Lana mendorong pintu rumahnya menggunakan high heelsnya yang berharga belasan juta. Di dalam, ia melihat Sarah yang sedang duduk santai di sofa sambil mengelus perutnya yang masih rata.
Melihatnya, Lana semakin murka dan nafasnya semakin tidak beraturan. Ingin rasanya Lana melempar high heelsnya ke kepala wanita itu.
“Kau apakan anakku, sialan!” bentak Lana, seraya membanting kunci mobilnya di meja kacanya. Hingga membuat Sarah tersentak kaget.
“Aku tidak memukul anakmu. Aku hanya menegurnya,” balas Sarah.
“Lagipula siapa yang menyuruhmu ke sini? Bukankah aku sudah bilang? Jangan menginjak rumahku lagi, bitch!”
“Mas Arthur yang menyuruhku ke sini. Jadi kau tidak berhak marah- marah. Karena ini rumahnya, bukan rumahmu!”
Sedetik kemudian, suara tawa Lana langsung menggelegar memenuhi ruangan. Saking kerasnya ia tertawa, Sarah sampai takut mendengarnya.
Kemudian setelah itu, Lana mendekati Sarah dan mengelus pipi Sarah dengan lembut sambil tersenyum menyeringai. Hal itu tentu saja membuat Sarah mulai ketakutan.
“Sarah ... Sarah. Kenapa kau bodoh sekali? Seharusnya kau bisa membaca situasi. Bagaimana mungkin, lelaki pengangguran seperti Arthur bisa membeli rumah semewah ini? Bahkan untuk membiayaimu saja, dia masih meminta uang kepadaku.”
“Berhenti merendahkan Arthur! Dia memiliki banyak saham di perusahaan, asal kau tau!” geram Sarah, membuat Lana kembali menyemburkan tawanya.
“Terserah kau saja. Aku malas berdebat dengan orang ber-IQ rendah,” cibir Lana, seraya berjalan meninggalkan Sarah yang masih menggerutu kesal.
Lana berjalan menaiki tangga, menghampiri kedua anaknya yang berada di kamar sekaligus ingin membaringkan tubuhnya yang terasa sangat pegal.
“Lea! Leo! Mommy pulang,” ujar Lana, seraya mengetuk pintu kamar Leo.
Tak lama kemudian, pintu dibuka oleh Lea. Kemudian Lana langsung menghampiri anak bungsunya yang masih menangis dengan posisi tengkurap.
Lana mengangkat tubuh Leo, kemudian ia baringkan di atas pangkuannya.
“Apa yang dilakukan Mak lampir sampai membuatmu menangis, boy?” tanya Lana, seraya mengusap pipi Leo yang basah karena air mata.
“Leo dibentak karena bermain air,” sahut Lea.
Lana menghembuskan nafasnya kasar. Leo memang sangat sensitif. Jangankan dibentak oleh orang lain, ditegur oleh Mommynya sendiri saja Leo langsung menangis. Maka dari itu, butuh kesabaran lebih untuk menghadapi anak seperti Leo.
“Daddymu sudah pulang?” tanya Lana, yang hanya dibalas dengan gelengan kepala oleh Lea.
“Terus, siapa yang membawa Mak lampir itu ke sini?” tanya Lana lagi.
“Dia datang sendiri,” jawab Lea.
“Siapa yang membukakan pintu?”
“Bi Ika mungkin.”
Lana berdecak kesal. Padahal ia sudah berkali- kali mengingatkan pembantunya untuk tidak mempersilahkan pelakor masuk ke dalam rumahnya. Sepertinya, Lana harus memberikan pelajaran juga kepada pembantunya.
“Mom ...” panggil Lea.
“Hmm?”
“Kapan kau bercerai dengan Daddy? Aku sudah lelah.”
Lana menatap Lea dengan tatapan sendunya. Hatinya terasa diremas- remas mendengar keluhan sang Putri. Mungkinkah sang Putri ini ikut menanggung beban? Sampai menginginkan kedua orang tuanya untuk segera bercerai? Ataukah kesehatan mental putrinya ini sudah mulai terganggu? Ya Tuhan, Lana benar- benar merasa bersalah.
“Sini, peluk Mommy.”
Lea mendekat, kemudian ia langsung memeluk Mommynya yang sudah menangis terisak.
“Maafkan Mommy ya sayang,” lirih Lana ditengah- tengah isakannya.
