Manhattan, USA. | 13.24 PM
Gerakan kuas di atas kanvas seolah menyatu dengan perasaannya, sehingga menggambarkan bagaimana suasana yang tercipta dikala melukis. Seperti biasa dia menghabiskan waktunya untuk melukis di tempat Paman Rodrigo, tenang dan nyaman selalu Kate rasakan.Semilir angin terasa begitu menyejukkan kulit. Dia begitu berharap agar waktu berjalan lambat, agar dia bisa merasa begitu lama berada di Manhattan. Kate belum siap untuk kembali dan menetap di Madrid dalam waktu yang tidak ditentukan seberapa lamanya.Lambat laun dia sudah harus mengambil sebuah keputusan yang tepat. Dan sepertinya hubungannya dengan Liam juga tidak akan berjalan dengan mulus jika dia pertahankan karena Kate merasa ragu dengan semua yang menyangkut Liam.Waktu yang diberikan oleh Gustavo juga sebentar lagi kian mengikis. Dan hal itu juga salah satu hal yang membuat Kate merasa dilema, juga perihal Sean yang tidak kunjung berhenti menghubunginya.Meski selama mengenal lManhattan, USA. | 17.19 PMDisaat waktu mendekati malam, jarum jam yang terus berputar tanpa henti. Menandakan jika sudah terlalu lama menanti, semilir angin berhembus tenang namun memberikan kesan yang dingin. Di pinggir jalan kota Manhattan menjadi tempat singgah sebelum tiba di penthouse.Diam, hening, karena tidak ada interaksi yang terjadi dari dua orang yang sibuk dengan pikiran masing-masing. Suara mesin kendaraan yang berlalu lalang terdengar nyaring, menjadi suara pendamping mereka berdua. Liam dan Kate sama-sama bungkam satu sama lain. Seperti tidak ada yang perlu mereka bicarakan, tapi kenyataannya begitu banyak yang harus diungkapkan dan diperjelas. Bukan hanya tentang hubungan mereka, tapi tentang apa yang menjadi pemicu Liam memilih untuk main dibelakangnya selama ini. “Perempuan itu Zara Mellano, kau sudah bertemu dengannya ketika di acara amal waktu itu.” Liam menghela napas dengan berat sebelum melanjutkan ucapannya, “Seperti yang kau curigai selam
Xaviendra’s Penthouse, Manhattan, USA. | 23.09 PMBadai kehidupan saat ini sedang menerjang Liam dengan telak. Satu persatu fakta yang dia tutupi selama ini akhirnya terkuak juga, ini bukan hanya masalah perasaan dan kisah asmaranya. Ini juga tentang pekerjaan yang membuatnya semakin pusing, sehingga menyiksanya secara perlahan.Ini adalah konsekuensi yang dia dapatkan dari apa yang selama ini sudah dia perbuat. Membohongi Kate selama ini tidak berujung baik, Liam menjadi manusia yang bingung saat ini. Jika hari-hari biasanya dia menjalani malamnya dengan tenang, tapi kali ini tidak demikian. Semua permasalahan yang menimpanya terkumpul dalam kepalanya yang bulat ini, isinya seakan merambat keluar karena tidak mampu menampung lebih banyak lagi daripada ini. Sudah dua hari Liam tidak berkomunikasi dengan Zara yang sedang berada di Korea Selatan. Untuk saat ini dia tidak harus memikirkan Zara, karena yang dia pikirkan adalah Kate dan pekerjaannya. “Kate, aku sungguh takut kau mengaja
Amoda Park, Manhattan, USA. | 10.19 AMSelama roda menempuh tempat tujuan, tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibir keduanya. Bungkam, hanya ada suara mesin kendaraan yang terdengar. Di antara satu atau keduanya tidak ada yang memulai sebuah perkacakapan.Jika bertanya apakah Sean senang dapat bersama dengan Kate? Ah jawabannya tentu saja Sean senang, tapi dia tidak ingin berbicara di perjalanan karena pembicaraan selama mobil melaju itu tidak akan fokus. Demi keselamatan bersama Sean hanya fokus menyetir meskipun sebenarnya dia bisa bersama sopir, tapi dia ingin berdua bersama Kate walaupun Kate tidak berharap demikian. Jujur saja, akhir-akhir ini Sean sering pesimis padahal dia belum mencobanya. Mobilnya kembali terparkir di sebuah taman dengan plang Amoda Park. Taman terbesar yang berada di kawasan ini, taman yang dekat dengan museum yang selalu Sean kunjungi. Dan saat ini dia kembali mengajak Kate untuk ke mari. Ke tempat di mana Sean mengklaim tempat ini sebagai te
Xaviendra’s Group, Manhattan, USA. | 11.47 AM Jari-jari bergerak di atas keyboard dengan tertib. Mencoba untuk fokus terhadap masalah pekerjaan lebih dulu, apalagi saat ini sedang ada kendala di bagian pemasaran sehingga mengharuskannya untuk terun tangan. Masalah dengan Kate juga tidak menemukan titik terang, dihubungi pun tidak ada balasan satu pun. Pesan dan panggilannya selalu diabaikan, yang bisa dia lakukan adalah berdiri di bawah gedung penthouse Kate, menunggunya keluar karena takut dengan penolakan jika memberanikan diri untuk naik ke unitnya. Jika berhubungan dengan Kate, Liam selalu lemah dan tampak tidak berdaya. Hatinya terus saja memikirkan rasa kecewa Kate padanya, perusahaannya sedang bermasalah ditambah dengan hubungannya juga bermasalah karena ulahnya. Komplit sudah penderitaan yang dia alami saat ini. Tidak lama kemudian pintu ruangannya diketuk dari luar awalnya Liam mengabaikan hal tersebut, namun setelah empat kali ketukan barulah Liam mempersilakan orang di
