Acara keluarga besar berlangsung di ruang tengah rumah ibu Sulastri. Semua orang berkumpul dengan suasana hangat—atau setidaknya terlihat begitu. Kadita duduk di sebelah Bastian dengan anggun, mengenakan dress mahal berwarna krem yang menonjolkan kesan elegan. Ibu Sulastri memamerkan gelang emas baru di pergelangan tangannya kepada Dini dan Alex, hasil pemberian Kadita.
"Ibu sih nggak nyangka, Kadita ini ya, rajin banget kasih perhatian ke ibu. Nggak kayak orang-orang yang cuma janji manis," ujar ibu Sulastri sambil melirik Kartini dengan tajam. Kartini yang duduk tak jauh darinya hanya menunduk, mengaduk teh tanpa minat. "Iya, Bu. Kak Kadita ini beda," sahut Dini, menantunya. "Nggak heran Mas Bastian lebih semangat sekarang, ada istri yang benar-benar bisa jadi partner." Alex, anak kedua, tertawa kecil sambil menggoda, "Iya dong, istri kayak Kadita ini langka. Bisa kerja, cari duit, ngasih hadiah ke mertua. Bastian sekaranHari-hari Kartini berubah menjadi mimpi buruk yang tak berujung. Setiap sudut rumah kini dipenuhi pemandangan yang menyakitkan—Bastian dan Kadita yang bermesraan tanpa malu-malu, seolah mereka adalah pasangan sejati yang sempurna. Mulai dari pergi bekerja bersama, makan malam berdua, hingga bercanda mesra di ruang tamu. Kartini hanya bisa menahan tangis di kamarnya setiap malam, merasa tersisih dari kehidupan yang dulu ia bangun bersama suaminya. Parahnya lagi, Bastian kini semakin terang-terangan menunjukkan ketidakpeduliannya. Ia bahkan hanya memberi Kartini uang belanja sebesar 2 juta rupiah. "Ini nggak cukup, Bastian! Anak-anak kita butuh susu, pakaian, dan sekolah. Bagaimana aku bisa mengatur semua ini dengan uang segini?" protes Kartini dengan suara yang mulai bergetar. Bastian, yang sedang bersiap untuk pergi bersama Kadita, hanya melirik dingin. "Kalau nggak cukup, cari uang sendiri, Kartini. Jangan cuma jadi beban di rumah
Di kamar kecil yang kini menjadi tempat pelariannya dari keramaian rumah, Kartini duduk di depan laptop tuanya. Layar memuat situs pencarian kerja yang penuh dengan lowongan, tapi mata Kartini terpaku pada satu titik. "Administrasi kantor... resepsionis... atau... hmm, operator produksi?" gumamnya pelan sambil menggulir layar. Ia mencoba memahami deskripsi pekerjaan yang baginya masih asing. "Kalau aku kerja, siapa yang jagain anak-anak nanti?" pikir Kartini dalam hati. Kebimbangan itu menyergap, tapi ia menepisnya cepat. "Nggak, aku harus berani. Aku nggak bisa terus begini!" Namun, lamunannya buyar ketika pintu kamar diketuk keras. Tanpa menunggu jawaban, Ibu Sulastri sudah nyelonong masuk dengan wajah penuh rasa ingin tahu. "Kartini, kamu lagi apa?" tanyanya dengan nada menyelidik. Ia menatap layar laptop Kartini, lalu menyipitkan mata seolah mengevaluasi. "Oh, lagi cari kerjaan ya? Wah, akhirnya sadar diri juga, ya." Ka
Berminggu-minggu Kartini berjuang mencari pekerjaan, namun hasilnya nihil. Penolakan demi penolakan datang dengan berbagai alasan. Setiap surat lamaran yang ia serahkan terasa seperti pintu yang ditutup tanpa ampun. Kecewa dan sedih menghampiri, tapi ia berusaha tetap tegar. Namun, apa yang membuat situasi semakin sulit adalah rumah yang tak lagi terasa seperti tempat berlindung. Di ruang keluarga, suara Ibu Sulastri menggema seperti gong. "Hah! Lihat tuh si Kartini. Udah nggak laku di mana-mana. Siapa juga yang mau terima orang kayak dia." Bastian menimpali sambil menyeringai. "Bu, udah saya bilang. Dia tuh mending di rumah aja, jaga anak-anak. Nggak usah mimpi kerja lah." Kadita, yang sedang duduk dengan anggun di sofa, pura-pura menunjukkan sedikit empati. "Sudahlah, Bu. Nggak apa-apa Kartini mencoba. Tapi ya wajar saja, kalau tamatan SMA memang susah bersaing. Apalagi sekarang zaman modern, perusahaan itu cari yang berk
