Di sepanjang perjalanan, Dimas tak berhenti mengurut keningnya. Saat ini dirinya benar-benar pening. Ia tak tahu keputusan apa yang harus diambilnya, karena terlalu banyak pertimbangan yang tengah dipikirkannya.
Lanjut atau tidak?Pertanyaan itu terus-menerus berputar di benaknya saat ini.Kalau lanjut, mungkin dirinya dan perusahaannya bisa dengan mudah dijebak oleh Evan. Akan tetapi kalau tidak, sudah pasti kondisi keuangannya dan juga perusahaannya akan lebih cepat hancur dari perkiraannya.Sungguh, ini benar-benar bagai buah simalakama!Rasanya tak ada pilihan yang lebih baik menurut Dimas, karena biar bagaimanapun dirinya masih belum bisa percaya dengan Evan yang sudah menorehkan kenangan buruk pada adik perempuan dan juga istrinya.Bughhh!"Akhh! Apa yang harus aku putuskan?!"Dimas berteriak kencang melampiaskan emosi, tepat setelah memukul setir mobilnya yang tak bersalah. Saat ini dirinya masih berada d"Apa? Jadi seperti itu? Bagaimana bisa, Mas? Setahu aku ...."Nara kehilangan kata-kata, tepat setelah mendengar semua keluh kesah sang suami. Di sepanjang Dimas bercerita, kedua netranya benar-benar tak berhenti membulat terkejut. Bahkan kedua tangannya sampai saat ini masih berada di depan bibirnya untuk menutupi mulutnya yang terbuka lebar."Aku juga tidak tahu kenapa hal ini bisa terjadi, Sayang. Awalnya aku menganggap salah dugaanku, akan tetapi nyatanya memang dia orangnya. Dia yang benar-benar menjalankan perusahaan itu sekarang, bahkan aku sudah menanyakannya langsung melalui sambungan telepon dengan rekan bisnisku yang mempunyai perusahaan itu tadi," jelas Dimas yang semakin terlihat lesu tak bersemangat.Meski juga tak bisa percaya, Nara tetap mengangguk. Otaknya masih mencoba berpikir, kenapa orang seperti mantan suaminya bisa bekerja di salah satu perusahaan yang sedang sangat dibutuhkan oleh suaminya. Ini benar-benar tak pernah diduganya sebel
Cupp!"Iya, Sayang. Kalau begitu aku pulang dulu," ucap Bella yang kembali mengambil kesempatan, bergelayut manja di lengan sang suami.Untung saja kali ini Dimas sudah bisa menduganya, sehingga dengan cepat dirinya mengalihkan pandangan ke arah lain agar tak menyaksikan kemesraan yang sangat menggangu konsentrasinya pagi ini.Seperti apa yang telah dikatakan oleh Nara kemarin, kali ini Dimas benar-benar mengesampingkan masalah pribadinya terlebih dahulu demi perusahaannya. Ia membahas dengan serius proyek barunya bersama Evan. Dan untungnya, selama pembahasan itu pria yang ada di hadapannya tersebut juga tak melakukan hal-hal atau pun mengeluarkan celotehan yang membuat kesabarannya menghilang."Baiklah, menurut saya ini sudah cukup! Anda sudah merencanakan semuanya dengan baik, sehingga nanti kita tinggal tunggu saja hasilnya. Mudah-mudahan program acara yang kita buat nanti bisa menarik banyak perhatian dari orang-orang, terutama kalangan muda!
Tak terasa sudah tiga bulan berlalu dengan begitu cepat. Melody yang tadinya terlihat sangat mungil di mata Nara, kini sudah menjadi anak bayi gembul yang terlihat semakin menggemaskan. Media sosial Nara yang tadinya sempat lama vakum pun, kini sudah mulai kembali ramai dengan beberapa konten review yang dibuatnya dan juga konten kesehariannya yang merawat sang anak. Begitu pula dengan proyek acara baru kerja sama Dimas dan Evan, sejauh ini semuanya berjalan dengan lancar. Walau di tengah jalan mantan suami Nara itu sempat berduka karena katanya Bella sempat mengalami keguguran. Namun ternyata sama sekali tak berpengaruh apa pun, perlahan-lahan semua kecurigaan buruk Nara dan Dimas teredam begitu saja. Bahkan rencananya, malam ini akan diadakan sebuah acara kecil-kecilan untuk menyambut peluncuran yang akan dilakukan hari esok setelah lamanya persiapan yang telah dilakukan di balik layar."Bagaimana, Bi? Apa bisa? Maaf aku jadi merepotkan Bibi ya, karena tadi aku harus mengurus Melod
"Nara! Tunggu, Sayang! Kamu mau ke mana?!"Teriakan Dimas seolah tak berarti bagi Nara, karena wanita itu sudah lebih dulu berlari mengejar kepergian Evan yang sudah berbuat kasar pada istrinya sendiri. Nara yang melihat kejadian itu di depan matanya, benar-benar merasa tak bisa diam begitu saja. Ia ingin memperingati pria tersebut, karena sifatnya yang selalu saja kasar pada perempuan tak kunjung berubah.Dulu dirinya, sekarang Bella. Esok, siapa lagi?Walau Bella telah berbuat jahat padanya, akan tetapi Nara tentu tak tega juga dengan wanita itu. Apalagi belum ada dua bulan ke belakang ini wanita itu baru saja keguguran. Sehingga ia tahu seperti apa rasa sakit hati dan fisiknya, ketika diperlakukan kasar oleh pria yang masih berstatus sebagai suaminya sendiri."Evan! Tunggu!" teriak Nara menghentikan langkah kaki pria itu.Dengan langsung menoleh ke belakang, kedua alis Evan pun mengerenyit. Ia cukup merasa terkejut, karena baru kali in
