"Belum tidur, Sayang?" sapa James yang mendapati Rima sedang membaca, saat dia baru saja pulang kerja. "Iya, Mas. Tanggung, ni buku bagus-bagus semua," ujar Rima dengan santai, james melirik buku-buku yang dibaca oleh Rima dan semua itu adalah bacaan yang berat. James sempat khawatir dengan keadaan Rima yang sangat tenang, dia tidak melihat kesedihan atau rasa tidak nyaman setelah kepergian anak mereka yang belum terlahir di dunia. Juga menanggapi masalah Sherly, yang awalnya menggebu-gebu, kini diam membisu. "Bagaimana keadaan Sherly, hari ini?" tanya James, lelaki itu menarik kursi di samping Rima, kemudian duduk. "Alhamdulillah baik, Mas!" ucap Rima. James menelisik wajah Rima, dan menemukan matanya yang sedikit sembab. Belum sempat dia bertanya, Rima sudah mengalihkannya dengan menawarkannya segelas teh lemon hangat, dan dia hanya bisa mengangguk. "Mas, tabungan kamu masih banyak?" tanya Rima mendadak. James tahu, jika Rima bukanlah wanita matre seperti kebanyakan perempuan
Semua bersiap ke bandara, untuk mengantarkan Sherly dan dion. Pertentangan terjadi antara semua keluarga, tentang perpindahan anak-anak ke luar negeri yang mendadak. Akan tetapi, Rima seperti tidak punya hati memutuskan mereka untuk tetap tinggal jauh, tanpa bisa dibantah. Dion dan Sherly menerima keputusan itu dengan isakan. Kedua anak itu memeluk Rima sepanjang perjalan membuat James, heran. Sejak kapan anaknya Sherly, mau dekat dengan Rima."Kalian sudah berbaikan?" tanya James dan diacuhkan oleh ketiga orang yang asik berpelukkan.James menghela napas panjang, karena dicuekin oleh orang yang dia sayangi, tapi terbit senyum di wajahnya karena melihat anak-anaknya yang lengket pada Rima, meski harus berpisah."Sherly baca buku yang ada di tas kamu, saat kamu kesepian dan tulis keresahan kamu di sana, Bunda harap, kamu akan jauh lebih baik dari sekarang dan mampu meraih akademik yang bagus," pesan Rima pada Sherly, karena dirinya tidak bisa ikut. Paspor yang diurusnya belum jadi saat
Rima langsung pulang, dan melihat diarynya. Membaca ulang rencana yang dia susun di setiap malamnya, agar mendapakaan hasil yang memuaskan."Sekarang giliran kamu!" ujar Rima, saat memandang wajah-wajah anak yang seusia Sherly dalam bingkai poto yang tertempel rapih.Dito namanya, anak dari rekan bisnis James yang terkenal perfectsionis, dan akan menghancurkan lawannya, jika berani mengusik keluarga mereka. Keluarga yang memandang Rima sebagai sampah, karena dari kalaangan biasa saja. terlebih ada kasus Sherly. Tidak ada namanya perdamai dari mereka, mereka malah akan mengancam menuntut, jika keluarga James berani melaporkan kasus remeh 'menurut mereka' pada polisi."Bik, aku mau kekantor Mas James dulu, ya," Dengan yakin, Rima melangkah untuk tujuan balas dendam.Semua sudah dipersiapkan Rima dalam tas ranselnya, dia berniat menemui Grace. Wanita yang dulu dekat dengan James dan ingin sekali dirinya celaka, tapi semua sudah berlalu. Grace mendapatkan tambatan hati saat dirinya terluk
