirnya seketika sirna begitu saja, seiring dengan hadirnya sang buah hati di sisinya.YTokk! Tokk! Tokk!Pintu itu diketuk, sebelum akhirnya dibuka oleh seseorang. Melihat siapa yang sudah datang, Nara tersenyum hangat padanya. Ia menyuruh sosok itu mendekat, dan duduk di sebuah kursi kosong yang ada di pinggir ranjangnya."Maaf karena Bibi baru sempat menemui Nyonya sekarang," tutur sosok tersebut seraya menatap lembut pada bayi mungil yang kini masih tertidur dengan lelap."Tidak apa-apa, Bi. Mas Dimas sudah memberitahuku sebelumnya. Maaf ya, Bi. Bibi jadi repot seperti ini, apalagi Mas Dimas pasti mendadak bawel 'kan pada Bibi?""Tidak apa-apa, Nyonya. Justru bibi merasa sangat senang, karena akhirnya bisa melihat sosok mungil yang sangat lucu ini. Walau sangat repot, akan tetapi bibi ikut sangat bahagia. Bibi jadi merasa punya semangat baru sekarang," ucap wanita paruh baya itu seraya terus memandangi Melody.Mendengar penuturan itu, Nara pun kian semakin tersenyum. Ia merasa sangat bersyukur, karena ternyata Bi Inah be
"Apa?"Seketika saja tubuh Dimas mematung mendengar nama itu. Entah siapa persisnya yang dimaksud, yang jelas mudah-mudahan saja orang lain yang tak dikenalnya."Iya, Pak. Apa Pak Dimas kenal dengan beliau? Saya dengar dia pernah bekerja di salah satu perusahaan yang cukup terkenal dulu, sebelum akhirnya mengembangkan bisnisnya yang lain. Entah namanya apa, saya tidak terlalu mengingatnya," sahut pria itu seraya kembali menyesap minumannya.Mendengar hal itu, Dimas pun seketika menggeleng. Dengan segera ia menepis jauh-jauh pikiran buruknya, dan ikut menghabiskan minuman yang ada di hadapannya. "Tidak, Pak. Sepertinya saya salah menebak orang!"***Sementara di tempat yang lain, kini terdapat seorang pria yang baru saja keluar dari kamarnya. Dengan rambut yang masih basah dan handuk yang menempel di pundaknya, pria itu berjalan pelan mengikuti sumber suara bising yang cukup mengganggu telinganya.Prangg!"Astag
"Bagaimana persiapanmu? Kata orangku, dia telah menyebutkan namamu padanya. Jadi, mungkin saja dia akan menghubungimu dalam beberapa waktu dekat ini!"Sosok itu kembali menyesap kopi hitam yang ada di hadapannya, sambil sesekali memperhatikan keadaan sekitar cafe yang kebetulan sedang cukup ramai saat ini.Sementara lawan bicaranya, ia hanya terkekeh sesaat. Dirinya tak terlalu menganggap penting dengan apa yang telah dikhawatirkan oleh sosok itu, karena memang sudah benar-benar mempersiapkan semuanya dengan matang."Pokoknya kau tenang saja! Asalkan orangmu itu benar-benar selalu ada di belakangku untuk membantuku, aku pasti bisa mengatasinya. Jangan ragukan kemampuanku dalam bermain sandiwara lagi! Apa kau lupa siapa saja wanita yang pernah dekat denganku? Hampir sebagian besar dari mereka adalah pemain drama, jadi aku sudah belajar banyak hal dari mereka!" ucap Evan sombong, seraya meraih sebuah cangkir yang ada di hadapannya.Pria itu sempat terkekeh sesaat. Ia mengangguk kecil, p
"Hufftt! Bagaimana ini? Kenapa sudah jam segini, Mas Dimas belum juga kembali?"Waktu sudah menunjukkan pukul tengah malam, akan tetapi entah kenapa sampai saat ini Nara belum bisa sedikit pun memejamkan kedua matanya. Hatinya merasa tak tenang, karena sedari tadi berbagai pesan dan panggilannya tak kunjung ada yang dijawab oleh sang suami. Ia cemas, takut terjadi apa-apa di luar sana.Sementara di sisi lain, Bi Inah sudah tertidur dengan pulas. Ia tak menyalahkan wanita paruh baya itu karena sudah lebih dulu terlelap, karena dirinya cukup tahu tentang betapa lelahnya asisten rumah tangganya tersebut karena telah bekerja seharian penuh dengannya."Apa aku coba tanyakan ke Marvori saja ya?" pikir Nara setelahnya, sambil mencari nama kontak tersebut dalam ponsel.Kedua ibu telunjuknya kini berselancar cepat pada benda pipihnya itu. Ia terus menggulirkan layar ke bawah, sampai kurang lebih beberapa detik kemudian mulai terdengar suara sayup-sayup langkah kaki yang mendekat ke arah ruanga