"Ada apa, Sayang? Apa yang telah mengganggu pikiranmu?" Dimas akhirnya bertanya seraya mendekap pelan tubuh sang istri dari belakang. Selama di perjalanan pulang tadi, ia memang sempat memperhatikan istrinya yang terus terdiam dan seperti tengah memikirkan sesuatu. Namun sayang yang didapatkannya saat ini hanyalah sebuah gelengan singkat, dan usapan lembut di lengannya.Dalam kepala cantiknya, Nara memang masih terbayang-bayang dengan ucapan Evan dan Bella. Dirinya berpikir, apakah benar ia hanya memanfaatkan suaminya saja? Apakah dirinya memang sejahat itu? Lalu, bagaimana jika suatu saat nanti suaminya yang sangat baik padanya ini akan berpaling pada wanita lain yang jauh lebih baik darinya? Entah kenapa Nara semakin merasa tak percaya diri, seiiring dengan bayang-bayang ucapan Bella dan Evan yang terus menggema di telinganya."Sayang? Apa yang telah aku tidak ketahui?" tanya Dimas sekali lagi, seraya mencuri sebuah kecupan singkat di bibir merah menggo
"Apa maksudmu? Kenapa Bi Inah bisa akan tahu itu? Jangan sembarang asal tuduh Darren!"Dimas tiba-tiba muncul dari balik pintu dengan tatapan tajamnya yang penuh menyelidik. Langkahnya yang perlahan pasti mendekat, kian membuat nyali perempuan paruh baya yang sudah lama mengabdikan dirinya pada keluarga besar itu pun semakin menciut. Bi Inah sekarang hanya bisa menunduk dalam, tanpa bisa berkata-kata atau pun membela dirinya sendiri."Aku? Asal tuduh?" ucap Darren tak terima."Ya! Kau jelas mengada-ngada! Mana mungkin orang seperti Bi Inah tahu tentang perusahaan ayahku yang telah direbut oleh orang tuamu!"Darren tersenyum miring setelahnya. Ia mengamati sesaat wajah Bi Inah yang semakin terlihat ketar-ketir, dan kembali memusatkan perhatiannya pada sang saudara sepupu."Lebih baik kau sekarang pulang, Darren! Kedatanganmu sangat mengganggu rumah ini! Apalagi sekarang sudah ada Melody yang sangat sensitif dengan suara keributan!" tegas Dimas tepat di hadapan wajah Darren yang bergemi
"Tunggu!"Nara berteriak, mencegah kepergian Bi Inah. Dengan tergesa-gesa, ia langsung menahan salah satu tangan perempuan paruh baya tersebut seraya menatapnya dengan penuh harap."Tidak bisakah semua ini dibicarakan secara baik-baik terlebih dahulu, Mas? Biar bagaimanapun kita harus selesai masalah ini dengan kepala dingin, bukan seperti di saat situasi tegang dan kacau seperti ini!" pintanya dengan pandangan yang mulai berkaca-kaca.Masih dengan adanya Melody di dekapannya, Nara melangkah menghampiri sang suami. Ia berharap agar Dimas bisa merubah keputusannya, atau setidaknya pria itu mau memberikan kelonggaran waktu sebelum benar-benar mengusir Bi Inah dari tempat ini.Walau sebenarnya Nara tahu bahwa sekarang suaminya sedang sangat hancur dan terkejut dengan semua kenyataan ini, akan tetapi tetap saja dirinya tidak mau membiarkan semua masalah ini semakin memburuk. Menurutnya semua itu masih bisa dibicarakan dengan baik-baik, meskipun pastinya sangat sulit sekali mengalahkan ego
Sementara itu di sebuah hotel di pusat kota, terdapat seorang pria yang tengah tertidur dengan pulas di atas sebuah ranjang besar dengan pakaiannya yang terlihat sedikit acak-acakan. Seorang wanita yang baru saja membawanya ke tempat ini terlihat tersenyum penuh kemenangan, hingga akhirnya tatapannya pada pria itu teralihkan berkat panggilan masuk dari seseorang."Bagaimana?" tanya seseorang dari sambungan telepon."Semuanya berjalan sesuai rencana! Tapi, aku masih kesal denganmu! Kenapa sangat mendadak seperti ini sih? Karenamu aku jadi tidak mempunyai persiapan yang lebih, sehingga aku hanya memasukkan obat tidur saja dalam minumannya!"Wanita itu berdecak kesal, karena perintah mendadak yang ditujukan padanya. Andai saja lawan bicara teleponnya ini mengutarakan rencananya dari jauh-jauh hari, sudah pasti dirinya memasukkan obat lain yang akan membuat malamnya detik ini menjadi lebih panas dan menyenangkan."Hahaha! Itu semua salahmu yang tidak cekatan!" ejek sosok lelaki itu dari