"Ingat perkataanku baik-baik ya! Aku tidak akan segan-segan menuduhmu, jika sampai terjadi hal buruk!""Oh, ya? Kalau begitu saya juga tidak akan segan-segan untuk menuduh Anda sebagai pembunuh, jika Nara atau pun anak yang ada di dalam kandungannya tak terselamatkan!" balas sosok itu tersenyum tak mau kalah.Deghh!Bi Inah terdiam, seraya mendengkus kesal. Bisa-bisanya ucapannya dibalikkan dengan mudah oleh sosok yang umurnya jauh lebih muda darinya itu. Sampai akhirnya karena tak mau membuang waktu lagi, dengan segera ia berbalik dan memberikan instruksi pada beberapa rekan kerjanya untuk segera membawa Nyonya Dimas Aditya itu masuk ke dalam mobil merah yang ada di belakangnya."Darren! Ah, terima kasih karena telah memberikanku tumpangan!" ucap Nara dengan napasnya yang semakin tersengal."Tidak apa-apa, Ra. Ini semua 'kan demi calon keponakanku," jawab sosok itu tersenyum dengan santai, seraya hendak kembali menuju kursi kemudinya.Bi Inah yang melihat hal itu pun, kini lagi-lagi
"Tunggu dulu! Jangan terlalu terburu-buru!" hentak Haris yang seketika ikut beranjak dari tempat duduknya.Pria kembali menyesap batang rokoknya sesaat, dan menghampiri Evan yang tengah terdiam menunggu apa yang akan dikatakannya setelahnya."Aku punya penawaran yang bagus untukmu, bagaimana?" tawar pria berperut buncit itu, seraya menyeringai penuh misterius.Dari kejauhan, Dimas semakin penasaran apa yang telah pria pengusaha kaya itu katakan pada Evan. Namun sayang kenyataannya pria tersebut malah berbicara berbisik, sehingga setelahnya ia tak mendengar apa-apa selain dari tawa renyah yang terdengar sangat tak lucu."Aku mau lebih dari itu!""What?!""Iya! Kenapa? Tidak bisa?" tutur Evan yang kini berbalik mentertawakan lawan bicaranya.Terlihat jelas di mata Dimas saat ini, bahwa Haris bertingkah seperti seorang yang sedang menimbang urusan penting. Entah apa yang ingin diminta lebih oleh Evan, ia tak tahu. Namun yang jelas, dari semua ini nampaknya mereka berdua telah sama-sama m
"Apa maksudmu? Kau hanya mengancamku saja 'kan?"Darren terkekeh setelahnya. Dirinya sama sekali tak menganggap serius ucapan wanita paruh baya yang ada di hadapannya, karena selama ini ia sudah berusaha sebisa mungkin untuk bermain dengan cara yang sangat bersih.Sementara untuk Bi Inah sendiri, wanita itu tak mempedulikan kekehan renyah tersebut. Ia langsung membuktikan ucapannya dengan merogoh saku untuk mengambil ponsel. Hingga setelahnya, Bi Inah langsung menunjukkan salah satu bukti rekaman video yang baru saja didapatkannya beberapa hari yang lalu."Bagaimana? Sudah jelas ini dirimu, Darren! Sebelum kau mendatangi kediaman Tuan Dimas waktu itu, ternyata kau sudah rutin lalu-lalang untuk mencari tahu keadaan sekitar. Dan di video itu, sudah jelas kau sendiri yang melakukan pelemparan batu malam itu! Aku mendapati rekaman ini secara tidak sengaja, dan ini hanyalah sebagian kecil saja dari bukti yang kumiliki!" geram Bi Inah tak tertahankan lagi.Habis sudah kesabaran Bi Inah deti
