BAB 76
___Kikan berdecak mendengar ucapan mamanya, mana mungkin ia pergi ke tempat Mbah Jono dukun mesum itu, membayangkan tubuhnya disentuh dengan tangan keriput lelaki itu saja membuatnya bergidik ngeri."Udahlah, Ma, aku enggak mau berurusan sama dukun-dukunan dulu. Bawa perut besarku ini aja rasanya susah sekali," gerutunya."Salahmu sendiri, harusnya kamu jangan hamil dulu kemarin!" ketus Lia.Lia tak berharap memiliki cucu, karena ia enggan mengemong cucu nantinya. Ia tak bisa bebas jika nanti Kikan menitipkan anaknya."Berisik ah, Ma. Bukannya bantuin anak, malah mojokin terus, selama ini aku bantuin Mama tanpa diminta, tapi begini balasannya!" sungut Kikan seraya beranjak ke dapur.Wanita yang tengah berbadan dua itu, menyeduh mie instan untuk sarapannya, Rangga membatasi uang belanjanya, bahkan lelaki itu tak mempercayai dirinya memegang uang gaji."Kamu makan mie terus ya, Kan?" tanya Lia, ketika melihBAB 77__"Kalau saya mau kamu menderita, mungkin kamu sudah saya biarkan jadi gelandangan, Hanif!" Rima tertegun ketika ibunya menyebut dirinya 'saya' pada abangnya, sorot mata sang ibu terlihat sangat terluka. Dia juga heran dengan abangnya yang semakin kasar dan gemar sekali membantah ucapan orang tua. "Halah, kalau Ibu tak mau aku menderita, seharusnya Ibu memberiku modal untuk usaha. Supaya aku bisa sukses seperti Vania!" cecar Hanif, seraya menunjuk wajah sang ibu. Sang adik yang melihat ibunya diperlakukan kasar oleh abangnya, menjadi muntab. "Abang!" bentaknya. "Kamu enggak usah ikut campur, Rim!" ketus Hanif. "Jangan jadi lelaki pengecut yang hanya berani dengan orang tua, Bang!" bentak Rima. Mendengar ucapan adiknya, emosi Hanif tersulut. "Apa maksudmu, hah? Kamu takut aku menguasai warisan Ibu, iya?" sinisnya. Rima benar-benar tak habis pikir dengan abangnya, bahkan ibu
BAB 78__"Ini uang buat pegangan kamu, ingat jangan sampai Rangga tahu rahasia kita!" ucap Lia, seraya memberikan uang pegangan kepada putrinya. Selama menginap di rumah menantunya, ia menerima beberapa pelanggan untuk menambah uang pegangannya. Terlebih Hanif tak memberinya nafkah, kebutuhan hidupnya semakin banyak."Mama kapan ke sini lagi?" tanya Kikan. "Lusa Mama ke sini lagi, kabarin Mama kalau kontraksinya semakin kuat!" pesan Lia sebelum pergi dari rumah Kikan.Sebenarnya ia masih betah bersama anaknya, tapi ia tak mau berlama-lama meninggalkan suaminya. Terlebih misinya belum berjalan sesuai rencana, maka ia harus menuntaskannya sebelum menemani anaknya melahirkan.Sesampainya di rumah, dilihatnya sang suami yang tengah memanaskan mesin kendaraannya. "Sudah melahirkan Kikan, Yang?" tanya Hanif.Lia menggeleng, "belum, makanya aku bisa pulang." Hanif tersenyum senang, tentu saja ia bahag
BAB 79 "Coba kamu bukakan, Di. Mana takut." Aldi paham persis bagaimana trauma yang Vania rasakan, untuk itu ia membawa paket itu ke belakang dan membukanya di sana. Ia terkejut bukan main saat isinya adalah sepatu yang begitu cantik. Ada dua heels dan satu sepatu pria. "Bagaimana, Nak?" tanya Vania yang menghampiri Aldi, begitupun dengan Anna yang juga takut. "Ma, ini dari siapa?" "Ya mana Mama tahu, Nak. Emang kenapa? Apa isinya?" Aldi menenteng dua heels yang telah ia keluarkan dari kardusnya, dan juga sepatu pria. "Mama yakin, nggak beli sendiri?" tanya Aldi. Vania menggeleng, ia sama sekali tak membeli apapun. Begitu pun dengan Anna, apalagi gadis itu tak suka memakai heels meski hak-nya pendek. "Apa, Papa?" Tebak Anna, yang kemungkinannya sangat kecil. "Nggak usah ngimpi dapat ini dari Papa. Buat makan aja susah," ucap Aldi sewot. "Di, nggak boleh gitu. Biar bagaimana pun, dia papamu." Aldi nyengir kuda mendengar ucapan Vania. Ya, ia akui salah. Tapi itu semua tak le
