“Nona Sheila.”
Panggilan itu menghentikan gerakan jemari Sheila yang menelusuri selimut Bianca.
“Sudah waktunya.” Anthoni kembali menambahkan. Pria yang hampir seusia kakeknya itu menganggukan kepala. Ia memang tidak menunjukkan air mata, tapi siapa pun bisa melihat luka di kedua mata tua itu. Ia berdiri dengan jas hitamnya di ambang pintu, menunggu Sheila yang masih berbaring meringkuk di samping tubuh Bianca.
Pemandangan itu mengingatkan Anthoni pada masa-masa belasan tahun yang lalu. Setiap ia tanpa sengaja melihat kakak beradik itu, mereka pasti berada di posisi yang sama. Saat Bianca terlelap, maka Sheila akan terjaga di sampingnya. Gadis itu terus berusaha terjaga selama beberapa waktu, bersiap-siap jika sang Kakak akan kembali jatuh ke lautan mimpi buruk.
Meski matanya sudah begitu lelah, tapi Sheila akan tetap terjaga. Ia merapatkan tubuhnya sedekat mungkin dengan Bianca, berharap bisa terbangun saat merasakan
3 Bulan Kemudian. “Miles Group telah menanda tangani perjanjian untuk mengakusisi bisnis PT. Peruka Cosmetics, di mana Miles Group akan menjadi pemegang saham mayoritas dengan jumlah saham 75% dalam perusahaan patungan dengan nama PT. Peruka Miles Indonesia. “PT. Peruka Miles Indonesia sendiri adalah bagian dari anak perusahaan Miles Group yang beroperasi dalam bidang consumer goods yang meliputi beberapa jenis kategori produk. Di antara lain adalah Personal Care, Beverages, Food and Pharmacy. “Dengan perusahaan patugan tersebut, Miles Group dan Peruka Cosmetics akan terus mengembangkan produk perawatan kulit yang mempunyai unsur aktif biologis yang dapat memberikan keuntungan medis. “Selain memproduksi produk kesehatan dan kosmetik kulit, saat ini Peruka Cosmetics juga sudah memiliki klinik kesehatan dan kecantikan dengan fasilitas yang modern dan ditangani langsung oleh dokter-dokter cosmetodermatologist.” Se
“Kak Bi!” Sheila melambaikan tangannya saat melihat Bianca keluar dari kerumunan wartawan setelah acara peresmian itu selesai. “Shei!” Bianca tersenyum lebar di hadapan adiknya. “Gimana tadi?” “COOOOLLLL!!!!” Sheila mengangkat kedua ibu jarinya penuh semangat. “TOP BANGET POKOKNYA!” Bianca terkekeh pelan melihat reaksi penilaian Sheila. Bianca pikir mereka akan terjebak dalam lautan keputus asaan setelah kepergian sang ibu. Namun, akhirnya Bianca sadar, ia memiliki satu hal yang begitu penting yang harus tetap ia jaga. Seperti janjinya dulu, ia akan meninggalkan dunia ini setelah membuat dunia yang aman bagi Sheila. Dan ia akan bekerja keras untuk mewujudkan itu semua. “Iya, kamu keren banget, Bi.” Tini menghampiri dengan sebuah senyuman penuh haru. Ia sudah tidak menggunakan alat bantu apa pun, tapi kecelakaan itu membuat cara berjalan Tini sedikit tertatih. “Daaaaannn lihat dong viewers pas aku live selama acara tadi!!!” Leslie melompat ke h
“Ini adalah conton layout klinik Peruka yang akan dibangun. Dengan memperhatikan kebutuhan konsumen milenial masa kini, kami mendesain klinik yang sangat instagramable.” Sheila mengarahkan pointernya ke layar di ruang meeting. Desain-desain cantik yang sudah dipersiapkan dengan matang diperlihatkan kepada tamu undangan sebagai target investor di cabang yang baru.“Dan, salah satu target market kami juga adalah ibu muda yang tidak punya waktu untuk pergi ke klinik kecantikan karena terlalu sibuk mengurus rumah dan anak. Di klinik Peruka, kami menyediakan playground yang sangat aman untuk anak-anak dan dua petugas playground yang akan siap memperhatikan anak-anak selagi ibunya menerima perawatan.”“Itu menarik, tapi tentu membutuhkan effort yang lebih juga,” ujar seorang wanita cantik berpakaian mahal. Ia adalah salah satu pengusaha sukses di Surabaya.Sheila tersenyum professional. “Ya, dan saya yakin effort yang lebih in
