Mirko duduk di ruangannya dengan ekspresi serius. Rekaman CCTV masih terpampang di layar laptopnya, memperlihatkan pelayan yang tampak ketakutan saat mengantar makanan John Travis.Di kepalanya, ada satu nama yang muncul.Lucas.Mirko tahu, sebelum kematian John, Lucas memiliki hubungan yang cukup rumit dengan pria itu. Mereka pernah berseteru. Dan meskipun belakangan ini tidak ada laporan konflik terbuka, bukan berarti dendam sudah berakhir.Lucas adalah orang yang paling mungkin memiliki motif.Namun, Mirko tidak bodoh.Dia tidak akan langsung menuduh Lucas. Dia hanya ingin menggali informasi.Mirko menarik napas panjang, lalu mengambil kunci mobilnya. “Baiklah, Lucas. Mari kita bicara.”Dia meninggalkan kantor polisi dengan tekad kuat.Rumah LucasMirko tiba di kediaman Lucas, sebuah rumah besar dengan arsitektur modern di kawasan elite Verdansk. Namun, setelah beberapa kali mengetuk pintu, tidak ada jawaban.Dia menekan bel sekali lagi. Dan seorang asisten rumah tangga keluar. Dia
Kediaman GigioLampu di ruang kerja Gigio menyala redup, memberikan nuansa suram di ruangan yang dipenuhi dengan dokumen-dokumen penting. Gigio duduk di kursinya dengan ekspresi tegang, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja kayu mahal di depannya.Di seberangnya, Albin berdiri dengan ekspresi tenang, kedua tangannya terselip di saku jasnya.“Kematian John bukan kebetulan,” kata Gigio, suaranya terdengar berat. “Lucas benar. Matteo dan Raja Verdansk sedang bergerak. Kita tidak boleh lengah.”Albin mengangguk pelan, tatapannya tajam. “Dan kau yakin mereka mengincarmu, Ketua?”Gigio menghela napas, mengusap wajahnya. Lalu dia berkata, “Aku tidak tahu. Tapi masuk akal jika mereka menginginkanku mati. Matteo turun secara paksa dan aku menjadi penggantinya. Bisa saja dia dendam kepadaku.”“Kalau aku, tidak terlalu yakin,” kata Albin. “yang pertama mau disingkirkan oleh Matteo, susah pasti adalah Lucas.”Gigio mengangguk-anggukkan kepalanya seraya berkata, “Ya, kemungkinan besar seperti
Lucas menatap Julian dengan mata tajam. "Aku ingin kau menambah jumlah mata-mata kita. Kita harus mendapatkan kabar secepat mungkin dan seakurat mungkin."Julian mengangguk. "Aku akan melaksanakannya malam ini juga."Angin dingin berhembus, membawa aroma tanah basah yang khas setelah hujan ringan sore tadi. Di tengah percakapan serius itu, suara langkah kaki halus terdengar mendekat. Lucas menoleh dan melihat ibunya berjalan ke arahnya dengan membawa jaket tebal di lengannya."Kau bisa masuk angin jika terus di luar seperti ini," kata Rose, suaranya lembut tetapi penuh ketegasan seorang ibu.Lucas menerima jaket itu tanpa banyak bicara dan mengenakannya. Ibunya melirik Julian sebelum bertanya, "Apa yang kalian bicarakan? Terlihat sangat serius."Lucas tersenyum tipis. "Hanya urusan bisnis, Bu."Rose mengangguk kecil, menerima jawaban itu tanpa mencurigai apa pun. "Baiklah. Tapi jangan terlalu memaksakan diri. Kau juga harus menjaga kesehatanmu, Lucas."Lucas tersenyum tipis. "Aku tahu
