Malam telah tiba dan Gozard menyadari Nozer yang ia suruh untuk menjemput Daxton tak kunjung pulang."Kemana sebenarnya Nozer dan Daxton?" Dengan perasaan gelisah Gozard mencoba menghubungi nomor ponsel Nozer berulang kali, sayangnya nomor itu justru tak dapat dituju karena tidak aktif, sekiranya begitulah bunyi operator tiap kali Gozard mencoba menghubungi Nozer.Posie juga tampak gelisah, perempuan berambut cokelat gelap yang malam ini dibiarkan tergerai itu berulang kali menatap jendela, berharap Nozer segera kembali dan membawa putra sulungnya-Daxton Guiner."Kau sudah menghubungi Ayah?" Gozard bertanya membuat Posie menganggukkan kepala dengan rasa khawatir juga gelisah yang tak kunjung reda.Kemana? Kemana Daxton pergi? Batinnya sembari berharap putra sulungnya baik-baik saja.Tak seberapa lama Kaslo dan Wilman datang bersamaan ke Guiner Mansion, dua lelaki paruh baya itu langsung bergegas begitu mendapat kabar Daxton belum juga pul
Wozard malam ini hendak bersiap menuju ke Guiner Hospital, ia akan menjenguk Daxton.Meski membenci Gozard, lelaki yang merupakan putra sulung dari Wilman Guiner itu tetap memutuskan datang ke Guiner Hospital karena ia memang tak pernah membenci Daxton atau pun Darcio, dan seberusaha mungkin ia akan mengabaikan Gozard, yah untuk mencegah rasa sakitnya terhadap masa lalu kembali timbul ke permukaan.Ketika berjalan melewati ruang tamu, Wozard melihat putri bungsunya dan putra ketiganya tengah memunguti sesuatu di lantai."Ada apa?" Wozard bertanya sembari mulai ikut berjongkok, membantu dua anaknya itu untuk memunguti barang-barang yang terjatuh dari tas yang sepertinya milik Zanel. Yah, Zanel aka Zanella Guiner adalah putri bungsu dari Wozard dan Gaby.Putranya tersenyum tipis sembari menggaruk kepala. "Tadi aku tak sengaja menubruk Zanel, dan membuatnya menjatuhkan tasnya, Ayah."Wozard menganggukkan kepala pada anak lelakinya itu-Jonas Guiner.Mulanya Wozard biasa saja dan membantu
Sepeninggal Wozard dari Guiner Mansion, Gozard berdiri termangu di balkon kamarnya, rambut cokelat gelapnya yang acak-acakkan bergoyang tertiup angin malam."Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" Posie yang baru datang ke kamar langsung bertanya, perempuan itu berdiri di sebelah sang suami.Gozard masih termangu, tatapannya hampa ke arah halaman depan Guiner Mansion yang bercahaya berkat lampu-lampu taman.Posie menghela napas lalu tanpa mengatakan apa-apa, perempuan dengan rambut panjang tergerai itu segera memeluk Gozard dari samping yang berhasil membuat sang suami menghentikan lamunannya.Gozard menolehkan kepalanya ke samping, matanya yang tajam dengan cekungan dalam menatap ke arah Posie, seketika bibir lelaki itu melengkung tipis ke atas."Kau mau bercerita padaku?" Posie seolah tahu apa yang membuat sang suami termangu segera menawarkan diri menjadi pendengar cerita."Aku tidak apa-apa, Posie," balas lelaki yang merupakan putra bungsu Wilman Guiner itu sembari melepaskan pelukka
