"Mas ...."Nara tak mampu menyelesaikan kata-katanya lagi, seiiring dengan luruhnya semua kekuatan yang ada di dalam dirinya. Kedua kakinya yang masih membengkak, tak mampu menopang bobot tubuhnya lagi. Nara terjatuh saat itu juga, karena tak tega melihat keadaan sang buah hati yang tengah tertidur pulas dengan berbagai alat kesehatan yang ada di sisinya."Dokter dan timnya akan mengupayakan segala yang terbaik untuk anak kita, Sayang. Percayalah, semua pasti akan baik-baik saja," ucap Dimas seraya mendekap erat tubuh bergetar sang istri.Nara tak tahu ingin berkata apa lagi, saat ini dirinya hanya bisa menangis tersedu-sedu melihat keadaan anaknya yang sedang tak baik-baik saja di dalam sana. Sungguh, hati Nara terasa perih sekali. Ia tak tega melihat anaknya seperti ini, rasanya ingin dirinya saja yang menggantikan semua itu. Namun sayang, semua yang diinginkannya tersebut tentu hanya bisa menjadi angan belaka."Maafkan aku, Mas," lirih Nara yang seketika merasa bersalah.Dengan is
"Untuk apa kau masih di sini?"Satu pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir Dimas, tanpa menoleh sedikit pun ke arah seorang lelaki yang baru saja datang dan berdiri di sampingnya. Walau belum melihat wajahnya langsung, tetapi sosok itu terlalu mudah untuk Dimas tebak. Sehingga tanpa mau berbasa-basi lagi, dirinya langsung menanyakan tujuan keberadaan lelaki tersebut di sini."Wow! Tenang, Brother! Kau ini sudah menjadi ayah, jadi jagalah sedikit tutur katamu," balas Darren tersenyum, seraya menepuk sekilas pundak tegap sepupunya itu.Hingga dengan cepat Dimas menipisnya, dan mendengkus ke arah lelaki tersebut. "Jangan mengajariku!""Iya, iya! Aku tidak mengajarimu, hanya saja sedang mencoba mengingatkan," elak Darren dengan memutar kedua manik matanya jengah.Setelahnya, tak ada percakapan lagi. Kedua lelaki itu sama-sama terdiam, di sebuah lorong kosong tersebut. Dan masih sama-sama sesekali melirik ke arah dalam, di mana di sana Nara sedang tertidur pulas.Ya, wanita yang baru
"Oweekk! Oweekk!"Suara tangis anak bayi, kini menggema mengelilingi seluruh ruang rawat inap Nara. Dengan kedua netranya yang masih terpejam, badan mungil itu terlihat sedikit menggeliat, membuat wanita yang tengah menggendongnya rela tak berkedip menatapnya."Sayang! Ini mama, Sayang! Apa kabar? Akhirnya mama bisa melihat dan menggendongmu seperti ini!" tutur Nara dengan sebuah senyuman yang tak luntur dari wajah polosnya tanpa makeup.Seolah sedang menyimak apa yang sedang mamanya katakan, seketika saja tangis bayi mungil itu terhenti. Badannya yang tadi bergerak-gerak, kini nampak terlihat diam dan nyaman berada di pelukan Nara. Hingga setelahnya, terlihat bibir mungil tersebut terlihat terbuka dan bergerak-gerak lucu.Sungguh demi apa pun, ini adalah momen yang paling bahagia bagi Nara setelah pernikahannya dengan Dimas. Segala rasa takut dan khawatirnya seketika sirna begitu saja, seiring dengan hadirnya sang buah hati di sisinya.Y