“Jadi, di kantor baru banyak yang kasih cokelat ke Pak Indra hari ini?” tanya Leslie. Mata sipitnya sampai membulat penuh. “Wahhhh berani banget mereka!” gumamnya tak habis pikir. Ia melirik sosok Bianca dengan pandangan ngeri. “Dia nggak tau Pak Indra itu punya siapa,” tambahnya penuh arti. Bianca yang tengah memeriksa data penjualan di laptopnya hanya mengulum senyum. Padahal ia tidak mengatakan tentang hal itu kepada siapa pun, tapi sepertinya kabar tentang cokelat yang didapatkan Indra sudah tersebar, dan Bianca tidak terkejut sama sekali.“Apa perlu aku intai lagi, Bu?” tanya Dinda dengan wajah serius. Gadis itu sekarang memang bekerja di bawah Bianca, dan di luar dugaan, Dinda benar-benar sudah berubah. Sambil terus mengurus ibunya yang tengah dirawat di rumah sakit jiwa, ia juga melanjutkan kuliah dan bekerja di perusahaan Bianca.Pletak.Tini menyentil kening Dinda sambil lewat. “Memangn
“Kenapa harus aku yang pegang cabang Surabaya?” tanya Indra saat berbaring di samping Bianca. Bianca masih menempelkan kepalanya di atas dada telanjang Indra. Kini, irama detak jantung Indra menjadi simfoni yang paling menenangkan bagi Bianca. Ia menelusuri dada bidang pria itu dengan jemarinya, dan menghirup dalam-dalam aroma pria itu.“Ini kan cabang baru, aku nggak bisa kasih ke sembarang orang.”“Tapi ada banyak orang yang lebih kompeten dari aku, Bi.”“Tapi yang aku percayai cuma satu, Kak.”Indra menggeram pelan. Ia memalingkan wajah, menatap gorden yang bergerak perlahan terkena embusan angin. “Aku juga akan tempatin Sheila di sana buat belajar. Aku butuh Kakak buat pantau dan ajari dia. Kalau dia tetap di sini, dia nggak akan bisa mandiri.”“Tapi aku nggak mau jauh dari kamu.”
“Jadi Pak Indra beneran punya pacar?”“Ah, pokoknya rahasia. Lihat nanti aja, sudah yah aku harus ke ruang meeting lagi, duluan semuanya!” ujar Sheila seraya melambaikan tangan kepada semua orang yang masih mengajukan protes dengan tatapan mereka.Sheila langsung menyelinap dengan cepat sebelum ada yang menahannya lagi. Ia melemparkan tas make up ke atas meja, lalu mengambil ponsel dan berlari menuruni tangga menuju ruang meeting. Kalau mereka melihatnya berada di meja, mereka pasti akan menghadang Sheila dan menanyakan hal yang sama.Tepat saat Sheila sampai di lobi, ia melihat rombongan Reno yang berjalan bersama Indra. Wajah-wajah itu tampak serius di tengah terik matahari kota Surabaya yang menyengat. Sheila berani bertaruh mereka belum makan siang, dan tampak sama sekali tidak berani mengingatkan jika waktu makan siang sudah hampir habis.Saat bekerja, Indra memang hampir selalu melupakan hal-hal lai