“Mommy tidak salah. Lea tau, Mommy bertahan demi Lea dan Leo. Sekarang, Mommy jangan memikirkan kita lagi. Kita tidak masalah, kalau harus hidup dengan Nenek di kampung.”
Lana tersenyum haru. Diusapnya pipi sang Putri dengan lembut. Kemudian ia kecup keningnya lumayan lama, sampai membuat sang Putra merengek iri.
Andai saja, hubungannya dengan Arthur tidak serumit ini. Mungkin Lana sudah menceraikan lelaki itu sedari dulu. Namun sayangnya, ada suatu hal yang membuatnya tidak bisa terlepas dari lelaki itu.
“Terima kasih sudah hadir di hidup Mommy. Mommy benar- benar beruntung memiliki anak seperti kalian,” ujar Lana setelah memberi kecupan di kening Leo.
“I love you Mommy,” balas Lea, seraya memeluk Lana dengan erat.
Lana mengusap lengan Lea sambil tertawa kecil. Diumurnya yang baru menginjak sembilan tahun, Lea sudah memiliki pemikiran yang sangat dewasa. Ia mengerti apa yang sedang terjadi dalam keluarganya, dan ia bisa memaklumi itu.
“Love you to.”
Lana kembali mengecup kening Lea dan juga Leo. Mereka berdua adalah anugerah terbesar dalam hidup Lana. Lana berjanji akan mengabdikan hidupnya untuk merawat dan juga membahagiakan mereka berdua.
Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang mengintip momen haru mereka dari jauh.
***
“Sayang. Pernikahan kita tinggal beberapa hari lagi, dan kau belum memberitahu orang tuamu? Kau ini keterlaluan sekali,” kesal Sarah.
Sementara itu, Arthur hanya terdiam tak mempedulikan Sarah. Sejak kembali dari lantai atas, lelaki itu hanya terdiam merenung sambil menggenggam tangannya.
“Sayang!” geram Sarah.
Arthur berdecak kesal. Kemudian ia lantas menghempaskan tangan Sarah yang sedang memegang tangannya.
“Berapa kali aku harus bilang? Pernikahan kita ini terjadi karena kesalahan. Jadi, kau tidak usah berharap lebih.”
“Kau benar- benar ingin menyembunyikan pernikahan ini?” tanya Sarah dengan mata yang berkaca- kaca.
Arthur mengangguk. “Sampai aku dan Lana resmi bercerai,” ucapnya.
“Kapan kau akan bercerai dengan wanita itu?” tanya Sarah lagi. Namun kali ini tidak dijawab oleh Arthur.
Tak lama kemudian, terdengar suara Lea dan Leo yang baru saja turun dari tangga. Sontak saja, Arthur langsung berdiri dan menghampiri mereka dengan senyuman manisnya.
“Kalian mau ke mana? Kok sudah rapi? Mau Daddy antar tidak?” tanya Arthur sok akrab. Namun hanya dilirik dengan sinis oleh Lea. Sementara itu, Leo masih sibuk dengan game di ponselnya.
“Lea! Pakai sepatu Dior saja! Sepatu Adidasnya belum kering!” teriak Lana dari lantai atas.
“Iya, Mom!”
Kemudian setelah itu, Lea langsung menggandeng Adiknya dan mengajaknya untuk keluar dari rumah.
Melihat itu, Arthur hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar. Tidak ada hal yang menyakitkan selain diabaikan oleh anaknya sendiri. Meskipun Arthur gagal menjadi suami yang baik, namun ia selalu berusaha menjadi Ayah yang baik untuk Lea dan Leo.
“Kamar Leo masih berantakan. Tolong dibereskan,” ujar Lana, yang hanya diangguki oleh Arthur.
“Sebelum aku pulang, sampah- sampah di rumah harus sudah bersih semua. Termasuk wanita itu,” ujar Lana lagi, sembari menunjuk Sarah yang masih terduduk di sofa.
Hal itu ternyata dapat memicu emosi Sarah. Wanita itu lantas berdiri dari duduknya dan membanting tasnya ke lantai.
“Kau tidak akan pulang, Lana! Kau akan mati bersama anak- anakmu di jalan!” hardik Sarah sembari menunjuk wajah Lana. Yang sukses membuat Arthur ikut terpancing emosi.
“DIAM!” teriak Arthur penuh emosi.
Lelaki itu lantas menghampiri Sarah, dan menampar pipi wanita itu dengan keras. Hingga membuat wanita itu hampir terjatuh ke samping.
