Share

PEKERJAAN PERTAMA CASEY

Author: wulfelyn
last update Last Updated: 2025-01-08 01:08:51

PERINGATAN UNTUK PEMBACA :

Cerita ini ditujukan khusus untuk pembaca dewasa berusia 18 tahun ke atas.

Cerita ini mungkin mengandung:

Adegan kekerasan, Bahasa eksplisit

Pembaca di bawah usia 18 tahun dilarang melanjutkan. Mohon Harap Bijak membaca

Casey mendapati dirinya berdiri di tengah padang rumput yang luas. Angin berhembus lembut, menyapu wajahnya dengan kehangatan yang menenangkan. Tempat ini terasa asing, namun penuh kedamaian. Casey menyadari bahwa ini pasti mimpi.

Di tengah lamunannya, suara yang sangat familiar memanggil namanya.

“Casey!”

Casey menoleh cepat, mencari sumber suara. Dari kejauhan, ia melihat sosok pria bertubuh gemuk berdiri dengan senyum lebar. Pria itu tampak hangat dan penuh kasih, sosok yang sangat dikenalnya. Ayahnya. Sosok yang selama ini ia cari, sosok yang selalu ia rindukan.

“Ayah…” ucap Casey dengan suara bergetar dan berwajah sedih. Ia langsung berlari kecil menghampiri ayahnya. Sang ayah pun melakukan hal yang sama, berlari kecil menghampiri putrinya. Seperti adegan yang sempurna dari drama, mereka akan saling memeluk untuk melepas kerinduan yang mendalam setelah sekian lama terpisah.

Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Tepat saat ayahnya mendekat, Casey tiba-tiba mengeluarkan pedang dengan bilah yang tajam. Ayahnya menyadari bahaya itu, segera berbalik arah untuk menghindar. Momen yang seharusnya penuh kehangatan berubah menjadi pengejaran yang intens.

“Tunggu, Casey! Apa yang kamu lakukan pada ayahmu?” teriak pria itu dengan nada panik dan bergetar.

“Tentu saja menghabisimu, sialan! Kau membuatku hampir mati!” Casey berteriak marah, mengarahkan pedangnya dengan penuh kemarahan sambil terus mengejar pria itu.

“Biarkan ayah menjelaskan!” pria itu memohon dengan nada putus asa, tetapi Casey tak memedulikannya. Ia mempercepat langkahnya, wajahnya penuh determinasi. Pedangnya terangkat tinggi, mengincar sasarannya.

Sang ayah tersandung akar dan jatuh ke tanah, membuatnya tak bisa berlari lebih jauh. Casey berhenti sejenak, menatap ayahnya yang terkapar dengan mata tajam dan senyuman menyeringai.

“Hehehe… sepertinya kepala Ayah lebih cocok jadi santapan buaya peliharaan Tuan Harrison,” ucap Casey dengan tawa seramnya yang membuat bulu kuduk meremang. Pedangnya terangkat tinggi, siap untuk mengakhiri hidup orang di hadapannya.

“TUNGGU, CASEY…!”

‘BYURR!’

Guyuran air dingin menyirami wajah Casey yang sedang tertidur, membuatnya terbangun seketika. Ia terengah-engah, mencoba mengatur napas. Tangannya mengusap wajahnya yang basah, dan di sampingnya berdiri seorang pelayan dengan ekspresi datar dan tatapan tajam.

Casey menatap pelayan itu, berniat meluapkan kekesalannya, namun tatapan dingin pelayan itu membuatnya membeku.

“Cepat ganti baju,” ucap pelayan itu dingin, menyerahkan seragam pelayan kepada Casey, lalu berlalu pergi tanpa banyak bicara.

Saat di depan pintu, pelayan itu sempat menoleh dan berkata,

“Setelah itu, langsung ke ruangan Tuan Harrison.”

