BAB 90 "Kenapa, Van?" tanya Raisa. "Ibu di rumah sakit, kritis katanya." "Terus lu mau ke sana?" Vania mengangguk, ia segera mengambil tas dan menuju mobil. Setelah bundanya meninggal, hanya Wiyani satu-satunya wanita yang memedulikannya. Itu sebabnya, ia merasa sedih mendengar berita ini. "Biar aku yang nyetir." Vania menyerahkan kunci mobilnya ke Raisa, lalu masuk ke kursi penumpang. Tubuhnya bergetar sedari tadi. Apalagi Rima bilang jika Wiyani dalam kondisi kritis. "Nanti nggak apa-apa kalau ketemu Hanif?" tanya Raisa. "Ya nggak papa, lagian sudah masa lalu. Mau sampai kapan kita ngeliat ke belakang terus." "Bener." Setengah jam kemudian, mereka sampai di rumah sakit tempat Wiyani dirawat. Vania segera menemui Rima. Wanita itu tampak pucat dan khawatir. Yah, bagaimanapun hanya Wiyani yang ia punya. Terlebih Reza sudah menceraikannya. "Mira mana, Rim?" tanya Vania pada Rima. "Mira aku titipkan di Bu Yati, Kak. Nggak mungkin kubawa ke sini." Vania mengelus punggung Rima
BAB 91 __Vania bergeming, ia ingin segera meresmikan hubungan mereka tapi disudut hatinya masih terselip keraguan. Terlebih ayahnya, berulang kali memperingatinya untuk tak terlalu cepat membangun pernikahan lagi. Ia meletakkan ponselnya di nakas, lalu membersihkan diri di kamar mandi. Setelah memakai piyama tidurnya, Vania merebahkan tubuhnya yang lelah ke atas ranjang."Apa dua tahun menjanda itu terlalu singkat?" gumamnya. Vania meraih ponselnya di nakas, ia kembali membuka aplikasi perpesanan. Saat membuka ruang chat bersama Ibra, lelaki itu tampak tengah online. [Van, apa kamu keberatan?] pesan dari Ibra mengejutkannya. "Bukan keberatan, Mas, aku hanya terlalu takut." Vania bermonolog, tanpa berniat membalas pesan dari Ibra. Karena terlalu lelah, ia terbuai ke alam mimpi. Tubuhnya sudah sangat lelah, seharian bekerja dan tadi harus membantu mantan adik iparnya di rumah sakit. _Hanif menatap layar ponselnya, ia sejak tadi menghubungi Lia tapi tak kunjung ada jawaban. Bahk
BAB 92 Keadaan Wiyani semakin parah. Terlebih Hanif benar-benar sudah tak memiliki uang andai terlalu lama berada di rumah sakit. "Lalu gimana, Bang? Jika Ibu dilepas semua kabel yang menancap di tubuhnya, maka Ibu tak bisa bertahan. Sebagai anak laki-laki, ini sudah menjadi tanggung jawabmu. Apalagi, Abang kemarin sudah menjual tanah Ibu. Andai semua ditelusuri, akar dari sakitnya Ibu adalah Abang, karena sudah memaksa untuk menjual harta Ibu, demi memuaskan napsu istrimu itu." Hanif tersentak mendengar ucapan Rima. Belakangan ini, ia memang merasa berbeda. Kadang, hati dan otaknya tidak sinkron. Apa yang diucapkan oleh Lia, maka ia akan menuruti semuanya. "Abang akan coba bicara sama Lia dan minta uangnya," ucap Hanif sambil berpamitan pulang. "Bukan mencoba, tapi Abang memang harus bicara sama dia. Jangan mau dibodohi, Bang. Bang Hanif itu pintar!" Hanif tak menyahuti ucapan Rima. Ia merasa seperti baru saja bangun dari tidur panjangnya. Hanif menghela napas, lalu melajukan m
