BAB 82 "Kenapa, Ma?" tanya Anna. "Oma masuk rumah sakit, Nak." Anna dan Aldi saling pandang, meski mereka benci pada Hanif, tapi Wiyani berjasa besar pada kehidupan mereka. "Mama mau ke sana?" tanya Anna. "Iya, kalian di rumah, ya?" "Loh, nggak mau, Mah. Mbak Inah kan lagi mudik." Akhirnya Vania mengajak anak-anaknya serta. Aldi mengambil alih kemudi karena melihat tangan Vania yang tremor. Ia sudah paham betul dengan ibunya yang sering merasa panik jika mendengar sesuatu. Sampai di sana, Rima sudah menunggu dan membawa Vania menuju ruangan Wiyani. Vania begitu sedih melihat keadaan mantan mertuanya yang dulu berisi, kini malah kurus seolah tak terurus. "Ibu kenapa, Rim? Kok jadi begini?" "Ini semua gara-gara Bang Hanif, Kak." "Bikin ulah apa lagi Mas Hanif?" tanya Vania. Ia tak habis pikir dengan mantan suaminya itu. Seharusnya ia membantu orang tua, bukan malah membuat orang tua menjadi sakit dan pusing karena tingkahnya. "Bang Hanif ambil sertifikat tanah Ibu. Kemarin
BAB 83 Aldi pun terkejut melihat Haikal, begitu pula dengan Haikal. Anak lelaki yang masih menyimpan rasa pada Anna itu hanya bisa terdiam. "Jen, kalian saling kenal?" tanya Ibra. "Jen?" "Ah, mungkin kamu kenal nama panggilannya di luar sana, ya? Kenalin, dia anak saya yang pertama. Jeno, atau Haikal."Mata Vania membeliak saat mendengar nama Haikal disebut. Ia menoleh pada Anna, dan anak perempuannya itu mengangguk. Sewaktu Haikal ke rumah Anna memang Vania tengah di rumah sakit. Pun dengan nomornya yang tak ada foto profilnya kala ia melihat Haikal mengirim pesan pada Anna sewaktu pulang dalam keadaan mabuk. "Jadi, Papa mau nikahin mamanya Anna?" tanya Haikal sambil duduk di sebelah Sela. "Iya, Nak. Kalian saling kenal?" tanya Ibra. "Satu kampus, kenal selewatan doang." Anna menatap tak percaya pada Haikal. Yah, memang apa yang diharapkan oleh Anna? Masa iya, Haikal mau bilang ke papanya kalau dia ini mantan kekasihnya? "Wah, kebetulan, dong. Nanti kalau sudah jadi saudara,
BAB 84__Hanif memantapkan langkahnya untuk menemui anak-anak, berusaha tak terusik dengan kehadiran kekasih mantan istrinya. Meskipun sejak tadi, hatinya berdenyut nyeri. "Assalamualaikum."Vania dan Ibra yang tengah mengobrol menatap ke arah suara. "Wa'alaikumussalam, dari tadi Mas?" tanya Vania kikuk, pasalnya sejak tadi ia dan Ibra sibuk berdebat masalah anak-anak mereka."Baru sampai, anak-anak mana?" tanya Hanif dengan wajah datar.Lelaki itu berusaha menahan rasa cemburunya, ia ingin terlihat baik-baik saja meskipun hatinya tercabik-cabik. Terlebih melihat tatapan lelaki yang bersama istrinya itu begitu memuja. "Sebentar aku panggilkan," ucap Vania seraya beranjak dari duduknya. Vania memanggil Aldi yang tengah mengerjakan tugas di kamar, sementara Anna sedang tidur. Ia tak tega jika harus membangunkan putrinya yang sedang istirahat. "Nak temui Papamu dulu, di depan!" Aldi mengernyit, "ngapain dia ke sini, lagi?" "Papa, Nak, bukan 'dia'." Anak sulungnya itu menghela na