BAB 80___"Jadi, paketnya dari kamu Mas?" tanya Vania pada lelaki di hadapannya. Ibra mengangguk, "kamu sama anak-anak suka, kan?" "Suka sih, Mas, tapi apa enggak berlebihan?" lirih Vania. Ibra terkekeh, "enggak kok." Lelaki itu paham sekali sifat Vania, jika kemarin ia mengatakan akan memberi hadiah pasti Vania akan menolaknya. Itu sebabnya, ia mengirim diam-diam sebagai kejutan. Melihat wajah bahagia sang pujaan hati, membuat perut Ibra terasa dipenuhi kupu-kupu. "Anak-anak mana?" tanya Ibra mengalihkan pembicaraan. "Aldi sama Anna lagi ke minimarket, bentar lagi juga balik." "Oh iya, Van. Boleh enggak, nanti aku bawa anak-anakku buat kenalan sama kamu?" tanya Ibra.Vania menatap Ibra, ia melihat keseriusan di mata lelaki itu. Ia mengangguk, menyetujui permintaan Ibra. Lagipula, tak ada salahnya memberi kesempatan pada lelaki di hadapannya ini untuk pendekatan. "Van, apa kamu sudah siap jika nanti membangun rumah tangga lagi?" tanya Ibra. "Aku enggak tahu, Mas. Jujur aja,
BAB 81___"Jadi, kamu sudah dapat sertifikatnya, Mas?" ucap Lia sumringah. Wanita itu baru saja sampai rumah, bahkan Lia rela merogoh koceknya untuk membeli pakaian baru untuk mengelabui suaminya. Sementara baju seksinya, ia lempar ke garasi rumah Kikan sebelum masuk ke dalam rumah. "Iya sudah, tinggal nunggu kabar dari Hilman aja." Lia tersenyum sumringah, rencananya berhasil. "Kalau Hilman enggak mau, nanti aku bantu jualkan ya, Mas." Hanif mengangguk, "iya, Yang. Semoga aja cepat laku, supaya kita cepat buka usaha." Wanita itu tersenyum penuh arti menatap suaminya, "iya Mas, nanti uangnya biar aku yang pegang ya, Mas. Takut si Rima minta nanti, kalau dia tahu tanahnya sudah laku." Lagi, lagi, Hanif hanya mengangguk menuruti keinginan sang istri. Ia tak kuasa menolak keinginan Lia, meskipun terkadang hatinya merasa tindakannya ini salah, tapi jika istrinya sudah memerintah ia tak bisa menolak. "Kita nginap di sini aja dulu ya,
BAB 82 "Kenapa, Ma?" tanya Anna. "Oma masuk rumah sakit, Nak." Anna dan Aldi saling pandang, meski mereka benci pada Hanif, tapi Wiyani berjasa besar pada kehidupan mereka. "Mama mau ke sana?" tanya Anna. "Iya, kalian di rumah, ya?" "Loh, nggak mau, Mah. Mbak Inah kan lagi mudik." Akhirnya Vania mengajak anak-anaknya serta. Aldi mengambil alih kemudi karena melihat tangan Vania yang tremor. Ia sudah paham betul dengan ibunya yang sering merasa panik jika mendengar sesuatu. Sampai di sana, Rima sudah menunggu dan membawa Vania menuju ruangan Wiyani. Vania begitu sedih melihat keadaan mantan mertuanya yang dulu berisi, kini malah kurus seolah tak terurus. "Ibu kenapa, Rim? Kok jadi begini?" "Ini semua gara-gara Bang Hanif, Kak." "Bikin ulah apa lagi Mas Hanif?" tanya Vania. Ia tak habis pikir dengan mantan suaminya itu. Seharusnya ia membantu orang tua, bukan malah membuat orang tua menjadi sakit dan pusing karena tingkahnya. "Bang Hanif ambil sertifikat tanah Ibu. Kemarin