Museum Asterion, Manhattan, USA. | 13.06 PMMereka berdua tidak pernah sadar kalau sudah sudah empat jam bersama. Kali ini sedang berkeliling di sebuah Museum yang tampak klasik dan kuno tapi terdapat unsur modern di dalamnya. Ini adalah kali pertama dia ke sebuah museum bersama laki-laki seperti Sean yang ternyata suka berbicara. Tadi mereka sempat makan di sebuah restoran sederhana yang letaknya tidak jauh dari kawasan taman. Di dalam museum mereka tidak banyak berbicara, seolah sedang menikmati waktu untuk melihat banyaknya pameran yang bisa dinikmati oleh pengungnjung. Jika di galeri seni milik Paman Rodrigo sudah tidak ada lagi pemandangan yang aneh menurut Kate, apalagi banyak lukisan dan mahakaryanya yang lain terpajang permanen di tempat itu. Sembari curi-curi pandang, Sean tidak pernah merasa bosan untuk menatap Kate yang tampak menikmati suasana museum yang tentram walaupun banyak pengunjung menjelang siang hari. Sean bisa saja mengosongkan tempat ini dengan kekuasaannya,
Museum Asterion, Manhattan, USA. | 13.57 PM“Bisakah kau mengecilkan suaramu, Li?” sahut Kate malas. Tidak pernah memperkirakan kalau Liam akan meneleponnya disaat seperti ini. “Kau di mana Kate? Kita harus bertemu sekarang,” kata Liam di seberang sana, suaranya turun satu oktaf saat berucap. Sean berdeham pelan. “Siapa yang menelepon Kate?” tanya Sean ingin tahu. Di seberang sana, di tempat yang berbeda dengan waktu yang sama Liam terpaku saat mendengar suara laki-laki lain. Itu bukan suara Bryan atau pun Samuel, bukan juga suara James pastinya, karena sepupu Kate yang berprofesi seorang dokter itu pasti sibuk. Emosi Liam yang hendak mereda kini kembali terpancing. “Kate, jawab aku kau sedang bersama siapa sekarang?” geramnya, “jawab Kate! Aku tidak menyuruhmu untuk diam seperti ini!” Teriakan itu kembali menyapa telinga Kate untuk kedua kalinya.Dengan lancang Sean menarik ponsel itu dari tangan Kate, mengabaikan Kate yang tampak syok. “Bicaralah yang sopan bung, jika pada perem
Penthouse William's, Manhattan, USA. | 01.21 AMSudah tiga tahun berlalu setelah kejadian tidak menyengangkan di hati itu. Perkara usaha mendapatkan yang berujung status persahabatan, menolak untuk kembali terlibat dengan rasa terhadap orang yang sama. Bukan karena tidak lagi mencintai, tapi lebih memilih untuk mengakhiri. Karena sedari dulu cintanya tidak dianggap ada, dan sakit hati sering jadi teman yang setia. Menemani setiap proses yang berlangsung selama tiga tahun terakhir. Luka itu masih memiliki bekas, masih terasa perih jika kembali teringat dengan kenangannya. Sean menjadi manusia yang benar-benar berubah. Bekerja secara gila-gilaan demi menghindari waktu untuk merenungkan diri, karena jika itu terjadi selalu dia gunakan untuk memikirkan orang yang sama. Katherine Margaretha, nama yang Sean hapus secara mati-matian dalam daftar hidupnya. Dia tidak membencinya, namun dia terlampau kecewa. Sehingga sering membentak siapa pun yang mengungkit Katherine di depan wajahnya. S
Penthouse Xaviendra’s, Manhattan, USA | 19.26 PM3 Tahun Sebelumnya...Pada sore menjelang malam hari Kate sengaja datang ke tempat Liam tanpa memberi tahu laki-laki itu lebih dulu. Ada beberapa hal yang harus dia pastikan sebelum mengambil keputusan yang paling tepat, setidaknya untuk dirinya. Lorong yang membawanya menuju kamar penthouse Liam cukup sepi, tidak seperti di lantai utama yang banyak orang berlalu lalang. Kate sudah beberapa kali ke tempat ini saat dia ikut bersama Liam. Kakinya berdiri sempurna dengan tubuh yang menghadap pintu masuk. Lantas merogoh sebuah kartu akses untuk masuk ke dalam, kartu yang diberikan secara terang-terangan oleh Liam. Harusnya dia datang layaknya seorang tamu namun dia tidak suka menunggu. Lagi pula Kate bersangsi kalau Liam sudah pulang dari kantor. Tidak lama kemudian pintu penthouse terbuka setelah itu Kate memasukan kembali kartunya ke dalam tas kecil yang tersampir dibahunya. Di dalam ruangan dengan pencahayaan yang remang-remang Kate m