POV AlmaAku membaringkan tubuhku di atas tempat tidur malam ini. Membayangkan pertemuan manisku dengan Mas Rama sore tadi. Aku tak menyangka, setelah sekian lama tak bertemu, takdir membawaku untuk bertemu lagi dengannya. Entahlah, ada perasaan bahagia ketika bertemu dengan Mas Rama. Bahkan, ada getaran aneh di dalam hati ketika berbicara dengannya.Aku masih ingat tatapan Mas Rama yang masih sama seperti dulu ketika kami masih bersama. Tetapi, aku tak boleh berharap terlalu besar. Tak mungkin juga Mas Rama masih menyukaiku. Apalagi, dengan gelar seorang janda sepertiku. Aku cukup sadar diri dengan posisiku saat ini.Mas Rama adalah pria yang baik dan juga santun. Sikap sopan dan santunnya masih terlihat hingga kini. Ia juga tipe pria yang sangat menghormati wanita. Selain itu, ia juga termasuk siswa berprestasi saat di sekolah dulu. Itulah mengapa ia bisa menjadi pengusaha yang sukses. Mas Rama sempat bercerita, bahwa selain membuka toko cctv, Mas Rama juga memiliki sebuah restoran
"Bu Alma, saya mau izin keluar sebentar boleh gak?" tanya Nana ketika kami sedang sarapan bersama. Aku yang sedang menikmati makanan seketika menoleh ke arah Nana."Mau kemana, Na? Apa kamu mau pulang?" tanyaku bingung. Aku sedikit merasa khawatir jika Nana ingin pulang ke rumahnya. Takut jika Ayah tirinya kembali mencoba berbuat yang tidak-tidak pada Nana."Enggak, Bu. Saya mau bertemu teman. Setelah lulus sekolah, kami belum pernah bertemu," jawab Nana."Oh, boleh saja, Na. Dimana rumahnya? Apa perlu saya antar?""Enggak perlu, Bu. Biar saya naik angkot saja. Rumahnya di Jalan Anggrek, Bu. Dekat terminal.""Oh ya sudah. Kamu kira-kira mau pulang jam berapa, Na?""Mungkin sebelum jam tiga sore saya udah di rumah kok, Bu. Semua pekerjaan rumah udah saya bereskan. Boleh kan, Bu?""Iya, Na. Boleh kok.""Terima kasih, Bu Alma," ucap Nana tersenyum. Seolah ia sangat senang mendapatkan izin dariku.Aku sebenarnya agak khawatir jika Nana harus pergi keluar rumah sendirian. Apalagi, aku tel
Aku sedikit takut dengan tatapan mata Mas Wijaya yang memandang tajam ke arahku. Mas Rama sendiri terlihat bingung dan menoleh ke arahku seolah bertanya. Mungkin Mas Rama menyadari akan tatapan tak bersahabat dari Mas Wijaya."Al, siapa pria itu? Kenapa ngeliatin aku dan kamu kayak gak suka gitu? Apa dia punya masalah sama kamu?" tanya Mas Rama pelan. Bahkan saking pelannya terdengar seperti bisikan."Dia ... aku juga gak ngerti kenapa dia begitu, Mas. Udah hiraukan aja, Mas Rama langsung pulang aja ya?" kataku, menyuruh Mas Rama untuk cepat pergi dari sini."Tapi aku khawatir sama kamu, Al. Aku takut dia ngapa-ngapain kamu," kata Mas Rama yang tak beranjak dari tempatnya berdiri di sampingku. Sedangkan kedua karyawannya sudah masuk ke dalam mobil."Aku gak papa kok, Mas. Kamu tenang aja," kataku berusaha tersenyum."Ya sudah, Al. Kamu hati-hati di rumah ya? Kalau ada apa-apa, cepat hubungi aku," ujar Mas Rama dengan raut wajah yang seolah tak ingin pergi."Iya, Mas."Mas Rama langsun