Pelayan itu pergi begitu saja. Casey masih duduk terpaku, sibuk dengan basahnya pakaian yang ia kenakan. Ia menggerutu, mengusap rambutnya yang ikut basah.Ia sadar akan pesan terakhir pelayan itu, buru-buru menuju pintu untuk bertanya di mana ruangan Tuan Harrison, tetapi pelayan itu sudah menghilang.

“Aish! Cepat sekali langkahnya. Padahal aku mau tanya di mana ruang  kerja Tuan Harrison itu,” gerutunya dengan nada kesal.

Tak mau buang waktu, Casey segera mengenakan seragam pelayan itu dan melangkah keluar dari kamar, menuju ruang kerja Tuan Harrison.

“Telat 1 jam 30 menit,” ucap Harrison dengan nada dingin, matanya tajam menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu beralih ke Casey yang baru saja tiba di ruang kerjanya. Sementara itu, Casey yang napasnya masih tersengal menundukkan kepalanya, berusaha mengatur napas yang terengah-engah.

“Maafkan saya, Tuan. Tadi saya tersesat. Ke depannya, saya tidak akan terlambat lagi,” ucapnya dengan nada lemas, terlihat kelelahan setelah mencari ruang kerja Harrison. Meskipun ia pernah datang kemarin, bangunan ini begitu luas dan penuh dengan ruangan-ruangan yang sulit diingat. Ini adalah hari pertama memasuki bangunan tersebut, dan sangat wajar jika dia merasa kesulitan mengingatnya. Yang membuatnya semakin kesal adalah kenyataan bahwa tidak ada seorang pun yang membantunya. Beberapa orang sempat melihatnya kesulitan, namun mereka memilih mengabaikan dan bahkan menghindar ketika ia meminta bantuan.

“Baiklah...” ucap Harrison, membuat Casey menghela napas lega. Namun, kalimat selanjutnya membuatnya terkejut.

“Namun, jika kamu terlambat lagi, tidak ada kesempatan lagi bagimu,” ucap Harrison dengan nada yang lebih dingin, membuat Casey merinding ketakutan.

“Ba...ik,” jawabnya, kepalanya masih tertunduk, mencoba menahan kecemasan yang mendera.

Harrison tersenyum mendengar itu, namun senyumannya terlihat dingin. Lalu, ia menghampiri Casey, sementara Casey yang kepalanya masih tertunduk merasakan kedatangan Harrison. Ia menahan napasnya, mencoba menutupi ketakutannya. Ada aura dingin yang menyelimuti Harrison, membuat suasana terasa mencekam.

“Angkat kepalamu,” perintahnya dengan tegas dan dingin.

Casey pun mengangkat kepalanya perlahan, tatapan matanya bertemu dengan tatapan Harrison yang penuh tekanan.

“Ikut aku. Ada yang harus kau bereskan,” ucap Harrison, lalu ia berbalik dan melangkah keluar. Tanpa bertanya, Casey mengikuti langkahnya dengan gemetar, berusaha menyembunyikan ketakutannya.

Awalnya, Casey tidak merasa curiga saat mengikuti langkah Harrison. Namun, rasa tenang itu perlahan memudar ketika ia menyadari bahwa Harrison membawanya menuju lantai bawah. Bahkan lebih dalam, menuju ruang yang jauh dari kamarnya.

Lorong yang mereka masuki semakin gelap, hanya diterangi cahaya lilin yang redup. Udara di sekitarnya terasa lembap, dan suasana yang sunyi menambah kesan mencekam. Casey mulai merasakan kecemasan yang merayap, tubuhnya terasa dingin.

Ke mana dia membawaku? Apa dia akan menghukumku karena terlambat? Bukankah tadi dia bilang aku masih punya kesempatan? pertanyaan-pertanyaan itu bergema di benaknya, membuat hatinya dipenuhi ketakutan.