Rima kembali melajukan kendaraannya, tidak ada yang tahu kendaraan yang dia gunakan saat ini. Dia membelinya dari seseorang yang dia kenal saat masih kuliah dulu, semua kendaraan yang dijualnya tidak akan terdeteksi, kecuali pembuatnya ditangkap."Hai, Rim," sapa Grace, ketika Rima memasuki lobi perusahaan James."Hai, Mbak Grace," timpal Rima dengan menyambut pelukan Grace.Orang yang memandang mereka, pasti saling berisik. Bagaimana tidak, masa lalu yang cukup menyita perhatian, kini berdamai seperti tidak terjadi masalah. itulah, salah satu hal yang disukai James pada Rima, tidak menyimpan sakit hatinya. Namun, James tidak mengetahui sisi iblis yang bangkit dari diri Rima."Mereka sudah berangkat?" tanya Grace, saat mereka berjalan menuju ruangan James."Sudah, Mbak. Saya sedang ...." Langkah Rima terhenti, kemudian memandang Grace dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.Grace dengan tidak sabar menarik Rima, ke ruangan James dan mengintograsi temannya itu. Rima menangis sepuasny
"Maksud kamu?" tanya Grace yang tidak mengerti jalan pikiran wanita yang ada di depannya."Dia lelaki yang sudah menikah, Mbak. Lelaki yang sudah menikah, pasti selalu ingin menyalurkan hasratnya, entah itu pada istrinya atau wanita panggilan, lebih parahnya pada gadis seperti Sherly. Jika dia tidak memiliki penis, bagaimana dia bisa memuaskan dirinya dan pasangannya, itu akan membuatnya stres dan lama-lama akan memilih mengakhiri hidupnya sendiri!" ujar Rima, membuat Grace merinding."Hebat kau, bisa berpikiran sejauh itu. Memang wajar, dia diperlakukan seperti itu. Agar tidak ada lagi Sherly-Sherly yang lainnya!" kesal Grace."Salah, Mbak. Sepertinya mereka sudah terbiasa melakukan itu, tadi sebelum sampai sini, aku bertemu ke empat baj*ngan itu sedang bersama seorang gadis yang seusia mereka juga. Aku tahu, gadis itu juga korban dari mereka, hanya gadis itu sepertinya selalu menuruti keinginan dari ke empat remaja brengsek itu dan memilih bungkam dari pada terancam. Aku ingin mende
Grace memegang pundak Rima dan memberi semangat pada sahabatnya itu, dia tahu ini berbahaya, tapi dia pun tidak bisa mencegah Rima untuk membalaskan dendam anak tirinya. Grace menatap miris wanita yang terlihat tegar di depannya, jika dia dulu bersikukuh menikah dengan James, mungkin dai tidak akan sanggup di posisi Rima saat ini. Maka dari itu, dia mendukung penuh Rima, sebagai ungkapan terima kasih juga, sebagai penghormatan untuk pengorbanan seorang ibu tiri yang sering di pandang sebelah mata oleh banyak orang."Ayo, aku antar," ajak Grace dan diangguki oleh Rima.Mereka berdua berjalan keluar dari ruangan James, bertepatan dengan asisten James yang ingin memberi laporan. "Baik, saya bawa dulu, ya, untuk mempelajari lebih lanjut dan meminta persetujuan Pak James," Sebenarnya, karena waktu Rima mendesak, maka dia mencoba mengulur waktu."Antar sampai sana saja!" tunjuk Rima pada mini market yang ada di ujung jalan, saat Grace melajukan kendaraanya dengan kecepatan tinggi.Grace me
Sejak turun dari kendaraannya, Rima sudah menyiapkan ponsel rahasianya yang sudah diubah ke mode silent. Kemudian, mengaktifkan fitur vidio. Merekam aktivitas mereka secara diam-diam, lalu menjauh dari tempat yang jadikan markas oleh para penjahat kelam*n incaran Rima.Suara sirine mengganggu orang sekitar, sebagian berlarian, sebagian lagi tancap gas, kendaraan mereka. Sudah bisa dipastikan, jika lingkungan itu memang tempat maksiat. Jadi tidak membuat yang merasa terganggu dengan rengekan seseorang yang minta tolong."Cepat, kita pergi dari sini!" ujar salah satu dari baj*ngan yang diincar Rima."Itu palingan hanya mengincar bandar nark*ba saja, jadi kita bakalan aman. Sudah di sini saja!," celetuk suara yang dikenal oleh Rima, tapi dia belum berani memastikannya, karena belum melihat wajahnya."Terserah, dah. Gue dan yang lain cabut!" timpal yang lain.Beberapa saat hening, tidak ada suara lagi, tapi Rima tahu masih ada orang di ruangan itu. Dikarenakan gadis yang bersama mereka be
