“Kau!”John geram. Dia lemparkan ponselnya ke lantai hingga ia rusak.Tepat saat itu tentara-tentara yang menaiki tangga itu akhirnya tiba di lantai dua, dan mereka langsung melepaskan tembakan-tembakan ke arah John.“Argh!”John kewalahan. Dia tak mungkin bisa mengatasi tentara-tentara ini seorang diri. Baru saja peluru bersarang di tangan kanannya dan pistolnya terjatuh.Saat dia hendak menembak tentara-tentara itu dengan tangannya yang kiri, sebuah peluru pun bersarang di tangannya itu.Pistolnya yang satu lagi juga terjatuh. Kini John tak bisa menggunakan kedua tangannya lagi.“Menyerahlah! Diam di tempat!” hardik si tentara.John menatapnya dan tentara-tentara lain. Apakah dia punya pilihan lain?…Morgan akhirnya tiba di lokasi, di mana mobil-mobil lapis baja sudah lebih dulu ada di sana.Dia turun dari mobil sambil menyeret Matt. Muka pria itu penuh lebam. Kedua tangannya terborgol di depan.“Dewa Perang!”Seorang tentara memberinya hormat saat Morgan memasuki ruko.Ruangan itu
Morgan terdiam beberapa saat. Sorot matanya dingin. Dia memikirkan informasi yang baru saja didapatkannya itu.Jika benar Wakil Presiden terlibat, masalah ini jauh lebih rumit daripada dugaannya.“Wakil Presiden terlibat?” Dia memastikan.“Benar, Dewa Perang. Itu yang dikatakan Jenderal Yudha barusan,” jawab Kris.“Bagaimana dengan Presiden? Apakah dia terlibat juga?” tanyanya lagi.Kris menggeleng. “Jenderal Yudha tak mengatakan itu. Sepertinya Presiden tidak terlibat,” jawab Kris.Itu tidak membuat segalanya lebih baik. Jika situasinya memang seperti itu, itu artinya masalah ini bermula di atas, di pusat kekuasaan.Memang tidak jarang seorang wakil presiden pada akhirnya berbeda paham dan bahkan berselisih dengan presiden. Tapi di negeri itu, biasanya wakil presiden tak punya cukup kekuasaan dan keberanian untuk melawan presiden.Kalaupun perselisihan itu terjadi di tengah-tengah pemerintahan berjalan, biasanya sang wakil presiden akan menunggu sampai pemilu berikutnya untuk menunju
“Minumlah. Mumpung masih hangat,” kata Gaby. Dia duduk di sofa kecil di samping kiri Morgan, di arah pukul sepuluh.Morgan mengambil gelas itu dan menyeruput teh hangat itu sedikit. Tak bisa tidak, ujung matanya kembali terarah ke gunung kembarnya Gaby. Gaby kini duduk bersandar di sofa itu sambil menyilangkan kaki.“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi tadi? Kenapa kau tak bisa dihubungi?” tanya Gaby.“Kau tadi meneleponku?” Morgan balik bertanya.“Bukan aku, tapi istrimu. Dia berkali-kali meneleponmu tapi tak juga tersambung. Dia lalu mengeluhkannya padaku, memintaku meneleponmu. Mungkin dia pikir hasilnya akan berbeda, tapi sama saja. Nomormu tak bisa dijangkau,” papar Gaby.Morgan mengerutkan kening. Begitu rupanya. Kini dia punya dugaan soal kenapa tadi Agnes seperti begitu marah padanya.Mungkin karena Morgan tak bisa dihubungi. Bisa dia bayangkan betapa kesalnya Agnes, telah mencoba meneleponnya berkali-kali tapi tak juga panggilannya itu tersambung.Morgan mengangguk-angguk. Dia
“Apa maksudmu, Agnes?”Morgan langsung bangkit terduduk. Kakinnya menginjak lantai dan matanya tertuju pada mata Agnes.Agnes baru saja meminta untuk bercerai? Apakah dia salah dengar?“Aku bilang, kita bercerai saja!”Ternyata dia tak salah dengar. Dan Agnes tidak tampak seperti seseorang yang sedang bercanda.Tapi kenapa? Kenapa istrinya ini tiba-tiba meminta cerai?“Agnes, jelaskan padaku apa maksudnya ini. Ada masalah apa? Kenapa kau tiba-tiba ingin kita bercerai?” cecar Morgan, berdiri sambil terus menatap Agnes.Agnes mendengus. Sorot matanya masih tidak bersahabat.“Kau tak tahu kesalahanmu apa, Morgan? Serius kau tak tahu?”“Tidak, Sayangku. Aku tak tahu.”Plak!Sebuah tamparan diberikan Agnes ke pipi Morgan. Perih sekali rasanya.“Kau semalam diam-diam mengawasiku saat aku bertemu klien? Jawab!” bentak Agnes.Morgan menatap Agnes lurus. Istrinya tahu kalau semalam dia ada di restoran mewah itu? Bagaimana bisa?“Iya. Aku memang ada di restoran itu semalam, tapi tidak di ruanga