BAB 85 __"Tumben kamu ke kamar Abang?" celetuk Aldi. Anna mengendikkan bahunya, seraya merebahkan tubuhnya di kasur kembarannya. Ia melirik abangnya yang tampak murung, di ruang makan juga mamanya terlihat kebingungan. "Abang enggak kasihan sama Mama?" tanyanya. "Maksudmu?" tanya Aldi balik. "Mama kayaknya galau karena Abang larang nikah sama Om Ibra," sahut Anna. Aldi menyentak napas kasar, ia melirik adiknya yang tampak biasa saja setelah mengetahui bahwa anak pertama Om Ibra adalah Haikal."Kamu enggak risih saudaraan sama, mantan?" tanyanya. "Enggak, biasa aja. Lagian kalaupun Mama sama Om Ibra menikah, belum tentu nanti si Haikal serumah sama kita, dia kan, masih punya Mama kandung juga.""Abang bingung." "Takut aku salah pergaulan lagi?""Iya lah, kamu kan orangnya plin plan. Sekarang A tahu-tahu besok berubah jadi, Z!" sungut Aldi. Aldi melirik adiknya, "buktinya sekarang, kemarin bilangnya enggak setuju tahu-tahu sekarang setuju Mama nikah sama Om Ibra!" Anna mengul
BAB 86"Rim, bikinkan aku kopi," ucap Hanif saat melihat Irma yang tengah membuat teh. "Bikin aja sendiri. Punya tangan buat apa?" "Kamu ini, makin hari kok makin kurang ajar sama aku, sih?" "Ya kenapa? Kamu bukan abangku. Abangku bukan pencuri." Setelah mengatakannya, Rima pergi ke kamar ibunya. Kondisi Wiyani sudah membaik. Kini ia malah sudah bisa diajak ngobrol. "Abangmu ada, Rim?" "Ada. Sudah lah, Bu, nggak usah bahas dia. Bikin darah tinggi aja."Wiyani menggelengkan kepalanya. Ia mengerti rasa sakit hati anak perempuannya itu. Terlebih karena memikirkan Hanif, dirinya harus masuk ke rumah sakit. "Ibu cuma sedih melihat abangmu malah jadi salah arah begitu, Rim. Dia satu-satunya orang yang akan menjadi tempatmu bersandar saat Ibu sudah berpulang nanti.""Ibu kalau ngomong yang bener napa, Bu? Kenapa selalu ngomongnya gitu, sih? Ibu sudah
BAB 87"Aldi! Terserah, ya! Gue dah nurunin harga diri buat ngomong gini sama lu. Jangan kelewatan, Di. Yang ada nyokap lu ga bahagia hidupnya kalau lu egois begini. Lu terlalu takut pada sesuatu yang bahkan udah gue jamin nggak bakal terjadi itu," ucap Haikal sambil beranjak pergi. Aldi terdiam mendengar ucapan Haikal. Sudut hatinya membenarkan, namun sisi hati yang lain berusaha menampik. Ah, kenapa ka menjadi egois sekali? "Jeno! Jen!" teriak Ibra. Namun, anak sulungnya itu tak mau berbalik dan terus melangkan meninggalkan cafe. "Kalau begitu, Om pamit dulu, Di. Ini, tolong kasih ke Mamamu. Katanya tadi sakit lagi, Om mau ke sana tapi nggak enak sama kalian. Semoga Mamamu cepat sembuh, ya." Aldi masih mematung. Memang apa yang ia harapkan lagi? Di saat Vania sudah mendapatkan orang yang benar-benar mencintainya? "Om, apa benar Om mencintai Mama?" tanya Aldi saat Ibra sudah menjauh untuk mengejar Haikal
BAB 88__Hanif mematung, ia menatap adiknya tak percaya. "Butuh bukti?" tanya Rima datar. "Ya iyalah, mana mungkin Ibu memberikan rumah ini untukmu, sudah jelas warisan anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan!" sengit Hanif. Ia tak terima jika rumah mewah ini beralih menjadi milik adiknya, jelas ia ingin menguasai semua harta ibunya. "Kurasa di otakmu itu hanya ada 'harta' ya, Bang. Bahkan, kondisi Ibu belum pulih sepenuhnya, Abang malah mau mabuk-mabukan di rumah!" ketus Rima seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Hanif mendengkus, "halah, munafik kamu itu, Rim. Aku tahu, kamu juga pasti pingin hartanya Ibu, kan?" Rima geleng-geleng kepala, entah ke mana wibawa yang ada dalam diri abangnya, yang ia lihat sekarang abangnya begitu serampangan. "Hentikan semua ini, atau kubuat kalian semua angkat kaki dari rumah ini dengan cara lain?" ancam Rima. "Bulshit!" sahut Hanif. "Udah Bro, lanjut aja! Enggak usah dengarin omongan orang gila, ini rumahku, kita bebas berp
