Hari-hari Kartini berubah menjadi mimpi buruk yang tak berujung. Setiap sudut rumah kini dipenuhi pemandangan yang menyakitkan—Bastian dan Kadita yang bermesraan tanpa malu-malu, seolah mereka adalah pasangan sejati yang sempurna. Mulai dari pergi bekerja bersama, makan malam berdua, hingga bercanda mesra di ruang tamu. Kartini hanya bisa menahan tangis di kamarnya setiap malam, merasa tersisih dari kehidupan yang dulu ia bangun bersama suaminya.
Parahnya lagi, Bastian kini semakin terang-terangan menunjukkan ketidakpeduliannya. Ia bahkan hanya memberi Kartini uang belanja sebesar 2 juta rupiah. "Ini nggak cukup, Bastian! Anak-anak kita butuh susu, pakaian, dan sekolah. Bagaimana aku bisa mengatur semua ini dengan uang segini?" protes Kartini dengan suara yang mulai bergetar. Bastian, yang sedang bersiap untuk pergi bersama Kadita, hanya melirik dingin. "Kalau nggak cukup, cari uang sendiri, Kartini. Jangan cuma jadi beban di rumahDi kamar kecil yang kini menjadi tempat pelariannya dari keramaian rumah, Kartini duduk di depan laptop tuanya. Layar memuat situs pencarian kerja yang penuh dengan lowongan, tapi mata Kartini terpaku pada satu titik. "Administrasi kantor... resepsionis... atau... hmm, operator produksi?" gumamnya pelan sambil menggulir layar. Ia mencoba memahami deskripsi pekerjaan yang baginya masih asing. "Kalau aku kerja, siapa yang jagain anak-anak nanti?" pikir Kartini dalam hati. Kebimbangan itu menyergap, tapi ia menepisnya cepat. "Nggak, aku harus berani. Aku nggak bisa terus begini!" Namun, lamunannya buyar ketika pintu kamar diketuk keras. Tanpa menunggu jawaban, Ibu Sulastri sudah nyelonong masuk dengan wajah penuh rasa ingin tahu. "Kartini, kamu lagi apa?" tanyanya dengan nada menyelidik. Ia menatap layar laptop Kartini, lalu menyipitkan mata seolah mengevaluasi. "Oh, lagi cari kerjaan ya? Wah, akhirnya sadar diri juga, ya." Ka
Berminggu-minggu Kartini berjuang mencari pekerjaan, namun hasilnya nihil. Penolakan demi penolakan datang dengan berbagai alasan. Setiap surat lamaran yang ia serahkan terasa seperti pintu yang ditutup tanpa ampun. Kecewa dan sedih menghampiri, tapi ia berusaha tetap tegar. Namun, apa yang membuat situasi semakin sulit adalah rumah yang tak lagi terasa seperti tempat berlindung. Di ruang keluarga, suara Ibu Sulastri menggema seperti gong. "Hah! Lihat tuh si Kartini. Udah nggak laku di mana-mana. Siapa juga yang mau terima orang kayak dia." Bastian menimpali sambil menyeringai. "Bu, udah saya bilang. Dia tuh mending di rumah aja, jaga anak-anak. Nggak usah mimpi kerja lah." Kadita, yang sedang duduk dengan anggun di sofa, pura-pura menunjukkan sedikit empati. "Sudahlah, Bu. Nggak apa-apa Kartini mencoba. Tapi ya wajar saja, kalau tamatan SMA memang susah bersaing. Apalagi sekarang zaman modern, perusahaan itu cari yang berk
