Lis duduk di ruang tamu terlihat ragu. Dia kemudian mengambil ponsel yang tergeletak di meja dan menghubungi seseorang."Halo Mbak?" Terdengar suara sapaan Jun dari balik telepon."Jun, kamu bisa ke sini? Boleh sama Kuki, sebisamu Kapa ," kata Lis."Ada sesuatu Mbak?" Jun terdengar cemas setelah mendengar sang kakak memintanya untuk datang ke Jakarta."Ada yang harus Mbak omongin ke kamu." Lis berpikir kalau dengan memberitahu Jun terlebih dahulu sebelum memberitahu Indi adalah jalan yang terbaik. Sengaja ia minta Kuki untuk ikut juga supaya sebagai saksi bahwa pembicaraan ini bukanlah tentang menginginkan Jun untuk berpisah dengan Indi, melainkan untuk membahas permasalahan yang lain."Oke kalau gitu aku akan cari waktu untuk ke Jakarta sama Kuki.""Ya udah, kalau gitu mbak tunggu kamu."***Beberapa hari ini Lili menginap di rumah Reya. Dia cemas dan takut kalau Reya akan melakukan sesuatu pada kehamilannya. Bisa saja sahabatnya itu nekat dengan kondisinya saat ini. Malam ini Rey
Jun terdiam, terkejut dengar tentang kehamilan Reya. Namun, ia merasa senang. Kini menatap kekasihnya dengan mata yang berbinar. "Kamu hamil?" Pertanyaan terlontar mencoba meyakinkan diri. Reya memilih memalingkan wajahnya, sementara tangannya genggam tangan Lili. Lili mengerti Reya yang kini diantara rasa takut dan cemas, saat melihat reaksi yang akan diberikan oleh Jun. Di sisi lain, Kuki tak kalah terkejutnya. Dalam hati jadi semakin geram dengan kelakuan Jun. Apalagi melihat reaksi Reya, Kuki bisa melihat betapa gadis itu merasakan ketakutan dan ingin menjauh dari Jun. "Saya akan nikahi Reya." Tentu saja Jun tak pernah merasa ragu sedikitpun untuk menikahi Reya. Seperti hal yang sudah ia dambakan dan inginkan. Membayangkan menjalin rumah tangga bersama Reya, menyenangkan menurutnya apalagi ketika memikirkan perhatian-perhatian yang diberikan oleh Gadis itu selama mereka menjalin hubungan."Aku enggak mau nikah sama Om." Reya dengan cepat menolak."Tapi kamu ham —""Enggak akan
Kuki, Lili dan Reya ini berada di rumah Reya. Ketiganya berada di kamar Gadis itu karena Reya yang terasa lemas setelah pertemuan tadi dengan Jun. Tentu saja dia merasa takut, setiap kali Jun menatapnya dengan dingin dan marah kakinya seketika saja melemas. Beruntung kali ini tak ada hukuman yang diberikan oleh Jun.Kuki menatap dengan iba pada Reya. "Bokap gue ngapain lo sih?"Reya terdiam memikirkan Apakah dia harus memberitahu semuanya kepada kedua sahabatnya ini? Sambil berpikir ia menggigit kuku ibu jarinya, menatap ragu pada Lili. "Lo ngapain sih tadi mau ngajak gue nikah?" Dan pertanyaan ini adalah jawaban bahwa ia memilih untuk tak memberitahu.Kuki dan Lili jelas mengerti dan mereka menerima saja keputusan yang diberikan oleh Reya. Sebuah trauma memang tak mudah untuk diungkapkan, butuh persiapan, hati dan juga keberanian. Itulah alasannya mengapa banyak orang yang mengalami trauma memilih untuk sendiri dan menarik diri jauh-jauh dari kerumunan. Mereka takut untuk bicara, ka