BAB 83 Aldi pun terkejut melihat Haikal, begitu pula dengan Haikal. Anak lelaki yang masih menyimpan rasa pada Anna itu hanya bisa terdiam. "Jen, kalian saling kenal?" tanya Ibra. "Jen?" "Ah, mungkin kamu kenal nama panggilannya di luar sana, ya? Kenalin, dia anak saya yang pertama. Jeno, atau Haikal."Mata Vania membeliak saat mendengar nama Haikal disebut. Ia menoleh pada Anna, dan anak perempuannya itu mengangguk. Sewaktu Haikal ke rumah Anna memang Vania tengah di rumah sakit. Pun dengan nomornya yang tak ada foto profilnya kala ia melihat Haikal mengirim pesan pada Anna sewaktu pulang dalam keadaan mabuk. "Jadi, Papa mau nikahin mamanya Anna?" tanya Haikal sambil duduk di sebelah Sela. "Iya, Nak. Kalian saling kenal?" tanya Ibra. "Satu kampus, kenal selewatan doang." Anna menatap tak percaya pada Haikal. Yah, memang apa yang diharapkan oleh Anna? Masa iya, Haikal mau bilang ke papanya kalau dia ini mantan kekasihnya? "Wah, kebetulan, dong. Nanti kalau sudah jadi saudara,
BAB 84__Hanif memantapkan langkahnya untuk menemui anak-anak, berusaha tak terusik dengan kehadiran kekasih mantan istrinya. Meskipun sejak tadi, hatinya berdenyut nyeri. "Assalamualaikum."Vania dan Ibra yang tengah mengobrol menatap ke arah suara. "Wa'alaikumussalam, dari tadi Mas?" tanya Vania kikuk, pasalnya sejak tadi ia dan Ibra sibuk berdebat masalah anak-anak mereka."Baru sampai, anak-anak mana?" tanya Hanif dengan wajah datar.Lelaki itu berusaha menahan rasa cemburunya, ia ingin terlihat baik-baik saja meskipun hatinya tercabik-cabik. Terlebih melihat tatapan lelaki yang bersama istrinya itu begitu memuja. "Sebentar aku panggilkan," ucap Vania seraya beranjak dari duduknya. Vania memanggil Aldi yang tengah mengerjakan tugas di kamar, sementara Anna sedang tidur. Ia tak tega jika harus membangunkan putrinya yang sedang istirahat. "Nak temui Papamu dulu, di depan!" Aldi mengernyit, "ngapain dia ke sini, lagi?" "Papa, Nak, bukan 'dia'." Anak sulungnya itu menghela na
BAB 117 | ENDING __"Masakanmu enak juga, Na!" celetuk Haikal. Anna mendengkus pelan, "heh, kamu pikir makanan yang kita makan di rumah Mama itu masakan Mama? Itu masakanku, bodoh!" Lelaki jangkung itu tergelak, "kamu kenapa suka banget sih ngomong kasar, padahal anak-anak di kelasku pada bilang kamu tuh positif vibes, lemah lembut." Mendengar ucapan mantannya itu membuat Anna memberengut kesal. "Yang tahu-tahu aja lah, lagian aku enggak peduli sama penilaian orang." "Iya juga sih, makanya kamu mau aja nerima aku yang brengsek ini. Padahal aku terkenal bad boy," sahut Haikal, mengenang saat pertama kali ia kenal dengan Anna. Gadis berambut panjang itu terkekeh, "jujur sih, aku cuma penasaran aja pacaran sama bad boy." Haikal mendelik, "jadi semua kata rindu dan cintamu itu dusta?" Mereka saling tatap, lagi jantung Anna berdebar ketika bersitatap dengan pemilik iris mata cokelat itu. "Iya, dusta." Anna memalingkan wajahnya. Haikal terkekeh, ia tahu gadis di hadapannya itu ha
BAB 116___Anna bergeming mendengar kata rindu yang keluar dari bibir mantan kekasihnya, seandainya saat ini status mereka bukan saudara tiri, mungkin ia akan memeluk Haikal menumpahkan kerinduan yang menumpuk di hatinya. Tapi, ia harus mengubur rasa cinta dan rindu di hatinya. Rasanya tak etis, jika diantara mereka memiliki hubungan lebih dari saudara. "Waras kan, lu?" ketus Anna, seraya membuang wajah. Ia tak mau berlama-lama menatap wajah Haikal, pertahanannya bisa goyah. Haikal menyentak napas kasar, ia mengacak rambutnya frustasi. Ia benar-benar stres karena tak lagi bisa memiliki Anna, ia juga masih memiliki rasa pada mantan kekasihnya. Meskipun ia sudah berkali-kali mencari pengganti Anna, tapi tak ada yang bisa menggantikan wanita itu di hatinya. Hanya dengan Anna, ia merasakan ketulusan. "Lu mau balapan, ya?" tanya Anna to the point. "Tahu dari mana?" "Dari Tere." Haikal mendengkus pelan, "kalau iya kenapa?" "Kamu enggak kasihan sama Mama Papa?" tanya Anna. Lelaki
