Reya pagi ini terbangun dengan sekujur tubuh yang terasa benar-benar sakit. Beberapa hari ini sama sekali tak makan, membuat tubuhnya sangat lemas. Pikiran dan hatinya kacau berantakan bahkan seharusnya hari ini memiliki jadwal untuk pemotretan. Namun, bagaimana dia bisa pergi untuk melakukan pekerjaannya, sementara tubuhnya sakit seperti ini?Setelah duduk di tepi tempat tidur dan terdiam Reya meminum teh manis yang sudah dibuatkan oleh Arka pagi ini. Pagi ini adiknya itu sudah berangkat ke kampus untuk mengurus keberangkatannya ke Singapura 3 minggu lagi. "Mas Yuji." Reya memanggil dia ingin meminta tolong kepada pria itu untuk mengambilkan obat maag. Karena saat ini benar-benar lemas dan tak bisa bangun sama sekali. Tak lama terdengar suara di depan pintu. "Aku masuk ya?""Iya," sahut Reya. Yuji masuk ke dalam kamar kemudian berjalan menghampiri dan duduk di samping Reya. Jelas aja ia sangat cemas, apalagi melihat keadaan Reya saat ini. Yuji lalu memegang kening Reya, demam. "
Lili duduk dengan galau di depan teras rumahnya. Sebenarnya ingin menghampiri rumah Reya untuk sekadar memberikan dukungan. Hanya saja dia masih merasa bersalah atas apa yang dilakukan oleh sang ibu. Dan saat ini memilih untuk menjauhkan diri. Memang sih, itu bukan pilihan yang tepat. Akan tetapi, setidaknya bisa membuat perasaannya sedikit lebih baik karena tak harus merasakan rasa bersalah itu. Sewaktu berada di rumah Reya, setiap kali melihat Reya perasaannya merasa terluka, rasa bersalahnya membuncah, Lili Bahkan tak berani untuk mendekati, hanya memandang dari jauh saja. Ponselnya berdering di sebuah pesan dari sepupunya.Kuki:Masih belum jenguk Reya, Lo?Lili:Gue nggak ada keberanian sama sekali.Kuki:Kan itu takdir. Nggak ada satu orang pun yang bisa melawan takdir Li.Lili:Bokap sama nyokap Lo gimana?Kuki:Habis balik dari jakarta bokap gue cuman diam aja. Sementara nyokap gue katanya mau nunggu bulan depan sampai benar-benar stop sama kegiatannya. Gue nggak tahu, apa me
"Jadi lo sekarang hamil anak Om gue?" Lili bertanya. Dia mendengar semua saat masuk ke rumah sahabatnya tadi. Sebenarnya datang ke sana untuk menghibur, tapi dia malah mendapat kejutan seperti ini."Lo tahu Li, kalau gue ada hubungan sama Om Jun?" Reya bertanya lantaran merasa heran dengan pertanyaan yang diajukan oleh Lili barusan."Gue tahu. Ya intinya gue tahu." Rasa bersalahnya muncul lagi dan Lili memilih untuk tak mengatakan dari mana dia mengetahui masalah ini.Reya terdiam sejenak untuk meyakinkan diri, menimbang apakah dia harus memberitahu Lili tentang semuanya atau tidak. "Tapi gue akan gugurin bayi ini kok. Gue nggak mau persahabatan kita rusak, gue juga nggak mau bikin Kuki kecewa. Hmm?" Tatapan Lili nanar melihat sahabat yang terlihat begitu ketakutan. Sepertinya benar apa yang dikatakan oleh Jun tempo hari. Kalau dia benar-benar berusaha untuk membuat Reya menjadi miliknya. "Gugurin bayi itu? Lo nggak boleh ngelakuin itu. Lo udah buat dosa dan mau nambah dosa lagi? Gi
Lis duduk di ruang tamu terlihat ragu. Dia kemudian mengambil ponsel yang tergeletak di meja dan menghubungi seseorang."Halo Mbak?" Terdengar suara sapaan Jun dari balik telepon."Jun, kamu bisa ke sini? Boleh sama Kuki, sebisamu Kapa ," kata Lis."Ada sesuatu Mbak?" Jun terdengar cemas setelah mendengar sang kakak memintanya untuk datang ke Jakarta."Ada yang harus Mbak omongin ke kamu." Lis berpikir kalau dengan memberitahu Jun terlebih dahulu sebelum memberitahu Indi adalah jalan yang terbaik. Sengaja ia minta Kuki untuk ikut juga supaya sebagai saksi bahwa pembicaraan ini bukanlah tentang menginginkan Jun untuk berpisah dengan Indi, melainkan untuk membahas permasalahan yang lain."Oke kalau gitu aku akan cari waktu untuk ke Jakarta sama Kuki.""Ya udah, kalau gitu mbak tunggu kamu."***Beberapa hari ini Lili menginap di rumah Reya. Dia cemas dan takut kalau Reya akan melakukan sesuatu pada kehamilannya. Bisa saja sahabatnya itu nekat dengan kondisinya saat ini. Malam ini Rey