Langkah kaki Harrison akhirnya terhenti di depan sebuah pintu besi besar. Dari balik pintu itu, tercium bau anyir yang menyengat, membuat Casey refleks menutup hidung dengan tangannya. Aroma itu sangat kuat, seperti darah yang sudah lama mengering, bercampur dengan udara lembap yang menusuk.

Harrison dengan tenang membuka pintu besi tersebut. Suara deritnya yang berat memecah keheningan lorong, menambah rasa ngeri yang sudah melingkupi Casey.

Apa yang terlihat di balik pintu itu membuat Casey langsung terpaku. Matanya membelalak, mulutnya terbuka, namun tak ada suara yang keluar, Casey masih menutup hidungnya dengan erat. Aroma tajam yang menguar dari ruangan itu terasa semakin pekat saat pintu besi terbuka,. Jantungnya berdegup kencang, seakan ingin keluar dari dadanya.

Pemandangan di depan matanya begitu mengejutkan, melebihi segala yang pernah ia bayangkan.

Di balik pintu besi itu, Casey mendapati pemandangan yang membuatnya bergidik ngeri. Ruangan itu seperti diwarnai oleh kekacauan yang tak terlukiskan. Sisa-sisa kehidupan yang hancur berserakan tanpa pola, seakan waktu dan kehancuran bersekongkol menciptakan pemandangan ini.

Ada benda-benda yang menyerupai serpihan mimpi buruk, berantakan di mana-mana. Di sudut ruangan, sesuatu tampak seakan-akan pernah menjadi utuh, kini hanya meninggalkan bayangan samar yang membuat Casey merasakan dingin menjalar hingga ke tulang.

Yang paling membuat tubuhnya gemetar adalah tatapan kosong yang terasa menusuk, seolah masih menuntut jawaban dari dunia yang telah meninggalkannya. Casey merasa mata itu seperti mengarah langsung padanya, membawa pesan bisu yang tak bisa ia pahami.

Ia berdiri membeku, tubuhnya bergetar hebat. Otaknya berusaha mencerna apa yang ia lihat, namun pikirannya penuh dengan pertanyaan.

Apa maksud ia menunjukkan ini padaku?

Namun, berbeda dengan Casey yang gemetar ketakutan, Harrison tetap tenang, bahkan tampak tidak terusik oleh pemandangan yang ada di hadapannya. Wajahnya dingin, tak menunjukkan emosi, seperti seseorang yang sudah terbiasa menghadapi sesuatu yang tak terbayangkan.

Harrison melipatkan tangannya dengan santai, lalu menghela napas panjang, seolah pemandangan ini hanya sesuatu yang sepele baginya.

“Kamu bereskan sampah ini,” perintahnya dengan nada tegas,  datar namun dingin.

Casey dengan cepat menoleh ke arah Harrison, matanya penuh dengan pertanyaan.

Apa maksudnya? Aku membereskan 'itu'? Namun, Harrison tidak segera menjawab tatapan itu. Ia tetap menatap lurus ke depan, lalu ia  berbalik dan menatap Casey saat Casey menatap matanya. Mata mereka bertemu, dan Casey merasa seolah seluruh tubuhnya membeku di bawah sorot tajam pria itu.

Melihat keraguan di wajah Casey, Harrison menyeringai tipis.

“Kenapa? Kamu menolak?” katanya, suaranya pelan namun mengandung tekanan.

“Aku sudah bilang kemarin, kamu harus melakukan apa pun yang kuperintahkan. Tapi sekarang, hanya untuk membereskan ‘sampah’ ini, kau terlihat seperti ingin mundur?.”

Harrison melangkah lebih dekat, auranya semakin mencekam. Tatapannya tajam, wajahnya tampan namun penuh ketegasan dingin yang membuat Casey merasa seperti terpojok. Casey dengan cepat menggelengkan kepalanya, mencoba menyangkal keraguan yang terlihat di wajahnya.

