Rima melepaskan tangannya dari benda pusaka itu dan beralih ke tangan lelaki yang seusia dengannya. Menyeret lelaki yang mulai tidak berdaya itu dengan susah payah.“Kita mulai di sini saja, biar kita bisa sama-sama menikmatinya! Pasti ini akan menjadi kenikmatan yang tiada tara,” ujar Rima dengan senyum yang mulai sadis.Namun, Rima ingat jika Sherly sendirian. Rima mencari tali dan mengikat tangan dan lelaki yang berani-beraninya menoda*i putri sambungnya itu. Rima lalu meninggalkannya dengan keadaan miris, lalu mendekat ke Sherly. Mengusap lembut wajah cantik gadis remaja yang sudah dia anggap seperti putrinya.“Sherly, bangun,” panggil Rima seraya menepuk pipinya berulang kali.Rima memutuskan meminta bantuan pada seseorang, dan satu nama yang terlintas dibenaknya. Tanpa menunggu lama, dia langsung menghubunginya, meminta bantuannya untuk menolong Sherly. Rima sudah memperkirakan waktu kedatangan orang yang dia mintai tolong, dengan cepat dia kembali ke lelaki yang sudah dengan te
“Kamu akan menikmati, ketidak mampuan kamu melakukan hal biadab lagi, baik pada orang lain ataupun pada istrimu dan kamu akan berakhir mati perlahan,” bisik Rima.Kemudian, Rima membuka kain yang ada di mulut lelaki itu dan langsung disambut dengan pekikan yang melengking, tidak ketinggalan suara makian yang membuat telinga rima Panas.“Mau kubuat makin tidak berdaya,” bisik Rima dengan menendang dada lelaki yang tidak henti menghina Rima, bahkan mengancan Rima dengan melaporkan kejadian ini ke polisi.Rima berlari menjauh dari tempat itu dengan cepat, agar dia tidak terlihat dari orang yang akan menolong Sherly, terlebih agar jejaknya tidak terlihat. Membuka bajunya dan mengganti dengan yang sudah dia persiapkan sebelumnya,“Untung saja, prediksiku sedikit meleset!” gumam Rima.Dengan cepat Rima mengendarai motor miliknya, beruntungnya lagi, Rima memarkirkan kendaraannya di tempat tersembunyi yang jarang orang fokus melihat tempat itu.“Di sini saja,” ujar Rima saat kendaraanya berhe
Meneguk minuman botol yang ada di tangannya dan memakan roti dengan santai, dirinya seperti lupa telah melakukan mut*lasi pada organ penting seorang laki-laki. Rima langsung melajukan kendaraannya dengan cepat, tanpa memperdulikan orang yang ada di jalanan. Memakinya, karena dia melaju tanpa memperhatikan kendaraan lain dan juga rambu-rambu lalu lintas. “Gimana keadaan Sherly?” tanya Rima, ketika dia sampai di rumah sakit yang ditentukan oleh Satria. “Dia mengalami kekerasan sexsual lagi!” ujar Satria geram. “Kenapa si suami kamu enggak melaporkan saja orang-orang itu!” kesal Satria dengan nada mengejek. Rima diam, karena tidak ingin suaminya menjadi sasaran empuk bagi Satria untuk menghina. Bahkan tidak ingin, jika mantannya itu ikut campur terlalu dalam. “Kenapa kamu meninggalkan aku?” tanya Satria lirih. Rima berdehem, dan mengalihkan pertanyaan Satria dengan pertanyaannya. “Boleh aku bertemu dengan tersangka yang tega-teganya menghancurkan masa depan seorang remaja?” Satri