Jun terdiam, terkejut dengar tentang kehamilan Reya. Namun, ia merasa senang. Kini menatap kekasihnya dengan mata yang berbinar. "Kamu hamil?" Pertanyaan terlontar mencoba meyakinkan diri. Reya memilih memalingkan wajahnya, sementara tangannya genggam tangan Lili. Lili mengerti Reya yang kini diantara rasa takut dan cemas, saat melihat reaksi yang akan diberikan oleh Jun. Di sisi lain, Kuki tak kalah terkejutnya. Dalam hati jadi semakin geram dengan kelakuan Jun. Apalagi melihat reaksi Reya, Kuki bisa melihat betapa gadis itu merasakan ketakutan dan ingin menjauh dari Jun. "Saya akan nikahi Reya." Tentu saja Jun tak pernah merasa ragu sedikitpun untuk menikahi Reya. Seperti hal yang sudah ia dambakan dan inginkan. Membayangkan menjalin rumah tangga bersama Reya, menyenangkan menurutnya apalagi ketika memikirkan perhatian-perhatian yang diberikan oleh Gadis itu selama mereka menjalin hubungan."Aku enggak mau nikah sama Om." Reya dengan cepat menolak."Tapi kamu ham —""Enggak akan
Kuki, Lili dan Reya ini berada di rumah Reya. Ketiganya berada di kamar Gadis itu karena Reya yang terasa lemas setelah pertemuan tadi dengan Jun. Tentu saja dia merasa takut, setiap kali Jun menatapnya dengan dingin dan marah kakinya seketika saja melemas. Beruntung kali ini tak ada hukuman yang diberikan oleh Jun.Kuki menatap dengan iba pada Reya. "Bokap gue ngapain lo sih?"Reya terdiam memikirkan Apakah dia harus memberitahu semuanya kepada kedua sahabatnya ini? Sambil berpikir ia menggigit kuku ibu jarinya, menatap ragu pada Lili. "Lo ngapain sih tadi mau ngajak gue nikah?" Dan pertanyaan ini adalah jawaban bahwa ia memilih untuk tak memberitahu.Kuki dan Lili jelas mengerti dan mereka menerima saja keputusan yang diberikan oleh Reya. Sebuah trauma memang tak mudah untuk diungkapkan, butuh persiapan, hati dan juga keberanian. Itulah alasannya mengapa banyak orang yang mengalami trauma memilih untuk sendiri dan menarik diri jauh-jauh dari kerumunan. Mereka takut untuk bicara, ka
Reya terbaring di tempat tidur. Dokter mengatakan kondisinya baik, tadi karena terlalu tegang dan ketakutan. Menyebabkan bayi dalam kandungannya merasakan hal yang sama. Beruntung kondisinya sudah stabil. Dokter mengatakan ia tak boleh stres. Di sampingnya ada Jun yang menemani, diam sejak tadi, duduk sambil memainkan tangan Reya dan sesekali mengecup dengan lembut. Jun begitu menyayangi Reya, ini bukan sekadar urusan ranjang. Alasan mengapa ia begitu posesif, semua karena perasannya. Begitu takut kehilangan dan ditinggalkan.Yuji juga sejak tadi berada di ruangan, sejujurnya dia juga takut kalau Jun melakukan sesuatu lagi kepada Reya, saat hadis itu terbangun nanti. Jadi ia berada di sana untuk mengawasi dan menjaga. Kemudian pintu tiba-tiba saja terbuka menunjukkan sosok Lili dan kuki yang berjalan masuk dengan cemas. Kedua anak itu mendapatkan kabar dari Lis kalau Reya dibawa ke rumah sakit. "Bisa kita ngomong sebentar Pi?" Kuki bertanya kepada sang ayah. Jun menganggukkan kepa
