“Tidak! Ini tidak mungkin! Kenapa harus memilih salah satu di antara mereka?! Mereka berdua harus diselamatkan, Dok!” ujar Dimas frustasi, seraya mengusap gusar wajahnya. Lembaran kertas yang ada di hadapannya, sungguh bagaikan kertas penentu nasibnya. Dimas tak pernah menyangka, kalau selama ini Nara membohongi hasil pemeriksaannya. Selama ini, istrinya tersebut mengatakan semua hal yang baik-baik saja tentang kandungannya. Nara tak pernah mengeluh tentang apa yang telah dideritanya, dan selalu terlihat sehat seperti biasa di hadapannya. Namun siapa sangka, ternyata di balik itu semua istrinya itu malah menyembunyikan sesuatu yang telah diwanti-wanti oleh dokter sebelumnya. “Maaf, Pak. Kami pasti akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan istri dan anak Bapak. Namun keputusan ini tetap harus diambil, Pak. Ada sesuatu yang mungkin tidak berjalan dengan harapan dan segala usaha kita, dan di saat yang seperti itulah terkadang kita harus terpaksa memilih salah satu di antara
Sayup-sayup terdengar suara dentingan yang cukup mengganggu, membuat seseorang terganggu dari tidur panjangnya dan bergerak hendak membuka kedua matanya.Walau itu sangat sulit untuk dilakukannya, akan tetapi ia tetap berusaha. Rasa penasarannya sudah terlanjur membumbung tinggi, hingga sedetik kemudian dahinya mengernyit. Dirinya heran, karena hanya mendapati beberapa suster yang sedang membereskan beberapa alat-alat di sekitarnya."Sus ...."Sebenarnya ada banyak kata-kata yang ingin Nara lontarkan, akan tetapi sayangnya saat ini tenggorokannya terasa sangat kering sekali. Seluruh tubuhnya juga sedikit sulit digerakkan, hingga dirinya tak bisa berbuat banyak selain mengungkapkan panggilan itu."Bu Nara? Syukurlah Ibu sudah sadar," ucap suster tersebut seraya tersenyum lega ke arah pasiennya.Nara mengangguk, akan tetapi itu bukan kata-kata pertama yang diharapkannya. Untuk saat ini, ia hanya ingin tahu keadaan anaknya. Dirinya ingin bertemu dengan sosok mungil yang baru saja dilahir
"Mas ...."Nara tak mampu menyelesaikan kata-katanya lagi, seiiring dengan luruhnya semua kekuatan yang ada di dalam dirinya. Kedua kakinya yang masih membengkak, tak mampu menopang bobot tubuhnya lagi. Nara terjatuh saat itu juga, karena tak tega melihat keadaan sang buah hati yang tengah tertidur pulas dengan berbagai alat kesehatan yang ada di sisinya."Dokter dan timnya akan mengupayakan segala yang terbaik untuk anak kita, Sayang. Percayalah, semua pasti akan baik-baik saja," ucap Dimas seraya mendekap erat tubuh bergetar sang istri.Nara tak tahu ingin berkata apa lagi, saat ini dirinya hanya bisa menangis tersedu-sedu melihat keadaan anaknya yang sedang tak baik-baik saja di dalam sana. Sungguh, hati Nara terasa perih sekali. Ia tak tega melihat anaknya seperti ini, rasanya ingin dirinya saja yang menggantikan semua itu. Namun sayang, semua yang diinginkannya tersebut tentu hanya bisa menjadi angan belaka."Maafkan aku, Mas," lirih Nara yang seketika merasa bersalah.Dengan is
"Untuk apa kau masih di sini?"Satu pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir Dimas, tanpa menoleh sedikit pun ke arah seorang lelaki yang baru saja datang dan berdiri di sampingnya. Walau belum melihat wajahnya langsung, tetapi sosok itu terlalu mudah untuk Dimas tebak. Sehingga tanpa mau berbasa-basi lagi, dirinya langsung menanyakan tujuan keberadaan lelaki tersebut di sini."Wow! Tenang, Brother! Kau ini sudah menjadi ayah, jadi jagalah sedikit tutur katamu," balas Darren tersenyum, seraya menepuk sekilas pundak tegap sepupunya itu.Hingga dengan cepat Dimas menipisnya, dan mendengkus ke arah lelaki tersebut. "Jangan mengajariku!""Iya, iya! Aku tidak mengajarimu, hanya saja sedang mencoba mengingatkan," elak Darren dengan memutar kedua manik matanya jengah.Setelahnya, tak ada percakapan lagi. Kedua lelaki itu sama-sama terdiam, di sebuah lorong kosong tersebut. Dan masih sama-sama sesekali melirik ke arah dalam, di mana di sana Nara sedang tertidur pulas.Ya, wanita yang baru