“Tidak! Ini tidak mungkin! Kenapa harus memilih salah satu di antara mereka?! Mereka berdua harus diselamatkan, Dok!” ujar Dimas frustasi, seraya mengusap gusar wajahnya. Lembaran kertas yang ada di hadapannya, sungguh bagaikan kertas penentu nasibnya. Dimas tak pernah menyangka, kalau selama ini Nara membohongi hasil pemeriksaannya. Selama ini, istrinya tersebut mengatakan semua hal yang baik-baik saja tentang kandungannya. Nara tak pernah mengeluh tentang apa yang telah dideritanya, dan selalu terlihat sehat seperti biasa di hadapannya. Namun siapa sangka, ternyata di balik itu semua istrinya itu malah menyembunyikan sesuatu yang telah diwanti-wanti oleh dokter sebelumnya. “Maaf, Pak. Kami pasti akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan istri dan anak Bapak. Namun keputusan ini tetap harus diambil, Pak. Ada sesuatu yang mungkin tidak berjalan dengan harapan dan segala usaha kita, dan di saat yang seperti itulah terkadang kita harus terpaksa memilih salah satu di antara
Sayup-sayup terdengar suara dentingan yang cukup mengganggu, membuat seseorang terganggu dari tidur panjangnya dan bergerak hendak membuka kedua matanya.Walau itu sangat sulit untuk dilakukannya, akan tetapi ia tetap berusaha. Rasa penasarannya sudah terlanjur membumbung tinggi, hingga sedetik kemudian dahinya mengernyit. Dirinya heran, karena hanya mendapati beberapa suster yang sedang membereskan beberapa alat-alat di sekitarnya."Sus ...."Sebenarnya ada banyak kata-kata yang ingin Nara lontarkan, akan tetapi sayangnya saat ini tenggorokannya terasa sangat kering sekali. Seluruh tubuhnya juga sedikit sulit digerakkan, hingga dirinya tak bisa berbuat banyak selain mengungkapkan panggilan itu."Bu Nara? Syukurlah Ibu sudah sadar," ucap suster tersebut seraya tersenyum lega ke arah pasiennya.Nara mengangguk, akan tetapi itu bukan kata-kata pertama yang diharapkannya. Untuk saat ini, ia hanya ingin tahu keadaan anaknya. Dirinya ingin bertemu dengan sosok mungil yang baru saja dilahir
"Mas ...."Nara tak mampu menyelesaikan kata-katanya lagi, seiiring dengan luruhnya semua kekuatan yang ada di dalam dirinya. Kedua kakinya yang masih membengkak, tak mampu menopang bobot tubuhnya lagi. Nara terjatuh saat itu juga, karena tak tega melihat keadaan sang buah hati yang tengah tertidur pulas dengan berbagai alat kesehatan yang ada di sisinya."Dokter dan timnya akan mengupayakan segala yang terbaik untuk anak kita, Sayang. Percayalah, semua pasti akan baik-baik saja," ucap Dimas seraya mendekap erat tubuh bergetar sang istri.Nara tak tahu ingin berkata apa lagi, saat ini dirinya hanya bisa menangis tersedu-sedu melihat keadaan anaknya yang sedang tak baik-baik saja di dalam sana. Sungguh, hati Nara terasa perih sekali. Ia tak tega melihat anaknya seperti ini, rasanya ingin dirinya saja yang menggantikan semua itu. Namun sayang, semua yang diinginkannya tersebut tentu hanya bisa menjadi angan belaka."Maafkan aku, Mas," lirih Nara yang seketika merasa bersalah.Dengan is
"Untuk apa kau masih di sini?"Satu pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir Dimas, tanpa menoleh sedikit pun ke arah seorang lelaki yang baru saja datang dan berdiri di sampingnya. Walau belum melihat wajahnya langsung, tetapi sosok itu terlalu mudah untuk Dimas tebak. Sehingga tanpa mau berbasa-basi lagi, dirinya langsung menanyakan tujuan keberadaan lelaki tersebut di sini."Wow! Tenang, Brother! Kau ini sudah menjadi ayah, jadi jagalah sedikit tutur katamu," balas Darren tersenyum, seraya menepuk sekilas pundak tegap sepupunya itu.Hingga dengan cepat Dimas menipisnya, dan mendengkus ke arah lelaki tersebut. "Jangan mengajariku!""Iya, iya! Aku tidak mengajarimu, hanya saja sedang mencoba mengingatkan," elak Darren dengan memutar kedua manik matanya jengah.Setelahnya, tak ada percakapan lagi. Kedua lelaki itu sama-sama terdiam, di sebuah lorong kosong tersebut. Dan masih sama-sama sesekali melirik ke arah dalam, di mana di sana Nara sedang tertidur pulas.Ya, wanita yang baru