BAB 115__Vania terkejut ketika melihat anak bungsunya tergeletak di depan pintu kamar mandi. "Mas tolong!" teriak Vania, seraya menghampiri putrinya. Aldi dan Ibra yang masih berada di rumah, bergegas menghampiri Vania. Darah mengalir dari hidung Sela, membuat mereka semakin panik. "Kita ke rumah sakit aja, Ma!" ucap Ibra.Ibra mengangkat tubuh putrinya, sementara Aldi bergegas menyiapkan mobil. Dengan terburu-buru mereka pergi ke rumah sakit, bahkan tak sempat mengunci pintu. Tubuh Sela sangat panas, ada ruam merah di bagian lengan dan betis Sela. Sepanjang jalan, Aldi berusaha fokus, terlebih jalanan ibu kota di pagi hari sangatlah padat.Setelah menempuh perjalanan duapuluh menit, mereka sampai di lobby Instalasi Gawat Darurat. Mereka disambut oleh perawat dan dokter yang berjaga di bagian IGD. Ibra benar-benar cemas dengan kondisi anaknya, ia merasa bersalah karena tak punya banyak waktu untuk sang anak. Terlebih Sela jarang menghubunginya, putrinya bahkan tak pernah mereng
BAB 114Sela memeluk Anna, ia mencurahkan kesedihan dan juga kesepian yang ia alami. "Tapi, semenjak aku tinggal di sini, aku tak lagi merasakan kesepian seperti ketika aku tinggal di rumah mama. Meskipun Papa masih sering keluar kota, tapi ada mama Vania yang setia menemaniku.""Lah itu, kita hanya perlu mengambil Sisi baiknya dan membuang Sisi buruknya dari semua kejadian yang kita alami. Sekarang kamu tidak sendirian, ada aku dan Bang Aldi serta Mama."Sela mengangguk, ia sadar selama ini telah salah karena menganggap Kakak tirinya itu sebagai saingan. Padahal mereka telah bersikap baik kepada dirinya, tapi Sela terlalu serakah. Menginginkan hal yang lebih dari apa yang ia terima. --Rima membuatkan Abangnya kopi, semalam waktu hari sampai rumah, Ia sibuk dengan Mira yang tengah sakit. "Gimana, Bang? Ketemu?" "Ada, Rim. Tapi pas sampai sana aku kaget banget ngelihat dia sudah tergeletak.""Apa? Maksudnya dibunuh?" tanya Rima."Aku nggak tahu, tapi mungkin nanti pemilik rumah ak
BAB 113Hanif dan orang-orang melihat Lia yang tergeletak di lantai. Darah merembes ke lantai hingga sampai ke bagian tubuh Lia."Astagfirullah!"Hanif bersama pemilik rumah mengangkat tubuh dia dan memindahkannya ke tempat yang lebih bersih. Pemilik rumah memeriksa denyut nadi wanita yang tengah Hamil 3 Bulan itu."Masih ada nadinya, sebaiknya kita segera bawa ke rumah sakit.""Iya, Pak."Pemilik rumah membawa mobilnya yang berupa angkot, lalu Hanif menyetirnya. Sementara Lia di belakang bersama istri pemilik rumah.Aldi, Anna, dan Teresa segera naik ke mobil Hanif. Mereka mengikuti dari belakang hingga akhirnya sampai di rumah sakit umum yang tak jauh dari kontrakan Lia."Aku takut banget, Bang. Kita kan ke sini cuma mau menemui tante Lia, kenapa malah jadi adegan trailer begini.""Sudah, Nggak papa, An. Kita mana tahu kalau kejadiannya bakal begini."Anna dan Teresa mengangguk, Mereka pun menunggu di kantin rumah sakit bersama dengan Aldi.Tak lama kemudian, Hanif datang dan mengab