Hari itu Kartini sedang di kamar anak-anaknya, melipat pakaian sambil merenung tentang hidupnya yang telah berubah begitu drastis. Ponselnya yang diletakkan di atas kasur bergetar, ada panggilan masuk. "Halo, ini Kartini?" Suara wanita di ujung telepon terdengar profesional. "Iya, benar. Ada apa ya?" Kartini menjawab dengan hati berdebar. "Kami dari Hotel Fransco The Swiss. Selamat, Anda diterima untuk posisi yang Anda lamar. Besok silakan datang ke hotel untuk briefing dan menerima seragam kerja Anda." Kartini terpaku beberapa detik. "Saya diterima? Benarkah?" "Benar, Bu Kartini. Sampai jumpa besok, ya." Telepon terputus, tapi Kartini masih menggenggam ponsel erat sambil menatap langit-langit kamar. Sebuah senyum kecil mengembang di wajahnya. "Akhirnya..." gumamnya. --- Kartini pulang dari briefing dengan membawa tas berisi seragam kerja. Ia menatap seragam i
Hari-hari Kartini di Hotel Fransco The Swiss berjalan penuh perjuangan. Setiap pagi, ia datang lebih awal dari karyawan lain, memastikan semua alat kebersihan sudah siap sebelum bekerja. Ia menganggap pekerjaannya sebagai terapi untuk melupakan luka di hatinya. Kartini membersihkan kamar dengan teliti, memastikan setiap sudut bersih tanpa cela. Seprai dirapikan hingga seperti baru, kaca kamar mandi berkilau tanpa noda. Tamunya pernah memuji, "Sepertinya kamar ini dibersihkan dengan cinta. Terima kasih." Kartini hanya tersenyum kecil mendengar itu, merasa pekerjaannya dihargai. --- Suatu hari, Siska, supervisor-nya, menghampirinya di pantry karyawan. "Kartini, bisa ke ruangan saya sebentar?" tanyanya. Kartini merasa sedikit gugup tapi tetap mengangguk. Di ruangannya, Siska memberikan senyum bangga. "Saya perhatikan, kerja kamu sangat rapi dan cepat. Beberapa tamu bahkan menyebutkan nama kam
Setelah hampir satu tahun bekerja keras tanpa henti, Kartini akhirnya mendapatkan penghargaan sebagai "Best Employee" di Hotel Fransco The Swiss. Momen itu menjadi titik balik dalam hidupnya. Hari penghargaan terasa istimewa, dengan banyak karyawan dan atasan memberikan tepuk tangan saat fotonya dipajang besar di lobi utama hotel. "Kartini, kamu memang layak mendapatkannya," ucap Siska sambil tersenyum bangga. "Kerja keras kamu nggak pernah sia-sia." "Terima kasih, Bu Siska. Saya nggak akan berhenti di sini," jawab Kartini dengan mata berkaca-kaca. --- Pengakuan Dari Semua Pihak Di pantry, beberapa karyawan lama mulai mengakui kegigihan Kartini. "Gila ya, dia benar-benar nggak ada capeknya. Kerja kayak mesin," bisik Lusi. Rina mengangguk. "Iya, aku tadinya pikir dia nggak bakal bertahan lama, tapi lihat sekarang. Dia malah jadi panut
Setelah diberitahu untuk menuju ballroom, Kartini masih merasa tak yakin. Ia mengenakan seragam kerjanya yang sederhana dan rapi, merasa gugup sekaligus penasaran. Namun, semua keraguan itu berubah menjadi kejutan saat melihat Antonio berdiri di dekat Pak Hendro. "Antonio?" pikirnya dalam hati. Tapi ia segera mengatur ekspresi wajahnya, berpura-pura tidak mengenalnya. Pak Hendro langsung memanggil Kartini dengan bangga. "Kartini, sini sebentar," ucapnya sambil melambai. "Saya mau memperkenalkan salah satu bintang kami kepada rekan-rekan dari hotel lain." Kartini mendekat perlahan, mencoba menjaga sikapnya tetap tenang. "Nah, Antonio, ini Kartini. Karyawan terbaik kami tahun ini. Dia memiliki dedikasi dan kreativitas yang luar biasa. Dalam waktu singkat, dia berhasil membuktikan bahwa kerja keras dan ketulusan selalu berbuah manis," ujar Pak Hendro dengan penuh kebanggaan.