Rima kemudian berdiri dan menghampiri Satria, lalu meminta untuk mengantarkanya ke ruangan Sherly. Sepanjang jalan menuju ruangan Sherly, Satria berkali-kali bertanya pada Rima tentang perasaannya. Akan tetapi, Rima selalu menghindar dan bertanya tentang hal lainnya. Membuat Satria sedikit kesal, tapi mencoba tetap tenang. Satria tidak pernah sekalipun melupakan wajah ayu Rima, Saat dulu bersama, masa pendidikan, bahkan saat mengetahui Rima telah menikah. Harapan Satria tetap sama, memiliki wanita yang sangat dia cintai.Sesampainya di kamar Sherly, Rima memandangi anaknya dengan pandangan rindu. Gadisnya itu nampak lemah tidak berdaya dan pastinya sangat malu, karena kelakuan bejat para penjahat kelam*n itu.“Kita harus mengabarkan suamimu!” saran Satria dan ditolak oleh Rima.Satria merasa heran dengan Rima yang tidak bersemangat seperti ini, dia merasa kehilangan kekasihnya yang ceria dan berprinsip teguh.“Aku mohon, jangan terlalu menekan James untuk melaporkan masalah ini dan bi
Rima memijit kepalanya yang terasa sangat sakit, dan menunduk dalam. Dia measa keputusan besarnya tidak salah dan akan mendapat dukungan dari para wanita, di seluruh dunia. “Bu-Bunda,” lirih Rima mendengar suara Sherly, tapi dia menepisnya. Rima tahu, anak sambungnya yang satu ini tidak pernah mau memanggilnya bunda. Jadi, dia berfikir kalau itu halusinasinya saja saat dia sedang depresi. “Bunda!” Suara Sherly memenuhi gendang telinga Rima, tapi dia tetap kukuh pada dirinya, jika Sherly tidak mungkin memanggilnya. “Kamu kenapa?” tanya Satria yang bingung dengan Rima, yang hanya diam ketika dipanggil oleh anak tirinya. “Itu kamu dipanggil!” ujar Satria kemudian. Rima langsung menoleh ke arah anaknya yang terbaring tidak berdaya, memeluknya dengan erat dan dibalas dengan pelukan oleh Sherly. Sungguh pemandangan yang haru untuk dilewatkan. Gadis itu mengulurkan tangannya, dan meminta Rima menyambutnya tanpa kata apapun. Rima dengan senang hati mendekat dan menggenggam tangan sang pu
"Kamu tahu kenapa bunda sangat sakit hati padamu?" tanyaku. setelah kami diam sesaat.Sherly menundukkan kepalanya, tubuhnya bergetar dan terdengar isakkan darinya. Rima makin merapatkan duduknya, lengannya merangkul pundak anak sambungnya yang berguncang."Yang paling membuat bunda sakit hati, saat kamu menjauh dari bunda, saat kami tidak mau memeluk bunda, saat ...," Belum selesai Rima bericara, Sherly menubruk tubuh ibu tiri yang selama ini dia benci.Rima membalas pelukan Sherly dengan erat, dan mencium pucuk kepalanya dengan lembut. Mengusap punggung yang kian terisak, mereka berdua menikmati kebersamaan yang pernah terhalang, karena pernikahan."Sekarang, kita tata hidup kita agar lebih baik, ya," pesan Rima dan diangguki oleh Sherly.Rima memiliki ide untuk mengirimkan Sherly ke luar negeri, agar lebih cepat penyembuhan mentalnya. Dia tahu, jika masyarakat kita terkadang abai dengan permasalahan ini. Mental korban, dianggap akan pulih seperti biasa. Belum lagi sindiran dan hina
"Belum tidur, Sayang?" sapa James yang mendapati Rima sedang membaca, saat dia baru saja pulang kerja. "Iya, Mas. Tanggung, ni buku bagus-bagus semua," ujar Rima dengan santai, james melirik buku-buku yang dibaca oleh Rima dan semua itu adalah bacaan yang berat. James sempat khawatir dengan keadaan Rima yang sangat tenang, dia tidak melihat kesedihan atau rasa tidak nyaman setelah kepergian anak mereka yang belum terlahir di dunia. Juga menanggapi masalah Sherly, yang awalnya menggebu-gebu, kini diam membisu. "Bagaimana keadaan Sherly, hari ini?" tanya James, lelaki itu menarik kursi di samping Rima, kemudian duduk. "Alhamdulillah baik, Mas!" ucap Rima. James menelisik wajah Rima, dan menemukan matanya yang sedikit sembab. Belum sempat dia bertanya, Rima sudah mengalihkannya dengan menawarkannya segelas teh lemon hangat, dan dia hanya bisa mengangguk. "Mas, tabungan kamu masih banyak?" tanya Rima mendadak. James tahu, jika Rima bukanlah wanita matre seperti kebanyakan perempuan