"Apa? Ini pasti tidak mungkin!"Kedua netra Nara membulat sempurna, kala di melihat isi pesan yang telah dikirimkan oleh seorang yang tak dikenalnya. Bahkan mulutnya nampak terbuka dengan lebar, hingga membuat salah satu tangannya langsung bergerak untuk menutupinya."Kenapa, Ra?" tanya Darren yang seketika penasaran.Lelaki itu benar-benar mengerenyitkan dahinya, kala ekspresi syok dari seorang wanita yang tengah berdiri di hadapannya. Ia berusaha menerka-nerka, tetapi sayangnya tak bisa."Ra? Apanya yang tidak mungkin?" tanya Darren sekali lagi, tepat ketika mendapati istri sepupunya yang masih terus bergeming.Dengan rasa percaya dan tidak percaya, Nara berusaha menetralisir perasaannya terlebih dahulu. Ia menghirup banyak-banyak pasokan oksigen yang ada di sekitarnya, hingga beberapa saat kemudian kembali beralih pada Darren yang sedari tadi menatap dirinya dengan penuh tanda tanya."Apa yang telah kau lihat, Ra?"Darren mendekat hendak melihat ke arah layar ponsel Nara, tetapi un
"Dari mana kamu dapat foto in—""Jadi itu benar, Mas?" potong Nara langsung seraya menatap serius ke arah manik mata coklat sang suami.Dimas nampak tergagap setelahnya. Pria itu terlihat banyak kehilangan kosakata, apalagi saat ini Nara terus menatapnya dengan intens meski kedua matanya masih sedikit memerah dan basah.Istri siapa yang bisa tenang atau tidak cemburu, jika tiba-tiba saja melihat sebuah foto yang menggambarkan kedekatan suaminya dengan wanita lain? Jika di dalam foto itu mereka hanya berpose sewajarnya, mungkin Nara masih bisa menerimanya. Namun yang telah dilihat Nara ini? Tentu saja ia tak bisa dengan mudah mengabaikannya, karena di sana terlihat dengan jelas bahwa tangan kekar suaminya sedang memegangi pinggang ramping wanita berpakaian minim dengan posisi wajah yang benar-benar sangat berdekatan.Ah, atau mungkin mereka berdua memang sedang saling mengecup mesra? Entah Nara tak bisa melihatnya dengan jelas, karena posisi foto itu diambil dari belakang."Sayang, ak
"Sayang, kenapa pintunya harus dikunci?" tanya seorang pria yang baru saja masuk, setelah sekian lama dirinya mengetuk pintu kamarnya sendiri dan memanggil nama sang istri.Pagi ini, Nara memang masih belum bisa terlihat ceria dari yang sebelumnya. Walau kemarin Dimas sudah menjelaskan semua kepadanya, akan tetapi entah kenapa tetap saja rasanya ia tak bisa percaya begitu saja. Dirinya belum begitu yakin apa yang telah diucapkan oleh suaminya tersebut benar atau tidak, sehingga kini benaknya masih terus memikirkannya tanpa henti."Aku sedang memberikan asi untuk Melody, Mas," kilah Nara singkat seraya menatap sang buah hati."Memberikan asi? Kenapa harus dikunci, Sayang? Aku 'kan suamimu sendiri, bahkan aku sudah lebih dulu merasakan apa yang telah dirasakan oleh anak kita."Nara diam tak mau meneruskan percakapan yang semakin ke mana-mana ini, dirinya hanya memilih menatap sang anak yang telah tertidur dengan tenang. Tanpa mempedulikan sang suami yang tengah mengembuskan napasnya den
Seperti apa yang telah Dimas katakan tadi pada Nara, kini pria yang sudah mempunyai anak satu itu berjalan menyusuri sebuah gedung besar bertingkat yang terletak di pusat kota. Dengan sepatu hitamnya, ia terus melangkah mengikuti arahan resepsionis yang sempat ditemuinya tadi. Sampai akhirnya dirinya menemukan sebuah ruangan, dan bertemu dengan seorang karyawan yang memperkenankan dirinya sebagai sekretaris rekan bisnisnya."Ini beberapa dokumennya, Pak. Semuanya bisa Bapak lihat dan baca terlebih dahulu, sebelum nanti bertemu dengan Pak Evan yang sedang berada di perjalanan," ucap wanita itu dengan sopan, seraya mundur beberapa langkah setelahnya.Dimas mengangguk, dan tak lupa juga mengucapkan terima kasih. Sesaat ia membaca semua lembar kertas itu secara sekilas, sambil sesekali memperhatikan ruangan sekitar yang nampak sangat asing baginya ini.Dulu dirinya memang selalu dinomor satukan oleh para rekan-rekan bisnisnya, akan tetapi sekarang? Tentu ia ta