"Oweekk! Oweekk!"Suara tangis anak bayi, kini menggema mengelilingi seluruh ruang rawat inap Nara. Dengan kedua netranya yang masih terpejam, badan mungil itu terlihat sedikit menggeliat, membuat wanita yang tengah menggendongnya rela tak berkedip menatapnya."Sayang! Ini mama, Sayang! Apa kabar? Akhirnya mama bisa melihat dan menggendongmu seperti ini!" tutur Nara dengan sebuah senyuman yang tak luntur dari wajah polosnya tanpa makeup.Seolah sedang menyimak apa yang sedang mamanya katakan, seketika saja tangis bayi mungil itu terhenti. Badannya yang tadi bergerak-gerak, kini nampak terlihat diam dan nyaman berada di pelukan Nara. Hingga setelahnya, terlihat bibir mungil tersebut terlihat terbuka dan bergerak-gerak lucu.Sungguh demi apa pun, ini adalah momen yang paling bahagia bagi Nara setelah pernikahannya dengan Dimas. Segala rasa takut dan khawatirnya seketika sirna begitu saja, seiring dengan hadirnya sang buah hati di sisinya.Y
Tokk! Tokk! Tokk!Pintu itu diketuk, sebelum akhirnya dibuka oleh seseorang. Melihat siapa yang sudah datang, Nara tersenyum hangat padanya. Ia menyuruh sosok itu mendekat, dan duduk di sebuah kursi kosong yang ada di pinggir ranjangnya."Maaf karena Bibi baru sempat menemui Nyonya sekarang," tutur sosok tersebut seraya menatap lembut pada bayi mungil yang kini masih tertidur dengan lelap."Tidak apa-apa, Bi. Mas Dimas sudah memberitahuku sebelumnya. Maaf ya, Bi. Bibi jadi repot seperti ini, apalagi Mas Dimas pasti mendadak bawel 'kan pada Bibi?""Tidak apa-apa, Nyonya. Justru bibi merasa sangat senang, karena akhirnya bisa melihat sosok mungil yang sangat lucu ini. Walau sangat repot, akan tetapi bibi ikut sangat bahagia. Bibi jadi merasa punya semangat baru sekarang," ucap wanita paruh baya itu seraya terus memandangi Melody.Mendengar penuturan itu, Nara pun kian semakin tersenyum. Ia merasa sangat bersyukur, karena ternyata Bi Inah be
"Apa?"Seketika saja tubuh Dimas mematung mendengar nama itu. Entah siapa persisnya yang dimaksud, yang jelas mudah-mudahan saja orang lain yang tak dikenalnya."Iya, Pak. Apa Pak Dimas kenal dengan beliau? Saya dengar dia pernah bekerja di salah satu perusahaan yang cukup terkenal dulu, sebelum akhirnya mengembangkan bisnisnya yang lain. Entah namanya apa, saya tidak terlalu mengingatnya," sahut pria itu seraya kembali menyesap minumannya.Mendengar hal itu, Dimas pun seketika menggeleng. Dengan segera ia menepis jauh-jauh pikiran buruknya, dan ikut menghabiskan minuman yang ada di hadapannya. "Tidak, Pak. Sepertinya saya salah menebak orang!"***Sementara di tempat yang lain, kini terdapat seorang pria yang baru saja keluar dari kamarnya. Dengan rambut yang masih basah dan handuk yang menempel di pundaknya, pria itu berjalan pelan mengikuti sumber suara bising yang cukup mengganggu telinganya.Prangg!"Astag
"Bagaimana persiapanmu? Kata orangku, dia telah menyebutkan namamu padanya. Jadi, mungkin saja dia akan menghubungimu dalam beberapa waktu dekat ini!"Sosok itu kembali menyesap kopi hitam yang ada di hadapannya, sambil sesekali memperhatikan keadaan sekitar cafe yang kebetulan sedang cukup ramai saat ini.Sementara lawan bicaranya, ia hanya terkekeh sesaat. Dirinya tak terlalu menganggap penting dengan apa yang telah dikhawatirkan oleh sosok itu, karena memang sudah benar-benar mempersiapkan semuanya dengan matang."Pokoknya kau tenang saja! Asalkan orangmu itu benar-benar selalu ada di belakangku untuk membantuku, aku pasti bisa mengatasinya. Jangan ragukan kemampuanku dalam bermain sandiwara lagi! Apa kau lupa siapa saja wanita yang pernah dekat denganku? Hampir sebagian besar dari mereka adalah pemain drama, jadi aku sudah belajar banyak hal dari mereka!" ucap Evan sombong, seraya meraih sebuah cangkir yang ada di hadapannya.Pria itu sempat terkekeh sesaat. Ia mengangguk kecil, p