Semua bersiap ke bandara, untuk mengantarkan Sherly dan dion. Pertentangan terjadi antara semua keluarga, tentang perpindahan anak-anak ke luar negeri yang mendadak. Akan tetapi, Rima seperti tidak punya hati memutuskan mereka untuk tetap tinggal jauh, tanpa bisa dibantah. Dion dan Sherly menerima keputusan itu dengan isakan. Kedua anak itu memeluk Rima sepanjang perjalan membuat James, heran. Sejak kapan anaknya Sherly, mau dekat dengan Rima."Kalian sudah berbaikan?" tanya James dan diacuhkan oleh ketiga orang yang asik berpelukkan.James menghela napas panjang, karena dicuekin oleh orang yang dia sayangi, tapi terbit senyum di wajahnya karena melihat anak-anaknya yang lengket pada Rima, meski harus berpisah."Sherly baca buku yang ada di tas kamu, saat kamu kesepian dan tulis keresahan kamu di sana, Bunda harap, kamu akan jauh lebih baik dari sekarang dan mampu meraih akademik yang bagus," pesan Rima pada Sherly, karena dirinya tidak bisa ikut. Paspor yang diurusnya belum jadi saat
Rima melukai sedikit peni*s Dito, membuat remaja itu meringis kesakitan. "Baru tergores! Belum terpotong!" ancam RIma dan Dito hanya mengangguk. Rima kembali pergi, dengan membawa serta belati yang melukai Dito, sedangkan Dito memaki wanita yang tengah menyanderanya dengan kata-kata kasar. Remaja itu tidak menyangka, jika Rima bisa berbuat sejauh ini. Bahkan dirinya menjadi ciut berhadapan dengan ibu tiri dari remaja yang dia lece*hkan. "Brengsek!" teriaknya. Rima hanya tersenyum mendengar makian dari Dito, kemudian dia berjalan dengan cepat untuk keluar dari persembunyian. Kemudian dia membuka CCTV yang terhubung dengan laptopnya, menghidupkannya kembali dengan posisi semula, meski sedikit dimodifikasi. "Bu, sudah benarkan saya keluar dari sana?" tanya Bik Irah yang masih memegang alat pel. "Sempurna, Bik. Sekarang bibik masak aja, untuk sarapan kita," pinta Rima. "Besok saja membersihkannya, sehari enggak dibersihkan, enggak masalah." Rima menjawab sebelum Bik Irah bertanya, da
Pagi-pagi sekali, Rima keluar dari rumah. Menuju ke supermarket terdekat, mengambil beberapa cemilan, roti dan juga susu. Kemudian menuju kasir, untuk membayar semua yan sudah dibeli olehnya."Makasih, ya, Mbak!" ujarnya setelah sang kasir memasukkan semua belanjaan ke dalam kantong yang dibawa oleh Rima."Sudah semua, ya, bersama titipannya," balas sang kasir dengan lirih di ujung kata-katanya.Rima keluar dengan membawa kantong yang berisi penuh dengan semua aneka camilan, dan dia taahu, jika ada sepasang mata yang memperhatikannya dengan sangattajam, sembari berpura-pura memgang minuman."Kalian masih mengintaiku?" gumam Rima kesal.Ponsel Rima berbunyi, dan wanita itu langsung menerima panggilan dari ternyata dari Satria. Mantan kekasihnya itu menanyakan, apakah dirinya aman setelah menerima bingkisan darinya ataau tidak. Rima membaritahu Satria, jika dirinya aman dan sudah sampai di rumah.Semalam, Rima menanyakan tentang efek samping dari penggunaan obat itu pada Satria. Bagaima