Daniel tak bisa berhenti menduga-duga apa yang ingin dibicarakan Felisia dengannya. Jika itu hal penting, mestinya berkaitan dengan urusan pekerjaan. Tapi apa? Sejauh ini dia merasa kinerjanya oke-oke saja. Bahkan dia menilai dirinya bekerja dengan baik dan layak diganjar bonus. 'Apakah aku melakukan kesalahan? Apakah ada hal penting yang kulewatkan?' pikirnya. Terus saja dia memikirkannya sampai-sampai dia tak menyadari waktu telah berlalu sepuluh menit. Dia mengambil ponselnya. Cepat-cepat, dia keluar dari ruangannya, menuju ke ruangannya Felisia. Setibanya di ruangannya Felisia dia mengetuk pintu dua kali. "Masuk!" kata Felisia dari dalam. Daniel mendorong pintu dan masuk. Dia melihat Felisia sedang menatap layar laptopnya dan tengah mengetik sesuatu dengan cepat. Raut mukanya tak bersahabat. "Anda memanggil saya, Bu Felisia?" tanya Daniel, menutup pintu. "Daniel, duduklah," pinta Felisia. Daniel pun duduk di kursi kosong di seberang meja kerjanya Felisia. Firasat buruk i
"Berani-beraninya kau menghasut istriku. Aku telah menyembuhkan luka tembakmu itu, dan ini yang kau lakukan padaku? Hebat!" sindir Morgan.Daniel masih mematung di tempatnya. Dia belum juga bisa menutup kembail mulutnya."Kemasi barang-barangmu! Aku tak peduli selama ini kinerjamu bagus atau tidak, mulai detik ini kau bukan lagi karyawan Charta Group!" lanjut Morgan.Daniel terbelalak lagi dan dadanya kini berdebar-debar. Dia seakan bisa mendengar desir darahnya sendiri."Cepat proses pemecatannya! Aku tak mau melihat wajahnya lagi di kantor ini!" perintah Morgan kepada Felisia."Baik, Tuan," tanggap Felisia. Dia lalu mengangkat gagang telepon dan menelepon HRD, meminta dokumen pemecatan Daniel disiapkan secepatnya.Mata Danil bergerak-gerak, menatap Felisia lalu Morgan, lalu Felisia lagi, lalu Morgan lagi.Debar dadanya bertambah hebat. Tubuhnya terasa panas dan lemas. Dan akhirnya...Bruk!Daniel jatuh berlutut. Mengerahkan semua tenaganya, dia membungkukkan badannya, bersujud ke ar
Morgan dan yang lainnya menyusun rencana untuk melancarkan operasi rahasia ke Kota KL. Jenderal Yudha menghubungi pimpinan markas militer di kota tersebut, sementara Komandan melakukan hal serupa ke pemimpin kepolisian di sana. Si pria yang mewakili istana sendiri melalukan panggilan sembari menjauh. Dia sangat berhati-hati. Morgan tak bisa menebak orang itu sedang bicara dengan siapa. Morgan sendiri hanya berdiri sambil melipat tangan di dada. Ditatapnya layar monitor hologram di atas meja. Dia harus langsung menuju ke Kota KL. Itu artinya dia tak jadi membeli mobil dan ponsel hari ini. Sedari tadi, Morgan sebenarnya ingin menghubungi Agnes. Daniel memang telah dia singkirkan, tapi itu tidak lantas berarti masalahnya dengan Agnes sudah teratasi. Tapi dia juga tak yakin bisa membuat istrinya itu paham dengan memberinya penjelasan. Kalau istrinya itu masih marah, bisa jadi percuma saja. Haruskah dia menunggu sampai kemarahan istrinya itu mereda? "Dewa Perang, Anda sudah siap?"
Pria yang dipanggil Bos itu berjalan dengan langkah-langkah cepat, menuju ke pintu. Dia siapkan senjatanya.Orang-orang itu menyingkir, memberi jalan padanya. Saat si Bos ini sudah dekat ke pintu, si orang yang bicara tadi mundur, memberi ruang baginya untuk mengintip lewat celah pintu yang kecil.Si Bos melakukan itu dan, seketika, matanya membesar.Di luar gudang memang ada mobil-mobil lapis baja, sepertinya baru saja tiba. Dari mobil-mobil itu, tentara-tentara turun, bergerak ke arah gudang.“Ada perubahan rencana! Siapkan senjata kalian! Kita akan berperang dengan tentara-tentara itu di sini!” seru si Bos.Langsung saja, para calon pembunuh berdarah dingin itu berdiri dan beranjak, menyiapkan senjata mereka masing-masing.Tak satu pun dari mereka terlihat gugup. Meski beberapa sempat ada yang terkejut saat si Bos mengatakan kalau mereka akan menghadapi tentara, tapi sampai di situ saja. Setelah itu mereka kembali ke raut muka acuh tak acuhnya.Malahan bagi sebagian dari mereka, me