BAB 93__"Jadi, kapan rencana kalian mau akad nikah?" tanya Raisa, ketika mengunjungi sahabatnya di butik. Vania mendelik pada sahabatnya yang bertanya dengan volume suara yang sangat kencang, mengundang perhatian pelanggan butik. "Kebiasaan deh!" Raisa terkekeh, "jadi kapan?" "Belum tahu sih, kapannya. Mas Ibra masih ada urusan bisnis di luar kota, ya kemungkinan sebulanan lagi, lah. Kamu sendiri kapan, nikah lagi?" tanya Vania balik, seraya tersenyum mengejek. "Ntarlah, mau nyari berondong dulu. Kayaknya yang muda lebih menggoda," sahut Raisa genit seraya mengedipkan sebelah matanya. Mereka berdua tergelak bersama, perhatian Vania teralihkan dengan kedatangan sang putri membawa rombongan temannya. "Mama!" Anna menghampiri mamanya. "Teman-temanku lagi cari dress buat acara ulang tahun kakak tingkat kami, Ma. Boleh, kan?" ucap Anna, seraya menatap mamanya. "Boleh dong, kamu juga pilih aja sana!" "Nanti Tante kasih diskon, tigapuluh persen!" bisik Raisa seraya mengerlingkan
BAB 94 __Setelah Haikal puas menumpahkan air matanya, Vania mengambilkan tissue dan mengusap air mata anak lelaki yang sebentar lagi akan menjadi bagian dari keluarganya. "Kenapa seperti ini?" tanya Vania lembut. "Aku cuma pengen diperhatikan, Mama, Nte. Apa aku salah minta diperhatikan sama orang tua walaupun sebentar?" lirihnya. "Enggak salah, kok. Sebagai anak, memang sudah seharusnya kamu mendapat perhatian dari orang tua. Tapi, terkadang kami para orang tua tak bisa mengekspresikan perhatian dan bentuk kasih sayang kami ke anak." Haikal menatap calon istri papanya sendu, ia iri dengan Anna dan Aldi yang tetap bahagia meskipun hanya tinggal bersama ibu tunggal. Sementara dirinya, tak diacuhkan. "Kenapa Mamaku enggak bisa seperti Tante?" Ibu beranak dua itu bergeming, ia bingung hendak menjawab pertanyaan Haikal seperti apa. Ia takut semakin memperkeruh hubungan antara Haikal dan mamanya. "Jangan seperti ini, Nak. Mungkin kamu kecewa karena perlakuan orang tuamu, sehingga
BAB 95 Sela mengantarkan baju ganti Haikal ketika pulang sekolah. Gadis SMA itu sudah meminta mamanya untuk mengantarkan, tapi Hikmah sendiri tak mau karena sang suami minta diantarkan ke suatu tempat. "Hidup dengan Papa sebenarnya nggak buruk, tapi Mama selalu berhasil merayuku saat kami ingin pergi. Jika sedang begini, Mama pasti akan tak peduli." Shela menghela napasnya, lalu berjalan menuju ruangan Haikal. Sampai sana, ia terkejut melihat Vania yang sedang menyuapi kakaknya. "Tante, kenapa di sini? Apa Papa yang mengabari?" tanya Shela. "Iya, Nak. Papamu yang minta supaya Tante je sini karena sedang di luar kota," jawab Vania seraya tersenyum. Ia bersyukur karena anak-anak Ibra tampak baik dan mau menerimanya. Kebanyakan anak korban perceraian akan saling acuh, bahkan pada calon ayah atau ibu tiri mereka. Namun tidak dengan anak-anak Ibra, mereka begitu mau menerima kehadiran Vania. "Makasih banyak ya, Tante Vania. Malah jadi merepotkan," ucap Sela seraya tersenyum. "Nggak
BAB 96 Vania sekeluarga pergi ke rumah Wiyani. Begitupula dengan Rahman. Meski muak melihat mantan menantunya, tapi Wiyani adalah sahabatnya. Semasa hidupnya, ia telah baik sebagai seorang mertua. "Oma, kenapa ninggalin kita, Ma?" tanya Anna. Ia dan Wiyani dulu begitu dekat, tidak seperti Wiyani dengan Aldi. Sepanjang perjalanan, Vania menangis. Teringat dengan jasa-jasa yang telah diberikan oleh mantan mertuanya dulu."Sabar, Sayang. Umur, rezeki, itu hak mutlak milik Allah. Kita nggak bisa ngomongin begitu." Ana memeluk mamanya, sementara Aldi mengebut membelah kota Jakarta. Sampai di sana, rupanya jenazah belum pulang. Vania mengambil kunci yang diletakkan di bawah pot bunga, lalu membukanya. Lagi, luruh lah air mata Vania. Terbayang kembali kenangan-kenangan semasa mertuanya itu masih hidup. "Ibu, semoga amal ibadahmu diterima di sisi Allah." Vania segera membereskan rumah, sementara Rahman ke rumah RT untuk meminjam kursi. RT yang tak tahu apapun, merasa terkejut dengan be