Tokk! Tokk! Tokk!Pintu itu diketuk, sebelum akhirnya dibuka oleh seseorang. Melihat siapa yang sudah datang, Nara tersenyum hangat padanya. Ia menyuruh sosok itu mendekat, dan duduk di sebuah kursi kosong yang ada di pinggir ranjangnya."Maaf karena Bibi baru sempat menemui Nyonya sekarang," tutur sosok tersebut seraya menatap lembut pada bayi mungil yang kini masih tertidur dengan lelap."Tidak apa-apa, Bi. Mas Dimas sudah memberitahuku sebelumnya. Maaf ya, Bi. Bibi jadi repot seperti ini, apalagi Mas Dimas pasti mendadak bawel 'kan pada Bibi?""Tidak apa-apa, Nyonya. Justru bibi merasa sangat senang, karena akhirnya bisa melihat sosok mungil yang sangat lucu ini. Walau sangat repot, akan tetapi bibi ikut sangat bahagia. Bibi jadi merasa punya semangat baru sekarang," ucap wanita paruh baya itu seraya terus memandangi Melody.Mendengar penuturan itu, Nara pun kian semakin tersenyum. Ia merasa sangat bersyukur, karena ternyata Bi Inah be
"Apa?"Seketika saja tubuh Dimas mematung mendengar nama itu. Entah siapa persisnya yang dimaksud, yang jelas mudah-mudahan saja orang lain yang tak dikenalnya."Iya, Pak. Apa Pak Dimas kenal dengan beliau? Saya dengar dia pernah bekerja di salah satu perusahaan yang cukup terkenal dulu, sebelum akhirnya mengembangkan bisnisnya yang lain. Entah namanya apa, saya tidak terlalu mengingatnya," sahut pria itu seraya kembali menyesap minumannya.Mendengar hal itu, Dimas pun seketika menggeleng. Dengan segera ia menepis jauh-jauh pikiran buruknya, dan ikut menghabiskan minuman yang ada di hadapannya. "Tidak, Pak. Sepertinya saya salah menebak orang!"***Sementara di tempat yang lain, kini terdapat seorang pria yang baru saja keluar dari kamarnya. Dengan rambut yang masih basah dan handuk yang menempel di pundaknya, pria itu berjalan pelan mengikuti sumber suara bising yang cukup mengganggu telinganya.Prangg!"Astag
"Bagaimana persiapanmu? Kata orangku, dia telah menyebutkan namamu padanya. Jadi, mungkin saja dia akan menghubungimu dalam beberapa waktu dekat ini!"Sosok itu kembali menyesap kopi hitam yang ada di hadapannya, sambil sesekali memperhatikan keadaan sekitar cafe yang kebetulan sedang cukup ramai saat ini.Sementara lawan bicaranya, ia hanya terkekeh sesaat. Dirinya tak terlalu menganggap penting dengan apa yang telah dikhawatirkan oleh sosok itu, karena memang sudah benar-benar mempersiapkan semuanya dengan matang."Pokoknya kau tenang saja! Asalkan orangmu itu benar-benar selalu ada di belakangku untuk membantuku, aku pasti bisa mengatasinya. Jangan ragukan kemampuanku dalam bermain sandiwara lagi! Apa kau lupa siapa saja wanita yang pernah dekat denganku? Hampir sebagian besar dari mereka adalah pemain drama, jadi aku sudah belajar banyak hal dari mereka!" ucap Evan sombong, seraya meraih sebuah cangkir yang ada di hadapannya.Pria itu sempat terkekeh sesaat. Ia mengangguk kecil, p
"Hufftt! Bagaimana ini? Kenapa sudah jam segini, Mas Dimas belum juga kembali?"Waktu sudah menunjukkan pukul tengah malam, akan tetapi entah kenapa sampai saat ini Nara belum bisa sedikit pun memejamkan kedua matanya. Hatinya merasa tak tenang, karena sedari tadi berbagai pesan dan panggilannya tak kunjung ada yang dijawab oleh sang suami. Ia cemas, takut terjadi apa-apa di luar sana.Sementara di sisi lain, Bi Inah sudah tertidur dengan pulas. Ia tak menyalahkan wanita paruh baya itu karena sudah lebih dulu terlelap, karena dirinya cukup tahu tentang betapa lelahnya asisten rumah tangganya tersebut karena telah bekerja seharian penuh dengannya."Apa aku coba tanyakan ke Marvori saja ya?" pikir Nara setelahnya, sambil mencari nama kontak tersebut dalam ponsel.Kedua ibu telunjuknya kini berselancar cepat pada benda pipihnya itu. Ia terus menggulirkan layar ke bawah, sampai kurang lebih beberapa detik kemudian mulai terdengar suara sayup-sayup langkah kaki yang mendekat ke arah ruanga