Hari itu Kartini sedang di kamar anak-anaknya, melipat pakaian sambil merenung tentang hidupnya yang telah berubah begitu drastis. Ponselnya yang diletakkan di atas kasur bergetar, ada panggilan masuk. "Halo, ini Kartini?" Suara wanita di ujung telepon terdengar profesional. "Iya, benar. Ada apa ya?" Kartini menjawab dengan hati berdebar. "Kami dari Hotel Fransco The Swiss. Selamat, Anda diterima untuk posisi yang Anda lamar. Besok silakan datang ke hotel untuk briefing dan menerima seragam kerja Anda." Kartini terpaku beberapa detik. "Saya diterima? Benarkah?" "Benar, Bu Kartini. Sampai jumpa besok, ya." Telepon terputus, tapi Kartini masih menggenggam ponsel erat sambil menatap langit-langit kamar. Sebuah senyum kecil mengembang di wajahnya. "Akhirnya..." gumamnya. --- Kartini pulang dari briefing dengan membawa tas berisi seragam kerja. Ia menatap seragam i
Hari-hari Kartini di Hotel Fransco The Swiss berjalan penuh perjuangan. Setiap pagi, ia datang lebih awal dari karyawan lain, memastikan semua alat kebersihan sudah siap sebelum bekerja. Ia menganggap pekerjaannya sebagai terapi untuk melupakan luka di hatinya. Kartini membersihkan kamar dengan teliti, memastikan setiap sudut bersih tanpa cela. Seprai dirapikan hingga seperti baru, kaca kamar mandi berkilau tanpa noda. Tamunya pernah memuji, "Sepertinya kamar ini dibersihkan dengan cinta. Terima kasih." Kartini hanya tersenyum kecil mendengar itu, merasa pekerjaannya dihargai. --- Suatu hari, Siska, supervisor-nya, menghampirinya di pantry karyawan. "Kartini, bisa ke ruangan saya sebentar?" tanyanya. Kartini merasa sedikit gugup tapi tetap mengangguk. Di ruangannya, Siska memberikan senyum bangga. "Saya perhatikan, kerja kamu sangat rapi dan cepat. Beberapa tamu bahkan menyebutkan nama kam
Setelah hampir satu tahun bekerja keras tanpa henti, Kartini akhirnya mendapatkan penghargaan sebagai "Best Employee" di Hotel Fransco The Swiss. Momen itu menjadi titik balik dalam hidupnya. Hari penghargaan terasa istimewa, dengan banyak karyawan dan atasan memberikan tepuk tangan saat fotonya dipajang besar di lobi utama hotel. "Kartini, kamu memang layak mendapatkannya," ucap Siska sambil tersenyum bangga. "Kerja keras kamu nggak pernah sia-sia." "Terima kasih, Bu Siska. Saya nggak akan berhenti di sini," jawab Kartini dengan mata berkaca-kaca. --- Pengakuan Dari Semua Pihak Di pantry, beberapa karyawan lama mulai mengakui kegigihan Kartini. "Gila ya, dia benar-benar nggak ada capeknya. Kerja kayak mesin," bisik Lusi. Rina mengangguk. "Iya, aku tadinya pikir dia nggak bakal bertahan lama, tapi lihat sekarang. Dia malah jadi panut
Setelah diberitahu untuk menuju ballroom, Kartini masih merasa tak yakin. Ia mengenakan seragam kerjanya yang sederhana dan rapi, merasa gugup sekaligus penasaran. Namun, semua keraguan itu berubah menjadi kejutan saat melihat Antonio berdiri di dekat Pak Hendro. "Antonio?" pikirnya dalam hati. Tapi ia segera mengatur ekspresi wajahnya, berpura-pura tidak mengenalnya. Pak Hendro langsung memanggil Kartini dengan bangga. "Kartini, sini sebentar," ucapnya sambil melambai. "Saya mau memperkenalkan salah satu bintang kami kepada rekan-rekan dari hotel lain." Kartini mendekat perlahan, mencoba menjaga sikapnya tetap tenang. "Nah, Antonio, ini Kartini. Karyawan terbaik kami tahun ini. Dia memiliki dedikasi dan kreativitas yang luar biasa. Dalam waktu singkat, dia berhasil membuktikan bahwa kerja keras dan ketulusan selalu berbuah manis," ujar Pak Hendro dengan penuh kebanggaan.