Plak.
Arthur menampar pipi wanita itu lagi. Dan kali ini, wanita itu langsung menangis tersedu- sedu.
Nafas Arthur terengah- engah. Sepertinya lelaki itu benar- benar emosi.
“Bye ... selamat bertengkar. Aku tidak ikut- ikut,” ujar Lana seraya tersenyum meledek. Membuat Sarah semakin kesal dibuatnya.
Di luar dugaan. Tiba- tiba Lea masuk ke dalam rumah, lalu melemparkan sepatunya ke arah Sarah, dan tepat mengenai kepala wanita itu.
“BERHENTI MEMBUAT RUSUH DI RUMAHKU!” teriak Lea dengan berlinang air mata.
Hal itu tentu saja membuat Sarah dan kedua orang tuanya kaget bukan main. Baru kali ini, mereka melihat Lea semarah itu. Biasanya, Lea selalu bersikap acuh dan tak peduli.
“Makan dulu, Lea! Handphone tidak akan membuatmu kenyang,” tegur Lana sedikit kesal, seraya berusaha merebut ponsel Lea. Saat ini, mereka sedang berada di resotaran lapangan golf untuk makan siang. Sejak insiden tadi, Lana langsung mengajak kedua anaknya untuk segera pergi. Sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Karena ia paham, jika Sarah memiliki sifat yang sangat kejam. Tidak peduli meskipun lawannya anak- anak, wanita itu akan tetap melakukan tindakan kasar jika terpancing emosinya. “Lea tidak lapar,” balas Lea acuh. Lana menghembuskan nafasnya kasar. Kemudian ia beralih duduk di samping Lea, lalu ia dekap tubuh putrinya itu. “Pasti berat sekali ya jadi Lea?” tanya Lana, seraya mengusap surai lembut putrinya. “Diumur Lea yang masih kecil, seharusnya Lea bisa tumbuh dengan happy. Dikelilingi orang- orang baik, dikelilingi hal positif. Bukan malah merasakan hal yang tidak seharusnya Lea rasakan. Ini semua salah Mommy, maafkan Mommy ya Nak,” ujar Lana dengan lembut. Namun
Pukul 20.00 Lana dan kedua anaknya sampai di rumah. Ketika Lana membuka pintu rumah, ia dikejutkan dengan kedatangan sang mertua yang sudah duduk di sofa dengan tangan yang bersedakap di dada dan tatapan yang tidak mengenakkan. “Loh, Ibu? Dari kapan?” tanya Lana. “Kau ini dari mana saja? Jam segini kok baru pulang,” ketus sang mertua. “Habis mengantarkan anak- anak latihan golf, Bu.” Sang mertua itupun langsung berdecih. Tatapannya ke Lana juga semakin sinis. “Kau ini terlalu sibuk bersenang- senang, sampai melupakan suamimu sendiri. Lihatlah sekarang! Anakku terlantar di taman dalam keadaan mabuk. Di mana peranmu sebagai Istri? Seharusnya kau bisa menjaga suamimu dari hal- hal buruk seperti ini,” omelnya. Membuat Lana langsung tersinggung mendengarnya. “Kak, bawa adiknya ke kamar,” perintah Lana pada Lea. Yang langsung diangguki oleh anak itu. Setelah kedua anaknya sudah tak terlihat, Lana lantas menghampiri sang Ibu mertua dengan tatapan yang tak kalah sinis. “Ibu bertanya
Keesokan harinya, Lana meminta izin lagi pada sang manager untuk membatalkan jadwal pemotretannya hari ini, karena panas di badan Leo belum juga turun. Beruntungnya, sang manager mau mengerti dirinya. Saat Lana akan berjalan ke arah dapur, matanya tidak sengaja melihat Arthur yang sudah tergeletak di sofa. Entahlah, kapan lelaki itu pulang. Lana juga tidak tahu. “Mom, bisakah kau membuatkan bekal makanan untukku?” tanya Lea, seraya menghampiri sang Mommy. Lana melirik Lea yang sudah berpakaian sekolah dengan rapi. Kemudian ia berikan senyuman manisnya di pagi hari untuk sang Putri tersebut. “Of course baby,” jawabnya. “I want fried rice with scrambled eggs and grilled sausage,” ujar Lea. “Kalau sosisnya digoreng saja, bagaimana?” “Emm... okay, no problem.” “Susu mau?” tanya Lana, yang langsung diangguki oleh Lea. Kemudian bocah tersebut memilih untuk duduk disofa sambil menonton televisi. Menunggu sang Mommy selesai masak, sekaligus ingin membangunkan sang Daddy dengan cara me
