Wozard sesungguhnya ingin marah, ingin berteriak sekeras-kerasnya di hadapan wajah adik lelakinya itu, tetapi ia sadar dengan melakukan itu semua tidak akan mengembalikan masa lalu, tidak akan menyatukan keretakan yang terjadi antara dirinya dan Gozard.Kemarahan hanya akan menghilangkan segala hal yang berada dalam genggaman, dan lagi pula Wozard bukan seseorang yang senang marah-marah, ia bukan seseorang yang marahnya meledak-ledak, ia adalah lelaki yang ketika marah hanya diam, menganggap seluruh hal yang ia benci tak pernah tampak di matanya, termasuk Gozard saat ini.Wozard tidak pernah ingin mengingat lagi kalau ia pernah memiliki Gozard sebagai adik laki-lakinya, ia tidak ingin mengingat kembali betapa ia menyayangi adik laki-lakinya itu, ia tidak ingin mengingatnya bahkan sampai mati nanti.Inilah yang mengerikannya dari seorang lelaki seperti Wozard, ia tidak akan marah dan melampiaskannya dengan pukulan, ia hanya diam, mengumpulkan seluruh rasa sakit yang jika suatu hari itu
Malam telah tiba dan Gozard menyadari Nozer yang ia suruh untuk menjemput Daxton tak kunjung pulang."Kemana sebenarnya Nozer dan Daxton?" Dengan perasaan gelisah Gozard mencoba menghubungi nomor ponsel Nozer berulang kali, sayangnya nomor itu justru tak dapat dituju karena tidak aktif, sekiranya begitulah bunyi operator tiap kali Gozard mencoba menghubungi Nozer.Posie juga tampak gelisah, perempuan berambut cokelat gelap yang malam ini dibiarkan tergerai itu berulang kali menatap jendela, berharap Nozer segera kembali dan membawa putra sulungnya-Daxton Guiner."Kau sudah menghubungi Ayah?" Gozard bertanya membuat Posie menganggukkan kepala dengan rasa khawatir juga gelisah yang tak kunjung reda.Kemana? Kemana Daxton pergi? Batinnya sembari berharap putra sulungnya baik-baik saja.Tak seberapa lama Kaslo dan Wilman datang bersamaan ke Guiner Mansion, dua lelaki paruh baya itu langsung bergegas begitu mendapat kabar Daxton belum juga pul
Wozard malam ini hendak bersiap menuju ke Guiner Hospital, ia akan menjenguk Daxton.Meski membenci Gozard, lelaki yang merupakan putra sulung dari Wilman Guiner itu tetap memutuskan datang ke Guiner Hospital karena ia memang tak pernah membenci Daxton atau pun Darcio, dan seberusaha mungkin ia akan mengabaikan Gozard, yah untuk mencegah rasa sakitnya terhadap masa lalu kembali timbul ke permukaan.Ketika berjalan melewati ruang tamu, Wozard melihat putri bungsunya dan putra ketiganya tengah memunguti sesuatu di lantai."Ada apa?" Wozard bertanya sembari mulai ikut berjongkok, membantu dua anaknya itu untuk memunguti barang-barang yang terjatuh dari tas yang sepertinya milik Zanel. Yah, Zanel aka Zanella Guiner adalah putri bungsu dari Wozard dan Gaby.Putranya tersenyum tipis sembari menggaruk kepala. "Tadi aku tak sengaja menubruk Zanel, dan membuatnya menjatuhkan tasnya, Ayah."Wozard menganggukkan kepala pada anak lelakinya itu-Jonas Guiner.Mulanya Wozard biasa saja dan membantu
Sepeninggal Wozard dari Guiner Mansion, Gozard berdiri termangu di balkon kamarnya, rambut cokelat gelapnya yang acak-acakkan bergoyang tertiup angin malam."Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" Posie yang baru datang ke kamar langsung bertanya, perempuan itu berdiri di sebelah sang suami.Gozard masih termangu, tatapannya hampa ke arah halaman depan Guiner Mansion yang bercahaya berkat lampu-lampu taman.Posie menghela napas lalu tanpa mengatakan apa-apa, perempuan dengan rambut panjang tergerai itu segera memeluk Gozard dari samping yang berhasil membuat sang suami menghentikan lamunannya.Gozard menolehkan kepalanya ke samping, matanya yang tajam dengan cekungan dalam menatap ke arah Posie, seketika bibir lelaki itu melengkung tipis ke atas."Kau mau bercerita padaku?" Posie seolah tahu apa yang membuat sang suami termangu segera menawarkan diri menjadi pendengar cerita."Aku tidak apa-apa, Posie," balas lelaki yang merupakan putra bungsu Wilman Guiner itu sembari melepaskan pelukka
