Makan siang telah tiba. Rasa was-was menghantui Langit karena kejadian pagi tadi. Ia sudah pasrah jika nantinya Senja menolak datang karena hinaan yang dilayangkan oleh sang mama pada wanita itu. Sebagai anak, ia juga kecewa dengan kelakuan bar-bar mamanya yang membuatnya malu tak karuan. Dengan cemas serta mondar-mandir Langit menunggu kedatangan Senja. Hingga suatu deheman mampu membuat langkahnya terhenti dan wajahnya menoleh. "Senja," Langit bahagia bukan kepalang ketika melihat Senja mau datang makan siang bersamanya terlepas kejadian mengerikan tadi pagi. Senja mengikuti kemana Langit membawanya. Meski ia sampai di restoran ini tidaklah mudah karena di setiap langkahnya terdengar kata-kata sumbang yang menghinanya janda tak berkelas dan sebagainya. Apakah Senja perduli? Meski ia mencoba tak menghiraukan, tapi tetap saja hatinya tergores mendengar hinaan itu. Mereka tidak tau bagaimana ia berjuang dari keterpurukan ketika diselingkuhi dan bercerai.
Senja hanya bisa duduk terdiam di pinggir trotoar dengan tatapannya kosong. Apa yang ia alami barusan membuat jiwanya terguncang hebat. Bahkan, hanya untuk berdiri saja rasanya lemas bagai tak bertulang. Bagaimana tidak, dia hampir saja menjadi korban tabrakan jika saja Riki tidak menarik tangannya, hingga membuatnya lolos dari maut yang mengintai. Luka lecet di kaki tidak ia rasakan. Suara mobil yang menabrak pembatas jalan masih terngiang di telinganya. Membuatnya merinding seakan tidak percaya jika Tuhan masih melindunginya. Lamunannya tersentak saat mendengar suara pria yang tengah berusaha membelah kerumunan yang mengepung tubuh Senja. "Senja, kamu tidak apa-apa, Sayang?" Langit tiba-tiba datang dan dengan raut wajah cemas dan penuh rasa khawatir. Senja hanya membisu. Sorot matanya menerangkan segalanya. Langit memeluk tubuh Senja erat setelah mendapatkan kabar dari Riki yang mengatakan Senja yang hampir celaka. Seketika jantungnya berhent
Cup... "Apa yang kalian lakukan??" Tiba-tiba suara mengagetkan mereka. Sontak Senja langsung mendorong tubuh Langit menjauh. Ia menarik kakinya yang berada dipangkuan Langit dengan serampangan dan menjatuhkannya begitu saja. Sungguh, jantungnya berdetak tak karuan setelah ketahuan. "Vivi. Kamu baru pulang?" Senja tersenyum pelik untuk menyembunyikan rasa gugup yang luar biasa. Ia tidak ingin Vivi salah paham dengannya. Vivi melangkah mendekat dan duduk di depan sofa yang di duduki keduanya. Matanya memicing penuh curiga pada Senja dan Langit secara bergantian. "Kalian tadi ngapain?" "Ciuman.." "Kelilipan." Bersamaan mereka menjawab tapi dengan jawaban yang berbeda. Plak... Senja memukul lengan Langit karena jawaban ngawurnya. Memang jawaban jujur, tapi tak seharusnya Langit mengatakan itu pada Vivi. Itu privasi mereka berdua. Makin memicing tajam mata Vivi menatap Senja. "Kalian ciuman? Di depan aku?" "Lagian siapa yang menyuruh kam