BAB 97__Lia terkejut karena mendapat tamparan begitu keras di hadapan keluarga suaminya, rasa sakit dan panas yang menjalar di wajahnya berubah menjadi malu. "M-mas, k-kamu kok tega sama aku?" lirihnya seraya menatap Hanif mengiba, berharap sang suami berada dipihaknya. 'Sialan, reaksi jampi-jampi dari Mbah Jono kayaknya sudah hilang. Kenapa cepat sekali?' rutuknya dalam hati. "Tega kamu bilang? Yang tega itu kamu, bisa-bisanya saat aku kesusahan kamu malah pergi entah ke mana. Bahkan aku ke rumah Kikan, tak ada kamu di sana!" cecar Hanif, membuat Lia terperangah. Kikan tak ada mengatakan apapun padanya, ia pikir Hanif tak akan mungkin ke rumah anaknya. "M-mas, aku bisa jelasin!" ucap Lia berusaha menarik kembali perhatian suaminya. Hanif mendengkus, melihat wajah Lia entah kenapa ia merasa muak. Rasanya ia begitu membenci wanita yang tengah menangis di hadapannya, bahkan ia merasa tangisan istrinya itu hanya dibuat-buat. "Pergi dari hadapanku." "Mas!" rengek Lia. "Pergi."
BAB 117 | ENDING __"Masakanmu enak juga, Na!" celetuk Haikal. Anna mendengkus pelan, "heh, kamu pikir makanan yang kita makan di rumah Mama itu masakan Mama? Itu masakanku, bodoh!" Lelaki jangkung itu tergelak, "kamu kenapa suka banget sih ngomong kasar, padahal anak-anak di kelasku pada bilang kamu tuh positif vibes, lemah lembut." Mendengar ucapan mantannya itu membuat Anna memberengut kesal. "Yang tahu-tahu aja lah, lagian aku enggak peduli sama penilaian orang." "Iya juga sih, makanya kamu mau aja nerima aku yang brengsek ini. Padahal aku terkenal bad boy," sahut Haikal, mengenang saat pertama kali ia kenal dengan Anna. Gadis berambut panjang itu terkekeh, "jujur sih, aku cuma penasaran aja pacaran sama bad boy." Haikal mendelik, "jadi semua kata rindu dan cintamu itu dusta?" Mereka saling tatap, lagi jantung Anna berdebar ketika bersitatap dengan pemilik iris mata cokelat itu. "Iya, dusta." Anna memalingkan wajahnya. Haikal terkekeh, ia tahu gadis di hadapannya itu ha
BAB 116___Anna bergeming mendengar kata rindu yang keluar dari bibir mantan kekasihnya, seandainya saat ini status mereka bukan saudara tiri, mungkin ia akan memeluk Haikal menumpahkan kerinduan yang menumpuk di hatinya. Tapi, ia harus mengubur rasa cinta dan rindu di hatinya. Rasanya tak etis, jika diantara mereka memiliki hubungan lebih dari saudara. "Waras kan, lu?" ketus Anna, seraya membuang wajah. Ia tak mau berlama-lama menatap wajah Haikal, pertahanannya bisa goyah. Haikal menyentak napas kasar, ia mengacak rambutnya frustasi. Ia benar-benar stres karena tak lagi bisa memiliki Anna, ia juga masih memiliki rasa pada mantan kekasihnya. Meskipun ia sudah berkali-kali mencari pengganti Anna, tapi tak ada yang bisa menggantikan wanita itu di hatinya. Hanya dengan Anna, ia merasakan ketulusan. "Lu mau balapan, ya?" tanya Anna to the point. "Tahu dari mana?" "Dari Tere." Haikal mendengkus pelan, "kalau iya kenapa?" "Kamu enggak kasihan sama Mama Papa?" tanya Anna. Lelaki