Lelaki yang tidak pernah disangka-sangka oleh Rima, kini meronta-rinta tidak jelas. Berusaha melepaskan ikatan dan sesuatu yang ada di mulutnya. Rima mengambil belati dan menempelkannya di leher lelaki yang ada di depannya, kemudian melepaskan kain yang menyumpalnya. Menyiram mata lelaki yang dikenalnya baik dan ramah, agar bisa melihat dan menghilangkan sisa cairan yang disemprotkannya. "Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Rima dengan menekan belatinya lebih kuat pada leher lelaki yang memandangnya dengan samar. "Ka-karena kamu!" ucapnya terbata. "Maksudmu!" tanya Rima dengan emosi dan makin menekan belatinya. "Karena kamu menolakku, dan aku diajak oleh mereka yang menetahui penolakkan sadismu!" ujar Rahmadi lancang, Tangan Rima langsung mengepal dan melayang ke dada Rahmadi, sontak lelaki itu menunduk karena sakit dan belati yang dipegang Rima melukai leher Rahmadi secara tidak langsung. "Brengsek kamu!" maki RIma dan terus menekan belatinya membuat luka cukup dalam, hingga dar*
Rima melukai sedikit peni*s Dito, membuat remaja itu meringis kesakitan. "Baru tergores! Belum terpotong!" ancam RIma dan Dito hanya mengangguk. Rima kembali pergi, dengan membawa serta belati yang melukai Dito, sedangkan Dito memaki wanita yang tengah menyanderanya dengan kata-kata kasar. Remaja itu tidak menyangka, jika Rima bisa berbuat sejauh ini. Bahkan dirinya menjadi ciut berhadapan dengan ibu tiri dari remaja yang dia lece*hkan. "Brengsek!" teriaknya. Rima hanya tersenyum mendengar makian dari Dito, kemudian dia berjalan dengan cepat untuk keluar dari persembunyian. Kemudian dia membuka CCTV yang terhubung dengan laptopnya, menghidupkannya kembali dengan posisi semula, meski sedikit dimodifikasi. "Bu, sudah benarkan saya keluar dari sana?" tanya Bik Irah yang masih memegang alat pel. "Sempurna, Bik. Sekarang bibik masak aja, untuk sarapan kita," pinta Rima. "Besok saja membersihkannya, sehari enggak dibersihkan, enggak masalah." Rima menjawab sebelum Bik Irah bertanya, da
Pagi-pagi sekali, Rima keluar dari rumah. Menuju ke supermarket terdekat, mengambil beberapa cemilan, roti dan juga susu. Kemudian menuju kasir, untuk membayar semua yan sudah dibeli olehnya."Makasih, ya, Mbak!" ujarnya setelah sang kasir memasukkan semua belanjaan ke dalam kantong yang dibawa oleh Rima."Sudah semua, ya, bersama titipannya," balas sang kasir dengan lirih di ujung kata-katanya.Rima keluar dengan membawa kantong yang berisi penuh dengan semua aneka camilan, dan dia taahu, jika ada sepasang mata yang memperhatikannya dengan sangattajam, sembari berpura-pura memgang minuman."Kalian masih mengintaiku?" gumam Rima kesal.Ponsel Rima berbunyi, dan wanita itu langsung menerima panggilan dari ternyata dari Satria. Mantan kekasihnya itu menanyakan, apakah dirinya aman setelah menerima bingkisan darinya ataau tidak. Rima membaritahu Satria, jika dirinya aman dan sudah sampai di rumah.Semalam, Rima menanyakan tentang efek samping dari penggunaan obat itu pada Satria. Bagaima
