"5 milyar?" kata Casey, suaranya hampir bergetar. Matanya melotot, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. Angka sebesar itu terasa seperti candaan. Namun pria di depannya mengenakan jas hitam dan kacamata hitam, hanya tersenyum sinis seolah menikmati reaksi tak percaya dari remaja 19 tahun itu.
"Apakah wajah saya terlihat seperti sedang bercanda?" ujar pria itu dengan keyakinan yang tak terbantahkan, suaranya tegas, tidak memberikan ruang untuk keraguan.
"Tapi... saya tidak punya uang sebesar itu," jawab Casey dengan nada lemas, bibirnya hampir gemetar. Pria itu mendengus, matanya kini tertuju pada rumah mewah yang ada di belakang Casey, rumah yang seakan menjadi simbol kekayaan mereka.
"Lalu, ada apa dengan rumah ini?" tanya pria itu, nada suaranya menunjukkan ketidakpercayaan. Bagi pria itu, rumah sekelas ini seharusnya tidak dimiliki oleh seseorang yang mengaku tidak mampu membayar kerugian besar.
Casey terhenyak mendengar pertanyaan itu. Sebenarnya, keluarganya hanya orang sederhana beberapa bulan lalu, namun entah bagaimana ayahnya memperoleh keberuntungan besar dan mendadak kaya. Karena kekayaannnya mendadak, ayahnya membeli rumah seharga 2 milyar untuk merubah posisinya menjadi atas.
Namun, sebuah kemewahan yang kini justru menjadi beban. Ayahnya, dalam pencarian keuntungan instan, terjerat dalam investasi bodong dan menipu banyak orang, termasuk kelompok mafia terkenal yang dikenal dengan nama Carter. Kelompok ini, yang ditakuti oleh semua kalangan, memiliki kekuatan dan pengaruh yang luar biasa. Jika ada yang mengusik atau merugikan mereka, nyawa menjadi taruhan. Bahkan keluarga yang terkait dengan orang yang menyusahkan mereka akan ikut menjadi sasaran, tanpa pandang bulu anak kecil atau wanita, semuanya di habisi tanpa ampun.
Casey tiba-tiba teringat kejadian beberapa hari lalu. Tetangga mereka, yang tak sengaja terlibat dengan mafia Carter, dan para keluarga tersebut dibantai tanpa belas kasihan. Melihat darah yang tumpah di depan rumahnya, tubuh Casey menggigil ketakutan, bulu kuduknya merinding. Ayahnya sungguh tega karena meninggalkan mereka begitu saja dan meninggalkan hutang sebesar ini, dia sudah membawa keluarganya ke dalam malapetaka ini.
Pria yang berdiri di depannya, di balik kacatama hitamnya terlihat tatapan tajam kepada Casey, menatap Casey dengan intensitas yang mengintimidasi. Casey bisa merasakan tekanan yang kuat dari tatapan itu, seolah-olah pria itu bisa melihat langsung ke dalam dirinya, ke dalam ketakutannya yang paling dalam.
Casey tahu, sebagai anak pertama, dia harus bertanggung jawab. Situasi yang mereka hadapi bukanlah sesuatu yang bisa dihindari atau diabaikan. Jika dia tidak bisa mengganti kerugian yang dibuat oleh ayahnya, maka dirinya dan adiknya akan menjadi korban kebrutalan kelompok mafia yang dikenal dengan nama Carter.
Ibunya meninggal beberapa tahun yang lalu, sebelum mereka mendadak menjadi kaya yang rupanya uang yang di peroleh dan membawa mereka ke dalam dunia yang sama sekali berbeda sebuah dunia yang penuh dengan bahaya yang kini menunggu di depan mata.
Dengan tubuh yang gemetaran dan hati yang penuh ketakutan, Casey akhirnya terjatuh dalam keputusasaan. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Menatap pria itu dengan mata yang dipenuhi air mata, dia pun bersujud, merendahkan dirinya dengan penuh harapan.