Ketika waktu makan siang tiba, Posie datang ke kamar Daxton hendak mengajak putra sulungnya untuk makan siang di ruang keluarga."Daxton!" Suara Posie menyapa putra sulungnya yang rupanya tengah membaca buku di sofa.Daxton menghentikan fokusnya pada buku, anak lelaki berusia 8 tahun itu mendongakkan kepala, menatap ke arah sang Ibu."Sedang membaca buku apa, Daxton?" Posie bertanya sembari mulai duduk di sebelah putra sulungnya."Apa dulu Ibu tidak ingin melahirkanku?" Mendengar pertanyaan dari Daxton, seketika Posie terdiam, perempuan dengan hidung lancip dan mata tajam itu menghela napas lalu tangan kanannya terulur untuk mengusap wajah Daxton."Pasti Ayahmu yang mengatakannya kan?" Posie tentu sudah yakin kalau Gozard telah mengatakan sesuatu pada Daxton, dan membuat anak lelaki itu jadi menanyakan hal demikian pada Posie."Apa Ibu akan memarahiku?" Daxton bertanya dengan mata polos menatap sang Ibu.Posie kini menyadari ia telah menjadi Ibu yang
Tiga hari telah berlalu, dan hari ini Daxton sudah harus berangkat sekolah. Anak lelaki berusia 8 tahun itu tersenyum di depan cermin, menyadari pagi ini ia akan diantara ke sekolah oleh sang Ibu.Sampai seseorang datang mengetuk pintu kamarnya, membuat Daxton bertanya siapa gerangan yang mengetuk pintu."Ini aku, Tuan Muda Daxton!" balas suara itu yang rupanya adalah Nozer.Pintu terbuka menampilkan Nozer dengan setelan jas formalnya, lengkungan di bibirnya seketika tampak, menyapa Daxton yang juga turut membalasnya dengan lengkungan bibir ke atas."Bagaimana keadaan, Tuan Muda? Sudah baikkan?"Daxton segera mencangklok ranselnya, ia lalu menganggukkan kepala. "Sudah, aku baik-baik saja sekarang, Nozer," sahutnya membuat Nozer tersenyum sembari menganggukkan kepala. "Mari berangkat ke sekolah, Tuan Muda!" ajak Nozer dengan nada ramah seperti biasa.Daxton menganggukkan kepala setuju. Mereka akhirnya keluar bersama men
Hari berikutnya Daxton berangkat ke sekolah menaiki bus sekolah, lantaran kedua orang tuanya ingin ia mandiri dan tak lagi bergantung pada siapa pun termasuk Nozer, sopir pribadi Keluarga Guiner.Di dalam bus sekolah, anak lelaki berusia 8 tahun itu termenung, tatapannya ke arah jendela bus yang menampilkan deretan pepohonan di sepanjang jalan menuju Evanest School."Daxton!" Seseorang menyapa, tak membuat Daxton sama sekali terganggu."Daxton!" Kembali seseorang itu memanggil Daxton yang tak digubris sama sekali olehnya."Daxton Guiner!"Seketika Daxton mengerjap, tatapannya yang polos itu mengarah pada seseorang yang tak Daxton ketahui sejak kapan berada di sebelahnya."Ini!" ucap seseorang yang rupanya adalah anak lelaki itu, ia Eisen Millian. Daxton mengerutkan dahinya, menatap selembar kertas yang diulurkan Eisen padanya."Pak Alvos memberi ini pada semuanya," jelas Eisen dengan wajah tanpa ekspresi, membuat Daxton menganggukkan kepala lalu menerima kertas barusan."Terima kasih
Ketika waktu pulang sekolah telah tiba, Daxton langsung menarik lengan Darcel agar ikut bersamanya, dua anak lelaki itu berlari bersama melewati lorong sekolah."Daxton! Kita mau pergi kemana?" Darcel yang bingung memutuskan bertanya, meski begitu ia tetap berlari mengikuti Daxton yang sejak tadi menarik lengannya.Daxton tak menjawab, memilih tetap fokus ke depan.Akhirnya mereka berhenti di depan ruangan seorang guru bernama Enoz Granson yang mana merupakan guru yang mengatur murid-murid penerima beasiswa di Evanest School."Eh? Kita ke sini? Untuk apa, Daxton?" Darcel bertanya ketika Daxton akhirnya sudah tak lagi menarik lengannya.Daxton sedikit melengkungkan bibirnya ke atas, "Aku akan membantumu," jelasnya membuat Darcel semakin bingung, alisnya jadi terangkat sebelah."Aku akan masuk, kau tunggu saja di sini," ucap Daxton lagi lalu mengetuk pintu, berikutnya ia segera masuk setelah mendengar sahutan dari dalam ruangan.Darcel hanya mengangguk meski ia sendiri tak paham apa mak