Di lounge eksekutif Hotel Fransco The Swiss, suasana terasa mewah namun tetap santai. Antonio duduk berhadapan dengan Aditya, General Manager hotel tersebut. Penampilan Antonio yang karismatik dan percaya diri langsung menarik perhatian Aditya, meski ia mencoba menjaga sikap profesionalnya. “Pak Aditya, jujur saja, saya sangat terkesan dengan pencapaian Anda di hotel ini,” Antonio memulai dengan nada hangat namun tegas. “Saya banyak mendengar tentang bagaimana Anda membawa Fransco tetap stabil di tengah persaingan yang semakin sengit.” Aditya tersenyum kecil, mencoba merendah. “Ah, terima kasih, Pak Antonio. Tapi itu semua kerja keras tim, saya hanya memastikan semuanya berjalan lancar.” Antonio mengangguk pelan, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Tentu saja, saya setuju. Tapi keberhasilan tim itu selalu berakar dari seorang pemimpin yang tahu arah. Anda membuat semua ini terlihat mudah.”
Langit sore mulai meredup ketika Antonio melangkah masuk ke rumahnya setelah selesai dengan sesi latihan tembaknya. Kaus polo hitam yang ia kenakan melekat sempurna pada tubuh atletisnya, menyiratkan kelelahan sekaligus kesan menawan yang tak terbantahkan. Langkahnya tenang, tetapi tatapannya tajam menyusuri ruangan, mencari seseorang—Kartini. Namun, Kartini tidak terlihat di mana-mana. Antonio mengerutkan dahi. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung melangkah menuju kamarnya. Begitu membuka pintu, ia berhenti sejenak. Kartini ada di sana. Wanita itu berdiri diam di depan dinding besar yang dihiasi sebuah lukisan wanita mengenakan gaun marun. Kartini tampak terpaku, matanya menatap lekat pada detail lukisan itu. Antonio bersandar di ambang pintu, kedua lengannya menyilang di dada. Matanya mengamati Kartini yang tampak begitu terpesona, tetapi ekspresinya tetap dingin. “Kartini,” suara baritonnya memecah
Antonio berdiri di area latihan tembak dengan postur tegap, mengenakan pakaian olahraga hitam yang membuat auranya semakin mencolok. Sebuah pistol semi-otomatis berada di genggamannya, siap untuk digunakan. Ia menarik napas panjang, menatap target yang berada beberapa meter di depannya—sebuah lingkaran dengan titik merah di tengah. DOR! Tembakan pertama melesat, tepat mengenai tepi lingkaran tengah. Antonio sedikit menghela napas, tampak tak puas. Ia mengangkat pistolnya lagi, tetapi kali ini wajahnya tampak lebih serius. Dalam pikirannya, ia membayangkan wajah seseorang. “Bastian,” gumamnya sambil mengarahkan pistol. “Kalau saja kamu tahu betapa menyebalkannya dirimu…” DOR! Kali ini tembakannya tepat di tengah. Antonio menyeringai kecil, senang membayangkan dirinya sedang "mengalahkan" Bastian, meski hanya di pikirannya. “Pak Antonio, Anda tampaknya sangat f