"To...long, saya akan melakukan apapun. Tapi... jangan bunuh saya dan adik saya," ucapnya dengan suara bergetar, tangannya terangkat dalam permohonan yang tulus. Air mata mengalir begitu saja, tak bisa dibendung. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan selain memohon, karena segalanya terasa begitu gelap dan tak terkendali.
Dia tidak punya uang sebesar itu, meskipun ia mendapatkan rumah mewah yang ayahnya beli dengan uang yang tak jelas asal-usulnya, semua itu tidak bisa menutupi kerugian besar yang harus dibayar.
Meskipun Casey bermohon seperti itu tetapi pria di depannya tidak peduli bahkan tidak ada rasa kasihan. Meskipun Casey menyemburkan air mata dan memohon dengan segenap hatinya, pria di depannya tetap tak bergeming. Tatapan matanya yang dingin dan tajam hanya mengintimidasi lebih dalam, seolah kata-kata Casey tidak lebih dari angin lalu.
"Apakah kamu tahu konsekuensi apa jika merugikan Carter?" tanya pria itu dengan nada penuh tekanan. Suaranya yang berat dan penuh kekuatan langsung mengguncang tubuh Casey. Dia terhentak, seolah seluruh tubuhnya terhempas oleh pertanyaan itu.
Casey tahu betul apa yang dimaksud pria itu. Carter bukanlah kelompok mafia sembarangan. Mereka dikenal dengan kekuatan yang mengerikan dan kemampuan untuk menghabisi siapa saja yang berani menentang dan merugikan mereka. Banyak orang yang hilang tanpa jejak, dan tak sedikit yang harus membayar dengan nyawa mereka. Setiap tindakan yang merugikan mereka, tidak peduli seberapa kecil, akan dihukum dengan cara yang sangat kejam.
Namun, meskipun Casey mengerti betul apa yang akan terjadi, dia tetap tak bisa menerima kenyataan jika adiknya, termasuk Naya yang masih kecil dan masih duduk di bangku TK, akan menjadi sasaran kekejaman ini. Banyak yang bilang bahwa organ dalam anak kecil sangat berharga di pasar gelap, dan itu hanya menambah rasa takut yang melanda dirinya. Setiap detik yang berlalu semakin membuat hatinya tertekan, bayangan buruk tentang apa yang mungkin terjadi pada adik-adiknya semakin menggerogoti pikirannya.
Casey merasakan gemetar yang tidak bisa ia kendalikan. Setiap detik yang berlalu terasa begitu berat, dan meskipun dia terus berusaha menahan air matanya, ketakutan dalam dirinya semakin menggila. Bagaimana bisa ia melihat adiknya, Naya, yang masih begitu muda, terjerumus ke dalam jurang maut yang menanti di depan mereka?
"Tapi tolong, berikan kesempatan lain. Sa..ya a..kan mela…kukan a..pa saja, asalkan ja..ngan habi..si nyawa kami," ucap Casey dengan suara terbata-bata, meskipun dalam hati dia sudah tak tahu lagi apa yang bisa ia lakukan. Semua pintu tampaknya tertutup rapat, dan ini satu-satunya cara yang terlintas di benaknya untuk melindungi orang-orang yang ia cintai.
Pria itu mendengus dengan rasa kesal yang tak terungkapkan, seolah tidak terpengaruh dengan permohonan Casey. Dengan wajah dingin dan tak berperasaan, ia kembali menghadap Casey, lalu melontarkan pertanyaan yang lebih berat.
"Kalau gitu, apa yang ingin kau lakukan?" tanya pria itu dengan nada yang tegas, namun tetap penuh ancaman.