"Eh, Alma. Harusnya kamu tuh bersyukur saya ada dipihak kamu. Kok kamu malah ngomong kayak gitu. Saya tahu kok, niat kamu tinggal di depan rumah Wijaya karena kamu pengen balikan lagi kan sama Wijaya? Sok-sokan gensi segala!" ucap Bu Ratna dengan nada ketus."Maaf, Bu, saya gak pernah berpikir seperti itu. Ibu jangan membuat asumsi sendiri," kataku tak terima. Aku hanya takut, Bu Ratna menyebarkan gosip yang tidak-tidak yang ujungnya bisa merusak nama baikku. Sebab hingga kini, aku selalu berusaha untuk tetap menjaga diri di depan umum terutama warga sekitar."Halah, munafik kamu, Al. Bilang saja kamu malu kan? Tapi kalau dipikir, apa bedanya kamu sama Lastri dulu? Sama-sama merebut suami orang! Pe-la-kor!" ucap Bu Ratna. Aku jadi menyesal karena meladeni omongan Bu Ratna. Jika urusannya jadi panjang begini, lebih baik, aku tinggal masuk saja tadi. Sayangnya, semua sudah terlanjur terjadi."Bu Ratna jangan ngomong sembarangan ya? Alma bukan wanita seperti itu. Meskipun suatu saat kami
Lastri tersenyum manis ketika telah berdiri di samping Mas Wijaya. Matanya hanya memandang lekat pada Mas Wijaya saja. Seolah aku, Bu Ratna dan mantan ibu mertua yang sedang berdiri di sini bagai hantu yang tak kasat mata. Seolah keberadaan kami tak dianggap oleh Lastri."Mas, kamu ngapain di sini? Ayo pulang," kata Lastri sambil bergelayut manja di lengan Mas Wijaya. Suaranya terdengar mendayu-dayu. Kedua matanya dikedip-kedipkan seolah sedang menggoda Mas Wijaya. Tapi menurutku malah terlihat seperti kelilipan batu bata. Meresahkan!"Kamu kenapa, Las? Salah makan?" tanya Mas Wijaya yang nyaris saja membuatku tertawa. Tetapi aku berusaha untuk menahannya.Sedangkan Bu Ratna dan mantan ibu mertua langsung tertawa terbahak-bahak. Seolah sedang mengejek Lastri."Kok kamu gitu sih, Mas? Kamu gak lihat aku udah cantik gini?" kata Lastri sambil memanyunkan bibirnya seolah merajuk."Ya kamu aneh gitu kelakuannya," kata Mas Wijaya."Lastri, kamu mau kemana udah dandan cantik gitu? Mau kondan
Aku masih merasa terkejut dengan kunci cadangan kamarku yang hanya tersisa dua buah saja. Siapa yang sudah berani mengambilnya? Apa mungkin Nana? Tak mungkin orang lain yang sengaja masuk dan mengambil kunci kamarku. Ya Tuhan ... apa aku telah membawa orang yang salah untuk tinggal di rumahku?Aku langsung berjalan menuju tempat tidur. Dan terduduk dengan lemas di tepi ranjang tempat tidur. Aku benar-benar tak menyangka, jika memang Nana lah pelakunya. Tetapi untuk apa? Aku jadi teringat akan anting-anting dan juga jam tanganku yang sempat hilang. Apa mungkin Nana yang mengambilnya?Selama ini, sikap Nana juga tak menunjukkan gelagat yang aneh. Ia selalu bersikap sopan. Melakukan pekerjaan rumah dengan baik. Tak ada sesuatu yang mencurigakan dari gelagat Nana. Aku tak boleh berburuk sangka, sebelum mendapatkan bukti yang jelas.Adzan magrib terdengar berkumandang dari berbagai penjuru. Aku segera bergegas mengambil wudhu. Mungkin melaksanakan ibadah shalat bisa menenangkan pikiranku y
Pagi ini, aku melakukan aktivitas seperti biasa. Membuka toko milikku yang sempat aku tutup kemarin. Aku membuka toko lebih pagi dari biasanya. Jika biasanya aku membantu Nana memasak di dapur, tapi tidak dengan hari ini. Aku memutuskan untuk lebih menjaga jarak dengan Nana. Entahlah, aku merasa tak nyaman tinggal bersama Nana. Ada rasa ketakutan, ketika mengetahui fakta-fakta di rumahku.Aku memandang ke arah rumah Mas Wijaya yang berada tepat di depan rumahku. Mobil yang biasa terparkir di halaman rumahnya sudah tak ada. Itu artinya, Mas Wijaya telah pergi ke toko grosir miliknya. Tak lama, pintu rumah Mas Wijaya terbuka. Lastri keluar dari rumah menuntun anaknya. Lastri kini tampil cantik, sayangnya, ia masih memakai sepatu hak tinggi yang kemarin ia pakai. Aku tak bisa bayangkan, ketika Lastri menggendong anaknya menggunakan sepatu itu. Takut jika ia terjatuh dan terjadi sesuatu pada anaknya. Kalau ibunya sih, aku tak masalah.Sepagi ini, Lastri sudah tampil cantik dan berdandan r