“Sialan kau, Arthur! Waktu itu kau bilang, kalau kau sudah tidak menyukainya. Dan sekarang kau bilang, kalau kau masih mencintainya. Apa maumu, sialan!” geram Sarah. “Dasar aneh! Memang salah, kalau aku masih mencintai istriku?” “Jelas salah! Kau milikku sekarang!” “Jangan asal meng-klaim sesuatu yang belum tentu menjadi milikmu.” “Apa salahnya? Aku akan menjadi istrimu sebentar lagi.” “Jangan terlalu berharap. Bisa jadi Lana tidak menyetujui pernikahan kita.” “Ck. Kenapa kau jadi begini? Baru kemarin kau bilang, kalau kau akan menceraikan Lana dan menikahiku. Dan sekarang kau malah berkata seperti ini. Apa kau sudah gila? Kalau tidak berniat menikahiku, jangan menghamiliku bodoh!” “Memang siapa yang ingin kau hamil? Dari awal sudah kuingatkan untuk minum obat pencegah hamil, tapi kau selalu mengabaikanku.” “Oh, jadi kau tidak menginginkan bayi ini?” tanya Sarah, sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. “Oke kalau begitu, batalkan saja pernikahan kita. Aku akan membesarkan bayi
Mendengar penuturan Lana, tentu saja Gita langsung terkejut. Ia tidak tahu, rahasia apa yang disembunyikan oleh Lana sampai wanita itu takut menceraikan suaminya Tapi menurutnya, bukankah bertahan itu lebih menyakitkan dari pada melepaskan? “Kau diancam oleh Arthur?” tanya Gita. Lana mengangguk lemah. Baru kali ini, ia menunjukkan wajah melasnya di depan orang lain. Biasanya ia selalu terlihat garang, tegas dan berwibawa . “Apa itu menyangkut nama baikmu?” tanya Gita lagi. “Of course. Maka dari itu, aku tidak berani menceraikannya. Walau sebenarnya, aku berniat mengajukan cerai dalam waktu dekat. Tapi setelah aku pikir- pikir, aku tidak bisa menceraikannya saat ini. Aku belum siap kehilangan karirku.” Gita mendengus kesal. Ia jadi ikut pusing memikirkan rumah tangga Lana. Ingin rasanya, ia memisahkan Lana dan suaminya secara paksa. Namun sayangnya, ia tidak memiliki hak apa- apa. “Aku tidak tahu, rahasia apa yang kalian sembunyikan. Tapi bukankah lebih baik kalian berpisah, dar
“Ehm. Sepertinya anda mulai mengibarkan bendera peperangan dengan keluarga kami.” Sontak saja, mereka bertiga langsung menoleh ke belakang dengan terkejut. Di mana di belakang mereka sudah ada Ayah Lana yang menatap mereka sinis dengan tangan yang bersedekap di dada. Tak lama kemudian, Ibu Lana dan Bi Ika datang menghampirinya. “Anakmu yang memulainya lebih dulu,” ketus Ibu Arthur. Membuat Ayah Lana langsung tertawa remeh. “Ajeng ... Ajeng. Selama sepuluh tahun kita menjadi besan, baru kali ini aku melihat topeng aslimu. Selama ini, kau selalu berpura- pura baik di depanku,” ujar Ayah Lana, disertai dengan senyuman remehnya. “Memangnya ada yang salah dari ucapanku? Aku hanya berbicara fakta, kalau anakmu yang memulai peperangan ini. Dia menghinaku, merendahkanku, dan juga memfitnah Arthur berselingkuh. Apa kau tidak tahu kelakuan buruk anakmu? Dia sangat kurang ajar dan tidak tahu diri,” balas wanita itu menggebu- gebu. “Sebelum kau berbicara seperti ini, apa kau sudah berkaca ter