"Apa? Ini pasti tidak mungkin!"Kedua netra Nara membulat sempurna, kala di melihat isi pesan yang telah dikirimkan oleh seorang yang tak dikenalnya. Bahkan mulutnya nampak terbuka dengan lebar, hingga membuat salah satu tangannya langsung bergerak untuk menutupinya."Kenapa, Ra?" tanya Darren yang seketika penasaran.Lelaki itu benar-benar mengerenyitkan dahinya, kala ekspresi syok dari seorang wanita yang tengah berdiri di hadapannya. Ia berusaha menerka-nerka, tetapi sayangnya tak bisa."Ra? Apanya yang tidak mungkin?" tanya Darren sekali lagi, tepat ketika mendapati istri sepupunya yang masih terus bergeming.Dengan rasa percaya dan tidak percaya, Nara berusaha menetralisir perasaannya terlebih dahulu. Ia menghirup banyak-banyak pasokan oksigen yang ada di sekitarnya, hingga beberapa saat kemudian kembali beralih pada Darren yang sedari tadi menatap dirinya dengan penuh tanda tanya."Apa yang telah kau lihat, Ra?"Darren mendekat hendak melihat ke arah layar ponsel Nara, tetapi un
"Nara? Hey? Bangun, Sayang! Tolong bangun!"Sayup-sayup suara terdengar, membuat Nara perlahan membuka kedua netranya. Dengan menahan rasa sakit di sekujur tubuh, Nara langsung melihat sekeliling. Dahinya mengernyit kala menyadari sekitarnya yang terbalik, hingga setelahnya mendapati seutas senyum tulus dari seseorang yang sama sekali tak disangkanya."Mas? Mas, aku ... Awhh!""Sabar, Sayang! Tolong berikan Melody dulu," ucap Dimas pelan, seraya mengulurkan kedua tangannya.Dengan situasi yang masih terhimpit, Nara pun berusaha menyerahkan Melody yang tengah menangis pada sang suami. Dirinya berusaha tenang, meski saat ini ia melihat Evan yang masih belum tersadar dengan beberapa bercak kemerahan di dahinya.Mobil yang ditumpangi Nara memang sempat terpelanting cukup jauh. Mobil itu rusak berat dalam kondisi yang terbalik, setelah Evan sempat dengan cepat memutar setir kendaraan di saat Bella berusaha menabraknya.Ah, iya. Mengingat Bella, bagaimana keadaan wanita itu sekarang? Nara t
Keesokan harinya berita tentang pembunuhan Haris pun kian tersebar meluas ke seluruh penjuru setiap kota. Beberapa stasiun televisi dan media cetak pun tak luput menyorotinya, terlebih sebuah nama yang ikut terseret dalam kasus pembunuhan pengusaha kaya raya itu adalah seorang mantan artis papan atas yang telah dinikahi oleh pemilik rumah produksi terkenal yang kini sedang berada di ambang kebangkrutan.Anara Aditya, nama itulah yang kini menjadi puncak pembicaraan seluruh orang. Kini wanita itu telah menjadi buronan polisi, terlebih setelah Bella mengungkapkan berbagai keterangan mengejutkan yang sangat menghebohkan publik.Ada yang yang percaya begitu saja dengan mudah, dan ada juga yang sama sekali tak menyangka. Sama halnya dengan apa yang dirasakan oleh Dimas saat ini. Pria itu semakin memijat pelipisnya yang terasa sangat pusing, seraya terus berusaha melacak keberadaan sang istri dengan secepat mungkin."Bagaimana? Apa kau telah mendapatkan kabar tentang keberadaannya?" tanya D