Ashton membawa Mirko masuk ke dalam rumah dengan sikap santai. Interior rumah itu luas dan mewah, dihiasi lukisan-lukisan mahal serta furnitur klasik yang menunjukkan kekayaan keluarga Carter. Namun, suasana di dalamnya terasa dingin dan penuh ketegangan.Luki berjalan di belakang mereka, ekspresinya jelas tidak senang dengan kehadiran polisi di kediaman mereka. Dia melirik Mirko dengan tatapan tajam, seolah polisi itu adalah hama yang mengganggu.Mirko dipersilakan duduk di sofa kulit yang empuk di ruang tamu. Ashton memberi isyarat kepada seorang pelayan yang berdiri tak jauh dari sana."Bawakan teh manis hangat untuk tamu kita," kata Ashton dengan nada sopan, meskipun ada sedikit nada ejekan dalam suaranya.Pelayan itu mengangguk dan segera pergi ke dapur.Ashton lalu duduk di sofa berhadapan dengan Mirko. Dia menyilangkan kakinya dan menatap Mirko dengan senyum ramah yang terasa dibuat-buat."Bagaimana kabarmu, Kapten Mirko?" tanyanya dengan nada ringan.Mirko tetap memasang ekspr
Mirko menatap Luki dengan penuh selidik. Kata-kata pria itu masih terngiang di kepalanya.‘Ya, bisa aku pastikan, kamu bahkan tidak sempat untuk menyesalinya.’Mirko tidak paham sepenuhnya, tetapi firasat buruk mulai menjalar di tubuhnya. Ada sesuatu di balik ancaman itu. Sesuatu yang lebih dari sekadar intimidasi verbal.Dia mengangkat dagunya sedikit, menunjukkan bahwa dia tidak terintimidasi. “Maksudmu apa, Luki?”Luki tidak segera menjawab. Dia hanya menatap Mirko dengan mata tajam, lalu melemparkan pandangannya ke Ashton.Ashton, yang sedari tadi bersikap tenang, akhirnya bicara. “Kapten Mirko, aku sarankan kau mengikuti saran adikku.”Nada suaranya terdengar sopan, tetapi Mirko bisa merasakan ancaman terselubung di dalamnya.“Penyelidikan ini hanya akan membuang waktumu,” lanjut Ashton. “John Travis meninggal karena serangan jantung. Itu fakta. Kau tak akan menemukan apa pun yang bisa mengubahnya.”Mirko menatap Ashton dengan dingin. “Aku tidak bisa menerima itu begitu saja.”As
“Apakah anggota mata-mata Veleno mau dikerjakan, The Obsidian Blade? Kalau mau, aku akan menghubungi mereka,” tanya Troy.Troy paham jika orang yang bisa melacak keberadaan Mirko adalah para mata-mata di mana salah satunya adalah para cyber.Lucas menatap tajam ke arah Troy, lalu menggeleng. “Kita tidak bisa mengerahkan mereka sekarang.”Troy mengernyit. “Kenapa?”Lucas menghela napas pendek, lalu mengambil botol air mineral dan meneguknya.“Mereka sedang sibuk. Fokus utama mereka saat ini adalah mengawasi Raja Verdansk dan mencari keberadaan Dario. Jika kita meminta bantuan mereka untuk mencari Mirko, itu hanya akan memperumit segalanya,” kata Lucas.Troy mengangguk pelan, memahami situasi. “Lalu, apa yang akan kita lakukan?”Lucas menyipitkan mata, berpikir sejenak sebelum akhirnya meraih ponselnya. “Kita cari jalur lain.”Dia menekan nomor di layar dan menempelkan ponsel ke telinganya.Beberapa detik kemudian, suara seorang pria terdengar di seberang.The Obsidian Blade? Ada apa? P
Dia tidak pernah membayangkan bahwa dirinya masih harus terlibat dalam konflik besar seperti ini. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang kembali menghantuinya, seolah tak peduli seberapa jauh dia berusaha menjauh dari dunia kriminal, bayang-bayangnya tetap mengejarnya.‘Mike, aku tidak bisa hanya diam. Aku harus tahu ke mana mereka membawa Mirko,’ kata Lucas.‘Aku butuh semua rekaman CCTV di jalanan utama setelah mobil itu meninggalkan rumah keluarga Carter,’ lanjutnya.‘Aku akan coba mengaksesnya,’ kata Mike.Lucas menunggu. Tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Jika Mirko masih hidup, maka dia harus ditemukan secepat mungkin. Tidak boleh telat.Beberapa menit berlalu, kemudian ponselnya bergetar. Panggilan masuk dari Mike.Lucas segera mengangkatnya. ‘Bagaimana?’Suara Mike terdengar panik. ‘CCTV di sepanjang jalan itu mati pada jam yang sama ketika mobil yang membawa Mirko bergerak.’Lucas mengerutkan kening. ‘Apa?’‘Sepertinya mereka sudah menyiapkan ini seja