Ketika waktu makan siang tiba, Posie datang ke kamar Daxton hendak mengajak putra sulungnya untuk makan siang di ruang keluarga."Daxton!" Suara Posie menyapa putra sulungnya yang rupanya tengah membaca buku di sofa.Daxton menghentikan fokusnya pada buku, anak lelaki berusia 8 tahun itu mendongakkan kepala, menatap ke arah sang Ibu."Sedang membaca buku apa, Daxton?" Posie bertanya sembari mulai duduk di sebelah putra sulungnya."Apa dulu Ibu tidak ingin melahirkanku?" Mendengar pertanyaan dari Daxton, seketika Posie terdiam, perempuan dengan hidung lancip dan mata tajam itu menghela napas lalu tangan kanannya terulur untuk mengusap wajah Daxton."Pasti Ayahmu yang mengatakannya kan?" Posie tentu sudah yakin kalau Gozard telah mengatakan sesuatu pada Daxton, dan membuat anak lelaki itu jadi menanyakan hal demikian pada Posie."Apa Ibu akan memarahiku?" Daxton bertanya dengan mata polos menatap sang Ibu.Posie kini menyadari ia telah menjadi Ibu yang
Tiga hari telah berlalu, dan hari ini Daxton sudah harus berangkat sekolah. Anak lelaki berusia 8 tahun itu tersenyum di depan cermin, menyadari pagi ini ia akan diantara ke sekolah oleh sang Ibu.Sampai seseorang datang mengetuk pintu kamarnya, membuat Daxton bertanya siapa gerangan yang mengetuk pintu."Ini aku, Tuan Muda Daxton!" balas suara itu yang rupanya adalah Nozer.Pintu terbuka menampilkan Nozer dengan setelan jas formalnya, lengkungan di bibirnya seketika tampak, menyapa Daxton yang juga turut membalasnya dengan lengkungan bibir ke atas."Bagaimana keadaan, Tuan Muda? Sudah baikkan?"Daxton segera mencangklok ranselnya, ia lalu menganggukkan kepala. "Sudah, aku baik-baik saja sekarang, Nozer," sahutnya membuat Nozer tersenyum sembari menganggukkan kepala. "Mari berangkat ke sekolah, Tuan Muda!" ajak Nozer dengan nada ramah seperti biasa.Daxton menganggukkan kepala setuju. Mereka akhirnya keluar bersama men
Hari berikutnya Daxton berangkat ke sekolah menaiki bus sekolah, lantaran kedua orang tuanya ingin ia mandiri dan tak lagi bergantung pada siapa pun termasuk Nozer, sopir pribadi Keluarga Guiner.Di dalam bus sekolah, anak lelaki berusia 8 tahun itu termenung, tatapannya ke arah jendela bus yang menampilkan deretan pepohonan di sepanjang jalan menuju Evanest School."Daxton!" Seseorang menyapa, tak membuat Daxton sama sekali terganggu."Daxton!" Kembali seseorang itu memanggil Daxton yang tak digubris sama sekali olehnya."Daxton Guiner!"Seketika Daxton mengerjap, tatapannya yang polos itu mengarah pada seseorang yang tak Daxton ketahui sejak kapan berada di sebelahnya."Ini!" ucap seseorang yang rupanya adalah anak lelaki itu, ia Eisen Millian. Daxton mengerutkan dahinya, menatap selembar kertas yang diulurkan Eisen padanya."Pak Alvos memberi ini pada semuanya," jelas Eisen dengan wajah tanpa ekspresi, membuat Daxton menganggukkan kepala lalu menerima kertas barusan."Terima kasih
Ketika waktu pulang sekolah telah tiba, Daxton langsung menarik lengan Darcel agar ikut bersamanya, dua anak lelaki itu berlari bersama melewati lorong sekolah."Daxton! Kita mau pergi kemana?" Darcel yang bingung memutuskan bertanya, meski begitu ia tetap berlari mengikuti Daxton yang sejak tadi menarik lengannya.Daxton tak menjawab, memilih tetap fokus ke depan.Akhirnya mereka berhenti di depan ruangan seorang guru bernama Enoz Granson yang mana merupakan guru yang mengatur murid-murid penerima beasiswa di Evanest School."Eh? Kita ke sini? Untuk apa, Daxton?" Darcel bertanya ketika Daxton akhirnya sudah tak lagi menarik lengannya.Daxton sedikit melengkungkan bibirnya ke atas, "Aku akan membantumu," jelasnya membuat Darcel semakin bingung, alisnya jadi terangkat sebelah."Aku akan masuk, kau tunggu saja di sini," ucap Daxton lagi lalu mengetuk pintu, berikutnya ia segera masuk setelah mendengar sahutan dari dalam ruangan.Darcel hanya mengangguk meski ia sendiri tak paham apa mak