Vivi masih menekuk wajahnya tak bersahabat. Tuduhan Benji masih saja terngiang di otaknya. Sebagai seorang wanita, tentu ia tersinggung dituduh seperti itu. Padahal, ia tidak seperti yang dituduhkan. Pesanan mereka datang. Seperti biasa saat sedang berkunjung, Vivi memesan ayam goreng paha yang menjadi favoritnya. Saking seringnya makan di sana, sang penjual sampai hafal menu yang selalu ia beli. Matanya langsung berbinar melihat paha ayam yang besar dan sambal serta lalapan yang menggoda iman. Setelah berdoa dan cuci tangan, ia langsung melahap makanan itu ke dalam mulutnya. Rasa nikmat makanan itu, mampu membuat rasa kesalnya perlahan surut di hatinya. Tapi tidak ketika melirik Benji, rasa tak sukanya pada Benji semakin bertambah sejak hari ini. Dan mulai dari detik ini, Benji masuk dalam daftar pria yang tidak ingin dia kenal selama dalam hidupnya. "Mau nambah?" tanya Benji tiba-tiba di sela makannya. Melihat Vivi yang makan dengan lahap, membuat nafsu maka
Langit bangkit dari duduknya dan menghampiri Benji yang nampak sedikit gugup itu. "Kamu apakan dia Ben, sampai dia lari ketakutan seperti itu?" Benji menggeleng. "Aku tidak apa-apain, Pak." "Jangan bohong. Vivi tidak akan sampai terluka jika kamu menjaganya dengan baik. Lebih baik kamu mengaku daripada aku mencari tahunya sendiri." Benji meringis. Ancaman Langit tentu tidak bisa ia anggap remeh. Ini masalah kecil, tapi kenapa masalahnya melebar kemana-mana. Apa hubungan Vivi dengan sepupunya itu? Benji menatap Vivi penuh tanya. Yang ditatap, hanya mendelik seraya mengoceh tanpa suara. Itu terlihat dari bibirnya yang bergerak merangkai kata tidak jelas. "Katakan, Ben. Jangan buat kakak sepupumu ini marah dan malu atas perbuatanmu!" kata Langit penuh peringatan. Senja dan Vivi saling bersitatap. "Kakak sepupu?" Bibir mereka secara bersamaan mengulang kalimat keramat Langit. Mereka mengerjap. Berarti? Vivi seketika dilanda rasa panik. Ia sudah membuat
"Kamu siapa?" Dengan sekali gerakan pria itu mendorong tubuh Melly untuk masuk ke dalam rumah itu. Menggunakan satu kakinya pria itu menutup pintunya hingga menimbulkan suara nyaring yang mengagetkan. Lalu, pria itu mendorong Melly sampai wanita itu terjebak di dinding. "Lepaskan!! Kamu siapa?" Melly berusaha mendorong tubuh kekar pria itu menggunakan tangannya. Memberontak dan mencari celah. "Kamu tidak perlu tau aku siapa. Tapi jika kamu berani menganggu adikku lagi, kamu akan mendapatkan akibatnya." "Siapa adik kamu, brengsek?! Aku tidak tau siapa yang kamu maksud. Bisa saja kamu salah orang. Jadi lepaskan aku sekarang juga atau akan berteriak meminta tolong agar kamu di gebukin warga di sini." Pria itu tersenyum sinis. Sama sekali tidak takut dengan ancaman wanita di depannya ini. Malah, ia semakin menghimpit tubuh Melly sampai wanita itu terlihat ketakutan. "Le_lepaskan aku. Tolong!!" lirihnya. Melly menyadari akan ada bahaya di depannya saat ini.