Casey terdiam beberapa saat, kebingungannya begitu jelas di wajahnya. Ia tahu dirinya terpojok, tak ada pilihan lain. Ketakutannya semakin menguasai tubuhnya, hingga membuatnya sulit berpikir jernih. Suara napasnya terdengar berat, dan detak jantungnya semakin cepat. Namun, dalam keputusasaannya, satu kalimat terlontar dari bibirnya.
"Tubuh..." jawabnya dengan suara gemetar, seolah kata-kata itu terpaksa keluar tanpa bisa ia tahan.
"Saya akan membayar semuanya dengan tubuh saya," lanjutnya, kepalanya tertunduk dalam rasa malu dan ketakutan yang begitu mendalam. Tak ada yang bisa mengubah keputusannya. Apa lagi yang bisa dia lakukan? Tidak ada uang yang cukup, tidak ada cara lain untuk menebus kesalahan yang telah dilakukan ayahnya. Dan ini satu-satunya cara untuk melindungi adiknya dari tangan kejam mafia ini.
Mendengar ucapan Casey, pria itu memandang tubuhnya dengan tatapan tajam, lalu mendengus, "Hah, bahkan tubuhmu tidak menarik," ujarnya dengan nada sinis, seolah mengejek.
"Apalagi itu," lanjutnya sambil menunjuk ke arah dada Casey.
"Sangat datar seperti papan," tambahnya dengan nada merendahkan.
Mendengar hal itu, rasa marah Casey langsung memuncak. Dia merasa sangat tersinggung, terlebih yang menyangkut hal pribadinya.
"Hah, dasar bangkotan tua, mata mesum! Beraninya melecehkan seorang perempuan. Dasar Lemah Syahwat!" serunya, wajahnya memerah karena kemarahan.
Pria itu terkejut melihat gadis itu yang sebelumnya tampak lemah dan ketakutan, tiba-tiba berani membalas hinaan dan bahkan melontarkan ejekan balik. Dia tertegun, merasa seolah dihadapkan dengan sosok yang sama sekali berbeda dari yang dia perkirakan seperti seorang ibu yang sedang mengomel tanpa henti.
Namun, ketika mendengar ejekan mengenai lemah syahwat nya, rasa terhina dalam dirinya memuncak. Ia hendak membalas, tetapi tiba-tiba terdengar tawa kecil yang sangat familiar dari belakang, membuatnya terkejut.
Dengan reflek, pria itu menoleh cepat ke belakang, matanya terfokus pada sosok yang baru datang.
"Bos," ucapnya sambil membungkukkan badan sebagai tanda hormat. Casey pun menoleh, memperhatikan dengan seksama pria yang baru muncul.
Wajahnya memancarkan ketampanan yang luar biasa rahang tegas, mata lembut yang penuh ketenangan, dan senyuman ramah yang menciptakan kesan bersahabat. Kacamata sederhana dengan lensa transparan mempertegas wibawanya. Meskipun terlihat santai, aura karismatik yang kuat terpancar dari dirinya, memberikan kesan jelas bahwa dia adalah pemimpin yang memiliki kendali penuh. Namun, di balik sikap tenangnya, tersembunyi reputasi sebagai sosok pemimpin mafia yang terkenal kejam.
Casey merasa canggung dan tidak percaya dengan pemandangan di depannya. Pria yang tampak tampan, karismatik, dan terlihat begitu tenang ternyata adalah pemimpin dari mafia Carter yang terkenal kejam. Selama ini, Casey selalu mendengar cerita mengerikan tentang Carter, dan sekarang dia tidak bisa menyangka bahwa pria yang begitu memukau di hadapannya adalah orang yang menakutkan itu. Mungkin benar apa yang orang-orang katakan, jangan menilai buku dari sampulnya.
Dengan wajah yang tertunduk, Casey berusaha menghindari tatapan tajam dari pria itu. Ia merasa semakin terintimidasi. Sementara itu, bos mafia, yang tampaknya tidak terpengaruh dengan kehadiran Casey yang ketakutan, mengamati dirinya dengan seksama. Setelah beberapa detik, dia beralih menatap bawahannya yang masih membungkukkan tubuhnya, seperti memberi penghormatan.