Reya terbaring di tempat tidur. Dokter mengatakan kondisinya baik, tadi karena terlalu tegang dan ketakutan. Menyebabkan bayi dalam kandungannya merasakan hal yang sama. Beruntung kondisinya sudah stabil. Dokter mengatakan ia tak boleh stres. Di sampingnya ada Jun yang menemani, diam sejak tadi, duduk sambil memainkan tangan Reya dan sesekali mengecup dengan lembut. Jun begitu menyayangi Reya, ini bukan sekadar urusan ranjang. Alasan mengapa ia begitu posesif, semua karena perasannya. Begitu takut kehilangan dan ditinggalkan.Yuji juga sejak tadi berada di ruangan, sejujurnya dia juga takut kalau Jun melakukan sesuatu lagi kepada Reya, saat hadis itu terbangun nanti. Jadi ia berada di sana untuk mengawasi dan menjaga. Kemudian pintu tiba-tiba saja terbuka menunjukkan sosok Lili dan kuki yang berjalan masuk dengan cemas. Kedua anak itu mendapatkan kabar dari Lis kalau Reya dibawa ke rumah sakit. "Bisa kita ngomong sebentar Pi?" Kuki bertanya kepada sang ayah. Jun menganggukkan kepa
Jun tengah bersiap kembali untuk rumah sakit. Semalaman juga tak bisa tidur di rumah Lis karena memikirkan tentang Reya. Khawatir sekali dengan kondisi Reya, apalagi semalam diberitahu kalau kekasihnya itu demam. Setelah selesai mandi dan berpakaian Dia segera berjalan keluar menuju ruang makan.Di sana ada Lis, Lili dan juga Kuki yang sudah siap di meja makan. Menu sarapan pagi ini adalah nasi goreng buatan Lis. Jun duduk di sana, Tak banyak bicara sama seperti yang lain. Sepertinya masalah ini sudah membuat lelah keempat orang tersebut."Reya gimana Li?" tanya Lis. "Kemarin waktu aku pulang sih ya oke oke aja Bu. Udah mau makan—" "Semalam dia demam tinggi lagi. Jadi pagi ini saya mau buru-buru ke rumah sakit." Jun memotong pembicaraan di antara Lili dan juga Lis.Kuki hela napas, tentu saja tak salah kalau sang ayah memberikan perhatian. Tapi kali ini jadi sedikit merasa jengah karena sepertinya yang ada dalam pikiran Jun hanyalah Reya. Saat itu seseorang mengetuk pintu. Lili ke
"Mami beneran mau ketemu sama Reya?" tanya Kuki. Jujur saja, ia merasa takut. Reya tengah mengandung dan sang ibu juga saat ini sedang kesal dan marah. Indi dan Kuki kini duduk di dalam kamar. Sejak pembicaraan tadi di ruang makan, ia beristirahat sejenak karena Lis yang akan mengantarkan Indi ke rumah sakit, untuk berbicara dengan Reya. "Ya harus, mami harus tau dia mau apa sampai ngotot mau sama papi kamu," sahut Indi yang kini tengah duduk di tempat tidur. Kuki hela napas, ia tau kalau dalam pikiran Indi saat ini adalah, Reya yang merayu sang ayah dan menginginkan Jun sepenuhnya. "Mami mungkin belum tau, kalau papi yang perkosa Reya supaya dia mau sama papi.""Itu kan kata dia, kamu enggak tau kan apa yang sebenarnya terjadi? Mana ada maling mau ngaku? Kalau semua maling ngaku, ya penjara penuh." Indi masih percaya, kalau sang suami tak mungkin melakukan hal semacam itu.Kuki sadar kalau akan sulit merubah kepercayaan Indi. Ia tau kesan yang dibuat sang ayah terlelu kuat. Bahka
Jun berjalan keluar dengan ragu kemudian menutup pintu. Hanya saja ia tetap berdiri di depan pintu kamar. Menjaga jika sesuatu terjadi di dalam. Takut jika Indi melakukan sesuatu pada Reya. Ia tak ingin terjadi sesuatu pada keduanya.Yuji dan Lis sama terkejutnya ketika ia melihat jun yang berada di luar bersama mereka. Bukankah seharusnya Jun berada dsi dalam kamar dan mengawasi krduanya? "Kok kamu malah ada di luar sih Jun?" tanya Lis."Indi yang minta aku keluar, mereka berdua mau ngomong berdua aja katanya." Jun menjawab terlihat tak fokus karena pikirannya bercabang saat ini. "Yakin kamu? mereka enggak akan ada apa-apa saat kamu ada di sini?' tanya Lis.Jun terdiam ia sendiri tak bisa memastikan itu. Ia hanya percaya kalau Indi tal akan melakukan sesuatu yang buruk pada Reya. Apalagi gadis itu kini tengah mengandung. Di dalam sejak kepergian Jun keduanya masih diam. Reya menunggu karena ia tau Indi mempunyai banyak hal yang harus dikatakan. Indi masih menatap Reya yang terliha
