"Jangan ... jangan ...."Rasa sakit seperti digerogoti belatung, menembus hingga ke seluruh tulangnya. Keringat dingin membanjiri tubuh saat Anggi terbangun dari mimpi buruk.Saat sadar bahwa itu hanya mimpi, Anggi melihat Luis duduk di sampingnya, seolah-olah sedang mengamatinya."Mimpi buruk?"Anggi menggigil dan membalas dengan suara bergetar, "Sa ... saya mengganggu tidur Pangeran ya? Maaf."Nada suaranya dipenuhi kewaspadaan karena terlalu takut untuk membuat kesalahan sekecil apa pun.Dalam sekejap, Luis merasa ada sesuatu di hatinya yang terbuka. Dia ingin menghibur Anggi. Akan tetapi, dia tidak pernah pandai menghibur orang.Saat Anggi masih dalam ketakutan dan tubuhnya gemetar, Luis mengulurkan tangan dan menepuk lembut kepalanya. "Jangan takut, aku ada di sini."Anggi tidak bisa melihat ekspresi pria itu. Namun, suara Luis terdengar lebih hangat dari biasanya. Apakah ini cara dia menghibur seseorang?Di atas kepalanya, telapak tangan Luis terasa hangat, seperti perapian di te
Apa yang sedang dia pikirkan?Di benaknya, kata-kata Luis tiba-tiba muncul lagi. Semuanya cuma sandiwara!Pria sedingin Luis, bisa memberinya saputangan dan menggenggam tangannya untuk menghibur. Semua ini sudah begitu luar biasa! Dia yang terlalu serakah.Anggi menenangkan pikirannya, lalu berkata kepada Luis, "Pangeran bilang ini cuma mimpi, tapi kalau saya benar-benar melarikan diri di hari pernikahan, mungkin saja kenyataannya akan seperti dalam mimpi itu. Keluarga Suharjo ... sama sekali nggak menganggapku ...."Luis terdiam. Jika Anggi benar-benar kabur di hari pernikahan, meskipun dirinya tidak melakukan apa-apa, ibunya pasti tidak akan membiarkannya hidup tenang.Memikirkan hal itu, jantungnya berdebar. Luis hanya bisa bersyukur karena Anggi tidak melakukan tindakan bodoh seperti itu."Selama kamu bersikap baik, kamu bisa tetap tinggal di sini," tutur Luis.Anggi mengangguk. "Saya nggak akan pernah meninggalkan Pangeran."Luis membuka mulut, tetapi tidak tahu harus berkata apa.
Orang itu menyahut, "Ya."Dari suaranya, Luis bisa mendengar bahwa itu adalah suara seorang gadis yang lembut.Tidak lama kemudian, gadis itu mulai bergerak ke sisinya, mengeluarkan suara samar saat merapikan sesuatu. Dia berkata bahwa dia akan mengobati lukanya.Kenangan itu kembali membanjiri benaknya. Luis hanya ingat dirinya berada dalam keadaan linglung saat itu, diliputi kebencian, ketidakrelaan, dan kemarahan!Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa! Dia bertanya, "Apa … apa wajahku terlihat mengerikan?""Jangan khawatir, aku akan melakukan yang terbaik untuk mengobatimu." Gadis itu sama sekali tidak membahas kondisi luka di wajahnya.Namun, Luis tahu. Dia dikhianati oleh Wakil Jenderal Latif. Api nyaris membakarnya hidup-hidup di dalam tenda militer, saat dia masih setengah sadar karena mabuk.Dia terbangun karena panasnya api. Saat berguling keluar dari tenda, kobaran api sempat mereda sedikit.Namun, Latif tidak membiarkannya pergi begitu saja. Dia menghunus pedangnya, menyeran