Tadinya Daxton ingin segera pulang ke rumah, tetapi kemudian ia berpikir bahwa lebih baik pergi ke panti asuhan, lagi pula ia tidak mau pulang lantaran Ayah dan Ibunya pasti akan menyuruhnya belajar terus-terusan."Daxton, kau tidak pulang?" Darcel bertanya lantaran Daxton malah berdiri diam di depan panti asuhan bersamanya.Daxton dengan cepat menggelengkan kepala, membuat Darcel menatapnya bingung."Aku akan ikut ke panti asuhan," timpal Daxton membuat Darcel tersenyum lebar lalu segera menarik tangan Daxton untuk masuk ke panti asuhan.Mereka beriringan masuk ke panti asuhan, dan ketika itu kebetulan Vanderz sang pemilik panti juga berada di sana."Selamat siang, wah kau datang bersama Daxton ya?" Darcel dengan senyum lebar menganggukkan kepala, membuat Vanderz tersenyum sembari geleng kepala, lantas lelaki paruh baya itu segera menatap ke arah Daxton."Kau sudah izin pada Ayahmu untuk kemari, Daxton?"Tadinya Darcel hendak menjawab, tetapi ia pada akhirnya memilih diam, membiarka
Satu minggu telah berlalu.Daxton duduk termenung di danau belakang Guiner Mansion. Wajah anak lelaki itu begitu murung."Tuan Muda!" Sampai Nozer datang menyapanya dengan senyuman hangat."Nozer!" Daxton segera menggeser tubuhnya, seolah mempersilakan Nozer untuk bergabung, duduk di batang pohon tumbang yang telah lama mati itu."Selamat siang, kenapa Tuan Muda di sini seorang diri?" Nozer bertanya dengan hangat. Lelaki itu tak duduk di sebelah Daxton, melainkan berlutut di hadapan sang majikan muda.Kemurungan kembali datang di wajah Daxton, dan Nozer segera mengerti apa yang menjadi penyebab kemurungan itu."Tuan pasti memiliki alasan mengapa melarang Tuan Muda untuk mengikuti karya wisata ke museum," ucap Nozer seraya bangkit dan menepuk bahu Daxton.Alasannya karena ia tak ingin fokusmu terpecah, ia ingin dalam kepalamu hanya ada tentang politik. Malang sekali dirimu, Tuan Muda. Dalam hati Nozer mengasihani Daxton. Tetapi segera lelaki itu menyadari, bahwa Daxton tak perlu dikasi
Setelah mendengar cerita Wozard mengenai sang Ayah, Daxton diam-diam melengkungkan bibirnya ke atas sembari menatap kukis cokelat di tangannya, makanan kegemarannya yang rupanya juga jadi kegemaran sang Ayah.Kali ini anak lelaki berusia 8 tahun itu mendongak menatap langit yang siang ini membiru cerah lalu beralih menatap Wozard."Jadi Ayahku juga suka kukis cokelat ya, Paman?"Wozard menganggukkan kepala dengan bibirnya yang melengkung ke atas, menciptakan senyum hangat nan tulus di wajahnya.Ayah suka kukis cokelat, aku baru tahu, batin Daxton sembari menatap kukis cokelat di tangannya yang tinggal separuh."Dulu aku selalu membelikan banyak kukis cokelat untuknya, tapi ...," ucapan Wozard terhenti, ia mendongak menatap langit, "Aku tidak tahu akankah ia masih menyukainya hingga saat ini atau tidak."Daxton menunduk dalam, anak lelaki berusia 8 tahun itu menatap lama kukis cokelat di tangannya.Benar, aku tidak pernah lihat Ayah makan kukis cokelat, apa Ayah sudah tidak suka lagi y