Jun tengah bersiap kembali untuk rumah sakit. Semalaman juga tak bisa tidur di rumah Lis karena memikirkan tentang Reya. Khawatir sekali dengan kondisi Reya, apalagi semalam diberitahu kalau kekasihnya itu demam. Setelah selesai mandi dan berpakaian Dia segera berjalan keluar menuju ruang makan.Di sana ada Lis, Lili dan juga Kuki yang sudah siap di meja makan. Menu sarapan pagi ini adalah nasi goreng buatan Lis. Jun duduk di sana, Tak banyak bicara sama seperti yang lain. Sepertinya masalah ini sudah membuat lelah keempat orang tersebut."Reya gimana Li?" tanya Lis. "Kemarin waktu aku pulang sih ya oke oke aja Bu. Udah mau makan—" "Semalam dia demam tinggi lagi. Jadi pagi ini saya mau buru-buru ke rumah sakit." Jun memotong pembicaraan di antara Lili dan juga Lis.Kuki hela napas, tentu saja tak salah kalau sang ayah memberikan perhatian. Tapi kali ini jadi sedikit merasa jengah karena sepertinya yang ada dalam pikiran Jun hanyalah Reya. Saat itu seseorang mengetuk pintu. Lili ke
Reya pagi ini sarapan bersama ia duduk sambil menggendong Kira. Bayi cantik itu sedang demam, faktor perubahan cuaca sepertinya membuat ia terkena flu. Karena itu, Kira tak mau lepas dari gendongan sang ibu. Jun memerhatikan Reya yang tengah sarapan menurutnya tak nyaman jika makan sambil menggendong bayi mereka. "Kamu mau makan dulu? Biar saya gendong Kira?" Jun mencoba untuk menawarkan diri. "Enggak usah Om, biarin aku sambil gendong Kira." reya menolak menurtnya akan lebih baik jika ia menggendong putrinya sendiri. Indi melirik sang suami yang terlihat begitu perhatian. Katakan saja hari-hari yang ia lalui di Jakarta sebenarnya menyebalkan sekali. Hanya saja, ia harus bertahan dengan kondisi ini, karena ia tak ingin Reya kembali menggoda sang suami."Lagian ngapain kamu gendong Kira sambil sarapan sih?" tanya Indi ketus."Namanya anak lagi sakit," ucap Reya tak kalah ketusnya. Ia kesal dengan pertanyaan yang terlontar, tubuhnya juga sudah merasa kelelahan akibat menjaga putriny
Reya pagi ini duduk di balkon, dia menjemur Kira sebelum bayinya itu mandi. Kebahagiaan untuknya saat ini hanya bayi kecil itu saja. Tak ada yang benar-benar bisa dipercaya, bahkan Lili pun sudah membohonginya.Jun baru saja bangun tidur, berjalan keluar kamar melihat Reya di balkon. Senang pagi ini bisa melihat Reya yang tengah tersenyum mengobrol dengan Kira. Ia memutuskan berjalan mendekat, meski ada sedikit keraguan kalau akan ditolak, tapi dia tak peduli. Jun tetap berjalan mendekat, kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan Reya.Tidak ada penolakan dari Reya, ia malah menatap Jun kemudian tersenyum. "Kalau diperhatiin, Kira mirip banget sama Om. Dia cuma numpang di rahim aku aja selama 9 bulan."Jujur saja hal itu membuat Jun cukup terkejut. Namun, di sisi lain ia merasa bahagia mendapat perlakuan seperti ini. "Saya udah bilang ke kamu belum? Kalau dia mirip banget sama Kuki waktu masih bayi.""Om belum bilang, tapi Lili udah bilang ke aku." Reya terdiam ia menatap Jun yan
Lili berjalan masuk ke dalam kamar. Dia melihat Reya yang duduk di sofa, menatap ke luar jendela, sambil memangku Kira. Lili berjalan mendekat, kemudian duduk di sofa lain yang bersebrangan dengan Reya. Lili menatap ke arah sahabatnya itu yang kini menatap tanpa senyum. Lili terdiam, tatapannya berasdu dengan Reya. Kali ini ia merasa terintimidasi tanpa tau kesalahan apa yang ia perbuat. "Kenapa rey?" tanya Lili. "Gue mau tanya, lo harus jawab dengan jujur." Reya menekankan perkataannya dan ia jelas tak bermain-main dalam hal ini. "Lo mau tanya apa?" Reya terdiam sejenak, menatap putri kecilnya yang terlelap. Setelahnya ia menatap pada Lili. "Ibu Indi bilang kalau dia mau minta Kira. Dia mau rawat Kira sebagai anaknya. Menurutnya, gue itu masih muda, masih bisa melanjutkan hidup dan punya anak lagi. Menurut lo gimana?"Lili terkejut dengar apa yang dikatakan oleh Reya. Sama sekali tak menyangka kalau sang tante akan meminta hal semacam ini pada Reya. "Dia ngomong kayak gitu ke lo?