BAB 89 "Hentikan pesta mirasnya! Kalian semua sungguh tak beradab!" ucap Tio, Pak RT di tempat Hanif. Hanif dan yang lain baru minum beberapa gelas, sehingga masih sadar dan gelagapan. Terlebih, banyak warga yang ternyat ikut dalam penggerebekan pesta miras yang dilakukannya. Hanif melirik ke arah Rima, adiknya itu hanya tersenyum sinis dari dalam kamarnya yang bisa dilihat dari luar. "Kami hanya minum sedikit, Pak. Tak ada pesta miras," elak Hanif. Tio tak mempercayainya dan langsung masuk ke dalam rumah, ia mendapati sepuluh botol minuman yang baru terbuka dua botol. "Astaghfirullah! Jangan mencemari lingkungan kita dengan hal beginian dong, Pak! Mencoreng nama baik kampung kita namanya," ucap Tio. "Saya minum di rumah saya sendiri, bukan di rumah Bapak. Jadi berhenti ikut campur!" Hanif tak bisa menahan emosinya. "Tetap saja, Pak. Apalagi di rumah ini ada Bu Wiyani yang sakit dan merasa terganggu," ucap Tio. "Alah Pak Tio kalau mau ikut mah bilang aja, nggak usah bawa nenek
BAB 117 | ENDING __"Masakanmu enak juga, Na!" celetuk Haikal. Anna mendengkus pelan, "heh, kamu pikir makanan yang kita makan di rumah Mama itu masakan Mama? Itu masakanku, bodoh!" Lelaki jangkung itu tergelak, "kamu kenapa suka banget sih ngomong kasar, padahal anak-anak di kelasku pada bilang kamu tuh positif vibes, lemah lembut." Mendengar ucapan mantannya itu membuat Anna memberengut kesal. "Yang tahu-tahu aja lah, lagian aku enggak peduli sama penilaian orang." "Iya juga sih, makanya kamu mau aja nerima aku yang brengsek ini. Padahal aku terkenal bad boy," sahut Haikal, mengenang saat pertama kali ia kenal dengan Anna. Gadis berambut panjang itu terkekeh, "jujur sih, aku cuma penasaran aja pacaran sama bad boy." Haikal mendelik, "jadi semua kata rindu dan cintamu itu dusta?" Mereka saling tatap, lagi jantung Anna berdebar ketika bersitatap dengan pemilik iris mata cokelat itu. "Iya, dusta." Anna memalingkan wajahnya. Haikal terkekeh, ia tahu gadis di hadapannya itu ha
BAB 116___Anna bergeming mendengar kata rindu yang keluar dari bibir mantan kekasihnya, seandainya saat ini status mereka bukan saudara tiri, mungkin ia akan memeluk Haikal menumpahkan kerinduan yang menumpuk di hatinya. Tapi, ia harus mengubur rasa cinta dan rindu di hatinya. Rasanya tak etis, jika diantara mereka memiliki hubungan lebih dari saudara. "Waras kan, lu?" ketus Anna, seraya membuang wajah. Ia tak mau berlama-lama menatap wajah Haikal, pertahanannya bisa goyah. Haikal menyentak napas kasar, ia mengacak rambutnya frustasi. Ia benar-benar stres karena tak lagi bisa memiliki Anna, ia juga masih memiliki rasa pada mantan kekasihnya. Meskipun ia sudah berkali-kali mencari pengganti Anna, tapi tak ada yang bisa menggantikan wanita itu di hatinya. Hanya dengan Anna, ia merasakan ketulusan. "Lu mau balapan, ya?" tanya Anna to the point. "Tahu dari mana?" "Dari Tere." Haikal mendengkus pelan, "kalau iya kenapa?" "Kamu enggak kasihan sama Mama Papa?" tanya Anna. Lelaki