"Ti-tidak bisa, sebaiknya kau ba-bantu aku u-untuk ke rumah Dok ...."Iris langsung berjongkok kembali begitu Jonas pingsan, perempuan itu menatap sekeliling dan tak menemukan apa pun yang bisa ia gunakan untuk membungkus luka Jonas. Pada akhirnya Iris memilih melepas jaket abu-abunya lalu merobek kemeja bagian bawah kiri dengan pisau yang ada dalam tas slempangnya.Dengan terburu-buru Iris segera mengikatkan robekkan kain barusan ke luka di perut Jonas, setelahnya remaja perempuan itu mengenakan kembali jaket abu-abunya."Bertahanlah, Kak!" ucapnya sembari memapah Jonas dengan susah payah, perlahan perempuan itu keluar dari gubuk berdebu di kawasan gang kumuh Kota Evanesant.Iris tadinya hendak menghubungi seseorang, tetapi sepertinya lebih baik membawa Jonas ke rumah sakit lebih dulu baru setelahnya menghubungi seseorang itu."Harusnya kau tidak melawan mereka seorang diri, Kakak lelaki," gumam Iris sembari terus berusaha memapah Jonas dengan benar.Setelah keluar dari gang kumuh it
Wozard menghela napas, ditatapnya lama Gozard lalu lelaki yang merupakan Kakak kandung Gozard itu menepuk bahu sang adik lelaki."Berhenti memaksakan sesuatu pada orang lain ketika kau bahkan di masa lalu juga tidak menyukai hal itu," ucap Wozard lirih lalu membalikkan badan hendak pergi dari Guiner Mansion."Tunggu!" seru Gozard menghentikan langkah sang Kakak lelaki.Wozard berhenti, meski begitu ia tak menolehkan kepala."Kenapa kau begitu peduli pada Daxton?"Wozard seketika membalikkan badan, wajah tanpa ekspresinya kini kembali terpampang di depan Gozard."Apa ada alasan untuk tidak peduli pada keluarga?" Wozard justru mengajukan pertanyaan balik, membuat Gozard pada akhirnya merasa jengah dan sedikit kesal."Baiklah, kau bisa pergi bersama Daxton, Kakak lelaki!""Terima kasih!" Meski kesal bahkan kecewa pada Gozard, sampai kapan pun Wozard benar-benar tak bisa membenci atau bahkan berdoa agar adik laki-lakinya ini mati, ia tidak bisa melakukannya meski sangat ingin."Sama-sama!"
Gozard hanya diam menatap putra sulungnya itu, tetapi berikutnya ia kembali menatap ke arah depan, tak lagi memfokuskan diri pada putra sulungnya, Daxton.Apa Ayah tidak marah? Batin anak lelaki berusia 8 tahun itu usai membuka mata, dan menyadari Gozard tak memarahi atau pun memukulnya.Daxton bahkan sampai menatap Ayahnya itu cukup lama, sampai Gozard berucap membuat ia jadi menundukkan kepalanya lagi."Jangan kira kau tidak akan mendapat hukuman, Daxton! Kau sudah melanggar aturan yang kubuat!"SUV hitam yang dikendarai oleh Nozer melaju semakin kencang membelah jalanan Kota Evanesant usai Gozard memintanya agar menambah kecepatan.***Begitu tiba di rumah, Gozard terkejut melihat siapa yang berdiri dengan wajah tenang di pelataran Guiner Mansion.Daxton yang melihat seseorang itu langsung berlari mendekat. "Paman Wozard!" Anak kecil itu lalu menyapa dengan sopan, tubuhnya membungkuk, yah sesuai dengan apa yang selalu diajarkan oleh Gozard dan Posie.Benar, seseorang itu adalah Woz
Daxton asik bermain bersama Darcel di taman belakang panti asuhan, tanpa pernah menyadari sang Ayah telah tiba di sana, sayangnya saat itu Vanderz telah pergi dari Evanest House untuk membeli beberapa buku baru."Kau lempar yang jauh lagi, Daxton!" seru Darcel sembari melempar batu ke arah danau.Daxton menganggukkan kepala lalu tangan kanannya sudah terkepal berisikan batu yang akan ia lempar ke danau, tiba-tiba saja sebuah suara menghentikannya."Daxton Guiner!"Tanpa perlu menoleh anak lelaki berusia 8 tahun itu sudah tahu suara milik siapa yang barusan menyebut namanya dengan lengkap.Perlahan Daxton dan Darcel menolehkan kepala mereka.Dan, mereka menemukan Gozard berdiri bersama Nozer agak jauh di belakangnya."A-ayah!"Gozard langsung mendekat lalu menatap Darcel dengan senyuman, dan beralih menatap Daxton dengan ekpresi wajah serius. Lelaki paruh baya itu bahkan berjongkok agar tingginya sejajar dengan sang putra."Kau tidak izin pada Ayahmu untuk pergi ke sini Daxton? Ada apa