Antonio berjalan dengan tenang di lorong hotel, memeriksa setiap detail dari pelayanan hingga suasana hotel. Mata tajamnya memperhatikan kerapian meja, keramahan staf, hingga suasana yang dihadirkan. Hari itu seharusnya menjadi hari biasa. Tapi, tentu saja, tidak bagi Bastian. “Antonio!” suara khas itu memecah keheningan. Antonio berhenti sejenak, menoleh, lalu kembali berjalan. Namun, seperti biasa, Bastian tak menyerah. Ia mengejar dengan langkah cepat, membawa senyum yang seolah penuh kemenangan. “Kenapa selalu buru-buru kalau ketemu aku? Takut kalah debat, ya?” goda Bastian sambil menyamakan langkah dengan Antonio. Antonio menghela napas pelan, menoleh tanpa banyak ekspresi. “Kalau tidak ada yang penting, lebih baik kembali ke pekerjaanmu.” “Tenang dulu, bos. Aku cuma mau ngobrol ringan. Kamu tahu Kartini pindah kerja ke mana?” tanyanya tiba-tiba, mencoba terdengar santai, tapi matanya penuh selidik.
Di sebuah sore yang sibuk, Bastian berjalan menuju ruang kerja Antonio dengan setumpuk dokumen di tangannya. Laporan ini adalah hasil kerja keras timnya, dan walau hubungan mereka sering penuh tensi, ia tahu bahwa tugas adalah tugas. Antonio, sebagai atasan langsungnya, tetap harus menerima laporan tersebut. Setibanya di ruangan Antonio, pria itu duduk dengan sikap serius seperti biasa, membaca laporan yang baru saja diberikan oleh Bastian. Ia mengernyit sedikit, menunjuk beberapa bagian. “Ini tidak sinkron dengan data sebelumnya. Revisi, dan perbaiki sebelum sore ini,” kata Antonio, nada suaranya dingin namun profesional. Bastian mengangguk kecil, lalu menjawab, “Baik, saya akan perbaiki. Tapi bagian mana yang lebih detil harus dirapikan?” Sebelum Antonio sempat menjawab, tiba-tiba ponsel di mejanya berdering. Antonio dengan refleks melirik layar ponselnya dan terlihat agak tegang. Di layar ponsel itu, hanya ada
Malam sudah semakin larut, tetapi suasana di lapangan golf masih terasa hangat dan penuh semangat. Pertandingan final dimulai kembali setelah jeda istirahat 20 menit. Antonio kembali ke lapangan dengan ekspresi yang lebih serius dari sebelumnya. Keringat yang mengucur deras membasahi kemejanya, membuatnya semakin tidak nyaman. Tanpa banyak basa-basi, ia meraih kerah bajunya, menariknya ke atas, dan melepaskannya begitu saja. Kartini, yang berdiri tak jauh, menahan napas. Di bawah sinar lampu lapangan yang terang, tubuh Antonio terlihat begitu memukau. Dadanya yang bidang dengan lebar sekitar 80 cm terlihat jelas, kulitnya kecokelatan sempurna, dengan garis otot yang terpahat rapi. Lengan yang kokoh, punggung lebar, dan perutnya yang berotot menciptakan perpaduan sempurna antara kekuatan dan estetika. Keringat yang masih menetes di kulitnya seperti menambah kilauan, membuatnya terlihat seperti sosok dari lukisan dewa-dewa Yunani. Terlebih tinggi badannya
Setelah hampir dua jam bertanding, Antonio terlihat sangat santai, bahkan senyum tipis tak pernah lepas dari wajahnya. Pukulan demi pukulan dilontarkan dengan presisi tinggi, sementara rekan-rekannya sudah tampak kelelahan. Tatiana dan Kartini berdiri di pinggir lapangan, menyaksikan dengan takjub. "Wow, Kak Antonio ini nggak ada capeknya, ya?" Tatiana tertawa, menonton kakaknya yang tampaknya begitu menikmati permainannya. Kartini, yang agak khawatir, menatap Antonio dengan tatapan bingung. "Apa selama ini Pak Antonio memang main golf terus tanpa henti seperti ini?" tanyanya, sedikit khawatir. Tatiana mengangguk, terlihat sudah terbiasa dengan kebiasaan kakaknya. "Kakakku itu bisa main sampai sore, bahkan malam. Golf itu hobinya. Makanya dia punya koleksi tongkat golf yang harganya nggak main-main," jawabnya sambil tersenyum lebar. Kartini mengangguk pelan, sedikit mengerti, meskipu