BAB 115__Vania terkejut ketika melihat anak bungsunya tergeletak di depan pintu kamar mandi. "Mas tolong!" teriak Vania, seraya menghampiri putrinya. Aldi dan Ibra yang masih berada di rumah, bergegas menghampiri Vania. Darah mengalir dari hidung Sela, membuat mereka semakin panik. "Kita ke rumah sakit aja, Ma!" ucap Ibra.Ibra mengangkat tubuh putrinya, sementara Aldi bergegas menyiapkan mobil. Dengan terburu-buru mereka pergi ke rumah sakit, bahkan tak sempat mengunci pintu. Tubuh Sela sangat panas, ada ruam merah di bagian lengan dan betis Sela. Sepanjang jalan, Aldi berusaha fokus, terlebih jalanan ibu kota di pagi hari sangatlah padat.Setelah menempuh perjalanan duapuluh menit, mereka sampai di lobby Instalasi Gawat Darurat. Mereka disambut oleh perawat dan dokter yang berjaga di bagian IGD. Ibra benar-benar cemas dengan kondisi anaknya, ia merasa bersalah karena tak punya banyak waktu untuk sang anak. Terlebih Sela jarang menghubunginya, putrinya bahkan tak pernah mereng
BAB 114Sela memeluk Anna, ia mencurahkan kesedihan dan juga kesepian yang ia alami. "Tapi, semenjak aku tinggal di sini, aku tak lagi merasakan kesepian seperti ketika aku tinggal di rumah mama. Meskipun Papa masih sering keluar kota, tapi ada mama Vania yang setia menemaniku.""Lah itu, kita hanya perlu mengambil Sisi baiknya dan membuang Sisi buruknya dari semua kejadian yang kita alami. Sekarang kamu tidak sendirian, ada aku dan Bang Aldi serta Mama."Sela mengangguk, ia sadar selama ini telah salah karena menganggap Kakak tirinya itu sebagai saingan. Padahal mereka telah bersikap baik kepada dirinya, tapi Sela terlalu serakah. Menginginkan hal yang lebih dari apa yang ia terima. --Rima membuatkan Abangnya kopi, semalam waktu hari sampai rumah, Ia sibuk dengan Mira yang tengah sakit. "Gimana, Bang? Ketemu?" "Ada, Rim. Tapi pas sampai sana aku kaget banget ngelihat dia sudah tergeletak.""Apa? Maksudnya dibunuh?" tanya Rima."Aku nggak tahu, tapi mungkin nanti pemilik rumah ak
BAB 113Hanif dan orang-orang melihat Lia yang tergeletak di lantai. Darah merembes ke lantai hingga sampai ke bagian tubuh Lia."Astagfirullah!"Hanif bersama pemilik rumah mengangkat tubuh dia dan memindahkannya ke tempat yang lebih bersih. Pemilik rumah memeriksa denyut nadi wanita yang tengah Hamil 3 Bulan itu."Masih ada nadinya, sebaiknya kita segera bawa ke rumah sakit.""Iya, Pak."Pemilik rumah membawa mobilnya yang berupa angkot, lalu Hanif menyetirnya. Sementara Lia di belakang bersama istri pemilik rumah.Aldi, Anna, dan Teresa segera naik ke mobil Hanif. Mereka mengikuti dari belakang hingga akhirnya sampai di rumah sakit umum yang tak jauh dari kontrakan Lia."Aku takut banget, Bang. Kita kan ke sini cuma mau menemui tante Lia, kenapa malah jadi adegan trailer begini.""Sudah, Nggak papa, An. Kita mana tahu kalau kejadiannya bakal begini."Anna dan Teresa mengangguk, Mereka pun menunggu di kantin rumah sakit bersama dengan Aldi.Tak lama kemudian, Hanif datang dan mengab
BAB 112Malam harinya, Anna pulang ke rumah Vania untuk izin besok menemani ayahnya ke luar kota. Aldi yang mendengarnya menentang keras keinginan Anna. "Kita nggak tahu, perempuan itu di luar sana dilindungi oleh siapa. Bagaimana kalau kalian datang ke sana dan banyak preman? Papa itu nggak jago kelahi, kalau nanti kamu dan Tere diapa-apain bagaimana?""Betul itu, Nak. Mama juga khawatir kalau kamu ikut pergi Papa keluar kota, Papa Ibra pun pasti tak akan mengizinkan. Kamu ini anak perempuan, Kenapa papamu tak mengajak abang sekalian?" Anna mengangguk, Ia pun menghubungi Hanif dan mengabarkan jika Vania tak mengizinkan apabila Aldi tak diajak serta. "Papa tak mau mengajak, tapi kamu tahu sendiri bagaimana keras kepalanya Abangmu."" Coba papa ngomong sendiri sama Abang, barangkali dia mau. Apalagi tadi yang paling menentang itu dia daripada Mama." Hanif merenungkan ucapan Anna sewaktu menelepon tadi, Ia pun mencari kontak Aldi dan menghubunginya. Sayangnya, telepon itu tak kunjun