"Sudahlah, jangan terus membungkuk. Aku tidak mau menanggung BPJS untukmu jika pinggulmu patah gara-gara terlalu sering membungkuk," ujar pria itu dengan nada datar namun mengandung peringatan.
Bawahannya langsung meluruskan punggungnya, terlihat agak bingung dengan perkataan bosnya.
"Emangnya kita ada BPJS, Bos?" tanyanya, sedikit terheran-heran.
Dengan nada santai, pria itu menjawab.
"Kau pikir aku ini apa? Seorang bos kejam yang memperlakukan bawahannya dengan buruk?"
Sementara itu, Casey yang mendengar percakapan tersebut hanya bisa berpikir dalam hati,
"Tapi kau Pemimpin mafia kejam” ucap Casey dalam hati.
Lalu bos mafia itu beralih menatap Casey, ia terus mengamati wajah Casey dengan senyum tipis, seolah berusaha mencairkan suasana tegang, Casey segera menoleh, menghindari tatapan matanya. Menyadari bahwa Casey menghindari tatapannya, pria itu terkekeh pelan.
"Hei, aku bukan pria terkutuk. Kenapa harus menghindari mataku?" tanyanya dengan nada lembut, mencoba meyakinkan Casey bahwa dirinya bukan sosok yang perlu ditakuti.
Namun, di dalam hati, Casey hanya bisa membalas
"Tapi kau pria yang kejam."
"Aku sungguh terkesima melihatmu berani menghina Ronson," kata pria itu, tampak benar-benar terkejut. Ini adalah pertama kalinya seorang gadis berani menghina salah satu anggota mafia terkejam. Tak ada satu pun orang yang berani berbuat demikian, bahkan para korban Carter hanya bisa merintih dan memohon untuk nyawa mereka.
Namun, gadis di depannya berbeda. Meskipun tubuhnya gemetar ketakutan, keberaniannya luar biasa menghadapi Carter. Suaranya dipenuhi kekaguman dan ketakjuban saat dia memandang Casey.
"Ronson? Jadi pria bangkotan tua itu namanya Ronson..." pikir Casey dalam hati, masih tidak bisa percaya bahwa pria itu ternyata memiliki nama. Namun, yang lebih mengejutkan adalah ketika bos mafia itu melanjutkan.
"Tapi aku tidak menyangka kau bisa mengetahui dia itu lemah syahwat."
Casey terkejut, hampir tak percaya.
"Hah, jadi dia benar-benar lemah syahwat? Padahal aku hanya menyebutnya asal," pikirnya, bingung sekaligus geli. Tanpa disangka, perkataan sembarangan yang baru saja dia lontarkan ternyata adalah kenyataan yang bahkan pria itu sudah ketahui.
"Bos, kenapa Anda ceritakan aib saya di depan bocah ini?" Ronson bertanya cemberut.
"Ronson, sudahlah hal itu tidak perlu disembunyikan," jawab pria itu dengan santai sambil tertawa mengejek, sementara Ronson hanya bisa memasang wajah masam. Casey mengamatinya, merasa heran, apakah mereka ini mafia yang dikenal paling kejam?
Pria yang merupakan bos mafia itu kemudian mendekati Casey, dan secara otomatis, Casey mundur perlahan. Aura pembunuh yang kuat terasa menyelimuti pria ini, meskipun dia tetap tersenyum dengan wajah tampan. Entah kenapa, rasa merinding tak bisa dia hindari ketika berada di dekatnya.
"Apa kau yakin dengan apa yang kamu katakan tadi?" tanya pria itu, suaranya serius, membuat Casey terbangun dari ketakutannya.
Casey bingung, apa yang ia bicarakan?
