“Karena kamu. Mas Dean harus melawan Mami dan sebagian keluargaku yang lain. Hanya demi menikahi kamu yang nggak mampu memberi keuntungan apapun. Di saat Mas Dean sebenarnya bisa menikahi perempuan yang sederajat dan memberikan dia manfaat atau paling nggak yang mampu mengimbangi dia di segala aspek. Sedangkan kamu cuma pegawai biasa yang beruntung bertemu mas ku, entah apa yang dia lihat dari kamu.”Linar memandang Ista gamang, alasan yang sudah ia prediksi karena terlalu jelas. Siapapun bisa menebaknya. “Apa lagi?”“Dan kamu yang selalu diam di pojokan atau gelayutan di samping Mas Dean, menunggu kami mendatangi kamu lebih dulu. Setelah itu sok sibuk sama orang-orang yang nggak penting. Padahal kamu pendatang yang nggak diharapkan tapi kamu sendiri yang ngak bisa beradaptasi sama kita. Kamu tahu! Menjengkelkan saat kamu yang cuma diam dan orang lain akan berpikir kalau kami yang terlalu sombong untuk mengajak kamu gabung! Padahal kita memang nggak pernah satu frekuensi! Beda circle!
"Linar?!!!" sentak Dean geram.Linar terlonjak dan segera mengendalikan diri, ia mengangkat dagunya lebih tinggi melotot pada Winona, sebagai bentuk antisipasi jika Winona akan membalasnya.“Brengsek! Apa kamu baru aja menampar ku, hah?!!!” jerit Ista menatap nyalang.Sedikit pun tak merasa bergetar saat telapak tangan Ista terangkat dan siap melayang ke wajahnya. Ia tak menyesali perbuatan atau pembelaannya atas ucapan sombong dan merendahkan wanita itu. Jika saja mereka sedang tak di depan umum maka Linar akan membalas dengan mencaci maki sikap Ista yang terlalu manja dan sombong itu. Sudah lama ia ingin menegur atau membalikkan perkataan Ista. "Cukup, Ista!"Suara Dean dari arah belakang membuat keduanya menegang dengan alasan yang berbeda.Ista menurunkan tangannya seketika dan menoleh pada Dean dengan tatapan protes. “Apa?! Mas lihat ‘kan! Dia yang menampar aku lebih dulu! Sial! Dia pikir dia siapa hah!!!”“Ada alasannya ‘kan! Kesabaran aku udah habis Ista! Dan stop playing vic
“Aaarrghhh….”Linar memekik dengan keras, memiringkan tubuhnya dan rasa sakit yang terus meremas keras perutnya. Sontak ia meringis keras, dan terisak.“Mas…” rintih Linar pilu. Linar langsung teringat, hasil testpacknya. Janinnya? Dengan gemetar Linar berusaha bangkit, tetapi rasa sakit yang lebih mendominasi daripada tenaganya. Air matanya mengalir semakin deras dan kedua tangannya bergerak memeluk perutnya. “Darah…? Tolong…” Berharap ada yang mendengar namun mengingat ia sedang ada di kamar hotel pasti tak akan terdengar dari balik pintu ia butuh sesuatu yang lebih keras. Dengan sekuat tenaga ia menggusurkan badannya keluar dari kamar mandi, beruntung tepat di sebelah pintu terdapat nakas yang dihiasi dengan pot bunga terbuat dari kaca setinggi sepuluh sentimeter, dengan meringis tangis dan bercucuran keringat. Linar meraih pot bunga tadi dan melemparnya pada jendela kaca balkon berjarak dua meter di depannya. Praaang….Linar tersenyum meringis nyaris tersengal melihat usahanya
Linar tak menggubris. Meneruskan perjalanannya.Tak sabar, Dean pun menyusul dan berhasil menyambar pergelangan tangan Linar. "Lalu kenapa kamu tiba-tiba berubah? Sebelumnya kita baik-baik aja tapi setelah pemeriksaan kandungan kamu kenapa kamu tiba-tiba diam seolah. Aku nggak ngerti kamu marah kenapa?!""Kamu beneran nggak tahu, Mas?"Dean terdiam, mencoba menyelami arti tatapan Linar."Ya, aku memang memberikan kamu kesempatan kedua, membiarkan kamu menarik aku ke kehidupan kamu semau kamu, tapi bukan berarti kamu berhak mengabaikan aku dan melakukan kesalahan yang sama, Mas!”Mata Dean menyipit, berusaha mengelupas lapisan emosi di wajah Linar. "Apa kamu marah karena aku lebih memilih pergi ke kantor dan mengabaikan janji aku ke kamu, gitu?"Linar memutar bola matanya jengah, menyentakkan tangan Dean, tetapi Dean malah semakin mengetatkan cekalannya."Kamu tahu aku udah jelasin ke kamu! Kalau itu panggilan urusan kerjaan dan aku harus kenkantor sebentar! Aku udah janji sama kamu ng