Matteo masih berdiri di tempatnya, tidak langsung menjawab pertanyaan Gigio. Tatapannya tetap tajam, tetapi senyum kecil di wajahnya masih bertahan, seolah dia menikmati situasi ini.Gigio menahan napas, menunggu jawaban. Albin di sampingnya juga tetap diam, tetapi tubuhnya sedikit tegang, siap bereaksi jika sesuatu terjadi.Setelah beberapa detik hening, Matteo tertawa pelan. “Astaga, Gigio, jangan terlalu serius begitu.”Dia berjalan santai ke arah sofa dan duduk dengan nyaman, menyilangkan kakinya dengan penuh percaya diri. Tangannya bergerak merapikan jas mahalnya sebelum akhirnya menatap Gigio kembali.“Aku hanya berkunjung,” katanya ringan. “sudah lama aku tidak menginjakkan kaki di sini. Dan kau tahu, keluarga Bellucci masih menjadi anggota inti Serikat Dagang. Jadi, apakah aku tidak boleh datang dan melihat-lihat?”Gigio tetap berdiri di tempatnya, menatap Matteo tanpa ekspresi. “Tentu saja boleh. Aku hanya bertanya, siapa tahu ada sesuatu yang penting yang ingin kau sampaikan
Lampu kamar hotel redup. Suara napas yang berat dan aroma parfum mahal bercampur dengan bau alkohol ringan masih tertinggal di udara. Stella duduk di atas ranjang dengan gaun tidur tipis yang hanya menutupi sebagian tubuhnya. Sementara itu, Hector, dengan dada terbuka dan hanya mengenakan celana tidur, menerima panggilan di balkon.Suara berat dari seberang telepon terdengar menggelegar, walau hanya samar.‘Hector. Don Emilio memanggilmu.’Hector mengernyit. ‘Untuk apa?’‘Bersiaplah. Pertemuan akan digelar di markas utama, Provinsi Everdale. Segera. Tidak ada alasan untuk terlambat.’Klik.Panggilan berakhir. Hector tidak membalas apa-apa. Tapi wajahnya berubah. Tegang. Tajam.Dia menutup ponsel, lalu berbalik ke dalam kamar. Langkah kakinya tenang, namun setiap tapaknya seperti menyimpan gelombang tekanan tak kasat mata.Stella mengangkat kepalanya. “Kamu mau ke mana?”Hector meraih handuk, lalu menjawab singkat, “Don Emilio memanggilku.”Stella mengerutkan kening. “Kenapa tiba-tiba?
Ruangan itu sepi, tapi bukan keheningan yang nyaman. Setiap napas yang terdengar terasa berat, seolah udara pun tahu bahwa ancaman besar sedang menggantung di atas kepala mereka. Julian, Moretti, dan Diego semua duduk diam, menatap Lucas yang berdiri di depan jendela, menatap ke luar dengan ekspresi sulit ditebak.“Organisasi Dominus Noctis tidak akan tinggal diam,” kata Lucas akhirnya, suaranya tenang tapi mengandung tekanan yang dalam. “kematian Stefano adalah penghinaan bagi mereka. Dan sekarang, setelah Marchetti menghilang dari muka bumi, mereka pasti sedang bersiap membalas.”Julian mengepalkan kedua tangannya, keras hingga buku jarinya memutih.“Biarkan saja mereka datang,” kata Julian dengan suara rendah yang bergetar, bukan karena ketakutan, tapi karena semangat membara. “Pada saat itu juga, mereka datang hanya untuk menggali kubur mereka sendiri.”Lucas menoleh perlahan, menatap Julian lurus. “Percaya diri boleh. Tapi jangan pernah menganggap enteng organisasi Dominus Noctis