POV Wijaya"Kok kamu malah bengong sih, Wijaya? Mulai sekarang, kamu harus awasi istri kamu itu. Jangan sampai, uang kamu habis dipakai buat foya-foya sama si Lastri," kata Ibu dengan wajah kesal."Iya, Bu. Tapi kalau dipikir, Lastri foya-foya buat apa? Ibu kan tahu sendiri, Lastri penampilannya aja begitu. Aku gak pernah lihat dia beli barang mahal," kataku bingung.Selama ini, aku memang tak pernah melihat Lastri membeli barang-barang mahal ataupun bermerek. Bahkan membeli perhiasan pun sepertinya ia juga tak pernah. Dan bodohnya, aku baru menyadarinya saat ini. Lalu, untuk apa Lastri menghamburkan uang yang selama ini aku beri? Aku memang tak pernah perhatian padanya. Setiap aku tanya tentang uang, ia selalu beralasan untuk keperluan Zea anak kami. Aku memang paling royal jika menyangkut tentang Zea. Apapun akan aku berikan untuk anak kami satu-satunya."Maka dari itu, kamu sebagai suami harus selidiki si Lastri. Jangan sampai dia berbuat macam-macam di belakang tanpa sepengetahuan
"Permisi, Bu," ucapku pada pemilik warung yang sedang menata jajanan di depan warungnya. Pemilik warung itu seorang ibu-ibu paruh baya yang wajahnya terlihat teduh."Oh, iya, ada apa ya, Mbak?" tanyanya ramah."Maaf, saya mau tanya, apa Ibu tahu rumah Pak RT?" tanyaku sopan."Oh iya, Mbak, kebetulan ini rumah Pak RT. Saya istrinya. Tapi ngomong-ngomong, ada perlu apa ya, Mbak? Sepertinya, Mbak ini bukan warga sekitar sini?" tanyanya bingung."Iya, Bu. Saya memang bukan warga sini. Perkenalkan, saya Alma. Saya ingin tanya, apa Ibu tahu rumah kecil bercat biru itu milik siapa?" tanyaku sambil menunjuk rumah yang di dalamnya dihuni oleh Mas Adit dan Nana. Jarak dari sini ke rumah itu hanya berselang tiga rumah saja."Oh iya, Mbak, kebetulan rumah itu milik saya dan suami saya. Dan sekarang lagi dikontrakkan. Dan yang menempati rumah itu namanya Mas Adit, Mbak," jawab Bu RT.Benar dugaanku, pria itu memanglah Mas Adit. Tetapi, untuk apa ia mengontrak di rumah itu? Apa itu salah satu tempa
Aku segera berjalan ke depan toko ketika Nana telah masuk ke dalam rumah. Dan duduk di kursi yang berada di depan toko. Dari sini, aku bisa memantau dan melihat Nana saat keluar dari rumahku nanti. Setelah memastikan Nana keluar dari rumah, barulah aku akan mengikutinya. Lima belas menit kemudian, Nana terlihat keluar dari pagar rumahku. Nana terlihat sudah rapi menggunakan celana jeans panjang yang dipadukan dengan kaos berwarna putih dengan sweater tipis berwarna pink cerah. Aku berpura-pura bermain ponsel, seolah tak memperhatikan Nana. Setelah Nana mulai berjalan, barulah aku segera masuk untuk menutup toko dengan cepat.Setelah itu, aku segera menyambar kontak mobilku dan berjalan dengan tergesa ke luar rumah. Aku harus bisa keluar secepat mungkin agar tak kehilangan jejak Nana. Setelah mengunci pintu rumah dan pintu pagar, barulah aku segera mengendarai mobil yang kini sudah berada di depan rumahku. Tepat saat mobilku tiba di ujung gang arah rumahku, Nana terlihat baru masuk ke