Hujan.Tetesannya kini membaur bersama angin malam, menyembunyikan bulat sang bulan di balik awan-awan kelamnya.Sheila menatap tetesan hujan itu dari balik jendela rumah sakit. Lagi-lagi tempat yang sama, tapi duka yang lebih besar. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba mengenyahkan genangan air di kedua matanya. Padahal ia sudah menangis berjam-jam, tapi ternyata air matanya tak juga berhenti mengalir.Ia masih ingat kejadian siang tadi, saat tanpa sengaja melihat Indra di depan kantor. Entah itu sebuah keberuntungan atau tidak. Namun Sheila yakin, andai ia tidak secara langsung memergoki Indra, pria itu pasti tidak akan membawanya pulang.Sheila bahkan sudah dengar jika Dinda dan Leslie diperintahkan ke Surabaya hari ini juga untuk menemaninya. Seakan mereka ingin menghibur Sheila dan menyembunyikan semua luka itu darinya.Padahal, jika sesuatu yang buruk terjadi, dan Sheila menjadi orang terakhir yang mengetahui hal itu, tentu akan semakin menyik
Bianca membuka matanya dengan perlahan, dan sama sekali tidak terkejut saat menemukan sosok Indra yang terlelap di kursi samping ranjangnya. Kedua mata Indah Bianca menyapu ruangan itu. Ia pikir ia akan menemukan Sheila juga di sana.Selama beberapa saat Bianca hanya terdiam sambil menatap langit-langit kamar rumah sakit. Ia tidak pernah menyangka akhirnya datang juga waktu di mana ia akan menjadi pasien.Apakah sudah waktunya? Batin Bianca nyeri.Saat Bianca bangkit dari ranjang, Indra langsung terjaga.“Kamu sudah bangun, Bi? Gimana keadaanmu sekarang?” Wajah tampan Indra terlihat cemas. “Aku akan panggil dokter.”“Tunggu, Kak.” Bianca menahan lengan Indra. “Aku nggak apa-apa. Di mana Sheila? Apa Dinda dan Leslie sudah berangkat ke Surabaya?”Indra menggeleng, dan lagi-lagi Bianca tidak merasa terkejut sama sekali. Ia sedih sekaligus lega saat menyadari jika Sheila mengetahui keadaan
“Apa harus sampai begitu?” tanya Sheila sebal kepada pria yang dengan santai berjalan di sampingnya.“Apa?” tanya pria itu tak acuh.Sheila bersidekap kesal, bahkan sampai saat ini sikapnya tidak pernah berubah. “Kalau begini, Anda bisa ke kamar sendiri. Saya mau tetap di sini,” ancam Sheila sungguh-sungguh, dan seketika wajah pria itu berubah tidak suka.Ia menghentikan langkahnya, menoleh sambil berkacak pinggang. Namun, Sheila sama sekali tidak berniat mundur. Ia bersidekap, wajahnya terangkat tinggi penuh ancaman.“Shei....”“Saya nggak sendiri di sini. Ada Amara dan teman-temannya, bahkan keluarga kita di hotel ini. Dan… semua pengawal Anda ada di sini.” Sheila melirik beberapa pria berpakaian hitam yang berdiri bagai patung di koridor hotel. Dan ia yakin bukan hanya di sini, tapi di setiap sudut hotel, pria itu sudah menempatkan orang-orangnya. Rasanya sekarang lebih tepat dikatakan sebagai ajang pertemuan mafia dibanding malam sebelum pernikahan kedua mempelai.Pria itu menarik
“Oh my God! Selamat, Amara!”Plop.Seseorang baru saja menembakkan confetti popper ke udara. Serpih warna warni potongan kertasnya menghujani sang calon pengantin dengan dramatis. Di dalam kamar hotel yang sudah dihias sedemikian rupa dengan taburan mawar dan balon berwarna merah muda, gema tawa gadis-gadis terdengar begitu renyah.“YEAAAYYYYYYY, FINALLY, AMARA!!!” Seorang gadis berambut pirang sebahu memasangkan sebuah tiara ke kepala gadis cantik itu. “Selamaat! Akhirnya kamu bisa meluluhkan dinding es Simmons.”“Dia bukan dinding es lagi, Cik, tapi dinding batu! Hahahaha.”“Iya, hahahaha!”Amara, yang hari itu menjadi pemeran utama, hanya mampu tersenyum bangga sambil mengangkat gelas sampanyenya.“Kalau aku jadi kamu, aku sih sudah mundur dari dulu. Males banget deh lihat muka datarnya Simmons!” komentar salah satu sahabat Amara yang lain, yang juga memiliki rambut sebahu tapi berwarna biru.“Heh, Simmons itu sadar diri, dia paham betul siapa Amara ini!” gadis lain yang menggunaka