BAB 115__Vania terkejut ketika melihat anak bungsunya tergeletak di depan pintu kamar mandi. "Mas tolong!" teriak Vania, seraya menghampiri putrinya. Aldi dan Ibra yang masih berada di rumah, bergegas menghampiri Vania. Darah mengalir dari hidung Sela, membuat mereka semakin panik. "Kita ke rumah sakit aja, Ma!" ucap Ibra.Ibra mengangkat tubuh putrinya, sementara Aldi bergegas menyiapkan mobil. Dengan terburu-buru mereka pergi ke rumah sakit, bahkan tak sempat mengunci pintu. Tubuh Sela sangat panas, ada ruam merah di bagian lengan dan betis Sela. Sepanjang jalan, Aldi berusaha fokus, terlebih jalanan ibu kota di pagi hari sangatlah padat.Setelah menempuh perjalanan duapuluh menit, mereka sampai di lobby Instalasi Gawat Darurat. Mereka disambut oleh perawat dan dokter yang berjaga di bagian IGD. Ibra benar-benar cemas dengan kondisi anaknya, ia merasa bersalah karena tak punya banyak waktu untuk sang anak. Terlebih Sela jarang menghubunginya, putrinya bahkan tak pernah mereng
BAB 114Sela memeluk Anna, ia mencurahkan kesedihan dan juga kesepian yang ia alami. "Tapi, semenjak aku tinggal di sini, aku tak lagi merasakan kesepian seperti ketika aku tinggal di rumah mama. Meskipun Papa masih sering keluar kota, tapi ada mama Vania yang setia menemaniku.""Lah itu, kita hanya perlu mengambil Sisi baiknya dan membuang Sisi buruknya dari semua kejadian yang kita alami. Sekarang kamu tidak sendirian, ada aku dan Bang Aldi serta Mama."Sela mengangguk, ia sadar selama ini telah salah karena menganggap Kakak tirinya itu sebagai saingan. Padahal mereka telah bersikap baik kepada dirinya, tapi Sela terlalu serakah. Menginginkan hal yang lebih dari apa yang ia terima. --Rima membuatkan Abangnya kopi, semalam waktu hari sampai rumah, Ia sibuk dengan Mira yang tengah sakit. "Gimana, Bang? Ketemu?" "Ada, Rim. Tapi pas sampai sana aku kaget banget ngelihat dia sudah tergeletak.""Apa? Maksudnya dibunuh?" tanya Rima."Aku nggak tahu, tapi mungkin nanti pemilik rumah ak
BAB 113Hanif dan orang-orang melihat Lia yang tergeletak di lantai. Darah merembes ke lantai hingga sampai ke bagian tubuh Lia."Astagfirullah!"Hanif bersama pemilik rumah mengangkat tubuh dia dan memindahkannya ke tempat yang lebih bersih. Pemilik rumah memeriksa denyut nadi wanita yang tengah Hamil 3 Bulan itu."Masih ada nadinya, sebaiknya kita segera bawa ke rumah sakit.""Iya, Pak."Pemilik rumah membawa mobilnya yang berupa angkot, lalu Hanif menyetirnya. Sementara Lia di belakang bersama istri pemilik rumah.Aldi, Anna, dan Teresa segera naik ke mobil Hanif. Mereka mengikuti dari belakang hingga akhirnya sampai di rumah sakit umum yang tak jauh dari kontrakan Lia."Aku takut banget, Bang. Kita kan ke sini cuma mau menemui tante Lia, kenapa malah jadi adegan trailer begini.""Sudah, Nggak papa, An. Kita mana tahu kalau kejadiannya bakal begini."Anna dan Teresa mengangguk, Mereka pun menunggu di kantin rumah sakit bersama dengan Aldi.Tak lama kemudian, Hanif datang dan mengab
BAB 112Malam harinya, Anna pulang ke rumah Vania untuk izin besok menemani ayahnya ke luar kota. Aldi yang mendengarnya menentang keras keinginan Anna. "Kita nggak tahu, perempuan itu di luar sana dilindungi oleh siapa. Bagaimana kalau kalian datang ke sana dan banyak preman? Papa itu nggak jago kelahi, kalau nanti kamu dan Tere diapa-apain bagaimana?""Betul itu, Nak. Mama juga khawatir kalau kamu ikut pergi Papa keluar kota, Papa Ibra pun pasti tak akan mengizinkan. Kamu ini anak perempuan, Kenapa papamu tak mengajak abang sekalian?" Anna mengangguk, Ia pun menghubungi Hanif dan mengabarkan jika Vania tak mengizinkan apabila Aldi tak diajak serta. "Papa tak mau mengajak, tapi kamu tahu sendiri bagaimana keras kepalanya Abangmu."" Coba papa ngomong sendiri sama Abang, barangkali dia mau. Apalagi tadi yang paling menentang itu dia daripada Mama." Hanif merenungkan ucapan Anna sewaktu menelepon tadi, Ia pun mencari kontak Aldi dan menghubunginya. Sayangnya, telepon itu tak kunjun