"Bukan begitu, sayang. Aku_"Rima langsung memotong ucapan James dengan cepat."Sudahlah, Mas. Yang penting aku selalu jaga hati dan tubuhku hanya untuk kamu,"Rima langsung mengakhiri panggilan, dan meletakan ponselnya di atas meja. Mendengkus kesal, karena merasa tidak dihargai oleh suaminya sendiri."Bibik aja yang angkat!" ucap Rima malas. "Bilang saja, aku sedang tidak mau diganggu!" Rima menambahkan sedikit permintaan.Bik Irah mengangguk dan segera menerima panggilan dari James untuk kedua kalinya. Seperti dugaan Rima, Bik Irah bisa diandalkan. Rima meyakini, jika suaminya itu bertanya banyak hal pada Bik Irah. Terbukti jawaban dari wanita tua di sampingnya itu, yang kadang tersenyum dan terkadang terlihat khawatir."Siap, Pak!"Di akhir panggilannya, dan Bik Irah meletakkan ponsel Rima kembali di tempatnya semula."Apa aja yang ditanya Mas James, Bik?" Rima bertanya seperti menyelidik."Pak James hanya khawatir pada ibu, dan menanyakan apa ibu pernah pergi dalam waktu yang lam
Rima terlihat marah pada Satria, yang menyangkal tentang keterlibatan Sandi dalam kasus anak sambungnya. "Aku mendengar sendiri, jika dia menggauli Sherly dan mengatakan hal tidak senonoh padaku!" bantah Rima. "Tidak, yang aku tahu, dia tidak ikut dalam pencab*lan itu!" Satria masih kukuh pada ucapannya. "Dan kamu sudah tahu siapa saja yang melakukan hal bejad itu, kan?" tanya Satria kemudian. "Pergila, aku hanya meyakini apa yang memang terjadi dan kuketahui!" Rima pun tidak merubah keputusannya. "Jangan gegabah, nanti kamu salah sasaran!" ketus Satria. Lelaki itu, lalu berpamitan dan meninggalkan Rima yang masih yakin dengan apa yang akan direncanakannya. Sedangkan Satria menghela napas panjang, terlalu sulit untuk membuktikannya sekarang. Rima duduk di kursinya dan kembali menyesap teh lemon buatannya, Menatap jauh ke depan dengan pandangan kosong. "Bu, saya melihat diary milik non Sherly," bisik Bik Irah. Perhatian Rima teralihkan, meminta Bik Irah untuk mengambilnya. Wanit
Ayah Dito langsung memperintahkan anak buahnya untuk mengeledah seisi rumah dan melihat CCTV yang terpasang di rumah Rima. Sedangkan Rima dan Bik Irah duduk dengan santai di meja makan, bahkan Rima menyedu teh lemon hangat dan menyesapnya perlahan. Setengah jam mereka mencari dan berputar-putar dengan sangat teliti, tapi tidak menemukan apa yang mereka cari, dengan kesal ayah Dito mendekati Rima. Mengacungkan senjata dan mengancam wanita yang pura-pura lemah itu. "Cepat, katakan di mana anakku?" tanyanya dengan menekan ujung pist*lnya di pelipis Rima. Satria yang melihat itu tentu saja sangat geram, tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk saat ini, karena baju yang sedang dia kenakan. "Saya sudah mengijinkan bapak untuk mencari anak bapak di sini, dan apakah saya mengijinkan bapak untuk mengancam saya?" tanya Rima yang makin membuat emosi lelaki di depannya memuncak. "Kamu tidak tau siapa saya?" tanyanya dengan membentak Rima, dan matanya melotot sempurna. Sehingga memperlihatkan am
Rima langsung mengakhiri panggilan dan menatap remaja yang mulai sadar akan keberadaannya yang menyedihkan."Tante, Lepasin aku!" teriak Dito dan hanya ditangapi dengan senyum hina dari Rima.Dito terus memaki, ingin rasanya Rima membalasnya. Akan tetapi disadarkan oleh Bik Irah yang menanyakan tentang makanan yang dia bawa tadi.Rima berjalan ke meja, lalu mendekati Dito yang masih terus menhardiknya. Tatapan Rima, sebenarnya membuat nyali Dito sedikti ciut, tapi dia tidak mau kalah dari wanita yang dia anggap tidak ada apanya."Kamu butuh asupan untuk terus menghardikku, jika tidak kamu akan kelapan dan tidak ada yang bisa menolongmu. Bahkan harta orang tuamu yang sangat banyak itu! Ingat, kamu belum membuatku merasakan kenikmatan yang kamu tawarkan," ujar Rima dengan nada penuh penekanan.Dito diam, setelah mendengar penuturan Rima, mungkin dia berpikir, benar apa yang dikatakan Rima. Dirinya tidak akan bisa keluar dengan selamat, jika dirinya tidak memiliki tenaga.Rima meminta Bi