Melihat tindakan Casey yang menurut, Harrison tersenyum puas. Ia melirik arloji di pergelangan tangannya, lalu berkata dengan nada dingin yang tegas,

“Karena ini hari pertama kerjamu, aku tidak memberi batasan waktu untuk menyelesaikan ini. Jadi, pastikan tidak ada yang tersisa.”

Casey hanya mengangguk pelan. Wajahnya pucat, matanya terlihat kosong. Perutnya terasa mulas, dan aroma tajam yang menyengat masih terus melekat meski ia mencoba menutup hidung dengan tangannya. Harrison memperhatikannya sejenak, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya.

“Oh, ya. Jika kamu terganggu dengan baunya, pakai ini. Pekerjaan akan memakan waktu lebih lama jika kau terus bekerja dengan satu tangan,” katanya sambil menyerahkan masker kepada Casey.

Casey menerima masker itu dengan tangan gemetar dan langsung memakainya untuk menutup hidung dan mulutnya. Meski sedikit membantu, bau anyir dan busuk itu tetap terasa menyelinap masuk, membuatnya semakin sulit berkonsentrasi. Dengan langkah yang berat, ia memasuki ruangan itu.

“Aku akan menunggu di luar,” ujar Harrison.

 “Tutup pintunya yang rapat. Aku tidak ingin bau ini menyebar ke atas.”

Casey mengangguk lagi, kali ini tanpa menoleh, lalu menutup pintu di belakangnya sesuai perintah Harrison. Suara pintu yang tertutup terdengar berat dan menggema, membuat ruangan itu terasa lebih hening dan mencekam.

Dengan langkah perlahan dan gemetar, Casey mulai mendekat. Aroma itu masih begitu pekat meskipun masker telah menutupi wajahnya. Jantungnya berdebar semakin cepat, dan tangannya bergetar setiap kali ia mencoba bergerak. Ruangan itu seperti menyimpan sisa-sisa bayangan gelap yang terus mengintai.

Casey memutar bola matanya, mencari sesuatu yang bisa membantunya menyelesaikan tugas ini. Saat matanya tertumbuk pada sebuah ember besar, ia dengan cepat mengambilnya lalu melangkah mendekat ke arah benda yang tersebar di lantai. Dengan hati-hati, ia mulai memindahkan potongan-potongan itu satu per satu, seolah setiap gerakan yang dilakukannya adalah usaha terakhir untuk menahan kegelisahan dalam dirinya.

Rasa jijik dan ketakutan menyelubungi dirinya. Setiap kali tangannya menyentuh sesuatu yang dingin dan lembap, ia merasa seolah dunia ini terlalu berat untuk ditanggung. Air mata mengalir tanpa bisa dihentikan, tanda betapa sulitnya ia menghadapi kenyataan ini. Darah, yang mulai melumuri tangannya, menambah berat rasa itu. Ia berusaha keras untuk tetap tenang, tetapi tubuhnya seperti menolak, tak sanggup menahan kekhawatiran yang semakin merasuk. Segala yang ada di sekelilingnya terasa seperti bayangan suram yang menekan dari segala arah.

Tangan yang memegang potongan itu kini terlumuri warna merah yang membuatnya merasa semakin terjebak dalam ketakutan. Ia ingin berlari, tapi kakinya terasa terikat, tak mampu bergerak.

Casey merasa seperti ada beban besar yang menindih dadanya, setiap detik terasa semakin sulit untuk dihadapi. Ia ingin berlari, jauh dari semua ini, tapi seolah ada rantai yang mengikat kakinya, memaksanya untuk tetap berada di tempat. Pikirannya dipenuhi dengan rasa takut dan kebingungan, namun di balik semua itu, ada satu hal yang membuatnya bertahan, nyawa dirinya dan adiknya yang tergantung pada keputusan ini.