"Kenapa sih?" Lili bertanya saat ia dan Reya tengah menikmati santap malam yang tadi dipesan. Reya membangunkan Lili, jangan minta tolong pada sahabatnya itu untuk mengambilkan makanan ke depan. Semua itu karena dia takut bahwa masih ada Jun dan juga ini di depan sana. Dia benar-benar tak ingin merasakan terjebak seperti tadi."Tadi gue lagi minum, terus ada Om Jun. Dan tiba-tiba aja ada Bu Indi. Lo nggak denger? Tadi mereka berdua sama-sama saling berantem.""Enggak, gue tidur enak banget. Kenapa bisa tiba-tiba banget kayak gitu sih? Lagian, lo Kenapa nggak bangunin gue sih? Gue kan bisa ngambilin lo minum, Jadi lo nggak bisa ketemu sama Om Jun." "Gue nggak enak, lo tidur pulas banget. Jadi tadi gue ke belakang, dan ternyata air panasnya habis. jadi gue harus nunggu agak lama buat masak air panas dulu." Reya kini tengah menggendong putrinya titik tadi dia berusaha menyusui, dan sama sekali tak ada ASI yang keluar. Lalu pada akhirnya ia terpaksa membuatkan susu formula untuk putriny
Jun jelas merasa marah dan kesal dengan apa yang dikatakan oleh Indi tadi. Bagaimana bisa dia mempunyai ide untuk merebut Kira dari Reya? Padahal bayi kecil itu masih memiliki seorang ibu. Menurutnya Indi sangat egois dalam hal ini.Pria itu kemudian berjalan keluar, berniat untuk meneguk segelas air putih di dapur. Namun, dia bertemu dengan Reya yang sedang membuat mencari makanan karena dia merasa lapar. Waktu makan malam tadi, dia tak keluar kamar. Dan rasanya juga marah sekali untuk makan.Jun berjalan perlahan karena tak mau mengagetkan. Dia juga tahu kalau Reya, tak mau bertemu dengannya. jadi dia benar-benar berhati-hati kali ini. Jun tak mau membuat perasaan ibu yang sedang menyusui bayinya itu berantakan."Kamu nyari apa?" Jun bertanya.Sementara yang ditanya terkejut, dia menoleh ke belakang. kemudian ketika melihat Jun membuat Reya mundur beberapa langkah ke belakang. Dia benar-benar takut apalagi di sini saat ini ada Indi yang tengah menemani Jun. Saat ini tak mau mencari
Lili berjalan masuk kembali dengan cemas. Ia menghampiri Reya yang tengah menimang buah hatinya. Ia menatap Lili dengan tatapan bingung. "Kenapa Li?" tanga Reya tak kalah cemasnya. Lili duduk di samping Reya. "Kalau gue bilang ini, lo nggak boleh cemas atau panik ya," kata Lili. "Lo ngomong kayak gitu, gue malah jadi cemas dan makin panik." Reya berkata. Seperti biasa, apa yang dikatakan seseorang, malah biasanya akan menjadi hal yang dilakukan oleh orang yang mendengar. "Ya, pokoknya lo berpikir yang positif aja ya? Oke?" Lili mengatakan lagi. Ia berharap kalau sahabatnya itu, tidak terlalu cemas dan takut oleh kedatangan Indi.Reya anggukkan kepalanya. Jadi merasa cemas sebenarnya, ia bahkan sampai mendekap erat Kira dalam pelukannya. "Kenapa sih?""Ada Tante Indi di depan." Reya terkejut, terpaku beberapa saat. "Hah? Ibu Indi? Ngapain ke sini?" Reya semakin panik setelah mendengar nama yang disebut. Apalagi Reya merasa tidak melakukan kesalahan apapun. "Gue udah bilang sama Om