"Bagaimana dengan kakiku?""Jangan khawatir, Tuan. Kakimu juga akan sembuh."Luis tidak percaya, tetapi dendam membuatnya bertahan untuk terus diobati. Dia harus bertahan hidup! Hanya dengan bertahan hidup, dia baru bisa mencari tahu alasan Latif berkhianat!Setiap hari, gadis itu datang untuk mengobatinya dan membawakan makanan. Lukanya perlahan membaik dan penglihatannya juga mulai kembali.Namun, sebelum sempat membuka perban di wajahnya, gadis itu tiba-tiba menghilang. Dia tidak tahu mengapa gadis itu tidak datang lagi.Berkali-kali Luis mengirim orang untuk mencari penyelamatnya di Uraba, tetapi sama sekali tidak ada hasil.Sekarang setelah dipikirkan lagi, mungkin saat itu ada sesuatu yang menghalanginya. Mungkin juga karena dia seorang wanita, jadi mencarinya semakin sulit.Jika benar yang menyelamatkannya adalah Anggi, berarti saat itu dia baru berusia 13 tahun, 'kan?Jadi, jika suaranya terdengar berbeda, itu masih masuk akal. Namun, aroma obat yang ada pada tubuhnya persis de
Di Paviliun Pir, Anggi bersama para pelayan dan kasim sedang menjemur bahan obat di halaman.Luis mendongak menatap langit. Sinar matahari musim dingin hari ini tampak cerah hingga dia bisa melihat cahaya keemasan menyelimuti tubuh Anggi.Anggi tampak seperti bidadari yang turun dari langit, berbicara dengan para pelayan dengan sikap santun dan lembut.Setiap gerak-geriknya, setiap ekspresi di wajahnya, sekalipun di musim dingin seperti ini, tetap membawa kehangatan layaknya angin musim semi yang menyentuh kulit.Apakah dia? Benarkah dia?"Itu Pangeran." Naira adalah orang pertama yang melihat Luis. Dia segera memberi hormat dari kejauhan. Mendengar suaranya, semua orang segera menoleh dan memberi hormat.Luis menyunggingkan sedikit senyuman samar yang sulit disadari, begitu tipis dan hanya sesaat. Anggi sempat mengira dia salah lihat. Bagaimanapun, pria itu selalu bersikap dingin dan serius."Hormat kepada Pangeran. Apa yang membawa Pangeran tiba-tiba kemari?" tanya Anggi sambil mendo
Luis menatapnya dan bertanya, "Teh ini terasa hangat dan lembut di tenggorokan, sangat enak. Dari mana kamu membelinya?"Lebih baik bertanya asal-usulnya.Anggi tersenyum. "Saya membuatnya sendiri. Saat pergantian musim, kalau ada tanda-tanda masuk angin atau batuk, meminumnya secara rutin akan sangat membantu.""Kamu membuatnya sendiri?""Ya.""Kudengar adikmu memiliki keahlian medis yang cukup baik. Dia juga bisa membuat ini?"Ekspresi Anggi langsung menjadi dingin. "Dia bisa ....""Pangeran dengar obat-obatan di perkemahan militer berasal darinya, 'kan?"Luis tidak menjawab.Anggi bergumam pada diri sendiri, "Dia bisa atau nggak, suatu saat kebenaran pasti akan terungkap."Luis bertanya, "Maksud Putri, dia sebenarnya nggak memiliki keahlian medis? Berarti, meracik obat pun nggak bisa?""Tentu saja nggak bisa!" jawab Anggi dengan tegas."Lalu bagaimana mungkin ...?"Anggi tampak kesal. "Masalah Keluarga Suharjo terlalu rumit untuk dijelaskan dalam waktu singkat. Tapi cepat atau lamba
Luis tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengangkat cangkir giok putih di tangannya dan meneguk habis teh loquat itu. "Enak.""Kalau Pangeran menyukainya, saya akan selalu menyiapkannya untuk Pangeran.""Boleh."Luis menjadi begitu mudah diajak bicara. Saat ini, kulitnya yang pucat bahkan menjadi agak merona.Anggi memberanikan diri untuk berbicara, "Pangeran, saya ingin mengajukan permohonan."Permohonan apa? Luis merasa heran.Melihatnya mengernyit dan tampak ragu untuk berbicara, Luis mengangguk. Dia sudah tidak sabar untuk mendengar kelanjutannya.Anggi berkata, "Pangeran, meskipun saya memahami ilmu medis, saya bukan tabib sakti. Bahkan tabib sakti sekalipun butuh kerja sama dari pasiennya. Jadi, saya mohon agar Pangeran mengikuti anjuran pengobatan selama proses perawatan."Luis bertanya, "Oh? Jadi, Putri ingin aku menuruti perintahmu?"Anggi buru-buru membalas, "Bukan begitu. Saya hanya meminta Pangeran mengikuti petunjuk medis."Adapun hal lainnya? Dia belum cukup nekat untuk memi