"Mas Adit yang tadi pagi sempat mukuli istrinya loh, Na. Itu namanya Mas Adit, kalau istrinya namanya Mbak Rossi," jawabku."Oh, saya gak kenal kok, Bu.""Saya pikir, kamu kenal. Kasian ya, Na, Mbak Rossi sampai dipukuli dan dianiaya seperti itu. Kalau saya jadi Mbak Rossi, sudah pasti saya akan laporkan Mas Adit ke polisi. Biar dia dipenjara sekalian!" kataku dengan nada kesal."Di-dipenjara, Bu? Apa mungkin bisa?" tanya Nana seolah penasaran."Ya bisa dong, Na. Itukan udah masuk pasal KDRT dan penganiayaan. Mereka kan masih suami istri. Apalagi, saksinya juga banyak kan? Saya kesal deh, Na," jawabku."Apa kemungkinan besar Mas Adit akan dipenjara kalau sampai Mbak Rossi melaporkan Mas Adit ke polisi, Bu?""Tentu saja.""Lalu, bagaimana caranya supaya Mas Adit gak dipenjara, Bu?""Ya itu tergantung Mbak Rossi lah, Na. Kalau dia mau berdamai dengan Mas Adit dan tidak melaporkan kasus ini ke polisi, Mas Adit akan aman. Tapi saya gak yakin, Na, kalau Mbak Rossi mau berdamai. Apa lagi, M
POV AlmaAku merasa iba dengan keadaan Mbak Rossi yang terlihat babak belur karena dipukuli Mas Adit. Aku tak menyangka, Mas Adit begitu tega melakukan itu pada istrinya sendiri. Sebab yang kutahu, Mas Adit tipe pria yang pendiam dan tak banyak bicara. Dan setahuku, Mas Adit juga termasuk pria baik yang tak pernah membuat ulah.Aku juga merasa terkejut, ketika mendengar kasak-kusuk dari warga sekitar yang membicarakan bahwa Mas Adit selingkuh. Aku tak tahu berita itu benar atau tidak, tapi yang jelas, aku sangat terkejut. Tak sangka, diam-diam Mas Adit berselingkuh di belakang Mbak Rossi. Entah aku harus merasa iba, atau malah justru sebaliknya. Aku merasa, ini adalah sebuah karma yang diterima oleh Mbak Rossi.Aku jadi teringat akan kejadian masa lalu, dimana Mbak Rossi dan mantan ibu mertua mendukung perselingkuhan Mas Wijaya dan Lastri. Hatiku sangat hancur dan terluka saat itu atas ulah mereka semua. Dan kini, Mbak Rossi juga merasakan bagaimana sakitnya diselingkuhi. Bedanya, Mas
"Apa Ibu tahu Adit sial*n itu sekarang ada di mana?""Ibu gak tahu, tadi warga sekitar rumah kita sempat mengamankan dia. Ibu hanya fokus membawa Rossi ke rumah sakit karena kamu bisa lihat sendiri bagaimana kondisi Rossi saat ini," jelas Ibu."Ya sudah, Bu, kalau begitu aku mau pulang sekarang. Aku mau cari si Adit sampai dapat!" kataku kesal."Iya, Wijaya. Tapi sebelum kamu pulang, tolong kamu bayar dulu biaya administrasi rumah sakit. Ibu gak ada uang banyak," kata Ibu."Iya, Bu. Ya sudah, nanti aku mampir dulu ke kasir. Ibu bisa kan jagain Mbak Rossi sendirian? Kalau ada apa-apa, Ibu langsung hubungi aku saja," kataku."Iya, Ibu bisa kok.""Ya sudah, aku pulang dulu, Bu.""Iya, kamu hati-hati di jalan.""Iya, Bu."Setelah pamit pada Ibu, aku segera berjalan ke kasir untuk membayar biaya administrasi perawatan Mbak Rossi. Setelah selesai, aku segera menuju parkiran rumah sakit untuk pulang ke rumah.Isi kepala ini rasanya begitu panas, belum puas rasanya jika belum memberi pelajara
"Mbak, kenapa kamu jadi menyalahkan aku? Mbak Rosi gak ingat, bukankah dulu, Mbak Rosi juga ikut mendukung perselingkuhanku dengan Lastri? Apa Mbak Rosi sudah lupa?" tanyaku penuh penekanan.Aku tak terima jika Mbak Rosi hanya menyalahkan aku semata. Seolah hanya aku saja yang bersalah. Padahal jelas, ia dan Ibu juga terlibat dalam perselingkuhanku. Bahkan, Ibu dan Mbak Rosi yang menyuruhku untuk menceraikan Alma. Padahal sebenarnya, meskipun aku dulu selingkuh dengan Lastri, aku tak ada niat untuk menceraikan Alma.Karena Ibu dan Mbak Rosi selalu mengompor-ngomporiku, hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengusir dan menceraikan Alma. Meskipun penampilan Alma buruk rupa, tetapi aku masih memiliki perasaan padanya. Aku sebenarnya tak tega, sebab berkat Alma lah aku bisa sukses seperti sekarang ini.Jika membicarakan tentang karma, itu juga bukan sepenuhnya kesalahanku. Bisa jadi, karma itu datang karena ulah Mbak Rosi sendiri. Sebagai sesama wanita, harusnya Mbak Rossi tahu bagaimana