BAB 111__Anna menyadari perubahan ekspresi pada adik tirinya, ia cukup peka dengan suasana hati orang sekitarnya. Terlebih adik tirinya itu, tak bisa menyembunyikan wajah tak sukanya. "Kalian sudah makan siang?" tanya Vania."Sudah kok, Ma. Oh iya, Ma, kami masih ada yang mau dicari, kayaknya enggak bisa lama-lama di sini, Anna duluan ya!" ucap Anna seraya memberi kode pada Tere untuk beranjak. Anna mencium punggung tangan Vania. "Have fun ya sama Mama." Ia menepuk adik tirinya. Sebagai kakak, ia tak ingin egois. Terlebih ia tahu, Sela kekurangan kasih sayang dari mama kandungannya, kali ini ia memberi kesempatan pada mama dan adik tirinya untuk pendekatan. Teresa menatap sahabatnya kebingungan, "ada sesuatu ya diantara lu sama adik tiri lu?" Yang ditanya mengendikkan bahu, "gue cuma memberi ruang untuk mereka, gue sudah banyak mendapatkan kasih sayang berlimpah dari Mama, berbeda dengan Sela." "Tumben pemikiran lu dewasa, padahal waktu masalah bokap lu, udah kek reog!" cele
BAB 110Anna dan Haikal sudah kembali ke kost-annya, rumah terasa sepi lagi karena Anna lah yang begitu banyak bicara. "Ma, Aldi kuliah dulu, ya?""Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa, hubungi Mama."Aldi mengangguk, lalu keluar melewati Sela yagng tengah duduk di ruang tamu. Dalam hati ela semakin iri dengan anak-anak Vania, karena ia tak pernah bermanja dan juga diperhatikan opleh ibu kandungnya sendiri. Vania melanjutkan pekerjaan, setelah Mbak Inah memutuskan untuk berhenti kerja karena akan menikah, Vania merasa tenang-tenang saja karena semua ada yang menghandlenya. Namun sekarang, ia sendiri kewalahan mengatur jam kerja dan juga jam bebenah rumah. Sela memperhatikan Vania yang tengah menyapu, ingin rasanya ia menawarkan bantuan, ttapi ia sendiri malu. Vania pun bukan perempuan yang tidak peka, ioa sebenarnya tahu jika Sela sedari tadi memperhatikannya. "Sela, bisa bantu Mama ngepel, Nak? Mama mau mandi dulu." "Iya, Ma." Sela yang memang sedang libur sekolah ka
BAB 109__"Mama, Anna kangen!" pekik Anna ketika sampai di rumah. Anak gadis Vania itu memeluk sang mama dari belakang, Vania terkekeh dibuatnya. Ia juga merindukan sang putri, terlebih ini pertama kalinya mereka hidup terpisah dalam waktu lama. "Mama juga kangen, Sayang!" ucap Vania, seraya membalik tubuhnya. Ibu dan anak itu saling menumpahkan rindu, karena sudah lama ia tak pulang sejak tugas-tugas kuliahnya yang semakin banyak. Bahkan untuk membalas pesan mamanya pun, ia mencuri-curi waktu. "Gimana kuliahnya, lancar?'' tanya Vania. Anna mengangguk, "meskipun kepala hampir pecah, tapi aku bisa melaluinya." "Hebatnya anak Mama!" Anna membantu sang mama membersihkan sayuran, malam ini rencananya mereka akan makan bersama. "Sela mana, Ma? Kok aku enggak ada lihat dia dari tadi?" tanya Anna. "Di kamar sih tadi, dia juga lagi sibuk-sibuknya ngerjakan tugas sekolah." "Oh, gitu. Sela baik kan, sama Mama?" tanya Anna lagi. Vania mengangguk, wanita itu terdiam sejenak. Ia menghe