Lana menyeret tangan Arthur menuju taman yang berada di samping rumah. Membiarkan orang tua mereka kembali bertarung dan beradu mulut. “Apa maksudmu? Bukankan kau bertahan denganku karena uang? Lalu kenapa, kau malah menolak tawaran dari Ayah? Jangan membuat semuanya semakin rumit! Ambil uangnya, dan ceraikan aku sekarang juga!” marah Lana, penuh dengan emosi. “Kau yakin, tidak mau memberiku kesempatan?” tanya Arthur, yang berhasil membuat Lana semakin geram. Saking gregetannya, wanita itu sampai menggertakkan gigi dan mengepal tangannya kuat. “Pertanyaan bodoh! Untuk apa juga, aku memberi kesempatan pada bajingan? Bahkan anakmu sendiri menginginkan orang tuanya untuk bercerai.” Arthur menghembuskan nafasnya sembari mengusap rambutnya kasar. Pikirannya benar- benar tidak karuan saat ini. “Aku janji, akan berubah menjadi lebih baik lagi. Aku juga akan memutuskan Sarah dan tidak akan menikahinya,” ujar Arthur. “Kau pikir aku percaya? Kau bahkan sudah mengatakan ini berkali- kali
Lana menggeram kesal sembari membanting ponselnya ke meja. Lelaki itu benar- benar menguji kesabarannya. Jika membunuh orang itu tidak dosa, mungkin sudah Lana lakukan dari dulu. “Ya Tuhan. Aku harus bagaimana,” keluh Lana, sembari mengusap wajahnya kasar. Setelah berpikir selama beberapa menit, Lana memutuskan untuk menemui lelaki itu. Bukan untuk bercinta, tetapi untuk menegosiasi agar Arthur meringankan persyaratannya. Apapun itu akan Lana lakukan, asal tidak bercinta. Bahkan jika Arthur meminta mobil baru, akan Lana belikan sekarang juga. Sesampainya di rumah, Lana langsung mendorong pintunya dengan kasar, hingga menimbulkan suara gebrakan yang begitu keras. Arthur yang sedang duduk santai di ruang tamu pun terkejut. Namun sedetik kemudian, ekspresinya berubah menjadi sangat songong dan menyebalkan. Lelaki itu menatap Lana sembari tersenyum menyeringai. Sementara itu, Lana hanya menatapnya datar. “Kau siap untuk bercinta, babe?” tanya Arthur, seraya menaik turunkan alisnya me
Lana melangkahkan kakinya memasuki rumah yang saat ini ditinggali oleh Arthur. Pintu rumah tidak terkunci, namun ia tidak melihat siapa- siapa di dalamnya. Mungkin sedang keluar, pikirnya.Sambil menunggu Arthur muncul di depannya, Lana melangkahkan kakinya menuju dapur untuk mencari air minum. Tak lama kemudian, Arthur keluar dari kamar dengan penampilan yang masih berantakan. Sepertinya pria itu baru saja terbangun dari tidur.Melihat Lana yang tiba- tiba berada di rumahnya, pria itu sedikit terkejut. Kemudian ia lantas mengikuti Lana yang saat ini sedang mendudukkan dirinya di sofa.“Sejak kapan kau di sini?” tanya Arthur, namun tidak dipedulikan oleh Lana. Wanita itu malah mengeluarkan sebuah map coklat dari dalam tasnya.“Tanda tangani surat ini,” ketus Lana seraya meletakkan map tersebut di atas meja.Arthur melirik wanita itu sekilas. Wajahnya terlihat judes seperti biasanya. Tidak ada senyuman manis yang terukir di bibirnya, dan tidak ada tatapan lembut dari matanya.Arthur me
Lana membanting tubuhnya di kasur. Hari ini benar- benar melelahkan baginya. Setelah sempat lega karena sudah memberikan klarifikasi, Lana kembali dibuat resah atas ancaman Arthur. Jika memang lelaki itu benar- benar akan membocorkan rahasianya. Demi Tuhan, Lana akan membawa anaknya pindah ke luar negeri. Ia tidak mau anaknya menjadi korban serangan kebencian dari semua orang, akibat skandal yang menimpa kedua orang tuanya. “Ya Tuhan... kepalaku pusing sekali,” gumam Lana, seraya memijit kepalanya. Lana bangun dari tidurnya dan berjalan menuju dapur. Apartemen yang Lana beli ini tidak terlalu besar, hanya terdapat satu kamar tidur, satu kamar mandi, ruang tamu, dan dapur yang berhadapan langsung dengan ruang tamu. “Sepertinya aku harus membeli apartemen baru. Aku tidak bisa, hidup di tempat sempit seperti ini,” ujar Lana. Selesai membuat teh hangat, Lana lantas berjalan menuju balkon. Menikmati udara di malam hari dengan ditemani segelas teh hangat dan selimut tebal yang melilit d