Suara mobil polisi langsung berbunyi setelahnya. Di mana hal tersebut tentu membuat Nara dan Bu Inah menoleh panik. Rasanya percakapan mereka tak bisa diteruskan lagi, sehingga dengan cepat Evan segera memutar dan menyuruh ketiga perempuan berbeda generasi itu untuk masuk ke dalam mobilnya."Baiklah, kita jalan sekarang!"Tak ada lagi perdebatan, Bu Inah dan Nara pun akhirnya duduk terdiam bersisian. Saat ini yang terpenting memang hanyalah kabur sejauh mungkin. Nara tentu tak mungkin menyerah begitu saja, karena pasti Bella akan membuatnya terlihat bersalah di hadapan seluruh orang dengan seluruh upaya yang dilakukannya."Maaf karena telah membuat kalian berdua seperti ini," lirih Nara pelan, tepat setelah menidurkan Melody di dekapannya.Dengan mencoba menahan tangisnya, Nara mengeratkan pelukannya pada sang buah hati. Bibirnya bergetar, menahan semua rasa pening dan sakit. Sehingga membuat Bu Inah yang melihatnya pun tak tega, dan segera langsung memeluk dan menenangkannya."Tidak
Bella tersenyum sekilas sebelum akhirnya berlari dan berteriak seolah mencari pertolongan. Sementara Nara, wanita itu masih terdiam dengan ekspresi syok yang tak dapat ditahannya lagi. Seluruh tubuhnya benar-benar membeku, melihat Haris tergeletak tak berdaya di hadapannya dengan cairan kental kemerahan yang mengalir dengan deras dari belakang tengkuknya."Tidak! Apa yang harus aku lakukan?!"Nara berteriak dengan sekujur tubuh yang bergetar ketakutan. Sungguh, sebenarnya ia ingin segera pergi dari tempat ini. Namun di sisi lain, dirinya juga tak tega meninggalkan Haris begitu saja sebelum benar-benar memastikan pria itu telah ditangani oleh tangan yang tepat."Stop! Jangan sentuh dia! Sebaiknya kau sekarang segera pergi dari tempat ini, Nara!"Nara terperanjat, kala mendengar suara Evan yang tergesa-gesa dan mendapatkan tarikan dari pria itu. Entah sejak kapan mantan suaminya tersebut ada di tempat ini, dirinya tak tahu. Yang jelas saat ini Evan sama sekali tak memberikannya jeda wak
Dengan langkah tergesa-gesa, Nara langsung mengecek satu persatu semua nomor pintu kamar hotel yang telah dilewatinya. Ia sungguh tak sabar ingin segera bertemu dengan sang suami, apalagi tadi di telepon Bella sempat menangis sesenggukan tanpa menjelaskan sebab."Kamar 207! Tidak salah lagi ini pasti tempatnya!" Nara bergumam pelan, sambil melihat ke arah celah pintu yang tak tertutup rapat tersebut. Dirinya merasa sangat penasaran, tetapi ragu ingin masuk begitu saja atau tidak. Biar bagaimanapun Nara bukanlah wanita yang polos, ia tahu hal apa saja yang biasa dilakukan jika seorang wanita dan pria berada di dalam kamar hotel yang sama. Terlebih tadi, Bella sempat mengabarkan bahwa suaminya itu dalam keadaan yang mabuk berat."Tidak! Aku harus percaya dengan Mas Dimas!" gumam wanita itu berusaha membuyarkan pikiran buruknya.Dengan menarik napas terlebih dahulu, Nara pun akhirnya mengetuk pintu. Ia berusaha mempersiapkan mental sebelum mengetahui apa pun yang tengah terjadi di dalam
Sementara itu di sebuah hotel di pusat kota, terdapat seorang pria yang tengah tertidur dengan pulas di atas sebuah ranjang besar dengan pakaiannya yang terlihat sedikit acak-acakan. Seorang wanita yang baru saja membawanya ke tempat ini terlihat tersenyum penuh kemenangan, hingga akhirnya tatapannya pada pria itu teralihkan berkat panggilan masuk dari seseorang."Bagaimana?" tanya seseorang dari sambungan telepon."Semuanya berjalan sesuai rencana! Tapi, aku masih kesal denganmu! Kenapa sangat mendadak seperti ini sih? Karenamu aku jadi tidak mempunyai persiapan yang lebih, sehingga aku hanya memasukkan obat tidur saja dalam minumannya!"Wanita itu berdecak kesal, karena perintah mendadak yang ditujukan padanya. Andai saja lawan bicara teleponnya ini mengutarakan rencananya dari jauh-jauh hari, sudah pasti dirinya memasukkan obat lain yang akan membuat malamnya detik ini menjadi lebih panas dan menyenangkan."Hahaha! Itu semua salahmu yang tidak cekatan!" ejek sosok lelaki itu dari