Di lounge eksekutif Hotel Fransco The Swiss, suasana terasa mewah namun tetap santai. Antonio duduk berhadapan dengan Aditya, General Manager hotel tersebut. Penampilan Antonio yang karismatik dan percaya diri langsung menarik perhatian Aditya, meski ia mencoba menjaga sikap profesionalnya. “Pak Aditya, jujur saja, saya sangat terkesan dengan pencapaian Anda di hotel ini,” Antonio memulai dengan nada hangat namun tegas. “Saya banyak mendengar tentang bagaimana Anda membawa Fransco tetap stabil di tengah persaingan yang semakin sengit.” Aditya tersenyum kecil, mencoba merendah. “Ah, terima kasih, Pak Antonio. Tapi itu semua kerja keras tim, saya hanya memastikan semuanya berjalan lancar.” Antonio mengangguk pelan, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Tentu saja, saya setuju. Tapi keberhasilan tim itu selalu berakar dari seorang pemimpin yang tahu arah. Anda membuat semua ini terlihat mudah.”
Kartini duduk di ruang tamu, mengenakan pakaian rapi setelah pulang kerja. Wajahnya yang semakin cerah dan tubuh yang lebih terawat menambah pesona yang tak lagi tertutupi rasa takut atau rendah diri. Ia terlihat sibuk membaca buku motivasi yang dipinjam dari perpustakaan hotel, sambil sesekali menyeruput teh hangat. Bastian masuk dengan wajah masam. Ia melewati Kartini tanpa berkata sepatah kata, seperti biasa. Kartini tak peduli. Kehidupan mereka di rumah itu sekarang bagai dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap. Kadita muncul dari dapur, membawa piring berisi buah-buahan. Wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini terlihat agak tegang. Ia melirik Kartini dengan tajam, lalu melempar komentar sinis. “Enak ya sekarang? Bisa santai-santai di sini setelah sibuk... apa sih istilahnya, oh iya, menjilat para bos?” Kadita tertawa kecil, mencoba menyindir. Kartini mendongak
Kartini masih duduk di tepi ranjang, jemarinya menyentuh lembut gelang kaki yang baru saja dipasangkan Antonio. Pikirannya melayang. Dari sekian banyak jenis perhiasan yang ada di dunia ini, kenapa gelang kaki yang dipilih Antonio? Pria itu memang selalu penuh kejutan. Tapi ia juga sadar, di balik setiap tindakan Antonio, pasti ada alasan yang tak tertebak. Dengan sedikit ragu, Kartini akhirnya bertanya, “Pak Antonio…” suaranya hampir seperti bisikan, membuat pria yang sedang berdiri memandangi jendela berbalik perlahan. “Kenapa… memilih gelang kaki?? Maksud saya, Anda bisa memilih cincin, kalung, atau bahkan anting. Tapi kenapa ini?” Antonio menatapnya, senyum tipis yang khas itu kembali muncul di wajahnya. Sorot matanya seperti menembus jiwa, membuat Kartini merasa seperti satu-satunya hal yang penting di dunia ini. Pria itu mendekat, langkahnya tenang namun penuh wibawa. Ia berhenti di depannya, menunduk sedikit hingg
Kartini menatap lukisan yang baru saja ia selesaikan dengan hati berdebar. Kuas-kuas telah disisihkan, cat yang sedikit belepotan di tangannya menjadi saksi bagaimana ia mengerahkan seluruh perasaannya ke dalam karya itu. Dengan sedikit ragu, ia mendorong kanvas ke depan Antonio, memperlihatkan hasilnya. “Sudah selesai…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan. “Saya harap… Pak Antonio nanti menyukainya.” Antonio, yang masih berbaring santai di ranjang, memiringkan kepala untuk melihat lukisan itu. Tatapannya tajam dan serius, tak ada ekspresi yang bisa Kartini tebak. Ia hanya diam, membuat suasana semakin menegangkan. Kartini mulai gelisah, jemarinya tanpa sadar meremas gaunnya. “Pak Antonio? Apa… apa ada yang salah dengan lukisannya?” tanyanya gugup. Beberapa detik berlalu sebelum pria itu akhirnya berbicara, suaranya rendah tetapi menggema penuh wibawa. “Kamu benar-benar… luar bias