"Bukan begitu, sayang. Aku_"Rima langsung memotong ucapan James dengan cepat."Sudahlah, Mas. Yang penting aku selalu jaga hati dan tubuhku hanya untuk kamu,"Rima langsung mengakhiri panggilan, dan meletakan ponselnya di atas meja. Mendengkus kesal, karena merasa tidak dihargai oleh suaminya sendiri."Bibik aja yang angkat!" ucap Rima malas. "Bilang saja, aku sedang tidak mau diganggu!" Rima menambahkan sedikit permintaan.Bik Irah mengangguk dan segera menerima panggilan dari James untuk kedua kalinya. Seperti dugaan Rima, Bik Irah bisa diandalkan. Rima meyakini, jika suaminya itu bertanya banyak hal pada Bik Irah. Terbukti jawaban dari wanita tua di sampingnya itu, yang kadang tersenyum dan terkadang terlihat khawatir."Siap, Pak!"Di akhir panggilannya, dan Bik Irah meletakkan ponsel Rima kembali di tempatnya semula."Apa aja yang ditanya Mas James, Bik?" Rima bertanya seperti menyelidik."Pak James hanya khawatir pada ibu, dan menanyakan apa ibu pernah pergi dalam waktu yang lam
Rima terlihat marah pada Satria, yang menyangkal tentang keterlibatan Sandi dalam kasus anak sambungnya. "Aku mendengar sendiri, jika dia menggauli Sherly dan mengatakan hal tidak senonoh padaku!" bantah Rima. "Tidak, yang aku tahu, dia tidak ikut dalam pencab*lan itu!" Satria masih kukuh pada ucapannya. "Dan kamu sudah tahu siapa saja yang melakukan hal bejad itu, kan?" tanya Satria kemudian. "Pergila, aku hanya meyakini apa yang memang terjadi dan kuketahui!" Rima pun tidak merubah keputusannya. "Jangan gegabah, nanti kamu salah sasaran!" ketus Satria. Lelaki itu, lalu berpamitan dan meninggalkan Rima yang masih yakin dengan apa yang akan direncanakannya. Sedangkan Satria menghela napas panjang, terlalu sulit untuk membuktikannya sekarang. Rima duduk di kursinya dan kembali menyesap teh lemon buatannya, Menatap jauh ke depan dengan pandangan kosong. "Bu, saya melihat diary milik non Sherly," bisik Bik Irah. Perhatian Rima teralihkan, meminta Bik Irah untuk mengambilnya. Wanit
Ayah Dito langsung memperintahkan anak buahnya untuk mengeledah seisi rumah dan melihat CCTV yang terpasang di rumah Rima. Sedangkan Rima dan Bik Irah duduk dengan santai di meja makan, bahkan Rima menyedu teh lemon hangat dan menyesapnya perlahan. Setengah jam mereka mencari dan berputar-putar dengan sangat teliti, tapi tidak menemukan apa yang mereka cari, dengan kesal ayah Dito mendekati Rima. Mengacungkan senjata dan mengancam wanita yang pura-pura lemah itu. "Cepat, katakan di mana anakku?" tanyanya dengan menekan ujung pist*lnya di pelipis Rima. Satria yang melihat itu tentu saja sangat geram, tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk saat ini, karena baju yang sedang dia kenakan. "Saya sudah mengijinkan bapak untuk mencari anak bapak di sini, dan apakah saya mengijinkan bapak untuk mengancam saya?" tanya Rima yang makin membuat emosi lelaki di depannya memuncak. "Kamu tidak tau siapa saya?" tanyanya dengan membentak Rima, dan matanya melotot sempurna. Sehingga memperlihatkan am
Rima langsung mengakhiri panggilan dan menatap remaja yang mulai sadar akan keberadaannya yang menyedihkan."Tante, Lepasin aku!" teriak Dito dan hanya ditangapi dengan senyum hina dari Rima.Dito terus memaki, ingin rasanya Rima membalasnya. Akan tetapi disadarkan oleh Bik Irah yang menanyakan tentang makanan yang dia bawa tadi.Rima berjalan ke meja, lalu mendekati Dito yang masih terus menhardiknya. Tatapan Rima, sebenarnya membuat nyali Dito sedikti ciut, tapi dia tidak mau kalah dari wanita yang dia anggap tidak ada apanya."Kamu butuh asupan untuk terus menghardikku, jika tidak kamu akan kelapan dan tidak ada yang bisa menolongmu. Bahkan harta orang tuamu yang sangat banyak itu! Ingat, kamu belum membuatku merasakan kenikmatan yang kamu tawarkan," ujar Rima dengan nada penuh penekanan.Dito diam, setelah mendengar penuturan Rima, mungkin dia berpikir, benar apa yang dikatakan Rima. Dirinya tidak akan bisa keluar dengan selamat, jika dirinya tidak memiliki tenaga.Rima meminta Bi