"Oweekk! Oweekk!"Suara tangis anak bayi, kini menggema mengelilingi seluruh ruang rawat inap Nara. Dengan kedua netranya yang masih terpejam, badan mungil itu terlihat sedikit menggeliat, membuat wanita yang tengah menggendongnya rela tak berkedip menatapnya."Sayang! Ini mama, Sayang! Apa kabar? Akhirnya mama bisa melihat dan menggendongmu seperti ini!" tutur Nara dengan sebuah senyuman yang tak luntur dari wajah polosnya tanpa makeup.Seolah sedang menyimak apa yang sedang mamanya katakan, seketika saja tangis bayi mungil itu terhenti. Badannya yang tadi bergerak-gerak, kini nampak terlihat diam dan nyaman berada di pelukan Nara. Hingga setelahnya, terlihat bibir mungil tersebut terlihat terbuka dan bergerak-gerak lucu.Sungguh demi apa pun, ini adalah momen yang paling bahagia bagi Nara setelah pernikahannya dengan Dimas. Segala rasa takut dan khawatirnya seketika sirna begitu saja, seiring dengan hadirnya sang buah hati di sisinya.Y
"Nara? Hey? Bangun, Sayang! Tolong bangun!"Sayup-sayup suara terdengar, membuat Nara perlahan membuka kedua netranya. Dengan menahan rasa sakit di sekujur tubuh, Nara langsung melihat sekeliling. Dahinya mengernyit kala menyadari sekitarnya yang terbalik, hingga setelahnya mendapati seutas senyum tulus dari seseorang yang sama sekali tak disangkanya."Mas? Mas, aku ... Awhh!""Sabar, Sayang! Tolong berikan Melody dulu," ucap Dimas pelan, seraya mengulurkan kedua tangannya.Dengan situasi yang masih terhimpit, Nara pun berusaha menyerahkan Melody yang tengah menangis pada sang suami. Dirinya berusaha tenang, meski saat ini ia melihat Evan yang masih belum tersadar dengan beberapa bercak kemerahan di dahinya.Mobil yang ditumpangi Nara memang sempat terpelanting cukup jauh. Mobil itu rusak berat dalam kondisi yang terbalik, setelah Evan sempat dengan cepat memutar setir kendaraan di saat Bella berusaha menabraknya.Ah, iya. Mengingat Bella, bagaimana keadaan wanita itu sekarang? Nara t
Keesokan harinya berita tentang pembunuhan Haris pun kian tersebar meluas ke seluruh penjuru setiap kota. Beberapa stasiun televisi dan media cetak pun tak luput menyorotinya, terlebih sebuah nama yang ikut terseret dalam kasus pembunuhan pengusaha kaya raya itu adalah seorang mantan artis papan atas yang telah dinikahi oleh pemilik rumah produksi terkenal yang kini sedang berada di ambang kebangkrutan.Anara Aditya, nama itulah yang kini menjadi puncak pembicaraan seluruh orang. Kini wanita itu telah menjadi buronan polisi, terlebih setelah Bella mengungkapkan berbagai keterangan mengejutkan yang sangat menghebohkan publik.Ada yang yang percaya begitu saja dengan mudah, dan ada juga yang sama sekali tak menyangka. Sama halnya dengan apa yang dirasakan oleh Dimas saat ini. Pria itu semakin memijat pelipisnya yang terasa sangat pusing, seraya terus berusaha melacak keberadaan sang istri dengan secepat mungkin."Bagaimana? Apa kau telah mendapatkan kabar tentang keberadaannya?" tanya D