BAB 112Malam harinya, Anna pulang ke rumah Vania untuk izin besok menemani ayahnya ke luar kota. Aldi yang mendengarnya menentang keras keinginan Anna. "Kita nggak tahu, perempuan itu di luar sana dilindungi oleh siapa. Bagaimana kalau kalian datang ke sana dan banyak preman? Papa itu nggak jago kelahi, kalau nanti kamu dan Tere diapa-apain bagaimana?""Betul itu, Nak. Mama juga khawatir kalau kamu ikut pergi Papa keluar kota, Papa Ibra pun pasti tak akan mengizinkan. Kamu ini anak perempuan, Kenapa papamu tak mengajak abang sekalian?" Anna mengangguk, Ia pun menghubungi Hanif dan mengabarkan jika Vania tak mengizinkan apabila Aldi tak diajak serta. "Papa tak mau mengajak, tapi kamu tahu sendiri bagaimana keras kepalanya Abangmu."" Coba papa ngomong sendiri sama Abang, barangkali dia mau. Apalagi tadi yang paling menentang itu dia daripada Mama." Hanif merenungkan ucapan Anna sewaktu menelepon tadi, Ia pun mencari kontak Aldi dan menghubunginya. Sayangnya, telepon itu tak kunjun
BAB 111__Anna menyadari perubahan ekspresi pada adik tirinya, ia cukup peka dengan suasana hati orang sekitarnya. Terlebih adik tirinya itu, tak bisa menyembunyikan wajah tak sukanya. "Kalian sudah makan siang?" tanya Vania."Sudah kok, Ma. Oh iya, Ma, kami masih ada yang mau dicari, kayaknya enggak bisa lama-lama di sini, Anna duluan ya!" ucap Anna seraya memberi kode pada Tere untuk beranjak. Anna mencium punggung tangan Vania. "Have fun ya sama Mama." Ia menepuk adik tirinya. Sebagai kakak, ia tak ingin egois. Terlebih ia tahu, Sela kekurangan kasih sayang dari mama kandungannya, kali ini ia memberi kesempatan pada mama dan adik tirinya untuk pendekatan. Teresa menatap sahabatnya kebingungan, "ada sesuatu ya diantara lu sama adik tiri lu?" Yang ditanya mengendikkan bahu, "gue cuma memberi ruang untuk mereka, gue sudah banyak mendapatkan kasih sayang berlimpah dari Mama, berbeda dengan Sela." "Tumben pemikiran lu dewasa, padahal waktu masalah bokap lu, udah kek reog!" cele
BAB 110Anna dan Haikal sudah kembali ke kost-annya, rumah terasa sepi lagi karena Anna lah yang begitu banyak bicara. "Ma, Aldi kuliah dulu, ya?""Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa, hubungi Mama."Aldi mengangguk, lalu keluar melewati Sela yagng tengah duduk di ruang tamu. Dalam hati ela semakin iri dengan anak-anak Vania, karena ia tak pernah bermanja dan juga diperhatikan opleh ibu kandungnya sendiri. Vania melanjutkan pekerjaan, setelah Mbak Inah memutuskan untuk berhenti kerja karena akan menikah, Vania merasa tenang-tenang saja karena semua ada yang menghandlenya. Namun sekarang, ia sendiri kewalahan mengatur jam kerja dan juga jam bebenah rumah. Sela memperhatikan Vania yang tengah menyapu, ingin rasanya ia menawarkan bantuan, ttapi ia sendiri malu. Vania pun bukan perempuan yang tidak peka, ioa sebenarnya tahu jika Sela sedari tadi memperhatikannya. "Sela, bisa bantu Mama ngepel, Nak? Mama mau mandi dulu." "Iya, Ma." Sela yang memang sedang libur sekolah ka
BAB 109__"Mama, Anna kangen!" pekik Anna ketika sampai di rumah. Anak gadis Vania itu memeluk sang mama dari belakang, Vania terkekeh dibuatnya. Ia juga merindukan sang putri, terlebih ini pertama kalinya mereka hidup terpisah dalam waktu lama. "Mama juga kangen, Sayang!" ucap Vania, seraya membalik tubuhnya. Ibu dan anak itu saling menumpahkan rindu, karena sudah lama ia tak pulang sejak tugas-tugas kuliahnya yang semakin banyak. Bahkan untuk membalas pesan mamanya pun, ia mencuri-curi waktu. "Gimana kuliahnya, lancar?'' tanya Vania. Anna mengangguk, "meskipun kepala hampir pecah, tapi aku bisa melaluinya." "Hebatnya anak Mama!" Anna membantu sang mama membersihkan sayuran, malam ini rencananya mereka akan makan bersama. "Sela mana, Ma? Kok aku enggak ada lihat dia dari tadi?" tanya Anna. "Di kamar sih tadi, dia juga lagi sibuk-sibuknya ngerjakan tugas sekolah." "Oh, gitu. Sela baik kan, sama Mama?" tanya Anna lagi. Vania mengangguk, wanita itu terdiam sejenak. Ia menghe