Langit cerah membentang luas di atas lapangan golf yang hijau dan rapi. Angin sepoi-sepoi menambah kesejukan udara, menciptakan suasana yang seharusnya tenang dan damai. Namun, suasana hati Antonio sepertinya sedang bergolak. Ia berdiri di atas rumput, tongkat golf di tangannya, dan tatapannya penuh amarah, seolah setiap pukulan adalah pelampiasan untuk perasaan yang tak terungkapkan. Tatiana, yang duduk di dekat buggy golf, hanya menggelengkan kepala. "Kak, ini main golf, bukan mau tanding tinju atau perang , lho," ujarnya setengah bercanda sambil memandang kakaknya yang terus-menerus memukul bola dengan agresif. Antonio hanya mengangguk pelan tanpa menjawab. Pukulannya terdengar keras, dan bola itu terlempar jauh, hampir menabrak pembatas lapangan. Kartini yang berdiri tidak jauh dari situ mengerutkan keningnya, menyaksikan dengan cemas. Ia mendekat, memegang bola golf baru, dan dengan hati-hati meletakkann
Ruang lobi hotel dipenuhi suasana formal saat rombongan investor asing tiba. Antonio dengan setelan jas rapi, berdiri dengan penuh wibawa di samping Pak Hendro. Di sebelahnya, Bastian juga terlihat santai tetapi dengan senyum penuh percaya diri. Para investor ini adalah kunci untuk meningkatkan modal hotel, dan setiap ide yang mereka presentasikan hari ini akan menentukan keputusan besar. Ketika Antonio mulai memaparkan idenya, suaranya terdengar tegas dan meyakinkan. "Strategi kita ke depan adalah mengintegrasikan layanan berbasis teknologi untuk tamu bisnis. Dengan aplikasi custom, tamu dapat memesan fasilitas meeting, catering, hingga transportasi langsung dari ponsel mereka. Ini akan memberikan kemudahan yang menjadi nilai tambah." Para investor tampak tertarik. Salah satu dari mereka mengangguk, mencatat poin yang disampaikan Antonio. Namun, sebelum Antonio bisa melanjutkan, Bastian menyela dengan senyum halus. "Itu id
Rapat pagi itu di ruang konferensi besar terasa tegang sejak awal. Antonio duduk di kursinya dengan postur tegak dan wajah dingin, tangannya yang baru sembuh sebagian dari gips bertumpu di meja. Di seberangnya, Bastian tampak lebih santai, tetapi sorot matanya jelas penuh tantangan. Topik diskusi adalah strategi pemasaran untuk meningkatkan okupansi hotel, terutama di segmen tamu bisnis. "Rencana itu terlalu berisiko," Antonio memulai, suaranya tegas. "Mengalihkan sebagian besar anggaran ke pemasaran digital tanpa memastikan ROI yang jelas akan membuat kita rentan terhadap kerugian." Bastian langsung menyela. "Antonio, kalau kita terus berpikir konservatif seperti itu, kita akan tertinggal. Kompetitor kita sudah berinvestasi besar di media digital, dan mereka mulai melihat hasilnya. Kita harus berani mengambil langkah besar." Antonio mendengus pelan, lalu menatap Bastian dengan dingin. "Langkah besar tanpa perhit