Halo, semuanya…. Saya Zia. ^^ Terima kasih karena sudah membaca kisah ini sampai akhir. Huhuhuhuhuhuhuhu. Terharu, karena akhirnya saya bisa menamatkan cerita ini. T___T Dan kalau kalian tanya kenapa cerita ini lama sekali sampai bab tamat, karena sejujurnya… saya masih mencari celah untuk memperbaiki hubungan Sheila dan Anggara! Setiap bab di kisah mereka, saya tulis sambil berderai air mata. (Lebay banget ya, hahahhaha). Tapi memang begitulah. Saya mau menggambarkan betapa besarnya cinta mereka, tapi di saat yang sama, mereka juga putus asa, kecewa dengan apa yang terjadi, dan menemui jalan buntu. Sejujurnya, saya pribadi nggak setuju dengan akhir dari cerita ini. Tapi saat menulis kadang saya nggak bisa mengontrol karakter itu sepenuhnya. Walaupun saya sudah membuat plot dari awal, tapi kadang karakter tsb berkembang menjadi sosok yang tidak direncanakan, pun dengan pilihan yang diambil karakter tsb. (Ini mungkin kedengaran aneh, tapi mereka benar-benar hidup di dalam benak s
10 tahun kemudian. “Jadi? Akhirnya pangeran itu m*ti, Tante?” tanya seorang gadis 11 tahun. Suara deburan ombak mengalun merdu bersama hembusan angin beraroma garam. Mendung di luar sana mengubur cahaya rembulan dan bintang sepenuhnya. Kini yang terlihat hanyalah hamparan gelap dan suara ombak yang saling bersahut-sahutan. “Tante?” Salah satu gadis mungil mengguncangkan tangan wanita yang tengah melamun itu, memintanya melanjutkan akhir dari kisah yang dibacakannya. Mata indahnya mengedip lucu penuh penantian. “Ah, ya?” Akhirnya, wanita itu kembali. “Jadi gimana akhirnya? Pangeran itu benar-benar m*ti?” desak gadis yang 3 tahun lebih tua dari adiknya. Wanita itu menghela napas panjang, lalu menatap lembar buku di pangkuannya. “Ya, dan… nggak,” jawab wanita itu lembut. “Lho, gimana deh? Aku nggak ngerti!” “Aku juga!” “Sudah, sekarang kalian harus tidur.” “Ahhh! Selesain dulu ceritanya, Tante!” “Hm…” Wanita itu tersenyum tipis. Ia mengecup kening kedua keponakannya, lalu memp
Sheila?Seluruh indra Anggara tersentak sadar ketika ia mendengar suara Sheila. Rasanya seperti baru saja ditarik keluar dari dalamnya lautan. Ia tergagap mencari udara dalam kepanikan, tapi semua ketakutan itu enyah seketika saat mendengar suara yang paling dirindukannya.Dia hidup, dia baik-baik saja, batin Anggara. Kelegaan melebur di dalam jiwanya.Anggara ingin segera membuka mata, ia ingin memastikan keadaan Sheila dengan kedua matanya sendiri. Ia ingin melihat binar mata indah itu, ia ingin menggenggam jemarinya, ia ingin meneriaki seluruh ketakutannya saat ia pikir akan kehilangan gadis itu selamanya.Ia ingin meminta maaf karena sudah menyakitinya sedemikian dalam. Ia ingin mengatakan betapa ia sangat mencintai gadis itu, lebih… lebih dari pada yang pernah ia bayangkan.“Dia datang.”Namun, nada dingin di suara Sheila membekukan seluruh indranya kembali. Kebahagiaan yang sebelumnya merekah hangat, kini meredup sedikit demi sedikit.“Haruskah saya membiarkan dia masuk? Anda mu