"Saya nggak mungkin berani." Kemudian, Anggi mulai melayani Luis.Tidak lama kemudian, Luis berkata, "Aku ingin minum sup."Anggi menuruti keinginannya. Namun, baru minum sedikit, Luis tiba-tiba terbatuk, membuat sup menciprat ke mana-mana.Anggi segera berucap, "Jangan terburu-buru, minum terlalu cepat bisa tersedak. Kalau masuk ke paru-paru, itu akan bahaya."Luis tertegun. Di Uraba, saat gadis itu memberinya obat, Luis tidak bisa melihat, jadi dia minum dengan buru-buru dan tersedak. Gadis itu juga mengatakan hal yang sama."Tadi aku memejamkan mata, jadi aku nggak memperhatikan," kata Luis dengan nada datar.Dulu di Uraba, dia berkata, "Aku nggak bisa lihat, jadi nggak tahu."Saat itu, gadis itu menyahut, "Nggak apa-apa, pelan-pelan saja."Sekarang, Anggi berujar, "Nggak apa-apa, biar saya suapi."Meskipun suara itu agak berbeda, nada bicaranya dan aroma obat yang melekat di tubuh sama persis.Luis membuka matanya dan menatap Anggi. Sorot matanya menjadi lebih lembut. Anggi lantas
"Putri, katakanlah." Luis memainkan cincin giok hijau di jarinya dengan santai, seolah-olah tidak peduli. Namun kenyataannya, tatapan peringatan dari Keluarga Suharjo terhadap Anggi tadi tidak luput dari pengamatannya.Sebelumnya, Luis hanya mendengar dari Dika bahwa pada hari Anggi kembali ke kediaman orang tuanya, keluarganya memperlakukannya dengan dingin.Saat itu, Luis tidak terlalu merasakan apa-apa. Namun hari ini, setelah melihat dengan matanya sendiri, amarah di dalam hatinya seakan membara dan membesar tak terkendali.Di dalam aula utama, api perapian berderak-derak membakar arang perak dan memantulkan suara kecil yang terdengar jelas dalam ruangan yang sunyi. Bahkan, suara orang bernapas pun terasa besar.Anggi tersenyum ketika berujar, "Pangeran, saya ...." Dia berpikir sejenak, lalu menatap Luis dengan ekspresi main-main. Dia malah bertanya, "Bagi Pangeran, apakah sangat penting siapa saya sebenarnya?"Senyum muncul di wajah Luis yang dingin. Dia menimpali, "Putri benar-be
Luis khawatir kalau-kalau Anggi akan diperlakukan tidak adil di Keluarga Jenderal Musafir, jadi seorang Sura saja tidak cukup. Dia bahkan menyuruh Dika ikut menemaninya.Anggi menaiki kereta kuda, lalu baru menyadari sesuatu. Kereta yang disiapkan hari ini bukanlah kereta biasa, melainkan kereta pribadi milik Luis. Ukurannya hampir dua kali lebih besar daripada kereta biasa.Begitu pintu kereta dibuka, di dalamnya sudah duduk seseorang. Itu adalah seorang pria berpakaian hitam pekat dengan topeng perak yang menutupi wajahnya. Kereta ini sangat luas, bahkan kursi roda Luis pun dapat diletakkan di dalamnya tanpa kesulitan."Pangeran?" Anggi sedikit terkejut. Dia tak menyangka bahwa Luis akan berada di dalam kereta. Saat terakhir kali kembali ke kediaman orang tuanya setelah menikah, pria ini bahkan tidak menemaninya. Namun, kini dia malah ingin menghadiri pertunangan Wulan.Anggi masih diliputi kebingungan ketika Luis mengulurkan tangan kepadanya. Dia tidak punya pilihan selain meletakka
