Tommy baru saja memasuki ruang kerjanya di balaikota ketika telepon dari Menteri Pertahanan tiba.Tanpa alasan yang jelas, Menteri Pertahanan memintanya membatalkan status buronan terhadap Morgan.Tommy mengerutkan kening. Bukankah tempo hari justru Menteri Pertahanan yang memintanya melakukan itu?Sebelum sempat Tommy menanyakan alasan di balik permintaannya yang tiba-tiba itu, panggilan sudah diakhiri begitu saja oleh sang menteri.Tommy mendengus kesal. Dia paling tak suka diperlakukan setaksopan ini. Kasusnya sama saja kalaupun pelakunya adalah seorang menteri.Sekarang, sambil memandangi layar ponselnya, Tommy bertanya-tanya apa yang harus dia lakukan.Membatalkan status buronan terhadap Morgan? Itu mudah saja. Dia tinggal meminta ajudannya menyiapkan pengumuman di website dan medsos resmi pemerintah kota.Namun, dengan melakukan itu, bukankah dia malah merusak reputasinya sendiri?Baru juga beberapa hari yang lalu dia menetapkan Morgan sebagai buronan. Kalau sekarang dia tiba-ti
Tommy menarik napas lalu mengembuskannya. Dia sudah menduga Menteri Pertahanan akan menyerangnya seperti ini. Tapi dia sudah siap."Mohon maaf, Pak Menteri. Tapi bukankah Bapak sendiri yang tempo hari mendesak saya untuk menetapkan status buronan terhadap orang itu? Kenapa sekarang Bapak tiba-tiba meminta saya membatalkannya? Bagi saya itu sungguh tak masuk akal," kata Tommy."Lagi pula, Pak Menteri, kota ini adalah milik saya. Sayalah yang menjabat sebagai Walikota kota ini, bukan Anda," sambungnya.Menteri Pertahanan mendengus. Mukanya memerah karena amarah."Kau pikir kau hebat, hah? Kau ini hanya walikota, sedangkan aku menteri. Posisiku lebih tinggi darimu!" hardik Menteri Pertahanan.Tommy terkekeh."Jika konteksnya adalah pemerintahan, mungkin iya. Tapi, Pak Menteri, saat ini yang sedang kita bahas adalah isu spesifik terkait Kota HK yang kupimpin ini. Sudah barang tentu sayalah yang lebih punya wewenang di sini. Anda, sementara itu, hanyalah tamu," kata Tommy."Kau! Kau berani
“K-kau mau… telingaku? A-a-apa maksudnya itu?” tanya Tommy, berharap dia salah dengar.“Potong telingamu di hadapanku. Kalau kau tak bisa melakukannya sendiri, biar aku yang melakukannya,” jawab Morgan.Rupanya Tommy tidak salah dengar. Lantas, harus bagaimana dia sekarang?“Anu… tidak adakah hal lain yang kau inginkan dariku? Aku bersedia memberikannya padamu asalkan—”“Apa yang membuatmu berpikir kau bisa menawar hukuman untukmu?” potong Morgan.“Komandan, coba jelaskan lagi padanya hukuman apa yang mungkin menantinya setelah kebusukannya itu kita ungkapkan ke publik,” lanjut Morgan, menatap sang komandan.Baru saja sang komandan akan mengatakan sesuatu, Tommy mengangkat tangannya.“Cukup! Cukup! Aku sudah tahu hukuman apa yang akan kuterima. Aku tak mau mendengarnya lagi,” kata Tommy.“Kalau begitu cepat potong telingamu! Atau kau mau aku yang memotongnya? Cepat putuskan!” desak Morgan.Tommy menundukkan kepala dan menangis. Kedua bahunya bergetar. Dia tak pernah menyangka akan ber
Henry mengangguk-angguk. Harus dia akui, rencana busuk dari anak sulungnya itu boleh juga.“Oke. Tapi kenapa tidak dua-duanya saja sekalian?” tanya Henry.“Dua-duanya, Pa?”“Ya. Sambil menunggu Agnes merampungkan proyek dari Charta Group itu, kita siapkan bukti-bukti palsu untuk menekannya itu. Malahan aku berpikir, ide kedua yang kau tawarkan itu jauh lebih bisa berhasil ketimbang yang pertama.”Robert tampak berpikir sebentar. Dia kemudian menatap Joseph.“Bagaimana menurutmu, Joseph?” tanyanya.“Aku sependapat dengan Papa. Kurasa foto-foto dan video-video syur itu akan menimbulkan dampak yang kuat,” jawab Joseph.Mengangguk-angguk, Robert kemudian berkata, “Baiklah. Malam ini juga aku akan mencari orang yang bisa menyiapkan bukti-bukti palsu itu untuk kita.”…Tiga hari berlalu…Nama baik Morgan sudah pulih. Kini Morgan bisa bepergian dengan bebas tanpa khawatir akan dihujat atau apa.Tapi beberapa kali, saat dia sedang berada di ruang publik, ada orang-orang yang menghampirinya. B