“Bolehkah saya bertemu dengan Nona Sheila?”PLAK!Seperti sebuah opera sabun dengan kisah klise, wanita miskin itu ditampar oleh orang tua kekasihnya yang kaya raya. Dihujani makian, direndahkan bagai sampah, dicaci seperti pel*cur, bahkan tertuduh sebagai dalang kematian orang yang bahkan tidak dikenalinya secara langsung.“BUAT APA KAMU DATANG KE SINI?! APA KAMU MASIH BELUM PUAS MERUSAK KELUARGA SAYA?! DASAR PEREMPUAN SAMPAH!”Namun, meski mendapat penghiaan sekeras itu, ia tetap bergeming. Teguh pada pendiriannya yang salah di mata orang lain. Dan itu membuat Patricia semakin murka.Hatinya dipenuhi amarah. Bagaimana mungkin wanita yang menjadi akar dari seluruh masalah itu muncul begitu saja di hadapannya?!“PERGI! JANGAN PERNAH DATANG LAGI KE RUMAH INI! PERGI!”“Saya datang untuk menemui Nona Sheila.”PLAK!Tamparan lain melayang tanpa peringatan. “BERANI-BERANINYA KAMU SEBUT NAMA ITU DENGAN MULUT KOTORMU! PERGI! JANGAN PERNAH BERHARAP KAMU BISA TEMUI DIA! SAYA NGGAK AKAN MEMBIAR
Apakah ini surga?Ataukah neraka?Apakah ia sudah mati?Apakah akhirnya takdir sedikit berbaik hati dengan menghadirkan sosok itu di saat-saat terakhirnya?Apakah semuanya sudah selesai sekarang?Pertanyaan-pertanyaan itu menemani Sheila melayang di udara. Apakah ini sebuah mimpi? Apakah ia berhalusinasi? Jika iya, mengapa rasanya sangat nyata? Mengapa tatapan pria itu seakan menunjukkan keputus asaan yang sama dengannya? Mengapa ia ikut melompat? Mengapa ia mendekap erat seakan melindunginya?Bukankah kematiannya akan menjadi kabar yang indah untuk pria itu?BRUK!Sebuah benturan kencang menghantam tubuh Sheila. Seketika, rasa sakit memenuhi tubuhnya, seiring suara patahan tulang dan rembesan anyir darah.Sheila terhenyak, tubuhnya terhempas di atas bebaPak halaman rumah pria itu. Dengung mengisi telinganya, membuat suara lain tak terdengar satu pun. Pandangannya seakan berputar, ia bahkan tidak yakin bagian mana dari tubuhnya yang paling merasa sakit saat ini.“NONA SHEILA!”“SHEIL
“Ugh. B*ngsat!” Anggara mencengkram kepalanya yang nyeri. Mabuk selalu menyisakan jejak yang mengerikan di kepalanya. “Anda baik-baik saja, Pak? Apa kita harus ke rumah sakit sebelum pulang?” tanya Davin, yang ditelepon Anggara saat terbangun pagi ini untuk menjemputnya di rumah Arianto. Anggara menggeleng sambil terus memejamkan mata di kursi penumpang. Berharap nyeri di kepalanya segera enyah. “Berapa lama saya di rumah Ari?" tanya Anggara sambil menahan sakit. “Argh! Br*ngsek!” Anggara meminum air yang disediakan Davin di dalam mobil. “Sejak kemarin malam, Pak,” jawab Davin hati-hati. “Saya minta maaf karena sudah lancang menghubungi Pak Ari. Tapi kondisi Anda kemarin sangat…” Davin tidak mampu menemukan kata yang bisa menggambarkan keadaan atasannya kemarin. Ia sendiri sudah mempersiapkan diri kalau-kalau Anggara melampiaskan seluruh amarahnya karena keputusan lancangnya. “Terima kasih.” “Ya?” Davin ternganga tak percaya. Apakah pria itu b
Sehari sebelumnya.Sudah berapa lama waktu berlalu? Apakah sekarang tengah malam? Atau hari yang lain? Mengapa tidak ada bedanya? Mengapa tidak ada hal lain kecuali kegelapan di matanya?Di tengah ranjangnya yang luas, Anggara duduk dengan pandangan nyalang. Ia menenggak anggur di tangannya, lalu ketika tak menemukan tetes yang lain, ia melemparkan botol itu hingga pecah berantakan, lalu membuka botol lain, menenggaknya hingga tandas, lalu membantingnya lagi.Siklus yang sudah terjadi entah berapa lama.Kamar itu gelap, berantakan, dan hening. Anehnya, di setiap sudut ruangan itu, Anggara bisa melihat bayangan istrinya. Ketika ia berbaring di ranjang, ketika ia berjalan mengitari walk in closet, atau ketika ia berdiri menatap rembulan.Semakin lama, kenangan itu terasa semakin nyata. Setiap bayangannya mulai memudar, Anggara kembali menenggak minumannya, memaksa pikirannya untuk menghadirkan kembali sosok Sheila, meski