"Kamu bilang kamu siap membayar kerugian yang dilakukan oleh ayahmu dengan tubuhmu. Apa kamu benar-benar yakin mau melakukan itu?" pria itu mengulang kalimatnya dengan nada tegas, memastikan Casey memahami konsekuensinya.
Casey tersentak mendengar kalimat itu. Ingatan tentang apa yang baru saja ia katakan menghantamnya, dan ia merasa canggung, bahkan sedikit terkejut dengan kata-katanya sendiri. Seolah-olah ia baru saja menggali kuburnya sendiri, dan kini ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa dia mungkin benar-benar harus merelakan harga dirinya untuk mafia ini.
"Tubuhnya tidak menarik bos. Dadanya rata seperti papan," sahut Ronson, bawahannya, dengan nada mengejek, membuat Casey semakin kesal.
"Dasar pria tua bangkotan, terus aja nyinyir soal dadaku, padahal kau sendiri impoten," gerutu Casey dalam hati, berusaha menahan emosinya.
"Aku tidak membutuhkan pendapatmu, Ronson," kata bos mafia itu dengan tajam, menatap bawahannya dengan tatapan yang lebih dingin dan menakutkan dari sebelumnya. Tatapan itu membuat Ronson langsung tertunduk dan meminta maaf dengan cepat.
Pria itu beralih menatap Casey dengan sorot mata yang tajam, memperhatikannya dengan seksama. Tatapan itu begitu intens sehingga Casey merasa merinding, seolah-olah ia bisa kehilangan kepalanya dengan sekejap jika tidak berhati-hati.
"Siapa namamu?" tanya pria itu, suaranya datar namun penuh tekanan, membuat Casey terkejut dan terkesiap.
"Casey," jawabnya singkat.
"Yang lengkap," pria itu mendesak, menuntut jawabannya lebih rinci.
"Casey Dina Wijaya," jawab Casey dengan cepat, berusaha tidak terjebak dalam ketakutan yang semakin membesar.
Pria itu terdiam sejenak, merenung. Kemudian, dia melanjutkan pertanyaan berikutnya dengan nada yang tidak kalah tajam.
"Berapa umurmu?"
"Sem...bilan, be..las," ucap Casey terbata-bata, cemas dan gugup.
"Masih muda ya?" pria itu mengamati Casey dengan mata yang tak bisa dibaca.
"Baiklah, ikut aku," perintahnya tiba-tiba sambil berbalik.
Casey terpaku sejenak, merasa bingung dan panik.
Mengikutinya? Ke mana? pikirnya, namun sebelum ia sempat bertanya, pria itu menoleh dan menatapnya tajam.
"Jika kau tidak menurut, siap-siap kepalamu jadi santapan buaya peliharaanku," ancam pria itu, suaranya dingin dan penuh bahaya.
Casey merasakan dingin yang menusuk hingga ke tulangnya. Dengan langkah ragu, ia mengikuti pria itu dari belakang, rasa takut mencengkramnya semakin erat. Di depannya, pria itu berjalan santai, senyum tipis menghiasi wajahnya, seolah menikmati ketakutan yang jelas tergambar di wajah Casey.
"Ke mana mereka membawaku?" pikir Casey dengan gemetar, namun langkahnya terus mengikuti tanpa pilihan.