Setelah membersihkan bagian-bagian kecil dari tubuh tersebut, Casey perlahan-lahan memindahkan bagian yang lebih besar seperti lengan, kaki, badan, hingga kepala. Dengan napas yang ia tahan untuk meredam rasa takutnya, Casey berusaha keras untuk tidak menatap objek yang sedang ia pindahkan.

Entah sudah berapa lama Casey menyelesaikan semuanya. Ia dengan teliti menyusuri lantai, memastikan tak ada yang tertinggal. Setelah yakin semuanya bersih, dengan cepat ia berlari ke pintu dan membukanya. Napasnya masih tersengal-sengal, akibat bau anyir dan busuk yang terus menghantui, ditambah ketegangan yang menyesakkan dadanya.

Ketika Casey membuka pintu, Harrison yang berdiri menunggu di depan menatapnya dengan tajam. Namun, tatapannya segera beralih pada arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Hmm...50 menit, lebih lama dari yang kuperkirakan," ucapnya dengan nada dingin.

"Tapi tidak masalah, karena ini hari pertama kerjamu. Kedepannya, saya harap kamu bisa menyelesaikannya lebih cepat dari ini."

Harrison kemudian menatap Casey dengan sorot serius dan tajam.

"Apa semuanya sudah beres? Tidak ada yang tersisa, kan?" tanyanya tegas.

Casey, yang terlalu gugup untuk berbicara, hanya menganggukkan kepalanya dengan cepat, memberi isyarat bahwa semuanya telah selesai tanpa ada yang tertinggal.

Harrison tersenyum puas, tak menunjukkan sedikit pun empati saat melihat Casey yang masih terengah-engah dengan wajah pucat penuh ketakutan. Sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum dingin yang membuat suasana semakin mencekam.

"Oh ya, kalau kamu penasaran siapa ‘sampah’ itu," ucapnya santai sambil melirik ke arah Casey,

"Dia adalah salah satu anggota saya. Korban penipuan investasi bodong yang dilakukan oleh ayahmu."

"Aku membunuhnya karena dia terlalu bodoh," lanjut Harrison dengan nada datar namun tajam. "Menggunakan anggaran Carter untuk transaksi yang tidak jelas. Ironis, bukan? Dia memang korban, tapi... aku tidak menyukai orang bodoh, karena itu aku membunuhnya."

Mata Casey melebar, terkejut mendengar penjelasan itu. Namun Harrison hanya menyeringai lebih lebar, senyum sinisnya menyayat udara di antara mereka.

Related chapters

  • Pelayan Cantik dalam Cengkraman Sang Mafia   Terperangkap dalam Ketakutan

    Casey mendengar setiap kata itu tidak bisa merespons apapun. Tubuhnya terasa semakin lemah, nyaris kehilangan tenaga untuk tetap berdiri. Meski tugasnya telah selesai, yang membuatnya hampir pingsan rasa lega itu tak pernah ada.Sebaliknya ia merasa penuh ketegangan termasuk ketika ia keluar dan mendapati pria itu berdiri di hadapannya, rasa takut yang telah menguasainya justru bertambah. Ada sesuatu dalam tatapan dingin Harrison, dari cara dia tersenyum tanpa emosi, yang membuat Casey merasa kecil dan tak berdaya. Ia hanya bisa berdiri di sana, membisu, sementara jantungnya berdebar kencang, kakinya terasa diikat oleh sebuah rantai yang tak terihat. "Kebetulan, buaya peliharaanku sedang lapar," ucap Harrison dengan nada santai, namun penuh dengan ironi yang mengerikan."Kamu lemparkan ‘sampah’ itu ke kandangnya. Jaraknya tidak terlalu jauh. Kamu cukup jalan lurus ke depan, dan ketika kamu menemukan pintu warna biru, di situlah kandangnya berada."Harrison berhenti sejenak, menatap C

    Last Updated : 2025-03-10
  • Pelayan Cantik dalam Cengkraman Sang Mafia   HUTANG AYAH