Suasana seakan membeku, seolah-olah udara di sekitar mereka mengental dan menahan segala suara. Waktu terus berlalu hingga akhirnya Luis mengangkat wajahnya dan menatap Anggi dalam-dalam."Anggi, apa kamu tahu ...." Suara Luis terdengar serak, seakan ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Namun di tengah kalimat, dia terhenti.Anggi mengernyit karena sedikit bingung. Tatapan matanya lembut dan penuh kehangatan. Dia bertanya, "Tahu apa?"Anggi meraih wajah Luis dengan kedua tangannya dan menyentuhnya dengan hati-hati, seolah ingin menyampaikan ketulusan melalui ujung jarinya.Suaranya begitu lembut dan penuh perhatian hingga bisa membuat siapa pun tenggelam dalam pesonanya. "Kalau ada sesuatu yang membuat Pangeran ragu, katakan saja pada saya."Tatapan Anggi begitu teguh, penuh keyakinan, seakan memberikan keberanian kepadanya. Beberapa kali Luis hendak berbicara, tetapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya.Akhirnya, pria itu berani bertanya, "Semua orang yang melihatku s
"Ka ... kalau luka di wajahku nggak bisa sembuh dan kakiku juga nggak bisa pulih, apakah Putri tetap nggak akan membenciku?" tanya Luis. Dia tahu bahwa dia sedang berkhayal. Namun, dia tidak bisa menahan keserakahan dalam hatinya.Dengan penuh harap, Luis menatap wanita di hadapannya. Dia takut kehilangan sedikit saja perubahan di wajahnya. Luis takut melihat penyesalan atau kebohongan sekecil apa pun di mata Anggi.Tak lama kemudian, Anggi tersenyum lembut. Tanpa ragu, dia mengulurkan tangan dan menggenggam jemari Luis yang tergeletak di pegangan kursi rodanya.Anggi bertanya, "Pangeran takut saya akan pergi?"Anggi adalah seseorang yang telah mengalami kelahiran kembali. Dulu, dia pernah dibuang oleh keluarganya sendiri. Perasaan takut dan kekecewaan itu masih menyisakan bayang-bayang yang tak bisa dia hilangkan hingga saat ini.Itu sebabnya, Anggi sangat memahami perasaan Luis yang takut dikhianati, takut ditinggalkan, juga takut harapan yang diberikan kepadanya hanyalah semu.Meski
Anggi diam-diam mempercepat langkahnya. Saat hampir sampai di halaman depan ruang baca, dia tiba-tiba menoleh ke belakang dan memandang ke arah lorong.Di kejauhan, Anggi melihat dua sosok berpakaian berbeda. Satunya mengenakan pakaian hijau, sementara satunya lagi berpakaian putih. Mereka sedang melangkah melewati koridor.Apakah itu Gilang dan Aska? Tadi, sepertinya mereka sengaja berhenti sebentar dan memperhatikannya. Namun sebelum Anggi bisa memastikan, keduanya sudah berjalan makin jauh.Anggi mengalihkan pandangannya kembali, lalu memberi tahu Luis, "Pangeran, menurut saya bunga plum ini sangat indah. Saya ingin meletakkan satu vas di meja Pangeran supaya Anda bisa menikmatinya."Luis mengangguk. Dia teringat ucapan Aska yang pernah berkata bahwa Anggi adalah keberuntungannya. Senyum tipis pun muncul di sudut bibirnya karena sulit untuk ditahan. Tatapannya jatuh pada bunga plum yang berada dalam pelukan Anggi.Luis berkomentar, "Bunga plum mekar begitu indah."Anggi bertanya, "P
Mina membalas sambil mengangguk, "Benar."Sejak Luis mengalami luka di wajahnya, suasana di kediaman ini menjadi jauh lebih suram. Setidaknya, tak ada lagi suara tawa riang yang terdengar di sini. Hanya saja selama para pelayan tidak melakukan kesalahan, Luis juga tidak akan sembarangan menghukum mereka dengan kejam.Sementara Anggi terus memotong bunga plum, Mina bertugas mengumpulkannya. Tak butuh waktu lama, bunga-bunga yang terkumpul sudah begitu banyak hingga Mina kesulitan membawanya."Putri, gimana kalau kita ke rumah utama untuk merapikan bunga-bunga ini?" tanya Mina. Bagaimanapun juga, rumah utama selalu dibersihkan setiap hari oleh para pelayan. Sekalian, mereka bisa mengganti bunga plum lama yang sudah layu dengan yang baru.Anggi berujar seraya mengangguk, "Aku juga berpikir begitu."Keduanya pun berjalan menuju rumah utama. Dalam perjalanan, Anggi beberapa kali menoleh ke arah ruang baca. Tanpa sengaja, tatapannya bertemu dengan Torus yang berdiri di kejauhan. Dia memberi