Ruangan kamar Antonio yang luas, dengan jendela besar yang menampilkan langit malam, kini terasa semakin intim. Di sudut, Kartini berdiri gugup sambil melirik ke arah lemari besar yang ditunjuk Antonio. Suara bariton pria itu menggema lembut namun tegas. “Di situ ada kanvas dan cat. Ambil semuanya. Mulailah melukis,” katanya, matanya yang tajam mengunci Kartini dalam kebimbangan. Kartini mengangguk pelan, tubuhnya bergerak menuju lemari. Setiap langkah terasa berat, bukan karena beban yang ia bawa, melainkan karena kehadiran Antonio yang begitu dominan. Ketika ia membuka lemari, pandangannya jatuh pada set lengkap peralatan melukis yang tersusun rapi. “Semua ini… untuk saya gunakan?” tanyanya pelan, suaranya nyaris berbisik. Antonio, yang kini sudah duduk di sisi ranjangnya, hanya mengangguk kecil sambil melepas arloji dari pergelangan tangan. Ia meletakkannya di meja samping dengan
Langit sore mulai meredup ketika Antonio melangkah masuk ke rumahnya setelah selesai dengan sesi latihan tembaknya. Kaus polo hitam yang ia kenakan melekat sempurna pada tubuh atletisnya, menyiratkan kelelahan sekaligus kesan menawan yang tak terbantahkan. Langkahnya tenang, tetapi tatapannya tajam menyusuri ruangan, mencari seseorang—Kartini. Namun, Kartini tidak terlihat di mana-mana. Antonio mengerutkan dahi. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung melangkah menuju kamarnya. Begitu membuka pintu, ia berhenti sejenak. Kartini ada di sana. Wanita itu berdiri diam di depan dinding besar yang dihiasi sebuah lukisan wanita mengenakan gaun marun. Kartini tampak terpaku, matanya menatap lekat pada detail lukisan itu. Antonio bersandar di ambang pintu, kedua lengannya menyilang di dada. Matanya mengamati Kartini yang tampak begitu terpesona, tetapi ekspresinya tetap dingin. “Kartini,” suara baritonnya memecah
Antonio berdiri di area latihan tembak dengan postur tegap, mengenakan pakaian olahraga hitam yang membuat auranya semakin mencolok. Sebuah pistol semi-otomatis berada di genggamannya, siap untuk digunakan. Ia menarik napas panjang, menatap target yang berada beberapa meter di depannya—sebuah lingkaran dengan titik merah di tengah. DOR! Tembakan pertama melesat, tepat mengenai tepi lingkaran tengah. Antonio sedikit menghela napas, tampak tak puas. Ia mengangkat pistolnya lagi, tetapi kali ini wajahnya tampak lebih serius. Dalam pikirannya, ia membayangkan wajah seseorang. “Bastian,” gumamnya sambil mengarahkan pistol. “Kalau saja kamu tahu betapa menyebalkannya dirimu…” DOR! Kali ini tembakannya tepat di tengah. Antonio menyeringai kecil, senang membayangkan dirinya sedang "mengalahkan" Bastian, meski hanya di pikirannya. “Pak Antonio, Anda tampaknya sangat f
Antonio berjalan dengan tenang di lorong hotel, memeriksa setiap detail dari pelayanan hingga suasana hotel. Mata tajamnya memperhatikan kerapian meja, keramahan staf, hingga suasana yang dihadirkan. Hari itu seharusnya menjadi hari biasa. Tapi, tentu saja, tidak bagi Bastian. “Antonio!” suara khas itu memecah keheningan. Antonio berhenti sejenak, menoleh, lalu kembali berjalan. Namun, seperti biasa, Bastian tak menyerah. Ia mengejar dengan langkah cepat, membawa senyum yang seolah penuh kemenangan. “Kenapa selalu buru-buru kalau ketemu aku? Takut kalah debat, ya?” goda Bastian sambil menyamakan langkah dengan Antonio. Antonio menghela napas pelan, menoleh tanpa banyak ekspresi. “Kalau tidak ada yang penting, lebih baik kembali ke pekerjaanmu.” “Tenang dulu, bos. Aku cuma mau ngobrol ringan. Kamu tahu Kartini pindah kerja ke mana?” tanyanya tiba-tiba, mencoba terdengar santai, tapi matanya penuh selidik.