Indi berjalan ke luar dari ruang perawatan. Harga dirinya hancur setelah apa yang dikatakan oleh Reya. Cemburu ia rasakan menguar dari dalam diri. Mengetahui bagaimana Jun begitu menginginkan Reya, hingga melakukan hal seperti itu membuat ia merasa malu sendiri. Ia Indi sadar memang itu adalah kesalahan yang telah ia lakukan. Ketidakpeduliannya pada Jun dan juga putranya membawa ia semakin jauh.Wanita itu menatap pada sang suami yang terlihat cemas. Jelas kecemasan itu bukan ditujukan untuknya. Jun cemas pasti dengan keadaan Reya, dan itu membuatnya semakin kesal. Jun bergerak, berniat masuk ke dalam ruang rawat, tangan Indi menahan. "mau ngapain kamu Mas?" tanya Indi.Jun menatap sekilas, lalu memalingkan wajahnya. "Dia udah nolak kamu, kamu masih kayak gini? harga diri kamu di mana Mas?" tanya Indi yang merasa malu sendiri dengan kelakuan sang suami. Ia menahan amarah, tangannya mengepal hingga buat suaranya bergetar. "Dia lagi sakit Ndi." Jun melemah, suaranya mengiba berharap
Orang suruhan Yudha membawa sesosok tubuh yang tadinya terbaring di jalan di pundaknya. Tubuh tersebut kemudian ditaruh di bagasi belakang mobil. Mobil itu melaju meninggalkan gudang kosong. ***"Mami cemas banget sih?" Kuki bertanya. Malam ini, ia bersama dengan Indi sedang duduk di ruang tengah bersama sambil sibuk menonton televisi. Sejak tadi Indy jelas terlihat gelisah. Meskipun tadi siang sama suami sudah mengabarkan kalau berada di Jakarta dan menjenguk. Tetap saja perasaannya gelisah dan cemas"Meskipun papi udah bilang kalau dia lagi ngurus dan ketemu sama bayinya. Mami takut kalau dia malah kembali sama perempuan itu."Kuki terdiam dan ia memerhatikan sang ibu. Di dalam hatinya sebenarnya merasa iba dengan kejadian ini. semua perilaku sang ayah jelas tak bisa dibenarkan. "Sebenarnya, aku agak kaget karena Mami malah mau balik lagi sama papi. Karena laki-laki itu kalau udah berkhianat akan selamanya jadi penghianat.""Mami cuman nggak mau nyia-nyiain apa yang dititipkan alm
Indi saat ini di taman belakang. Kemarin membeli beberapa bibit bunga baru dan tengah sibuk untuk menanamnya kembali di taman. Saat itu ponselnya berdering, segera ia mengambil dari kantong epron yang digunakannya. "Ya Ra?""Ada kabar katanya Bapak ke Jakarta." Rara memberitahu atasannya itu."Apa? Bapak ke Jakarta? Bapak tadi berangkat ke kantor kok.""Iya Bu, ada kabar katanya Bapak minta helikopter perusahaan disiapkan untuk berangkat ke Jakarta hari ini." Rara memberitahu lagi, dia terdengar cemas."Emangnya ada apa kenapa ya bapak ke Jakarta hari ini? Mbak Lis baik-baik aja kan?""Maaf Bu, hari ini kabarnya perempuan itu akan melahirkan." "Reya?""Iya Bu." Indi jelas menjadi geram dan kesal. Belakangnya situasi di rumah pun belum pulih, tapi sang suami malah bertingkah lagi seperti ini."Ya udah, terima kasih ya karena kamu udah kabarin saya." Segera saja dia mematikan ponsel, kemudian segera memanggil sang suami.Hatinya benar-benar cemas, takut Jun kembali kepada Reya. Kare