BAB 111__Anna menyadari perubahan ekspresi pada adik tirinya, ia cukup peka dengan suasana hati orang sekitarnya. Terlebih adik tirinya itu, tak bisa menyembunyikan wajah tak sukanya. "Kalian sudah makan siang?" tanya Vania."Sudah kok, Ma. Oh iya, Ma, kami masih ada yang mau dicari, kayaknya enggak bisa lama-lama di sini, Anna duluan ya!" ucap Anna seraya memberi kode pada Tere untuk beranjak. Anna mencium punggung tangan Vania. "Have fun ya sama Mama." Ia menepuk adik tirinya. Sebagai kakak, ia tak ingin egois. Terlebih ia tahu, Sela kekurangan kasih sayang dari mama kandungannya, kali ini ia memberi kesempatan pada mama dan adik tirinya untuk pendekatan. Teresa menatap sahabatnya kebingungan, "ada sesuatu ya diantara lu sama adik tiri lu?" Yang ditanya mengendikkan bahu, "gue cuma memberi ruang untuk mereka, gue sudah banyak mendapatkan kasih sayang berlimpah dari Mama, berbeda dengan Sela." "Tumben pemikiran lu dewasa, padahal waktu masalah bokap lu, udah kek reog!" cele
BAB 110Anna dan Haikal sudah kembali ke kost-annya, rumah terasa sepi lagi karena Anna lah yang begitu banyak bicara. "Ma, Aldi kuliah dulu, ya?""Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa, hubungi Mama."Aldi mengangguk, lalu keluar melewati Sela yagng tengah duduk di ruang tamu. Dalam hati ela semakin iri dengan anak-anak Vania, karena ia tak pernah bermanja dan juga diperhatikan opleh ibu kandungnya sendiri. Vania melanjutkan pekerjaan, setelah Mbak Inah memutuskan untuk berhenti kerja karena akan menikah, Vania merasa tenang-tenang saja karena semua ada yang menghandlenya. Namun sekarang, ia sendiri kewalahan mengatur jam kerja dan juga jam bebenah rumah. Sela memperhatikan Vania yang tengah menyapu, ingin rasanya ia menawarkan bantuan, ttapi ia sendiri malu. Vania pun bukan perempuan yang tidak peka, ioa sebenarnya tahu jika Sela sedari tadi memperhatikannya. "Sela, bisa bantu Mama ngepel, Nak? Mama mau mandi dulu." "Iya, Ma." Sela yang memang sedang libur sekolah ka
BAB 109__"Mama, Anna kangen!" pekik Anna ketika sampai di rumah. Anak gadis Vania itu memeluk sang mama dari belakang, Vania terkekeh dibuatnya. Ia juga merindukan sang putri, terlebih ini pertama kalinya mereka hidup terpisah dalam waktu lama. "Mama juga kangen, Sayang!" ucap Vania, seraya membalik tubuhnya. Ibu dan anak itu saling menumpahkan rindu, karena sudah lama ia tak pulang sejak tugas-tugas kuliahnya yang semakin banyak. Bahkan untuk membalas pesan mamanya pun, ia mencuri-curi waktu. "Gimana kuliahnya, lancar?'' tanya Vania. Anna mengangguk, "meskipun kepala hampir pecah, tapi aku bisa melaluinya." "Hebatnya anak Mama!" Anna membantu sang mama membersihkan sayuran, malam ini rencananya mereka akan makan bersama. "Sela mana, Ma? Kok aku enggak ada lihat dia dari tadi?" tanya Anna. "Di kamar sih tadi, dia juga lagi sibuk-sibuknya ngerjakan tugas sekolah." "Oh, gitu. Sela baik kan, sama Mama?" tanya Anna lagi. Vania mengangguk, wanita itu terdiam sejenak. Ia menghe