Akhirnya, Casey pun mengikuti bos mafia itu dengan mobilnya, duduk di sebelahnya dengan hati berdebar-debar. Setiap detik terasa seperti berlarian di atas garis tajam. Mobil itu bergerak dengan tenang, namun ada getaran yang merayap di tubuh Casey, membuatnya merasa tidak nyaman. Aura mencekam yang terpancar dari pria di sampingnya begitu dekat, dan dia terpaksa menelan ludahnya untuk menjaga ketenangan.Di sampingnya, bos mafia itu duduk dengan sikap tenang, matanya terfokus pada jalan di depan, namun juga sesekali menatap jendela mobil yang gelap. Casey merasa seperti berada di ruang hampa, terperangkap dalam ketegangan yang semakin tebal di udara. Suasana mobil itu agak kelam, cahaya lampu dalam mobil hanya memberikan kilau redup, seperti menggambarkan betapa dalamnya kegelapan yang menyelubungi momen itu.Kesunyian yang mengisi ruang di antara mereka terasa begitu berat. Setiap detik berlalu begitu lambat, dan Casey merasa sulit untuk bernapas dengan benar, seo
PERINGATAN UNTUK PEMBACA :Cerita ini ditujukan khusus untuk pembaca dewasa berusia 18 tahun ke atas.Cerita ini mungkin mengandung:Adegan kekerasan, Bahasa eksplisitPembaca di bawah usia 18 tahun dilarang melanjutkan. Mohon Harap Bijak membacaCasey mendapati dirinya berdiri di tengah padang rumput yang luas. Angin berhembus lembut, menyapu wajahnya dengan kehangatan yang menenangkan. Tempat ini terasa asing, namun penuh kedamaian. Casey menyadari bahwa ini pasti mimpi.Di tengah lamunannya, suara yang sangat familiar memanggil namanya.“Casey!”Casey menoleh cepat, mencari sumber suara. Dari kejauhan, ia melihat sosok pria bertubuh gemuk berdiri dengan senyum lebar. Pria itu tampak hangat dan penuh kasih, sosok yang sangat dikenalnya. Ayahnya. Sosok yang selama ini ia cari, sosok yang selalu ia rindukan.“Ayah…” ucap Casey dengan suara bergetar dan berwajah sedih. Ia langsung berlari kecil menghampiri ayahnya. Sang ayah pun melakukan hal yang sama, berlari kecil menghampiri putrin
Casey mendengar setiap kata itu tidak bisa merespons apapun. Tubuhnya terasa semakin lemah, nyaris kehilangan tenaga untuk tetap berdiri. Meski tugasnya telah selesai, yang membuatnya hampir pingsan rasa lega itu tak pernah ada.Sebaliknya ia merasa penuh ketegangan termasuk ketika ia keluar dan mendapati pria itu berdiri di hadapannya, rasa takut yang telah menguasainya justru bertambah. Ada sesuatu dalam tatapan dingin Harrison, dari cara dia tersenyum tanpa emosi, yang membuat Casey merasa kecil dan tak berdaya. Ia hanya bisa berdiri di sana, membisu, sementara jantungnya berdebar kencang, kakinya terasa diikat oleh sebuah rantai yang tak terihat. "Kebetulan, buaya peliharaanku sedang lapar," ucap Harrison dengan nada santai, namun penuh dengan ironi yang mengerikan."Kamu lemparkan ‘sampah’ itu ke kandangnya. Jaraknya tidak terlalu jauh. Kamu cukup jalan lurus ke depan, dan ketika kamu menemukan pintu warna biru, di situlah kandangnya berada."Harrison berhenti sejenak, menatap C
Casey mendengar setiap kata itu tidak bisa merespons apapun. Tubuhnya terasa semakin lemah, nyaris kehilangan tenaga untuk tetap berdiri. Meski tugasnya telah selesai, yang membuatnya hampir pingsan rasa lega itu tak pernah ada.Sebaliknya ia merasa penuh ketegangan termasuk ketika ia keluar dan mendapati pria itu berdiri di hadapannya, rasa takut yang telah menguasainya justru bertambah. Ada sesuatu dalam tatapan dingin Harrison, dari cara dia tersenyum tanpa emosi, yang membuat Casey merasa kecil dan tak berdaya. Ia hanya bisa berdiri di sana, membisu, sementara jantungnya berdebar kencang, kakinya terasa diikat oleh sebuah rantai yang tak terihat. "Kebetulan, buaya peliharaanku sedang lapar," ucap Harrison dengan nada santai, namun penuh dengan ironi yang mengerikan."Kamu lemparkan ‘sampah’ itu ke kandangnya. Jaraknya tidak terlalu jauh. Kamu cukup jalan lurus ke depan, dan ketika kamu menemukan pintu warna biru, di situlah kandangnya berada."Harrison berhenti sejenak, menatap C