"Ayo ikut aku!!" Langit memegang tangan Senja dan menariknya untuk keluar. "Mau kemana? Aku mau kerja, Mas?" Senja berusaha menolak Langit. "Pokoknya kamu harus ikut." "Tapi aku tidak bisa!!" kukuh Senja. Langit terdiam. Ia menoleh ke arah Senja yang masih berada dibelakang. "Apa kamu lupa siapa bosnya dimana kamu bekerja? Apa kamu lupa siapa yang menggaji kamu setiap bulannya?" tanya Langit seraya melotot garang. Ia tidak suka saat Senja menolaknya. Padahal, ia adalah bosnya, lalu kenapa Senja sama sekali tidak menghiraukan perintahnya. "Iya. Aku tau kalau kamu bos di mana aku bekerja. Tapi aku tidak ingin menerima gaji buta, Mas." "Kalau kamu tidak Ingin menerima gaji buta, menikahlah denganku. Maka aku akan memenuhi kebutuhanmu. Kamu hanya perlu bekerja di ranjangku." Senja mendelik mendengar kalimat Langit yang bar-bar. Sedangkan Vivi dan Benji hanya pura-pura tidak mendengar. Percayalah, bahwa mereka pun malu mendengar kalimat yang tak seharusnya m
"Nja, aku ingin, Nja," pintanya dengan suara parau. Mata yang awalnya terpejam, perlahan terbuka. Dilihatnya wajah Langit yang memerah menahan hasrat yang siap diledakkan sekarang juga. Otaknya yang tengah berkabut, tentu akan ia menerima ajakan bercinta yang sudah lama tidak ia rasakan. Kenikmatan yang sempat ia rindukan. Tapi, hatinya mencoba waras ditengah terpaan hasrat yang menggelora. Mata mereka saling tatap. Dan itu cukup lama. Sampai Langit bisa menyimpulkan penolakan dari Senja walau tanpa kata. Seketika ia merasa bersalah karena sudah merusak Senja dengan keegoisannya. "Maafkan aku, Nja." Lantas, Langit langsung beranjak dari tubuh Senja yang ia tindih sedari tadi. Tangannya terulur untuk membantu Senja beranjak dari tidurnya dan duduk di depan Langit. "Maafkan aku, Nja. Aku khilaf," ucapnya lagi dengan sorot mata penuh penyesalan. Senja terdiam cukup lama, sampai akhirnya segaris senyuman terbit di bibirnya. Ia menggeleng pelan
"Kenapa dia cantik sekali saat tidur begini?' tanya Langit dalam hati. Memang Senja terlihat lebih manis dan kalem saat menutup matanya. "Tidak salah aku menjadikanmu istriku, Nja," sambungnya yang lagi-lagi dalam hati saja. Merasakan sapuan lembut di wajahnya, membuat Senja perlahan menggerakkan matanya. Ia menutup mulutnya yang menguap lebar seraya berusaha membuka matanya yang seolah masih merekat. "Nyenyak sekali tidurmu, Sayang. Sampai membuatku harus menunggu lama hanya untuk melihatmu membuka mata untuk pertama kalinya." Suara Langit membuat Senja menoleh ke arah suaminya. "Kamu sudah bangun, Mas?" tanya Senja, menyipitkan kedua matanya yang masih melihat dengan buram. Langit hanya berdehem. Kemudian ia kembali memeluk Senja dengan erat dan membau aroma dari tubuh istrinya yang entah sejak kapan menjadi candu baru baginya. Senja yang mengendus aroma bahaya, berniat bergegas untuk bangkit dari tidurnya. Karena jika tidak, akan ada olahraga lagi menantiny
Percintaan yang terjadi di antara mereka beberapa jam yang lalu diakhiri dengan sebuah kecupan yang cukup lama. Rasa lelah dan lega yang semula tertahankan kini sudah tumpah menjadi satu. Ya, dengan susah payah Langit membujuk Senja untuk kembali bertukar keringat di atas ranjang untuk yang kesekian kalinya. Meski sempat mendapatkan penolakan dari Senja dengan alasan lelah, tapi akhirnya Senja menerimanya setelah Langit mengeluarkan dalil-dalil panjang yang membuat Senja berubah pikiran. Dada mereka kembang kempis saling berebut oksigen untuk mengisi paru-parunya agar pernafasan mereka teratur seperti sedia kala. Senyum manis tersungging di sana. Tangan Langit menarik selimut tebal untuk menutupi sebagian tubuhnya dan juga tubuh istrinya. Rasa lelah karena penyatuan yang menguras tenaga, membuat mereka enggan beranjak walau hanya untuk memakai pakaian mereka saja. Mereka lebih memilih mengistirahatkan tubuh mereka. Walau itu tidak mudah karena sisa-sisa kenikmatan