Setelah sampai di parkiran rumah sakit, aku bergegas menuju ruangan tempat Mbak Rosi dirawat. Setelah sampai, ake segera masuk dan menemui Ibu dan Mbak Rosi. Aku merasa terkejut ketika melihat keadaan Mbak Rosi. Terlihat banyak memar dan lebam di wajahnya. Di keningnya juga tertempel perban kecil menandakan bahwa keningnya terluka.Di dalam ruangan, hanya ada Ibu seorang diri. Tak kulihat ada Mas Adit ataupun Vira anak mereka. Melihat kehadiranku, Ibu menatapku dengan mata berkaca-kaca. Sedangkan Mbak Rosi sama sekali tak menoleh. Ia terlihat diam, sambil matanya menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Jujur saja, hatiku langsung sesak melihat kondisi Mbak Rossi."A-apa yang terjadi, Bu? Di mana Mas Adit?" tanyaku pada Ibu. Aku saat ini telah berada di samping Ibu.Ibu hanya diam tak mau menjawab pertanyaan dariku. Justru, Ibu malah terlihat menangis terisak. Aku jadi makin bingung. Melihat luka Mbak Rosi, aku yakin ini bukan luka kecelakaan. Melainkan luka pukulan ataupun peng
["Mas, mana uangnya? Kok belum ditransfer?"] Sebuah pesan masuk dari Lastri.Aku hanya membaca pesan dari Lastri tanpa ada niat untuk membalasnya. Aku sendiri sedang pusing memikirkan keuanganku yang mulai menipis, tetapi Lastri tahunya hanya minta uang saja. Aku heran dengannya, jika dihitung-hitung, setiap bulan aku selalu memberikan uang sebesar lima belas hingga dua puluh jutaan lebih setiap bulannya. Tetapi, Lastri seolah tak pernah cukup dengan uang yang aku beri.Mulai sekarang, aku tak ingin lagi memanjakan uang untuk Lastri. Aku harus benar-benar memperhitungkan jumlah uang yang aku berikan padanya. Agar aku bisa mengontrol pengeluaranku. Dering ponsel membuyarkan aku dari lamunan. Terlihat panggilan telepon dari Lastri. Aku berusaha mengabaikan telepon dari Lastri, tapi sepertinya Lastri tak menyerah untuk terus menghubungiku. Mau tak mau, aku mengangkat panggilan telepon darinya.["Mas, kok kamu cuma baca pesan dari aku sih? Mana uangnya? Kenapa belum kamu transfer?"] oceh
"Kamu lagi ngapain, Mas? Kok senyum-senyum sendiri?" tanya Lastri."Aku lagi chatan sama teman," jawabku singkat."Hmm ... ini, Mas, mienya. Katanya laper," kata Lastri memberikan semangkuk mie padaku."Kok cuma satu, kamu gak makan?""Enggak, Mas, aku udah makan tadi. Oh ya, Mas, besok aku minta uang lagi dong," kata Lastri dengan nada manja. Aku yang sedang menikmati mie buatannya seketika menoleh."Uang lagi? Untuk apa?""Ya buat perawatan lagi lah, Mas. Aku pengen gemukin badan. Biar kamu tambah sayang sama aku, Mas," jawab Lastri."Enggak perlu lah, Las. Kamu udah cantik kok. Ngapain pakai gemukin badan?""Kan biar lebih gemoy, Mas. Biar gak kalah saing sama si Alma.""Duh, udah deh, Las. Percuma kamu mau nyaingin si Alma. Mau kamu gemuk juga tetap cantikan Alma," kataku."Kok kamu gitu sih, Mas! Aku udah perawatan maksimal gini malah kamu banding-bandingin sama Alma!""Lah, bukannya kamu sendiri tadi yang mau saingan sama Alma?""Tau ah! Kamu benar-benar suami yang gak punya per