Jeremy melangkah keluar dari kantor BQuality dengan langkah santai, seolah tidak terjadi apa-apa. Dia bahkan sempat tersenyum kecil pada resepsionis sebelum pintu lift menutup di depannya.Jeremy tahu Angeline akan berpikir ulang.Dia tahu wanita itu tidak akan tinggal diam begitu saja. Dan ketika waktu itu tiba, Jeremy yakin, Angeline akan mencarinya.Oleh sebab itu, dia merasa tenang. Dan pulang seperti seorang pemenang.“Brengsek!” seru Sabrina, membanting map ke atas meja. “Bajingan itu benar-benar menyebalkan! Sok manis, padahal isinya racun semua!”Angeline hanya diam. Pandangannya kosong menatap layar laptop yang masih menyala. Tapi pikirannya tidak di sana. Ia sedang menimbang. Menganalisa. Mencari celah dari ancaman yang dilemparkan Jeremy tadi.Sabrina melangkah mendekat. Suaranya masih ketus. “Apa dia pikir kita bisa begitu saja jatuh ke perangkapnya?”Tak ada respons.“Angeline?”“Aku mendengarmu,” jawabnya pelan.Sabrina mengepalkan tangan. “Aku tahu, ini bukan aku yang te
Jeremy tidak langsung menjawab pertanyaan Angeline. Dia berdiri pelan, menatap keluar jendela besar di balik meja kerja Angeline yang menghadap ke pusat kota.“Sebenarnya,” ujarnya setelah beberapa detik yang terasa lambat, “aku hanya ingin menawarkan bantuan.”“Bantuan?” tanyanya Angeline seraya mengangkat alisnya, curiga. “bantuan apa maksudmu?”Jeremy berbalik, sorot matanya tajam namun senyumnya masih bertahan di wajah.“Carlos tidak akan tinggal diam. Dia akan mengumpulkan empat orang lainnya, lima karyawan yang baru saja kamu pecat. Mereka tidak akan datang ke sini. Tidak akan membuat tuntutan hukum. Mereka akan membuat langkah yang jauh lebih berbahaya,” ucap Jeremy.Sabrina menyipitkan mata. Lalu dia bertanya, “Langkah apa maksudmu?”“Mereka akan memviralkan kasus ini di media sosial,” jawab Jeremy tenang. “mereka akan tampil sebagai korban. Mengungkap cerita mereka. Memutar balik fakta. Dan tentu saja, publik akan menelan mentah-mentah semuanya.”Angeline menegang. Dia menole
Angeline tidak menoleh. Ia masih menatap layar tablet di depannya.“Dia memang sepupu kita, tapi Jeremy bukan orang biasa. Dia penuh perhitungan,” lanjut Sabrina. “dan biasanya, kalau dia datang tanpa pemberitahuan itu berarti dia membawa masalah. Kamu pun sudah sering mengalaminya, bukan?”“Kita tidak boleh langsung berprasangka buruk,” jawab Angeline datar. “siapa tahu dia datang membawa kabar baik.”Sabrina mengerutkan dahi. “Apa kamu tidak lelah terus bersikap baik kepada orang yang berkali-kali menjatuhkanmu?”Angeline mengangkat pandangannya perlahan. Matanya tenang, tapi juga tajam. “Aku tidak bersikap baik karena aku bodoh. Aku bersikap baik karena aku tahu siapa diriku.”Sabrina mendengus pelan, tidak membantah. Tapi nada suaranya tetap keras. “Dia bukan seperti Lucas. Dia tidak akan memikirkan keselamatanmu atau bagaimana perasaanmu. Jeremy hanya tahu satu hal, keuntungan.”“Kalau begitu, biarkan aku lihat sendiri apa yang dia inginkan,” jawab Angeline sambil berdiri.Sabrin
“The Obsidian Blade...”Lucas hanya diam di jok belakang. Pandangannya mengarah keluar jendela, menatap bayangan gedung-gedung yang lewat satu per satu. Namun pikirannya tidak benar-benar melihat. Di matanya, hanya ada satu nama: Carlos. Dan di hatinya, masih diselimuti apa yang dikatakan oleh Angeline.Troy yang menyetir di kursi depan kembali bicara, kali ini dengan suara sedikit lebih tegas, “The Obsidian Blade, apakah semuanya baik-baik saja?”Lucas menarik napas dalam dan menjawab pelan namun tajam, “Salah satu dari lima orang yang dipecat dari BQuality akan bertindak. Namanya Carlos. Aku bertemu dengannya pagi ini.”“Carlos?” ulang Troy dengan nada geram. “Bajingan itu. Jadi dia mengancam keselamatan Nona Angeline?”Lucas mengangguk pelan. “Secara langsung tidak. Tapi dari caranya bicara, dari matanya, dari jeda setiap katanya, dia berniat untuk melakukan sesuatu.”Troy menggertakkan gigi. “Kalau begitu kita bersihkan saja dia. Seperti yang kita lakukan pada Randy dan Matias. Di