"Sayang, buka pintunya!!" Langit mengetuk pintu dengan lesu. Beberapa kali ia mencoba membuka pintu, tapi terkunci. Langit dibuat frustasi karenanya. Apalagi ketika melihat baju yang dikenakan Senja, ia yakin jika itu sebuah kode dari istrinya. Sekarang, karena kebodohannya, hal ternikmat yang dia idam-idamkan melayang dengan sia-sia. Tubuhnya merosot, terduduk di depan pintu dengan wajah sendu. Jika bisa, ia ingin menangis saat ini. "Sayang!!!" Tangannya mencoba menggapai pintu, tapi tubuhnya sudah lemas. Kepalanya bersandar di daun pintu, matanya terpejam karena rasa lelah yang mendera setelah jutaan bujuk rayuan tidak mempan membuat Senja luluh. Baru saja ia akan menuju ke alam mimpi, terasa pintu tiba-tiba terbuka. Hampir saja tubuh Langit terguling jika saja ia tidak cepat-cepat sadar dan mengendalikan tubuhnya. "Sayang." Langit langsung beranjak berdiri ketika melihat Senja yang sudah berdiri dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya belum juga ted
"Ayo buka bajunya. Biar aku periksa." Perkataan Langit itu tentu saja membuat Senja mendelik tak terima. Tangannya langsung menutup area dadanya. "Kamu jangan ngawur ya, Mas!!" Senja menatap galak ketika mendapati tatapan Langit yang mesum. Langit tertawa. Pria itu semakin gemas melihat istrinya. Pletak.. Langit menyentil pelan kening Senja. "Memangnya apa yang kamu pikirkan, Sayang? Aku hanya ingin mengobati lukamu, bukan yang lain." Senja gelagapan. Ternyata Langit salah tangkap atas sikapnya. "Bukan itu, Mas. Tapi aku malu jika harus buka baju. Kamu sendiri tau jika luka itu lebih banyak di dada dan bagian pundakku." Tangannya terangkat dan membelai wajah istrinya. "Tidak usah malu, Sayang. Aku akan lebih senang jika kamu mau menuruti apa yang aku katakan. Semua ini untukmu. Demi kesembuhanmu." Senja terdiam. Benar apa kata suaminya. Luka lebam masih butuh diberi obat agar tidak membengkak. Tapi jujur dia malu jika Langit harus melihat tubuh polosnya. "Aku j
"Kamu sudah yakin akan keputusan kamu, Sayang?" tanya Langit yang tengah duduk di sisi ranjang. Matanya menatap lekat pada sang istri yang tengah berkemas. Senja menatap sekilas, kemudian fokus memasukkan bajunya untuk dimasukkan ke dalam koper. "Aku serius, mas!" "Kamu tega ninggalin Bina?" Gerakan Senja terhenti. Ia menghela nafas panjang. Sebagai ibu Ia pun tidak tega jika harus meninggalkan anaknya yang masih membutuhkan dirinya. Belum juga nanti para omongan tetangga yang mungkin akan menjelekkan suaminya yang dikira ingin ibunya saja tapi anaknya enggan diterima. "Kamu sendiri sudah mendengar ibu berbicara seperti apa tadi pagi. Aku sudah berusaha membawa Bina untuk pergi bersama kita tapi Ibu melarangnya bukan? Lalu aku harus bagaimana, Mas?" Mata Senja mulai berkaca-kaca. Pagi itu setelah sarapan, Senja menemui ibunya secara langsung untuk meminta izin membawa Bina ke rumah yang sudah disiapkan Langit untuknya. Tapi jawaban ibunya sungguh m