Begitu mendengar suara tawa itu, Torus langsung tahu siapa pemiliknya. Namun dia tidak bisa langsung memberi tahu Anggi, jadi dia hanya berucap sambil menggeleng, "Hamba nggak bisa mengenalinya dalam sekejap."Torus berpikir dalam hati, Gilang memang biasanya berkepribadian ceria dan riang. Namun sejak Luis mengalami luka di wajahnya, dia tidak pernah bersikap begitu bebas dan sembrono di hadapannya.Anggi bertanya, "Kalau begitu, apa aku harus kembali lagi nanti?" Sambil berbicara, dia sudah berjalan menuju gazebo di rumah utama. Angin dingin bertiup kencang dan membuat pipi Anggi terasa membeku.Torus dengan penuh hormat mengantar beberapa langkah, lalu berucap, "Gimana kalau Putri kembali ke rumah utama dulu dan beristirahat sejenak?"Mina yang berdiri di samping juga ikut menimpali, "Benar, Putri."Namun, Anggi justru menunjuk beberapa pohon plum yang sedang berbunga di halaman, lalu berujar dengan santai, "Bunga plum di sini sedang mekar dengan indah. Aku akan memetik beberapa tan
Lantas, bagaimana mungkin Anggi bisa menyembuhkannya?"Lihat baik-baik luka di wajahku. Apa ada sedikit perubahan?" Meskipun nada suaranya terdengar tenang, dalam hati Luis kembali menyimpan harapan bahwa wajahnya bisa pulih seperti dulu.Kali ini bukan karena ingin tampil gagah di hadapan orang lain, tetapi hanya karena satu alasan. Luis ingin memulihkan wajahnya agar bisa mendapatkan ketulusan hati Anggi.Mendengar itu, Torus segera memperhatikan dengan saksama. Dia mengamati wajah Luis dengan penuh kehati-hatian, lalu berucap dengan ragu, "Wajah Pangeran sudah nggak sepucat dulu. Setelah beberapa hari terpapar sinar matahari, Anda terlihat lebih sehat."Luis mengulangi, "Yang kutanyakan adalah apakah bekas lukaku memudar?"Torus menimpali, "Hamba ... hamba merasa ....""Jangan bohong padaku!" seru Luis.Torus buru-buru menjawab, "Pangeran, hamba nggak berani bohong. Selama ini, hamba bahkan nggak berani menatap langsung wajah Pangeran, jadi ... hamba nggak bisa melihat perbedaannya
"Saya hanya nggak ingin membuang-buangnya," balas Anggi. Wajahnya sudah memerah sepenuhnya. Dia terlihat begitu indah dan memikat.Luis menolak dengan tegas, "Aku nggak butuh.""Baik." Anggi menundukkan pandangannya dan tidak berani menatapnya lagi. Lebih baik dia fokus menyembuhkan wajah dan kaki Luis terlebih dahulu. Setelah itu, dia akan tahu sendiri apakah pria ini benar-benar menyukai wanita atau tidak.Dengan pikiran seperti itu, Anggi berusaha bangun dari ranjang. Namun, tiba-tiba tangan pria itu menggenggam pergelangan tangannya dengan erat. Dia bertanya, "Putri nggak percaya padaku?""Saya nggak pernah bilang nggak percaya," balas Anggi.Melihat wajahnya yang sudah memerah, Luis mendadak ingin menggodanya. Dia tiba-tiba langsung menarik tangan Anggi ke dalam selimut.Begitu tangannya menyentuh sesuatu, Anggi seperti tersengat listrik. Dengan refleks, dia langsung menarik tangannya kembali dan buru-buru menyembunyikan wajahnya ke dalam selimut.Luis bertumpu dengan satu tangan