PERINGATAN UNTUK PEMBACA :Cerita ini ditujukan khusus untuk pembaca dewasa berusia 18 tahun ke atas.Cerita ini mungkin mengandung:Adegan kekerasan, Bahasa eksplisitPembaca di bawah usia 18 tahun dilarang melanjutkan. Mohon Harap Bijak membacaCasey mendapati dirinya berdiri di tengah padang rumput yang luas. Angin berhembus lembut, menyapu wajahnya dengan kehangatan yang menenangkan. Tempat ini terasa asing, namun penuh kedamaian. Casey menyadari bahwa ini pasti mimpi.Di tengah lamunannya, suara yang sangat familiar memanggil namanya.“Casey!”Casey menoleh cepat, mencari sumber suara. Dari kejauhan, ia melihat sosok pria bertubuh gemuk berdiri dengan senyum lebar. Pria itu tampak hangat dan penuh kasih, sosok yang sangat dikenalnya. Ayahnya. Sosok yang selama ini ia cari, sosok yang selalu ia rindukan.“Ayah…” ucap Casey dengan suara bergetar dan berwajah sedih. Ia langsung berlari kecil menghampiri ayahnya. Sang ayah pun melakukan hal yang sama, berlari kecil menghampiri putrin
Akhirnya, Casey pun mengikuti bos mafia itu dengan mobilnya, duduk di sebelahnya dengan hati berdebar-debar. Setiap detik terasa seperti berlarian di atas garis tajam. Mobil itu bergerak dengan tenang, namun ada getaran yang merayap di tubuh Casey, membuatnya merasa tidak nyaman. Aura mencekam yang terpancar dari pria di sampingnya begitu dekat, dan dia terpaksa menelan ludahnya untuk menjaga ketenangan.Di sampingnya, bos mafia itu duduk dengan sikap tenang, matanya terfokus pada jalan di depan, namun juga sesekali menatap jendela mobil yang gelap. Casey merasa seperti berada di ruang hampa, terperangkap dalam ketegangan yang semakin tebal di udara. Suasana mobil itu agak kelam, cahaya lampu dalam mobil hanya memberikan kilau redup, seperti menggambarkan betapa dalamnya kegelapan yang menyelubungi momen itu.Kesunyian yang mengisi ruang di antara mereka terasa begitu berat. Setiap detik berlalu begitu lambat, dan Casey merasa sulit untuk bernapas dengan benar, seo
"5 milyar?" kata Casey, suaranya hampir bergetar. Matanya melotot, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. Angka sebesar itu terasa seperti candaan. Namun pria di depannya mengenakan jas hitam dan kacamata hitam, hanya tersenyum sinis seolah menikmati reaksi tak percaya dari remaja 19 tahun itu."Apakah wajah saya terlihat seperti sedang bercanda?" ujar pria itu dengan keyakinan yang tak terbantahkan, suaranya tegas, tidak memberikan ruang untuk keraguan."Tapi... saya tidak punya uang sebesar itu," jawab Casey dengan nada lemas, bibirnya hampir gemetar. Pria itu mendengus, matanya kini tertuju pada rumah mewah yang ada di belakang Casey, rumah yang seakan menjadi simbol kekayaan mereka."Lalu, ada apa dengan rumah ini?" tanya pria itu, nada suaranya menunjukkan ketidakpercayaan. Bagi pria itu, rumah sekelas ini seharusnya tidak dimiliki oleh seseorang yang mengaku tidak mampu membayar kerugian besar.Casey terhenyak mendengar pertanyaan itu. Sebenarnya, keluarganya hanya oran