Tadinya Daxton ingin segera pulang ke rumah, tetapi kemudian ia berpikir bahwa lebih baik pergi ke panti asuhan, lagi pula ia tidak mau pulang lantaran Ayah dan Ibunya pasti akan menyuruhnya belajar terus-terusan."Daxton, kau tidak pulang?" Darcel bertanya lantaran Daxton malah berdiri diam di depan panti asuhan bersamanya.Daxton dengan cepat menggelengkan kepala, membuat Darcel menatapnya bingung."Aku akan ikut ke panti asuhan," timpal Daxton membuat Darcel tersenyum lebar lalu segera menarik tangan Daxton untuk masuk ke panti asuhan.Mereka beriringan masuk ke panti asuhan, dan ketika itu kebetulan Vanderz sang pemilik panti juga berada di sana."Selamat siang, wah kau datang bersama Daxton ya?" Darcel dengan senyum lebar menganggukkan kepala, membuat Vanderz tersenyum sembari geleng kepala, lantas lelaki paruh baya itu segera menatap ke arah Daxton."Kau sudah izin pada Ayahmu untuk kemari, Daxton?"Tadinya Darcel hendak menjawab, tetapi ia pada akhirnya memilih diam, membiarka
Ketika waktu pulang sekolah telah tiba, Daxton langsung menarik lengan Darcel agar ikut bersamanya, dua anak lelaki itu berlari bersama melewati lorong sekolah."Daxton! Kita mau pergi kemana?" Darcel yang bingung memutuskan bertanya, meski begitu ia tetap berlari mengikuti Daxton yang sejak tadi menarik lengannya.Daxton tak menjawab, memilih tetap fokus ke depan.Akhirnya mereka berhenti di depan ruangan seorang guru bernama Enoz Granson yang mana merupakan guru yang mengatur murid-murid penerima beasiswa di Evanest School."Eh? Kita ke sini? Untuk apa, Daxton?" Darcel bertanya ketika Daxton akhirnya sudah tak lagi menarik lengannya.Daxton sedikit melengkungkan bibirnya ke atas, "Aku akan membantumu," jelasnya membuat Darcel semakin bingung, alisnya jadi terangkat sebelah."Aku akan masuk, kau tunggu saja di sini," ucap Daxton lagi lalu mengetuk pintu, berikutnya ia segera masuk setelah mendengar sahutan dari dalam ruangan.Darcel hanya mengangguk meski ia sendiri tak paham apa mak
Hari berikutnya Daxton berangkat ke sekolah menaiki bus sekolah, lantaran kedua orang tuanya ingin ia mandiri dan tak lagi bergantung pada siapa pun termasuk Nozer, sopir pribadi Keluarga Guiner.Di dalam bus sekolah, anak lelaki berusia 8 tahun itu termenung, tatapannya ke arah jendela bus yang menampilkan deretan pepohonan di sepanjang jalan menuju Evanest School."Daxton!" Seseorang menyapa, tak membuat Daxton sama sekali terganggu."Daxton!" Kembali seseorang itu memanggil Daxton yang tak digubris sama sekali olehnya."Daxton Guiner!"Seketika Daxton mengerjap, tatapannya yang polos itu mengarah pada seseorang yang tak Daxton ketahui sejak kapan berada di sebelahnya."Ini!" ucap seseorang yang rupanya adalah anak lelaki itu, ia Eisen Millian. Daxton mengerutkan dahinya, menatap selembar kertas yang diulurkan Eisen padanya."Pak Alvos memberi ini pada semuanya," jelas Eisen dengan wajah tanpa ekspresi, membuat Daxton menganggukkan kepala lalu menerima kertas barusan."Terima kasih