Suara mobil polisi langsung berbunyi setelahnya. Di mana hal tersebut tentu membuat Nara dan Bu Inah menoleh panik. Rasanya percakapan mereka tak bisa diteruskan lagi, sehingga dengan cepat Evan segera memutar dan menyuruh ketiga perempuan berbeda generasi itu untuk masuk ke dalam mobilnya."Baiklah, kita jalan sekarang!"Tak ada lagi perdebatan, Bu Inah dan Nara pun akhirnya duduk terdiam bersisian. Saat ini yang terpenting memang hanyalah kabur sejauh mungkin. Nara tentu tak mungkin menyerah begitu saja, karena pasti Bella akan membuatnya terlihat bersalah di hadapan seluruh orang dengan seluruh upaya yang dilakukannya."Maaf karena telah membuat kalian berdua seperti ini," lirih Nara pelan, tepat setelah menidurkan Melody di dekapannya.Dengan mencoba menahan tangisnya, Nara mengeratkan pelukannya pada sang buah hati. Bibirnya bergetar, menahan semua rasa pening dan sakit. Sehingga membuat Bu Inah yang melihatnya pun tak tega, dan segera langsung memeluk dan menenangkannya."Tidak
Bella tersenyum sekilas sebelum akhirnya berlari dan berteriak seolah mencari pertolongan. Sementara Nara, wanita itu masih terdiam dengan ekspresi syok yang tak dapat ditahannya lagi. Seluruh tubuhnya benar-benar membeku, melihat Haris tergeletak tak berdaya di hadapannya dengan cairan kental kemerahan yang mengalir dengan deras dari belakang tengkuknya."Tidak! Apa yang harus aku lakukan?!"Nara berteriak dengan sekujur tubuh yang bergetar ketakutan. Sungguh, sebenarnya ia ingin segera pergi dari tempat ini. Namun di sisi lain, dirinya juga tak tega meninggalkan Haris begitu saja sebelum benar-benar memastikan pria itu telah ditangani oleh tangan yang tepat."Stop! Jangan sentuh dia! Sebaiknya kau sekarang segera pergi dari tempat ini, Nara!"Nara terperanjat, kala mendengar suara Evan yang tergesa-gesa dan mendapatkan tarikan dari pria itu. Entah sejak kapan mantan suaminya tersebut ada di tempat ini, dirinya tak tahu. Yang jelas saat ini Evan sama sekali tak memberikannya jeda wak
Dengan langkah tergesa-gesa, Nara langsung mengecek satu persatu semua nomor pintu kamar hotel yang telah dilewatinya. Ia sungguh tak sabar ingin segera bertemu dengan sang suami, apalagi tadi di telepon Bella sempat menangis sesenggukan tanpa menjelaskan sebab."Kamar 207! Tidak salah lagi ini pasti tempatnya!" Nara bergumam pelan, sambil melihat ke arah celah pintu yang tak tertutup rapat tersebut. Dirinya merasa sangat penasaran, tetapi ragu ingin masuk begitu saja atau tidak. Biar bagaimanapun Nara bukanlah wanita yang polos, ia tahu hal apa saja yang biasa dilakukan jika seorang wanita dan pria berada di dalam kamar hotel yang sama. Terlebih tadi, Bella sempat mengabarkan bahwa suaminya itu dalam keadaan yang mabuk berat."Tidak! Aku harus percaya dengan Mas Dimas!" gumam wanita itu berusaha membuyarkan pikiran buruknya.Dengan menarik napas terlebih dahulu, Nara pun akhirnya mengetuk pintu. Ia berusaha mempersiapkan mental sebelum mengetahui apa pun yang tengah terjadi di dalam
Sementara itu di sebuah hotel di pusat kota, terdapat seorang pria yang tengah tertidur dengan pulas di atas sebuah ranjang besar dengan pakaiannya yang terlihat sedikit acak-acakan. Seorang wanita yang baru saja membawanya ke tempat ini terlihat tersenyum penuh kemenangan, hingga akhirnya tatapannya pada pria itu teralihkan berkat panggilan masuk dari seseorang."Bagaimana?" tanya seseorang dari sambungan telepon."Semuanya berjalan sesuai rencana! Tapi, aku masih kesal denganmu! Kenapa sangat mendadak seperti ini sih? Karenamu aku jadi tidak mempunyai persiapan yang lebih, sehingga aku hanya memasukkan obat tidur saja dalam minumannya!"Wanita itu berdecak kesal, karena perintah mendadak yang ditujukan padanya. Andai saja lawan bicara teleponnya ini mengutarakan rencananya dari jauh-jauh hari, sudah pasti dirinya memasukkan obat lain yang akan membuat malamnya detik ini menjadi lebih panas dan menyenangkan."Hahaha! Itu semua salahmu yang tidak cekatan!" ejek sosok lelaki itu dari