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Senja Kamila Binti Ahmad Arhandi dengan mas kawin satu set perhiasan, uang seratus juta dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!!" "Bagaimana para saksi? Sah?" "Saahh!!!" Lantunan doa mengalun merdu mengiringi pergantian status mereka secara agama dan negara. Setelah menggelar acara ijab qobul, mereka melakukan sungkem pada ibu mereka masing-masing. Tangis haru tidak bisa dihindari ketika anak-anak mereka bersimpuh untuk memohon doa restu. Bahkan, Yuke sampai tergugu dalam tangisnya yang sampai membuat beberapa hadirin yang datang ikut menitikkan air mata. Seolah ikut terseret dalam alur penuh keharuan. "Mama, maafkan Langit yang selama ini belum bisa menjadi putra yang baik bagi mama. Belum bisa membahagiakan mama sebagai mestinya. Mah, berilah doa restu untuk Langit, agar Langit bisa mengarungi samudra kehidupan rumah tangga dengan baik bersama wanita pilihan Langit." Jujur, inilah hal yang paling membuat dirinya emosional
Senja mendesis ketika pundaknya disentuh oleh Langit. Langit yang penasaran langsung membukanya meski Senja awalnya menolak. Seketika matanya memerah ketika melihat bekas luka yang masih terlihat ada bekas darah. Di periksanya lagi di bagian dada. Seketika giginya bergemelutuk melihat bekas apa yang dilakukan oleh Han. "Apakah ini sakit?" Senja menggelengkan kepala. "Sama sekali tidak, Mas. " "Jangan bohong." Senja terdiam. Lebih sakit ia melihat Langit yang terluka seperti itu. Semenjak kenal dengan Langit, baru kali ini ia melihat Langit yang menahan amarah seperti itu. Ia takut jika dia akan menyakiti Han dan membuat Langit harus terjerat kasus hukum karena dirinya. "Aku mohon, jangan lagi berurusan dengan dia, Mas. Aku takut kamu terjerat hukum karena dia." Senja langsung memeluk Langit dengan erat. Ia berharap pria itu akan mengerti apa yang Ia maksud. Tangan Langit terangkat dan membalas pelukan Senja tak kalah erat. "Dia harus membay
Senja memaku ketika melihat seseorang datang menolongnya. Dengan cepat Langit menutup tubuh Senja menggunakan selimut. "Brengsek lo!!" Benji menendang perut Han dengan brutal. Pria yang biasanya kalem, berubah bringas bak hewan buas. Han tak berkutik karena tiba-tiba mendapatkan serangan bertubi-tubi. Sementara Langit melepaskan ikatan tali di kaki dan tangan Senja. Setelah itu mengangkat tubuh calon istrinya untuk keluar dari sana. "Tolong bawa dia pergi, Rik," kata Langit pada Riki. Setelah itu ia langsung berlari menuju ke dalam untuk melampiaskan amarahnya. Mobil polisi datang setelah mobil Senja bergerak pergi meninggalkan tempat kejadian. Di dalam mobil, Senja menangis dalam pelukan Melly. Melly tak kuasa menahan air matanya melihat adik iparnya yang nampak berantakan. Tangan Riki mencengkeram erat kemudinya, merasakan amarah yang membuncah ketika melihat adiknya disakiti untuk yang kedua kali dengan pria yang sama. "Akan aku pastikan dia
Sementara di tempat kerja, perasaan Langit mendadak tidak tenang. Entah kenapa pikirannya hanya tertuju pada Senja. Terlebih pagi ini Senja sama sekali belum menghubunginya sekedar menanyakan sudah sarapan atau belum seperti biasanya. "Bapak kenapa? Atau perlu sesuatu?" tanya Benji yang melihat gelagat Langit yang aneh menurutnya. Langit hanya menggeleng. Lantas ia meraih ponselnya untuk menghubungi Senja sekedar menanyakan kabarnya hari ini agar hatinya bisa kembali tenang. Tapi sayangnya ponsel Senja tidak aktif. "Kenapa ponselnya tidak aktif? Tumben!!" "Kenapa, Pak?" Benji yang tengah duduk di depan Langit mendengarnya bergumam. "Aku telepon Senja tapi kenapa nomornya tidak aktif." "Bapak bisa menghubungi pak Riki untuk menanyakan kabar bu Senja. Siapa tahu Pak Riki bisa menjawab kegelisahan anda hari ini." Langit segera menghubungi Riki untuk menanyakan kabar Senja. Dan Riki mengatakan jika Senja sedang ke pasar serta membawa ponselnya. "Sial, kenapa pe