"Hufftt! Bagaimana ini? Kenapa sudah jam segini, Mas Dimas belum juga kembali?"Waktu sudah menunjukkan pukul tengah malam, akan tetapi entah kenapa sampai saat ini Nara belum bisa sedikit pun memejamkan kedua matanya. Hatinya merasa tak tenang, karena sedari tadi berbagai pesan dan panggilannya tak kunjung ada yang dijawab oleh sang suami. Ia cemas, takut terjadi apa-apa di luar sana.Sementara di sisi lain, Bi Inah sudah tertidur dengan pulas. Ia tak menyalahkan wanita paruh baya itu karena sudah lebih dulu terlelap, karena dirinya cukup tahu tentang betapa lelahnya asisten rumah tangganya tersebut karena telah bekerja seharian penuh dengannya."Apa aku coba tanyakan ke Marvori saja ya?" pikir Nara setelahnya, sambil mencari nama kontak tersebut dalam ponsel.Kedua ibu telunjuknya kini berselancar cepat pada benda pipihnya itu. Ia terus menggulirkan layar ke bawah, sampai kurang lebih beberapa detik kemudian mulai terdengar suara sayup-sayup langkah kaki yang mendekat ke arah ruanga
"Apa? Ini pasti tidak mungkin!"Kedua netra Nara membulat sempurna, kala di melihat isi pesan yang telah dikirimkan oleh seorang yang tak dikenalnya. Bahkan mulutnya nampak terbuka dengan lebar, hingga membuat salah satu tangannya langsung bergerak untuk menutupinya."Kenapa, Ra?" tanya Darren yang seketika penasaran.Lelaki itu benar-benar mengerenyitkan dahinya, kala ekspresi syok dari seorang wanita yang tengah berdiri di hadapannya. Ia berusaha menerka-nerka, tetapi sayangnya tak bisa."Ra? Apanya yang tidak mungkin?" tanya Darren sekali lagi, tepat ketika mendapati istri sepupunya yang masih terus bergeming.Dengan rasa percaya dan tidak percaya, Nara berusaha menetralisir perasaannya terlebih dahulu. Ia menghirup banyak-banyak pasokan oksigen yang ada di sekitarnya, hingga beberapa saat kemudian kembali beralih pada Darren yang sedari tadi menatap dirinya dengan penuh tanda tanya."Apa yang telah kau lihat, Ra?"Darren mendekat hendak melihat ke arah layar ponsel Nara, tetapi un
"Dari mana kamu dapat foto in—""Jadi itu benar, Mas?" potong Nara langsung seraya menatap serius ke arah manik mata coklat sang suami.Dimas nampak tergagap setelahnya. Pria itu terlihat banyak kehilangan kosakata, apalagi saat ini Nara terus menatapnya dengan intens meski kedua matanya masih sedikit memerah dan basah.Istri siapa yang bisa tenang atau tidak cemburu, jika tiba-tiba saja melihat sebuah foto yang menggambarkan kedekatan suaminya dengan wanita lain? Jika di dalam foto itu mereka hanya berpose sewajarnya, mungkin Nara masih bisa menerimanya. Namun yang telah dilihat Nara ini? Tentu saja ia tak bisa dengan mudah mengabaikannya, karena di sana terlihat dengan jelas bahwa tangan kekar suaminya sedang memegangi pinggang ramping wanita berpakaian minim dengan posisi wajah yang benar-benar sangat berdekatan.Ah, atau mungkin mereka berdua memang sedang saling mengecup mesra? Entah Nara tak bisa melihatnya dengan jelas, karena posisi foto itu diambil dari belakang."Sayang, ak
"Sayang, kenapa pintunya harus dikunci?" tanya seorang pria yang baru saja masuk, setelah sekian lama dirinya mengetuk pintu kamarnya sendiri dan memanggil nama sang istri.Pagi ini, Nara memang masih belum bisa terlihat ceria dari yang sebelumnya. Walau kemarin Dimas sudah menjelaskan semua kepadanya, akan tetapi entah kenapa tetap saja rasanya ia tak bisa percaya begitu saja. Dirinya belum begitu yakin apa yang telah diucapkan oleh suaminya tersebut benar atau tidak, sehingga kini benaknya masih terus memikirkannya tanpa henti."Aku sedang memberikan asi untuk Melody, Mas," kilah Nara singkat seraya menatap sang buah hati."Memberikan asi? Kenapa harus dikunci, Sayang? Aku 'kan suamimu sendiri, bahkan aku sudah lebih dulu merasakan apa yang telah dirasakan oleh anak kita."Nara diam tak mau meneruskan percakapan yang semakin ke mana-mana ini, dirinya hanya memilih menatap sang anak yang telah tertidur dengan tenang. Tanpa mempedulikan sang suami yang tengah mengembuskan napasnya den