"Tunggu!"Nara berteriak, mencegah kepergian Bi Inah. Dengan tergesa-gesa, ia langsung menahan salah satu tangan perempuan paruh baya tersebut seraya menatapnya dengan penuh harap."Tidak bisakah semua ini dibicarakan secara baik-baik terlebih dahulu, Mas? Biar bagaimanapun kita harus selesai masalah ini dengan kepala dingin, bukan seperti di saat situasi tegang dan kacau seperti ini!" pintanya dengan pandangan yang mulai berkaca-kaca.Masih dengan adanya Melody di dekapannya, Nara melangkah menghampiri sang suami. Ia berharap agar Dimas bisa merubah keputusannya, atau setidaknya pria itu mau memberikan kelonggaran waktu sebelum benar-benar mengusir Bi Inah dari tempat ini.Walau sebenarnya Nara tahu bahwa sekarang suaminya sedang sangat hancur dan terkejut dengan semua kenyataan ini, akan tetapi tetap saja dirinya tidak mau membiarkan semua masalah ini semakin memburuk. Menurutnya semua itu masih bisa dibicarakan dengan baik-baik, meskipun pastinya sangat sulit sekali mengalahkan ego
"Apa maksudmu? Kenapa Bi Inah bisa akan tahu itu? Jangan sembarang asal tuduh Darren!"Dimas tiba-tiba muncul dari balik pintu dengan tatapan tajamnya yang penuh menyelidik. Langkahnya yang perlahan pasti mendekat, kian membuat nyali perempuan paruh baya yang sudah lama mengabdikan dirinya pada keluarga besar itu pun semakin menciut. Bi Inah sekarang hanya bisa menunduk dalam, tanpa bisa berkata-kata atau pun membela dirinya sendiri."Aku? Asal tuduh?" ucap Darren tak terima."Ya! Kau jelas mengada-ngada! Mana mungkin orang seperti Bi Inah tahu tentang perusahaan ayahku yang telah direbut oleh orang tuamu!"Darren tersenyum miring setelahnya. Ia mengamati sesaat wajah Bi Inah yang semakin terlihat ketar-ketir, dan kembali memusatkan perhatiannya pada sang saudara sepupu."Lebih baik kau sekarang pulang, Darren! Kedatanganmu sangat mengganggu rumah ini! Apalagi sekarang sudah ada Melody yang sangat sensitif dengan suara keributan!" tegas Dimas tepat di hadapan wajah Darren yang bergemi
"Ada apa, Sayang? Apa yang telah mengganggu pikiranmu?" Dimas akhirnya bertanya seraya mendekap pelan tubuh sang istri dari belakang. Selama di perjalanan pulang tadi, ia memang sempat memperhatikan istrinya yang terus terdiam dan seperti tengah memikirkan sesuatu. Namun sayang yang didapatkannya saat ini hanyalah sebuah gelengan singkat, dan usapan lembut di lengannya.Dalam kepala cantiknya, Nara memang masih terbayang-bayang dengan ucapan Evan dan Bella. Dirinya berpikir, apakah benar ia hanya memanfaatkan suaminya saja? Apakah dirinya memang sejahat itu? Lalu, bagaimana jika suatu saat nanti suaminya yang sangat baik padanya ini akan berpaling pada wanita lain yang jauh lebih baik darinya? Entah kenapa Nara semakin merasa tak percaya diri, seiiring dengan bayang-bayang ucapan Bella dan Evan yang terus menggema di telinganya."Sayang? Apa yang telah aku tidak ketahui?" tanya Dimas sekali lagi, seraya mencuri sebuah kecupan singkat di bibir merah menggo