"Tunggu!"Nara berteriak, mencegah kepergian Bi Inah. Dengan tergesa-gesa, ia langsung menahan salah satu tangan perempuan paruh baya tersebut seraya menatapnya dengan penuh harap."Tidak bisakah semua ini dibicarakan secara baik-baik terlebih dahulu, Mas? Biar bagaimanapun kita harus selesai masalah ini dengan kepala dingin, bukan seperti di saat situasi tegang dan kacau seperti ini!" pintanya dengan pandangan yang mulai berkaca-kaca.Masih dengan adanya Melody di dekapannya, Nara melangkah menghampiri sang suami. Ia berharap agar Dimas bisa merubah keputusannya, atau setidaknya pria itu mau memberikan kelonggaran waktu sebelum benar-benar mengusir Bi Inah dari tempat ini.Walau sebenarnya Nara tahu bahwa sekarang suaminya sedang sangat hancur dan terkejut dengan semua kenyataan ini, akan tetapi tetap saja dirinya tidak mau membiarkan semua masalah ini semakin memburuk. Menurutnya semua itu masih bisa dibicarakan dengan baik-baik, meskipun pastinya sangat sulit sekali mengalahkan ego
"Apa maksudmu? Kenapa Bi Inah bisa akan tahu itu? Jangan sembarang asal tuduh Darren!"Dimas tiba-tiba muncul dari balik pintu dengan tatapan tajamnya yang penuh menyelidik. Langkahnya yang perlahan pasti mendekat, kian membuat nyali perempuan paruh baya yang sudah lama mengabdikan dirinya pada keluarga besar itu pun semakin menciut. Bi Inah sekarang hanya bisa menunduk dalam, tanpa bisa berkata-kata atau pun membela dirinya sendiri."Aku? Asal tuduh?" ucap Darren tak terima."Ya! Kau jelas mengada-ngada! Mana mungkin orang seperti Bi Inah tahu tentang perusahaan ayahku yang telah direbut oleh orang tuamu!"Darren tersenyum miring setelahnya. Ia mengamati sesaat wajah Bi Inah yang semakin terlihat ketar-ketir, dan kembali memusatkan perhatiannya pada sang saudara sepupu."Lebih baik kau sekarang pulang, Darren! Kedatanganmu sangat mengganggu rumah ini! Apalagi sekarang sudah ada Melody yang sangat sensitif dengan suara keributan!" tegas Dimas tepat di hadapan wajah Darren yang bergemi
"Ada apa, Sayang? Apa yang telah mengganggu pikiranmu?" Dimas akhirnya bertanya seraya mendekap pelan tubuh sang istri dari belakang. Selama di perjalanan pulang tadi, ia memang sempat memperhatikan istrinya yang terus terdiam dan seperti tengah memikirkan sesuatu. Namun sayang yang didapatkannya saat ini hanyalah sebuah gelengan singkat, dan usapan lembut di lengannya.Dalam kepala cantiknya, Nara memang masih terbayang-bayang dengan ucapan Evan dan Bella. Dirinya berpikir, apakah benar ia hanya memanfaatkan suaminya saja? Apakah dirinya memang sejahat itu? Lalu, bagaimana jika suatu saat nanti suaminya yang sangat baik padanya ini akan berpaling pada wanita lain yang jauh lebih baik darinya? Entah kenapa Nara semakin merasa tak percaya diri, seiiring dengan bayang-bayang ucapan Bella dan Evan yang terus menggema di telinganya."Sayang? Apa yang telah aku tidak ketahui?" tanya Dimas sekali lagi, seraya mencuri sebuah kecupan singkat di bibir merah menggo