Seperti apa yang telah Dimas katakan tadi pada Nara, kini pria yang sudah mempunyai anak satu itu berjalan menyusuri sebuah gedung besar bertingkat yang terletak di pusat kota. Dengan sepatu hitamnya, ia terus melangkah mengikuti arahan resepsionis yang sempat ditemuinya tadi. Sampai akhirnya dirinya menemukan sebuah ruangan, dan bertemu dengan seorang karyawan yang memperkenankan dirinya sebagai sekretaris rekan bisnisnya."Ini beberapa dokumennya, Pak. Semuanya bisa Bapak lihat dan baca terlebih dahulu, sebelum nanti bertemu dengan Pak Evan yang sedang berada di perjalanan," ucap wanita itu dengan sopan, seraya mundur beberapa langkah setelahnya.Dimas mengangguk, dan tak lupa juga mengucapkan terima kasih. Sesaat ia membaca semua lembar kertas itu secara sekilas, sambil sesekali memperhatikan ruangan sekitar yang nampak sangat asing baginya ini.Dulu dirinya memang selalu dinomor satukan oleh para rekan-rekan bisnisnya, akan tetapi sekarang? Tentu ia ta
Di sepanjang perjalanan, Dimas tak berhenti mengurut keningnya. Saat ini dirinya benar-benar pening. Ia tak tahu keputusan apa yang harus diambilnya, karena terlalu banyak pertimbangan yang tengah dipikirkannya.Lanjut atau tidak?Pertanyaan itu terus-menerus berputar di benaknya saat ini.Kalau lanjut, mungkin dirinya dan perusahaannya bisa dengan mudah dijebak oleh Evan. Akan tetapi kalau tidak, sudah pasti kondisi keuangannya dan juga perusahaannya akan lebih cepat hancur dari perkiraannya.Sungguh, ini benar-benar bagai buah simalakama!Rasanya tak ada pilihan yang lebih baik menurut Dimas, karena biar bagaimanapun dirinya masih belum bisa percaya dengan Evan yang sudah menorehkan kenangan buruk pada adik perempuan dan juga istrinya.Bughhh!"Akhh! Apa yang harus aku putuskan?!"Dimas berteriak kencang melampiaskan emosi, tepat setelah memukul setir mobilnya yang tak bersalah. Saat ini dirinya masih berada d
"Apa? Jadi seperti itu? Bagaimana bisa, Mas? Setahu aku ...."Nara kehilangan kata-kata, tepat setelah mendengar semua keluh kesah sang suami. Di sepanjang Dimas bercerita, kedua netranya benar-benar tak berhenti membulat terkejut. Bahkan kedua tangannya sampai saat ini masih berada di depan bibirnya untuk menutupi mulutnya yang terbuka lebar."Aku juga tidak tahu kenapa hal ini bisa terjadi, Sayang. Awalnya aku menganggap salah dugaanku, akan tetapi nyatanya memang dia orangnya. Dia yang benar-benar menjalankan perusahaan itu sekarang, bahkan aku sudah menanyakannya langsung melalui sambungan telepon dengan rekan bisnisku yang mempunyai perusahaan itu tadi," jelas Dimas yang semakin terlihat lesu tak bersemangat.Meski juga tak bisa percaya, Nara tetap mengangguk. Otaknya masih mencoba berpikir, kenapa orang seperti mantan suaminya bisa bekerja di salah satu perusahaan yang sedang sangat dibutuhkan oleh suaminya. Ini benar-benar tak pernah diduganya sebel
Cupp!"Iya, Sayang. Kalau begitu aku pulang dulu," ucap Bella yang kembali mengambil kesempatan, bergelayut manja di lengan sang suami.Untung saja kali ini Dimas sudah bisa menduganya, sehingga dengan cepat dirinya mengalihkan pandangan ke arah lain agar tak menyaksikan kemesraan yang sangat menggangu konsentrasinya pagi ini.Seperti apa yang telah dikatakan oleh Nara kemarin, kali ini Dimas benar-benar mengesampingkan masalah pribadinya terlebih dahulu demi perusahaannya. Ia membahas dengan serius proyek barunya bersama Evan. Dan untungnya, selama pembahasan itu pria yang ada di hadapannya tersebut juga tak melakukan hal-hal atau pun mengeluarkan celotehan yang membuat kesabarannya menghilang."Baiklah, menurut saya ini sudah cukup! Anda sudah merencanakan semuanya dengan baik, sehingga nanti kita tinggal tunggu saja hasilnya. Mudah-mudahan program acara yang kita buat nanti bisa menarik banyak perhatian dari orang-orang, terutama kalangan muda!