Rima meletakkan dompet Dito, dan menguyur tubuhnya berkali-kali. Sebenarnya dia tidak ingin melakukan hal yang menjijikkan, akan tetapi tuntutan dari pembalasan dendamnya, mengharuskan dirinya melakukan hal yang bertentangan dengan nuraninya.Sejenak Rima berpikir, dan satu ide muncul dalam benaknya dan ingin segera dia laksakan."Wooow, kamu cantik sekali," puji Dito, setelah Rima keluar dari kamar mandi.Rima tidak menyangka, remaja yang seusia Sherly sudah sangat mendewakan S*x. Seharusnya dia dan Sherly bisa menikmati masa-masa remaja yang menyenangkan."Tante, bisa ambilkan obat di saku depanku?" pinta Dito, yang masih tetap terikat dengan tubuh gemetaran.Dengan santai, Rima mengambil celana Dito yang tadi dia lepaskan dan dilempar jauh. kemudian mengambil sebuah plastik klip berukuran 7 x 10cm di dalam sakunya. Ketika melihatnya, Rima tau, obat apa yang dimaksud oleh Dito.Semua yang direncanakan Rima, berbeda dengan kenyataannya, tapi cukup membuat dirinya bersemangat. Dengan
Dengan susah payah, Rima dan pembantunya--Bik Irah, memindahkan Dito ke ruang rahasia yang ditemukan oleh Rima beberapa waktu lalu. "Bik, sebaiknya bibik pulang kampung saja. Jika terjadi sesuatu, bibik tidak akan terkena imbasnya," ujar Rima dengan menggenggam kedua tangan renta milik Bik Irah. "Sherly sudah seperti cucu bibik, dari dia lahir, besar, ditinggalkan ibunya, dan sekarang tertimpa kesialan gegara lelaki seperti ini, Bibik enggak akan biarkan mereka hidup dengan tenang." Dengan semangat dia menolak permintaan Rima. Rima menghembuskan napas kasar, dia tidak ingin orang lain mendapatkan masalah karena perbuatannya, tapi dirinya pun tidak bisa menjalankan sesuatunya seorang diri. "Kalau saja waktu itu bibik tidak melihat kemaluan yang ibu mut*lasi, maka bibik tidak akan pernah bisa membalaskan rasa sakit melihat orang yang disayang terluka!" tambah Bik Irah. Ya, waktu itu Rima pulang bersama Sherly dengan keadaan yang tidak pernah dia pikirkan. Rima terlihat tegar, setela
"Saat Mas James sudah mengucapkan ijab qobul, maka tanggung jawabku pun bertambah, termasuk membalas perlakuan mereka pada orang yang menyakiti anak-anak!" ujar Rima."Aku akan menungu kamu untuk di sisiku. Aku tidak rela kamu harus berkorban begitu banyak!" ujar Satria yang dibalas dengan senyuman sinis dari Rima.Satria tahu, Rima tidak akan mudah berpaling setelah menentukan apa yang dia mau. Jika pun berpaling, maka dia akan mempertimbangkan segala sesuatunya dengan sangat teliti. Seperti saat Rima menerima James dan menghilangkan kenangannya dengan Satria. lelaki bertubuh tegap itu hanya bisa mnegela napas, karena terlambat datang memenuhi janjinya. Saat ini, dia hanya ingin dekat dengan wanita yang dia jadikan belahan jiwa sejak dia berjanji pada Bu Halimah dulu.Rima sudah memastikan ikatan yang dibuatnya cukup kuat dan tidak mudah lepas, dia menatap remaja yang sangaqt angkuh diusianya saat ini. Tentu semuanya karena ajaran yang diberikan oleh kedua orang tuanya, dan juga cont