Di sebuah sore yang sibuk, Bastian berjalan menuju ruang kerja Antonio dengan setumpuk dokumen di tangannya. Laporan ini adalah hasil kerja keras timnya, dan walau hubungan mereka sering penuh tensi, ia tahu bahwa tugas adalah tugas. Antonio, sebagai atasan langsungnya, tetap harus menerima laporan tersebut. Setibanya di ruangan Antonio, pria itu duduk dengan sikap serius seperti biasa, membaca laporan yang baru saja diberikan oleh Bastian. Ia mengernyit sedikit, menunjuk beberapa bagian. “Ini tidak sinkron dengan data sebelumnya. Revisi, dan perbaiki sebelum sore ini,” kata Antonio, nada suaranya dingin namun profesional. Bastian mengangguk kecil, lalu menjawab, “Baik, saya akan perbaiki. Tapi bagian mana yang lebih detil harus dirapikan?” Sebelum Antonio sempat menjawab, tiba-tiba ponsel di mejanya berdering. Antonio dengan refleks melirik layar ponselnya dan terlihat agak tegang. Di layar ponsel itu, hanya ada
Malam sudah semakin larut, tetapi suasana di lapangan golf masih terasa hangat dan penuh semangat. Pertandingan final dimulai kembali setelah jeda istirahat 20 menit. Antonio kembali ke lapangan dengan ekspresi yang lebih serius dari sebelumnya. Keringat yang mengucur deras membasahi kemejanya, membuatnya semakin tidak nyaman. Tanpa banyak basa-basi, ia meraih kerah bajunya, menariknya ke atas, dan melepaskannya begitu saja. Kartini, yang berdiri tak jauh, menahan napas. Di bawah sinar lampu lapangan yang terang, tubuh Antonio terlihat begitu memukau. Dadanya yang bidang dengan lebar sekitar 80 cm terlihat jelas, kulitnya kecokelatan sempurna, dengan garis otot yang terpahat rapi. Lengan yang kokoh, punggung lebar, dan perutnya yang berotot menciptakan perpaduan sempurna antara kekuatan dan estetika. Keringat yang masih menetes di kulitnya seperti menambah kilauan, membuatnya terlihat seperti sosok dari lukisan dewa-dewa Yunani. Terlebih tinggi badannya
Setelah hampir dua jam bertanding, Antonio terlihat sangat santai, bahkan senyum tipis tak pernah lepas dari wajahnya. Pukulan demi pukulan dilontarkan dengan presisi tinggi, sementara rekan-rekannya sudah tampak kelelahan. Tatiana dan Kartini berdiri di pinggir lapangan, menyaksikan dengan takjub. "Wow, Kak Antonio ini nggak ada capeknya, ya?" Tatiana tertawa, menonton kakaknya yang tampaknya begitu menikmati permainannya. Kartini, yang agak khawatir, menatap Antonio dengan tatapan bingung. "Apa selama ini Pak Antonio memang main golf terus tanpa henti seperti ini?" tanyanya, sedikit khawatir. Tatiana mengangguk, terlihat sudah terbiasa dengan kebiasaan kakaknya. "Kakakku itu bisa main sampai sore, bahkan malam. Golf itu hobinya. Makanya dia punya koleksi tongkat golf yang harganya nggak main-main," jawabnya sambil tersenyum lebar. Kartini mengangguk pelan, sedikit mengerti, meskipu