"Melahirkan?" Jun mengulangi kata-kata yang diucapkan Yudha dari balik telepon."Benar Pak, sudah berada di rumah sakit sejak pagi-pagi sekali sama Yuji."Senyum di bibir Jun sekilas menghilang. Saat ini sedang dalam perjalanan menuju kantor. Pagi ini memang sudah merasa ada yang berbeda. Jadi sengaja berangkat lebih pagi. Ternyata ia mendapatkan sebuah kabar baik. "Tetap ada di sana, kabari saya apa yang terjadi. Kamu tau kan apa yang harus kamu lakukan untuk mendapatkan informasi yang akurat? Kalau ada apa-apa kamu harus segera hubungi handphone saya.""Baik pak, saya tau apa yang harus saya lakukan." Jun segera mematikan panggilan. Ia menghubungi sang sekretaris. "Siapkan helikopter, secapatnya saya akan ke Jakarta. Ingat secepatnya." Jun memerintahkan. Karena tak mungkin ia memiliki waktu yang lebih cepat jika harus memesan tiket penerbangan."Ke Jakarta apa ibu nanti ndak marah pak?" tanya Ahyat karena jujur saja ia cukup cemas dengan apa yang dilakukan Jun. "Nanti saya yang a
Indi berada di rumahnya. Dia kini tengah menunggu Rara. Sejak kejadian tadi pagi sama sekali tak bisa tenang. Terus memikirkan kemungkinan kalau sang suami mengetahui apa yang ia lakukan. Tentu saja Indi tak ingin sama suaminya tahu, karena dia takut ditinggalkan.Saat itu Rara berjalan masuk, kemudian Gadis itu mendekati sang majikan. "Ada apa ya Bu?" Rara bertanya karena panggilan Indi yang begitu tiba-tiba siang ini.Indi menepuk bangku yang berada di sampingnya. "Kamu duduk sini dulu Ra. Ada yang mau saya omongin."Rara menurut, kemudian duduk di samping Indi. Yang kaki tangan kemudian terdiam dan menunggu apa yang akan dikatakan oleh Indi."Kamu udah bisa pastiin kan kalau nggak ada orang suruhan Pak Jun yang ikut ngawasin perempuan itu?" Indi bertanya mencoba untuk memastikan. Tentu saja dia harus mencari tahu.Rara anggukan kepalanya dengan yakin. "Saya udah memeriksa, juga sudah memetakan di tempat itu dan sama sekali nggak ketemu sama orang suruhnya Pak Jun. Jadi, saya bisa p
Pagi ini di rumah Jun seperti biasa, diawali dengan sarapan bersama keluarganya. Rutinitas yang selalu dilakukan sejak kembali ke Surabaya. Pagi ini menu yang dibuat oleh Indi adalah bubur ayam. Menu itu diracik khusus yang dibuat oleh Indi pagi ini. Sengaja ingin membuat itu karena sepertinya kemarin sang suami kurang enak badan."Aku sengaja masa kini buat kamu Mas. Soalnya kayaknya kemarin kamu kurang enak badan." Indi mengatakan itu, sambil menuangkan bubur ayam ke atas mangkok. Setelahnya dia memberikan kepada Jun. Pria itu menerima, seperti biasa tidak ada senyum di bibirnya. "Terima kasih."Kuki selalu memerhatikan, seolah kini tak ada kebahagiaan lagi di rumahnya. Meskipun sang ayah masih juga berusaha untuk membuka pembicaraan hanya saja itu jarang sekali dilakukan."Hari ini kamu ke mana Nak?" Jun bertanya. "Hari ini kayak biasa Pi. Aku ngerjain skripsi dan tapi kayaknya, minggu depan ada niat untuk ke Jakarta. Biasa, aku ada urusan sama beberapa teman di sana." Kuki menj
Sore ini Jun baru saja pulang bekerja. Pria itu berada di dalam mobil bersama Ahyat sang sopir. Ia menatap keluar jalan, seraya memutar rolex yang terpasang di tangannya. Saat itu, Ahyat yang berada di depan memberikan ponsel miliknya."Dari tadi Mas Yudha telepon terus pak. Cuman saya belum angkat."Untuk menghindari pantauan dari Indi, dia memang meminta tolong sang sopir untuk membantunya dalam menghubungi Yudha ataupun keperluan lain yang ia butuhkan untuk mengetahui keberadaan Reya. Jun menekan layar ponsel milik Ahyat kemudian segera menghubungi Yudha. "Ya, ada apa?""Mbak Reya, sama Yuji sudah nggak ada di rumah sejak pagi-pagi.""Loh, terus mereka ke mana?""Saya belum tau pastinya pak. Karena memang kami hanya memantau pagi dan sore seperti apa yang bapak minta. Tapi ada yang beri informasi, kalau pagi-pagi ada yang melempar jendela rumah mbak Reya dengan sebuah batu besar. Sepertinya itu adalah orang yang sama yang diminta oleh ibu ini untuk teror." Yudha beritahu hasil dar