Rima meletakkan dompet Dito, dan menguyur tubuhnya berkali-kali. Sebenarnya dia tidak ingin melakukan hal yang menjijikkan, akan tetapi tuntutan dari pembalasan dendamnya, mengharuskan dirinya melakukan hal yang bertentangan dengan nuraninya.Sejenak Rima berpikir, dan satu ide muncul dalam benaknya dan ingin segera dia laksakan."Wooow, kamu cantik sekali," puji Dito, setelah Rima keluar dari kamar mandi.Rima tidak menyangka, remaja yang seusia Sherly sudah sangat mendewakan S*x. Seharusnya dia dan Sherly bisa menikmati masa-masa remaja yang menyenangkan."Tante, bisa ambilkan obat di saku depanku?" pinta Dito, yang masih tetap terikat dengan tubuh gemetaran.Dengan santai, Rima mengambil celana Dito yang tadi dia lepaskan dan dilempar jauh. kemudian mengambil sebuah plastik klip berukuran 7 x 10cm di dalam sakunya. Ketika melihatnya, Rima tau, obat apa yang dimaksud oleh Dito.Semua yang direncanakan Rima, berbeda dengan kenyataannya, tapi cukup membuat dirinya bersemangat. Dengan
Dengan susah payah, Rima dan pembantunya--Bik Irah, memindahkan Dito ke ruang rahasia yang ditemukan oleh Rima beberapa waktu lalu. "Bik, sebaiknya bibik pulang kampung saja. Jika terjadi sesuatu, bibik tidak akan terkena imbasnya," ujar Rima dengan menggenggam kedua tangan renta milik Bik Irah. "Sherly sudah seperti cucu bibik, dari dia lahir, besar, ditinggalkan ibunya, dan sekarang tertimpa kesialan gegara lelaki seperti ini, Bibik enggak akan biarkan mereka hidup dengan tenang." Dengan semangat dia menolak permintaan Rima. Rima menghembuskan napas kasar, dia tidak ingin orang lain mendapatkan masalah karena perbuatannya, tapi dirinya pun tidak bisa menjalankan sesuatunya seorang diri. "Kalau saja waktu itu bibik tidak melihat kemaluan yang ibu mut*lasi, maka bibik tidak akan pernah bisa membalaskan rasa sakit melihat orang yang disayang terluka!" tambah Bik Irah. Ya, waktu itu Rima pulang bersama Sherly dengan keadaan yang tidak pernah dia pikirkan. Rima terlihat tegar, setela
"Saat Mas James sudah mengucapkan ijab qobul, maka tanggung jawabku pun bertambah, termasuk membalas perlakuan mereka pada orang yang menyakiti anak-anak!" ujar Rima."Aku akan menungu kamu untuk di sisiku. Aku tidak rela kamu harus berkorban begitu banyak!" ujar Satria yang dibalas dengan senyuman sinis dari Rima.Satria tahu, Rima tidak akan mudah berpaling setelah menentukan apa yang dia mau. Jika pun berpaling, maka dia akan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan sangat teliti. Seperti saat Rima menerima James dan menghilangkan kenangannya dengan Satria. lelaki bertubuh tegap itu hanya bisa mnegela napas, karena terlambat datang memenuhi janjinya. Saat ini, dia hanya ingin dekat dengan wanita yang dia jadikan belahan jiwa sejak dia berjanji pada Bu Halimah dulu.Rima sudah memastikan ikatan yang dibuatnya cukup kuat dan tidak mudah lepas, dia menatap remaja yang sangaqt angkuh diusianya saat ini. Tentu semuanya karena ajaran yang diberikan oleh kedua orang tuanya, dan juga cont