“Kau benar- benar licik, Arthur! Aku sudah menyerahkan tubuhku kepadamu, tetapi kau masih ingin membongkar rahasiaku? Are you kidding me,” kesal Lana, sembari melempar Arthur dengan handuk yang ia pegang. “Kita main adil saja. Kau tutupi aibku? Maka akan ku tutup juga aibmu,” balas Arthur santai. “Kau ini – arrgghh... kenapa kau tega sekali denganku,” ujar Lana dengan mata berkaca- kaca. Sepertinya, kekesalannya benar- benar sudah berada di puncak. “Selama kau menyakitiku, apa aku pernah membalas? Selama kau berselingkuh dariku, apa aku pernah membalas juga? Selama kau pengangguran, apa aku pernah menyuruhmu mencari kerja? Tidak kan?! Aku selalu sabar menghadapimu. Tapi kenapa, di saat harga diriku diinjak- injak oleh selingkuhanmu, kau malah diam saja? Kau tidak berniat membelaku, dan kau sama sekali tidak menegur selingkuhanmu. Kenapa kau jahat sekali...” ujar Lana dengan berlinang air mata. Sementara itu, Arthur hanya terdiam menunduk sambil meremas jari- jemarinya. Kemudian Lan
Setelah kegiatan panas yang dilakukan oleh pasangan suami istri itu selesai, Arthur langsung keluar dari kamar. Membiarkan Lana tidur dan beristirahat. Ia paham, istri cantiknya itu sedang kelelahan akibat kegiatan panas yang mereka lakukan mulai dari sore sampai malam. Arthur merasakan suasana yang berbeda dari rumah ini. Biasanya, rumah selalu ramai dengan suara keributan maupun canda tawa kedua anaknya. Tetapi saat ini terasa sangat sepi dan sunyi seperti tidak ada kehidupan. Kedua anaknya sudah pindah ke rumah orang tuanya, sedangkan Bi Ika sudah pulang ke kampung halamannya. “Bahagia selalu ya. Maafkan Daddy, tidak bisa memberikan kebahagiaan untuk kalian berdua,” ujar Arthur, seraya memandangi foto Lea dan Leo yang terpajang di dinding. “Jaga Mommy kalian. Jangan membuatnya bersedih. Cukup Daddy saja yang menyakiti hatinya,” monolognya lagi. “Tumbuhlah dengan baik. Buatlah Mommymu bangga dengan prestasimu.” Kemudian Arthur lantas berjalan ke living room. Mengambil ponselnya
Lana menggeram kesal sembari membanting ponselnya ke meja. Lelaki itu benar- benar menguji kesabarannya. Jika membunuh orang itu tidak dosa, mungkin sudah Lana lakukan dari dulu. “Ya Tuhan. Aku harus bagaimana,” keluh Lana, sembari mengusap wajahnya kasar. Setelah berpikir selama beberapa menit, Lana memutuskan untuk menemui lelaki itu. Bukan untuk bercinta, tetapi untuk menegosiasi agar Arthur meringankan persyaratannya. Apapun itu akan Lana lakukan, asal tidak bercinta. Bahkan jika Arthur meminta mobil baru, akan Lana belikan sekarang juga. Sesampainya di rumah, Lana langsung mendorong pintunya dengan kasar, hingga menimbulkan suara gebrakan yang begitu keras. Arthur yang sedang duduk santai di ruang tamu pun terkejut. Namun sedetik kemudian, ekspresinya berubah menjadi sangat songong dan menyebalkan. Lelaki itu menatap Lana sembari tersenyum menyeringai. Sementara itu, Lana hanya menatapnya datar. “Kau siap untuk bercinta, babe?” tanya Arthur, seraya menaik turunkan alisnya me