    "5 milyar?" kata Casey, suaranya hampir bergetar. Matanya melotot, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. Angka sebesar itu terasa seperti candaan. Namun pria di depannya mengenakan jas hitam dan kacamata hitam, hanya tersenyum sinis seolah menikmati reaksi tak percaya dari remaja 19 tahun itu."Apakah wajah saya terlihat seperti sedang bercanda?" ujar pria itu dengan keyakinan yang tak terbantahkan, suaranya tegas, tidak memberikan ruang untuk keraguan."Tapi... saya tidak punya uang sebesar itu," jawab Casey dengan nada lemas, bibirnya hampir gemetar. Pria itu mendengus, matanya kini tertuju pada rumah mewah yang ada di belakang Casey, rumah yang seakan menjadi simbol kekayaan mereka."Lalu, ada apa dengan rumah ini?" tanya pria itu, nada suaranya menunjukkan ketidakpercayaan. Bagi pria itu, rumah sekelas ini seharusnya tidak dimiliki oleh seseorang yang mengaku tidak mampu membayar kerugian besar.Casey terhenyak mendengar pertanyaan itu. Sebenarnya, keluarganya hanya oran

    Last Updated : 2025-01-07
  • Pelayan Cantik dalam Cengkraman Sang Mafia   MENJADI PELAYAN RAYMOND

    Akhirnya, Casey pun mengikuti bos mafia itu dengan mobilnya, duduk di sebelahnya dengan hati berdebar-debar. Setiap detik terasa seperti berlarian di atas garis tajam. Mobil itu bergerak dengan tenang, namun ada getaran yang merayap di tubuh Casey, membuatnya merasa tidak nyaman. Aura mencekam yang terpancar dari pria di sampingnya begitu dekat, dan dia terpaksa menelan ludahnya untuk menjaga ketenangan.Di sampingnya, bos mafia itu duduk dengan sikap tenang, matanya terfokus pada jalan di depan, namun juga sesekali menatap jendela mobil yang gelap. Casey merasa seperti berada di ruang hampa, terperangkap dalam ketegangan yang semakin tebal di udara. Suasana mobil itu agak kelam, cahaya lampu dalam mobil hanya memberikan kilau redup, seperti menggambarkan betapa dalamnya kegelapan yang menyelubungi momen itu.Kesunyian yang mengisi ruang di antara mereka terasa begitu berat. Setiap detik berlalu begitu lambat, dan Casey merasa sulit untuk bernapas dengan benar, seo

    Last Updated : 2025-01-07

Latest chapter

  • Pelayan Cantik dalam Cengkraman Sang Mafia   Terperangkap dalam Ketakutan

    Casey mendengar setiap kata itu tidak bisa merespons apapun. Tubuhnya terasa semakin lemah, nyaris kehilangan tenaga untuk tetap berdiri. Meski tugasnya telah selesai, yang membuatnya hampir pingsan rasa lega itu tak pernah ada.Sebaliknya ia merasa penuh ketegangan termasuk ketika ia keluar dan mendapati pria itu berdiri di hadapannya, rasa takut yang telah menguasainya justru bertambah. Ada sesuatu dalam tatapan dingin Harrison, dari cara dia tersenyum tanpa emosi, yang membuat Casey merasa kecil dan tak berdaya. Ia hanya bisa berdiri di sana, membisu, sementara jantungnya berdebar kencang, kakinya terasa diikat oleh sebuah rantai yang tak terihat. "Kebetulan, buaya peliharaanku sedang lapar," ucap Harrison dengan nada santai, namun penuh dengan ironi yang mengerikan."Kamu lemparkan ‘sampah’ itu ke kandangnya. Jaraknya tidak terlalu jauh. Kamu cukup jalan lurus ke depan, dan ketika kamu menemukan pintu warna biru, di situlah kandangnya berada."Harrison berhenti sejenak, menatap C