Dean menatap nyalang, lidahnya kelu akan sikap Linar yang balik menantang. “Ada teman aku yang melihat kebersamaan kalian dan dia mengirimi aku, fotonya. Hufthh! Jangan coba mengelak karena kalian bertemu di ruang publik, siapapun bisa melihatnya ‘kan?” dengus Dean.“Karena memang sedari awal yang kami nggak berniat selingkuh Mas! Dan kami nggak pernah selingkuh! Pertemuan kami murni karena ada keperluan.” tukas Linar lelah.“Apa yang membuat aku harus percaya? Kamu bukan jenis perempuan yang terbiasa berhubungan dekat dengan seorang lelaki. Aku tau seberapa selektifnya kamu berteman. Dan dari dulu sampai sekarang kamu selalu dekat sama satu pria yaitu lelaki itu.”“Dan lelaki itu, pacar dari sahabat aku, Mas! Dan rasanya wajar aja karena kami kenal sejak awal kuliah!” jelas Linar jengah.“Terserah kamu mau percaya atau nggak? Aku lelah! Kami butuh istirahat!” Linar sengaja menekan kata kami agar Dean ingat jika ia juga sedang hamil, tak hanya dirinya yang merasakan lelah tapi jelas j
"Ada apa?""P-perutku. arrghh... " ringis Linar nyaris tak bisa bernapas.Kepanikan melapisi seluruh permukaan wajah Dean, pria itu menunduk dan menyelipkan kedua lengannya di punggung dan balik lutut Linar. Kemudian membawa Linar kembali ke tempat tidur.Linar menggigit bibir bagian dalamnya menahan nyeri di bagian bawah perutnya. Sedangkan Dean, memposisikan dirinya memeluk Linar dari belakang, pria itu menyelipkan telapak tangannya di balik pakaian Linar yang memunggungi Dean.Diam-diam, Dean ikut meringis dan menyentuhkan tangannya di perut Linar yang mengeras. Kemudian pria itu mengelusnya dengan lembut. Perlahan tapi pasti, ketegangan di perut Linar dan desah kesakitan pun berkurang. Hingga benar-benar sirna. Dan saat keduanya tersadar, Linar menyentakkan tangan Dean dari tubuhnya. "Pokoknya aku udah kasih alasan, kenapa aku nggak mau datang."Dean mendengus tipis. "Lantas. Apa kamu nggak keberatan kalau aku kasih alasan yang sama, lengkap dengan ekspresi yang kamu tunjukkan k
“Karena itu nggak penting Lin, dan kamu nggak nanya apapun.” jawab Dean dengan suara yang diseret.Linar menipiskan bibirnya kesal mendengarnya. Dengan sengaja mendorong gelas dan piring kosong dari hadapannya agak kasar. “Aku sudah selesai makan, aku permisi ke atas Mi, Mas.”Tanpa mendengar jawaban, Linar gegas bangkit dan berjalan cepat menaiki tangga. Sesekali mengelus perut besarnya untuk menenangkan janinnya.Sesampainya di dalam kamar Linar langsung mengambil sepotong coklat putih yang ada di kulkas kecil samping ranjang mereka. Dengan hati yang tak nyaman ia mengunyah coklat putih berharap bisa menetralkan suasana hatinya.“Linar! Kenapa kamu langsung pergi gitu, aja, hah?!”Dean menghela napasnya, “Kamu tahu ‘kan. Mami akan lebih tersinggung dengan apa yang kamu lakukan tadi!”“Dan gimana sama aku, Mas? Kenapa Mami belum juga menjaga perasaan aku? Apa maksud dari kata-katanya bahwa aku harus tampil all-out untuk mengalahkan kehadiran Dera, mantan menantu idamannya itu? Jujur
"Hai Lin, kenapa kamu ditinggal sendiri disini?" "Mas Dean lagi menyapa rekanan bisnisnya, dan mungkin mereka akan sedikit mengobrol tentang pekerjaan, dan Mas Dean tahu aku pasti langsung bosen. Dan aku diminta nunggu dia."Marwan mengangguk kecil sambil menatap Linar lekat. "Kenapa, liat akunya begitu?""Dan kamu nggak apa-apa membiarkan Dean pergi dengan Crystaline?"Linar tersenyum kikuk, "Iya, memangnya kenapa?"Marwan mengerjapkan matanya dua kali, kembali menimbang dan memutuskan untuk tersenyum ringan. "Nggak, memang bukan masalah.""Ayo ikut aku! Disana ada Anggita dan Marcel, kamu bisa gabung sama mereka."Sekali lagi diam-diam Linar bersyukur diselamatkan oleh Marwan. Kakak sepupu iparnya yang selalu peka dan rendah hati. ** “Ya, aku dengar dan sekarang acaranya sudah mulai santai dan aku tetap ingin duduk disini, Marcel.”“Anggit, kamu masih bisa duduk santai di dalam dan sesekali kamu bisa ikut mengobrol dengan yang lain ‘kan?”“Aku sudah melakukanya, dan sekaran