"Hamil?" tanya Tata. Wanita itu segera melirik ke arah Yuji. "Emang kalian enggak pakai pengaman kalau berhubungan? Yuji, Yuji, gimana sih?" tanya Tata mengira kalau apa yang terjadi pada Reya adalah kesalahan pria itu."Bukan Mas-" Reya terhenti saat Yuji memotong ucapannya. "Iya maaf Mbak, namanya juga musibah. Hehehe," sahut Yuji kemudian terkekeh kemudian mengusap tengkuknya yang tak gatal. Yuji tidak ingin nama Reya menjadi semakin buruk karena Gadis itu tak mau untuk mengakui apa yang dikatakan Tata. Lagi pula masalahnya akan semakin runyam jika mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Hal itu menyebabkan Yuji pasang badan untuk masalah yang tengah dihadapi oleh Reya. "Enggak usah stop Rey, setelah nanti kamu melahirkan bisa langsung kerja lagi. Kalau memang mau istirahat ya istirahat dulu." Tata merasa sampai saat ini hanya Reya yang paling pas untuk menjadi brand ambassador produk pakaian big size-nya. Dia juga merasa kalau masalah ini sebenarnya cukup sering terjadi di kal
Sekarang setiap kali sendirian di rumah, Indi memilih untuk merapikan taman belakang. Menanam aneka mawar dan anggrek hal itu cukup membuat punya kesibukan di rumah. Indi memang sudah tak lagi mengikuti kegiatan roadshow. Tetapi masih ikut sebagai penyumbang dana dan berhubungan di grup bersama dengan teman-teman yang lain. Saat tengah memupuki tanaman, tiba-tiba saja Rara masuk ke dalam menyusul atasannya."Saya sudah dari rumah Bu Yuni dan menyampaikan pesan dari ibu. Saya juga ke sana sambil bawa sembako yang Ibu pesan kemarin." Rara memberitahu. Indi memang lebih senang memberikan berupa barang daripada uang. Ikarena ia paham betul kalau memberikan uang lebih mudah untuk diselewengkan. Meski Indi sudah lama tergabung dalam yayasan tersebut, dia tetap saja tak terlalu percaya pada para pemegang pendanaan. Karena ia dan juga orang-orang bagian keuangan tak terlalu dekat."Terima kasih kalau begitu. Dan jatah untuk pengiriman sembako berarti dua minggu lagi ya Ra. Nanti kamu tolong
'Saya minta maaf, tapi saya ingin mengundurkan diri dari pekerjaan ini.'Itu adalah kata-kata yang diucapkan oleh Yuji kepada Jun. Dan kini rahang Jun menjadi mengeras, tangannya mengepal berpangku pada sisi pintu mobil. Ada hal yang tak benar menurutnya, mengapa tiba-tiba saja Yuji ingin berhenti? Kemudian ia mengambil ponsel dan menghubungi seseorang."Yudha kamu bisa bantu saya?"Sementara itu setelah berbicara dengan Jun, Yuji kembali masuk ke dalam kamar. Dia melihat kondisi Reya. Gadis itu menangis setelah kepergian Jun. Yuji berjalan mendekat dan segera duduk di samping Reya. Reya menatap Yuji, dia benar-benar bingung dengan apa yang akan terjadi. "Kayaknya aku nggak akan bisa lepas dari Om Jun ya Mas? Dia bisa ngelakuin apa aja."Itu memang benar, karena Jun memiliki segalanya, uang dan juga kekuasaan. Pria itu juga cukup dekat dengan beberapa politikus. Hal itu lantaran memang sebagian bisnis miliknya membutuhkan orang dalam untuk bisa dibangun dan dimulai. Itu memang sudah