Lana menyeret tangan Arthur menuju taman yang berada di samping rumah. Membiarkan orang tua mereka kembali bertarung dan beradu mulut. “Apa maksudmu? Bukankan kau bertahan denganku karena uang? Lalu kenapa, kau malah menolak tawaran dari Ayah? Jangan membuat semuanya semakin rumit! Ambil uangnya, dan ceraikan aku sekarang juga!” marah Lana, penuh dengan emosi. “Kau yakin, tidak mau memberiku kesempatan?” tanya Arthur, yang berhasil membuat Lana semakin geram. Saking gregetannya, wanita itu sampai menggertakkan gigi dan mengepal tangannya kuat. “Pertanyaan bodoh! Untuk apa juga, aku memberi kesempatan pada bajingan? Bahkan anakmu sendiri menginginkan orang tuanya untuk bercerai.” Arthur menghembuskan nafasnya sembari mengusap rambutnya kasar. Pikirannya benar- benar tidak karuan saat ini. “Aku janji, akan berubah menjadi lebih baik lagi. Aku juga akan memutuskan Sarah dan tidak akan menikahinya,” ujar Arthur. “Kau pikir aku percaya? Kau bahkan sudah mengatakan ini berkali- kali
“Ehm. Sepertinya anda mulai mengibarkan bendera peperangan dengan keluarga kami.” Sontak saja, mereka bertiga langsung menoleh ke belakang dengan terkejut. Di mana di belakang mereka sudah ada Ayah Lana yang menatap mereka sinis dengan tangan yang bersedekap di dada. Tak lama kemudian, Ibu Lana dan Bi Ika datang menghampirinya. “Anakmu yang memulainya lebih dulu,” ketus Ibu Arthur. Membuat Ayah Lana langsung tertawa remeh. “Ajeng ... Ajeng. Selama sepuluh tahun kita menjadi besan, baru kali ini aku melihat topeng aslimu. Selama ini, kau selalu berpura- pura baik di depanku,” ujar Ayah Lana, disertai dengan senyuman remehnya. “Memangnya ada yang salah dari ucapanku? Aku hanya berbicara fakta, kalau anakmu yang memulai peperangan ini. Dia menghinaku, merendahkanku, dan juga memfitnah Arthur berselingkuh. Apa kau tidak tahu kelakuan buruk anakmu? Dia sangat kurang ajar dan tidak tahu diri,” balas wanita itu menggebu- gebu. “Sebelum kau berbicara seperti ini, apa kau sudah berkaca ter
Mendengar penuturan Lana, tentu saja Gita langsung terkejut. Ia tidak tahu, rahasia apa yang disembunyikan oleh Lana sampai wanita itu takut menceraikan suaminya Tapi menurutnya, bukankah bertahan itu lebih menyakitkan dari pada melepaskan? “Kau diancam oleh Arthur?” tanya Gita. Lana mengangguk lemah. Baru kali ini, ia menunjukkan wajah melasnya di depan orang lain. Biasanya ia selalu terlihat garang, tegas dan berwibawa . “Apa itu menyangkut nama baikmu?” tanya Gita lagi. “Of course. Maka dari itu, aku tidak berani menceraikannya. Walau sebenarnya, aku berniat mengajukan cerai dalam waktu dekat. Tapi setelah aku pikir- pikir, aku tidak bisa menceraikannya saat ini. Aku belum siap kehilangan karirku.” Gita mendengus kesal. Ia jadi ikut pusing memikirkan rumah tangga Lana. Ingin rasanya, ia memisahkan Lana dan suaminya secara paksa. Namun sayangnya, ia tidak memiliki hak apa- apa. “Aku tidak tahu, rahasia apa yang kalian sembunyikan. Tapi bukankah lebih baik kalian berpisah, dar
“Sialan kau, Arthur! Waktu itu kau bilang, kalau kau sudah tidak menyukainya. Dan sekarang kau bilang, kalau kau masih mencintainya. Apa maumu, sialan!” geram Sarah. “Dasar aneh! Memang salah, kalau aku masih mencintai istriku?” “Jelas salah! Kau milikku sekarang!” “Jangan asal meng-klaim sesuatu yang belum tentu menjadi milikmu.” “Apa salahnya? Aku akan menjadi istrimu sebentar lagi.” “Jangan terlalu berharap. Bisa jadi Lana tidak menyetujui pernikahan kita.” “Ck. Kenapa kau jadi begini? Baru kemarin kau bilang, kalau kau akan menceraikan Lana dan menikahiku. Dan sekarang kau malah berkata seperti ini. Apa kau sudah gila? Kalau tidak berniat menikahiku, jangan menghamiliku bodoh!” “Memang siapa yang ingin kau hamil? Dari awal sudah kuingatkan untuk minum obat pencegah hamil, tapi kau selalu mengabaikanku.” “Oh, jadi kau tidak menginginkan bayi ini?” tanya Sarah, sembari mengangguk-anggukkan kepalanya. “Oke kalau begitu, batalkan saja pernikahan kita. Aku akan membesarkan bayi