"Kenapa kamu larang saya Mas? Seolah-seolah saya ini mau mencelakai perempuan itu?" tanya Indi tak terima. Jun memang sangat takut jika Indi bertemu dengan Reya. Apalagi saat ini kondisi Reya tidak stabil secara fisik, dan juga emosi. Jun tak ingin kondisinya semakin parah jika Indi menemui Reya. "Iya, saya memang takut. Kamu kan tahu, kalau dia itu takut sama kamu. Dengan kamu datang dan jenguk dia, itu kan nambah beban pikirannya. Saat ini aja dia kesulitan menyusui. Jangan tambah beban pikirannya, kasihan anak saya." Jun mengatakan alasan mengapa ia tidak ingin Indi menemui Reya.""Memangnya saya mau ngapain sih Mas? Saya cuman mau lihat doang Kok. Saya juga penasaran gimana muka anak kamu." Indi mencoba menahan diri dan emosinya. Ia ingin bersikap lebih baik lagi agar ia bisa menemui Reya. "Sekarang tidak. Untuk sekarang, lebih baik Kalau kamu tidak bertemu Reya. Kalau kamu mau ketemu sama Kira ndak masalah. Saya bisa minta Lili untuk keluar dan bawa bayi itu supaya kamu bisa l
"Hai Mas," sapa Indi dengan senyuman manisnya. Jun jelas terkejut, amarahnya tiba-tiba saja membuncah. Pria itu mencengkram bahu Indi, membawa sang istri menjauh dari apartemennya. Mereka berjalan menuju pintu emergency. Jun membawa Indi ke sana. Menatap dengan penuh kekesalan."Kamu ngapain sih Mas!" teriak Indi kesal."Kamu ngapain ke sini? Enggak bilang saja juga, sejak kapan kamu jadi lancang begini?!" Jun naik pitam sejak awal melihat Indi, emosinya tak bisa dikendalikan.Indi semakin kesal dengan kelakuannya Jun, ia hanya mencoba menahan emosinya. Tak ingin terlihat kesal dan marah. Indi tak ingin presisi hati Jun semakin berpaling darinya. Bahkan keputusannya untuk datang ke Jakarta adalah dalam rangka mempertahankan rumah tangga yang sudah lama terjalin. "Mas, aku cuma mau lihat anak kamu. Salah memang? Aku juga bawa bingkisan untuk Kira. Aku bisa menerima anak itu, untuk kamu." Indi mengatakan itu berharap Jun akan lebih bisa menerimanya.Jun itu mengerti bagaimana Indi,
Lili dan Lis kini dalam perjalan pulang. Lili sejak tadi meminta sang ibu untuk guru-guru kembali ke apartemen. Pasalnya, dia khawatir dengan keadaan Reya. Ia bisa merasakan kalau sahabatnya itu sangat takut jika berada di dekat Jun."Kamu itu, padahal tadi saudara kita belum pada pulang loh nggak enak sama bulekmu." Lis protes. "Aku tuh nggak tega ninggalin Reya lama-lama sama Om Jun." Lis menoleh ke arah sang putri. "Kamu kenapa terlalu khawatir kayak gitu sih? Lagian, nggak mungkinlah kamu itu ngapa-ngapain. Dia kan udah janji kalau bakal berubah. Di sana juga ada mbak yang jagain. Jadi ada yang ngawasin dan nggak mungkin kamu itu berani macam-macam." Lis sangat mempercayai sang adik. dia percaya kalau Jun tak mungkin akan macam-macam Apalagi sudah berjanji tak akan mendekati gadis itu lagi. Lagi pula, selama dia menemani di apartemen juga selalu menjaga jarak dan hanya ingin dekat dengan putri kecilnya."Ya, anggap aja lah Om Jun memang nggak mau dekat sama Reya. Tapi Ibu kan