“Aku mengerti maksudmu,” kata Angeline dengan nada yang mulai melunak. “Tapi kamu juga harus mengerti kalau aku sedang sibuk. Kalau memang darurat, seharusnya kamu bisa mengirimkan pesan terlebih dahulu.”Lucas menatap istrinya dalam diam selama beberapa detik sebelum akhirnya menjawab dengan suara datar, “Aku takut jika aku hanya mengirim pesan, kamu malah salah paham lagi. Mengingat kamu sedang marah padaku.”Angeline menarik napas dalam, menahan diri agar nada bicaranya tetap tenang. “Baiklah. Sekarang, apa kamu yakin jika Carlos benar-benar akan bertindak nekat?”Lucas mengangguk pelan. “Untuk masalah yakin, bisa dibilang aku yakin. Aku mendengarnya langsung dari mulutnya, dan aku melihat matanya ketika dia mengatakannya. Tapi … aku tetap berharap tidak akan terjadi apa-apa.”“Kalau begitu,” kata Angeline sambil menyilangkan tangan di dada, “apa rencanamu?”Lucas melangkah lebih dekat. “Aku hanya ingin kamu mendengarkan dan bekerja sama denganku. Tidak ada rencana rumit. Aku hanya
Lucas masih berdiri di tepi taman saat namanya terpampang jelas di layar aplikasi: Carlos. Sopir taksi online barusan. Wajahnya, nada bicaranya, dan kalimat terakhir yang dia ucapkan, semuanya kini menggelitik rasa curiga yang tak bisa lagi diabaikan.“Carlos…” gumam Lucas.Ia memejamkan mata sejenak. Nama itu tidak asing.Lalu ia teringat. Randy. Matias. Dua orang bawahan Angeline yang merupakan otak penggelapan dana di perusahaan BQuality. Mereka menyebut 5 nama yang membantu mereka menggelapkan dana dan kelima orang itu juga ikut menggelapkan dana. Salah satu nama pelaku adalah Carlos.Lucas menggeram pelan. Kalau itu memang orang yang sama…Tanpa menunda waktu, Lucas menekan tombol panggilan di layar ponselnya. Ia menghubungi Angeline.Nada sambung terdengar.Sekali.Dua kali.Tiga kali.Tidak dijawab.Lucas menggertakkan gigi, napasnya mulai memburu.Ia mencoba lagi. Sama. Tidak ada jawaban.“Ayolah, Angeline. Jangan marah terus. Sekarang bukan waktu yang tepat,” ucap Lucas.Ia m
Lea menatap Lucas yang masih duduk di kursi makan. Dalam hatinya, ia berharap pria itu akan berbalik dan menghampirinya. Mungkin menatap matanya lebih lama. Mungkin menyentuhnya. Menarik pinggangnya ke dalam pelukan. Atau membisikkan sesuatu yang hanya mereka berdua yang tahu.Rumah sedang kosong. Hanya ada mereka di situ. Angeline sudah pergi. Tidak akan ada yang melihat.Namun Lucas hanya berdiri."Aku akan pergi berolahraga," katanya tenang sambil membetulkan kerah jaket olahraganya.Lea tersenyum tipis, meski hatinya sedikit tenggelam. “Tidak mau sarapan dulu, Tuan?”Lucas menggeleng pelan. “Setelah olahraga saja. Perutku tidak terbiasa diisi sebelum gerak. Terasa berat.”Lea mengangguk. “Baik, Tuan.”Lucas melirik meja makan. “Kamu boleh makan saja pancake dan smoothies yang kubuat tadi. Sayang kalau dibuang.”“Baik. Terima kasih,” jawab Lea pelan.Lucas meninggalkan dapur dengan langkah santai. Suara sepatunya pelan, berirama. Lea hanya bisa memandangi punggung pria itu menghila