Muka Agnes memerah sementara matanya tertuju pada layar ponsel di tangannya.Orang-orang di meja itu sendiri kembali terkekeh meledeknya. Para pria di sana bahkan mengedipkan mata dengan nakal saat Agnes menatap mereka lagi.Ditaruhnya ponsel itu di meja begitu saja, dan dia beranjak meninggalkan meja itu.Tapi, dia tidak kembali ke mejanya. Dia menuju ke toilet yang berada di salah satu sudut kantin.Di toilet, di salah satu bilik di sana, Agnes muntah berkali-kali. Rasa mual sudah dirasakannya tak lama setelah dia menonton video tadi itu.“Apa maksudnya itu? Bagaimana bisa…”Agnes tak menuntaskan kata-katanya, sebab dia kembali muntah.Sia-sia saja dia tadi makan siang. Bahkan yang dimuntahkannya barusan agaknya lebih banyak daripada yang dia makan tadi.Setelah menekan tombol flush, Agnes keluar dari bilik tersebut dan menghampiri wastafel.Dia bersihkan mulutnya dengan air dari keran. Lalu dia tatap bayangannya di cermin.Sekejap kemudian, sosok dirinya di cermin itu bergerak send
Pria yang dipanggil Bos Rudi itu ambruk dan tak sadarkan diri.Morgan berdiri memandanginya dengan sorot mata menyala. Dia lalu menaiki anak-anak tangga ke lantai dua.Di lantai dua, karyawan-karyawannya Rudi itu kembali terhenti kerjanya. Mereka menatap ke arah tangga dengan raut muka cemas.“Apa yang terjadi di bawah?”“Yang barusan itu… teriakan Bos Rudi?”“Yang benar saja. Bos Rudi orangnya kuat. Dia jago tinju. Mana mungkin dia sampai dibikin berteriak seperti itu!”“Kalau bukan Bos Rudi lalu siapa?”“Ssst… kalian dengar itu? Ada yang sedang naik!”Mereka terus menatap ke arah tangga dengan was-was.Ketika sosok yang muncul kemudian adalah seorang pria yang tak mereka kenal, mereka terhenyak.Sosok itu, yang tak lain adalah Morgan, memberi mereka tatapan seorang pembunuh berdarah dingin.“Tetap di tempat kalian!” bentak Morgan.“Berani bergerak, akan kupatahkan kaki kalian!” sambungnya.Keberadaannya begitu kuat terasa. Orang-orang itu, yang bahkan tak melihat kebrutalan Morgan d
Joseph terkesiap. Dia mengenali suara itu.Meskipun sedikit berbeda karena dia mendengarnya via telepon, tak salah lagi, yang bicara padanya itu adalah Morgan.Kenapa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomornya Rudi?Tuuut... tuuut... tuuut...Sebelum Joseph sempat merespons peringatan dan ancaman Morgan, Morgan sudah mengakhiri panggilan.Untuk sesaat, Joseph seperti tiba-tiba berada di ruang gelap. Tangan dan tubuhnya gemetar."Joseph, ada apa denganmu? Siapa yang menelepon barusan?" tanya Robert, kesal dengan tingkah adiknya itu."Ah, itu... si Morgan..." Joseph tergeragap."Si sampah itu? Kenapa dia meneleponmu? Apa yang dia bilang?" tanya Robert lagi.Joseph baru saja akan menjawab, tapi batal melakukannya."Em, bukan apa-apa. Tak penting," ucapnya."Tak penting?""Ya. Lupakan saja."Joseph tak ingin Robert dan Henry bertanya lebih jauh. Dia punya firasat buruk bahwa sesuatu telah terjadi pada Rudi, dan jika sampai Henry atau Robert tahu itu, bisa-bisa dia yang repot."Ingat,
"Siapa kau?" tanya Morgan."Kau tak mengenaliku, Bos Besar?" tanggap Berry.Morgan memandangi Berry dengan mata memicing. Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana dia pernah bertemu dengan pria itu.Tapi, baru juga raut mukanya berubah dan dia akan mengatakan sesuatu, Joseph angkat suara lebih dulu."Apa yang kau lakukan, Berry? Kenapa kau malah membungkuk hormat padanya?"Berry yang telah kembali menegakkan punggungnya menoleh menatap Joseph."Joseph, orang ini adalah pimpinan tertinggi Serigala Hitam, sang serigala terkuat yang pernah ada. Tentu saja aku membungkuk hormat padanya," kata Berry."Hah? Pimpinan tertinggi Serigala Hitam katamu? Kau pasti bercanda!" tanggap Joseph, terkekeh. "Dia ini menantu sampah di Keluarga Wistara. Kau pasti salah orang, Berry. Tak mungkin sampah seperti dia menjadi pemimpin tertinggi Serigala Hitam. Tak mungkin!""Tapi itu benar.""Tak mungkin. Aku tak percaya. Kau pasti salah orang!"Joseph bersikeras pada penilaiannya. Meski Morgan me