  • Pelayan Cantik dalam Cengkraman Sang Mafia   PEKERJAAN PERTAMA CASEY

    PERINGATAN UNTUK PEMBACA :Cerita ini ditujukan khusus untuk pembaca dewasa berusia 18 tahun ke atas.Cerita ini mungkin mengandung:Adegan kekerasan, Bahasa eksplisitPembaca di bawah usia 18 tahun dilarang melanjutkan. Mohon Harap Bijak membacaCasey mendapati dirinya berdiri di tengah padang rumput yang luas. Angin berhembus lembut, menyapu wajahnya dengan kehangatan yang menenangkan. Tempat ini terasa asing, namun penuh kedamaian. Casey menyadari bahwa ini pasti mimpi.Di tengah lamunannya, suara yang sangat familiar memanggil namanya.“Casey!”Casey menoleh cepat, mencari sumber suara. Dari kejauhan, ia melihat sosok pria bertubuh gemuk berdiri dengan senyum lebar. Pria itu tampak hangat dan penuh kasih, sosok yang sangat dikenalnya. Ayahnya. Sosok yang selama ini ia cari, sosok yang selalu ia rindukan.“Ayah…” ucap Casey dengan suara bergetar dan berwajah sedih. Ia langsung berlari kecil menghampiri ayahnya. Sang ayah pun melakukan hal yang sama, berlari kecil menghampiri putrin

  • Pelayan Cantik dalam Cengkraman Sang Mafia   MENJADI PELAYAN RAYMOND

    Akhirnya, Casey pun mengikuti bos mafia itu dengan mobilnya, duduk di sebelahnya dengan hati berdebar-debar. Setiap detik terasa seperti berlarian di atas garis tajam. Mobil itu bergerak dengan tenang, namun ada getaran yang merayap di tubuh Casey, membuatnya merasa tidak nyaman. Aura mencekam yang terpancar dari pria di sampingnya begitu dekat, dan dia terpaksa menelan ludahnya untuk menjaga ketenangan.Di sampingnya, bos mafia itu duduk dengan sikap tenang, matanya terfokus pada jalan di depan, namun juga sesekali menatap jendela mobil yang gelap. Casey merasa seperti berada di ruang hampa, terperangkap dalam ketegangan yang semakin tebal di udara. Suasana mobil itu agak kelam, cahaya lampu dalam mobil hanya memberikan kilau redup, seperti menggambarkan betapa dalamnya kegelapan yang menyelubungi momen itu.Kesunyian yang mengisi ruang di antara mereka terasa begitu berat. Setiap detik berlalu begitu lambat, dan Casey merasa sulit untuk bernapas dengan benar, seo

  • Pelayan Cantik dalam Cengkraman Sang Mafia   HUTANG AYAH

    "5 milyar?" kata Casey, suaranya hampir bergetar. Matanya melotot, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. Angka sebesar itu terasa seperti candaan. Namun pria di depannya mengenakan jas hitam dan kacamata hitam, hanya tersenyum sinis seolah menikmati reaksi tak percaya dari remaja 19 tahun itu."Apakah wajah saya terlihat seperti sedang bercanda?" ujar pria itu dengan keyakinan yang tak terbantahkan, suaranya tegas, tidak memberikan ruang untuk keraguan."Tapi... saya tidak punya uang sebesar itu," jawab Casey dengan nada lemas, bibirnya hampir gemetar. Pria itu mendengus, matanya kini tertuju pada rumah mewah yang ada di belakang Casey, rumah yang seakan menjadi simbol kekayaan mereka."Lalu, ada apa dengan rumah ini?" tanya pria itu, nada suaranya menunjukkan ketidakpercayaan. Bagi pria itu, rumah sekelas ini seharusnya tidak dimiliki oleh seseorang yang mengaku tidak mampu membayar kerugian besar.Casey terhenyak mendengar pertanyaan itu. Sebenarnya, keluarganya hanya oran

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status