Bab 38“Maunya kamu apa, Ray?” tanya Yasmin saat mereka hampir selesai sarapan pagi.Ray menautkan alis sejenak, terlihat bingung.“Maksudnya apa, Ma?” Rayyan balik bertanya.“Kamu apakan Sandra sampai dia nangis?” Rayyan tersenyum miris dan sinis. Yasmin yang melihat itu, merasa putranya sudah sama seperti Dara saja. Yasmin masih selalu terbayang tawa sumbang dan senyum sinis gadis itu.Sangat memuakkan baginya. Gadis miskin yang sombong!“Sandra ngadu ke mama?” tanya Rayyan.“Kebetulan mama ketemu dia lagi nangis,”“Berarti mama udah tau dong jawabannya.”Damar yang saat itu juga sedang berada di meja makan, menatap Rayyan agar tak membuat keributan dengan mamanya pagi-pagi seperti ini.Rayyan paham. Yang ia tak habis pikir adalah kenapa Sandra terkesan malah menjadi-jadi. Ini ulah mama, atau memang Sandra yang terlalu menginginkan pernikahan itu.Padahal terang-terangan Sandra tahu bahwa Ray tak bisa mencintainya.Itu bukan seperti Sandra yang dia kenal.“Aku mulai risih sama dia,
Bab 39.Rayyan dan Dara semakin sering bertemu karena pengobatan Liana. Seperti hari ini, mereka kembali lagi ke rumah sakit untuk membawa Liana berobat jalan.Dokter bilang agar Liana sebaiknya jangan putus obat dulu meskipun sudah terlihat tenang. Karena yang namanya penyakit bisa saja kambuh lagi kapan saja, seperti penyakit fisik lainnya.Antara merasa sedih atau senang karena Dara dan Rayyan sering bertemu. Saling melepas rindu dalam diam, tapi di lain kesempatan mereka juga saling bersiap-siap untuk berpisah.Rayyan seringkali mengirimkan pesan untuk Dara, hanya sekadar menanyakan kabar ibunya. Meskipun sebenarnya bukan hanya itu yang ingin ditanyakan. Namun, keduanya paham dan saling menjaga batasan. Batasan untuk semakin mencintai satu sama lain.Dara bahkan sering menolak saat Rayyan minta mengantar ke rumah sakit. Sadar diri, bahwa semakin hari ia semakin jatuh dalam rasa cinta dan pesona seorang Rayyan. Jatuh cinta lagi pada kebaikan dan ketulusan Ray.Sementara Rayyan, te
Bab 40Mereka sedang memesan makanan, Liana ikut saja pada Dara terserah mau pesan apa, yang penting bisa dimakan untuk perbaikan gizinya.Lalu, suara Liana mengalihkan pandangan Dara dan Rayyan yang tengah sibuk memilih menu.“Mas Damar …?” lirih Liana sambil menatap lelaki yang berjalan ke arahnya.Damar tersenyum perih melihat cinta masa lalunya yang menatapnya dengan masih penuh cinta seperti waktu dulu. Masih tampak binar itu di matanya.Wajahnya masih sebersih dulu. Matanya, hidungnya. Hanya pipinya terlihat lebih kurus dari yang dulu. Ah, Damar bahkan masih bisa membayangkan indahnya rambut lurus Liana meski saat ini ia sudah memakai jilbab.Dara dan Rayyan juga tersenyum menyambut lelaki itu.“Silakan, duduk, Pa!” kata Rayyan.Selama ini Damar selalu bertanya tentang keadaan Liana pada Ray, karena tak ingin menemuinya secara langsung. Ia tak ingin membuat suasana lebih rumit akan kehadirannya.Namun, hatiny selalu ingin tahu kabarnya.“Gimana keadaan ibunya Dara?” tanyanya wak
Bab 41“Apa kabar, Liana?” tanya Damar sesaat setelah ia duduk bersama mereka.Liana yang ditanya seperti itu malah diam. Perempuan itu diam cukup lama dengan wajah masih menatap cinta masa lalunya. Menatap lelaki itu dalam-dalam seolah sadar bahwa ini adalah kesempatan terakhirnya.Lalu, meneteslah air mata di pipinya. Ia tak berkedip, seolah membiarkan air matanya mengalir begitu saja hingga berkumpul di ujung dagunya yang indah itu.Dara dan Rayyan saling menatap. Entahlah, satu sisi mereka merasa bersalah karena telah mempertemukan dua orang yang saling mencintai tapi tak bisa saling memiliki.Itu menyiksa!Namun, dibiarkan tetap jaga jarak dengan pertanyaan yang belum selesai di masa lalu, itu juga lebih menyiksa.Keduanya hanya berharap bahwa orangtua mereka bisa lebih bijaksana layaknya orang dewasa. Ia berharap mereka bisa move on dengan cintanya.Takdir. Ya, ini tentang takdir yang tak membiarkan mereka bersama.Ditatap seperti itu pun, Damar hanya bisa sekuat tenaga meredam
ADARA Bab 1.“Menikahlah dengan Sandra, Ray!” ucap Yasmin tiba-tiba sesaat setelah menyudahi makannya.Hampir saja Rayyan tersedak minuman mendengar ucapan sang mama barusan.Namun, ia tetap menuntaskan minuman di gelasnya, memberi hak pada kerongkongan dan perutnya setelah diisi dengan makan malam.Rayyan sejenak menatap Yasmin dengan tatapan serius, lalu perlahan tawanya tumpah sudah. Semakin lama tawanya semakin keras dan jenaka seolah ucapan Yasmin adalah lelucon baginya. Bahkan Fahira, sang adik mencubit lengan Rayyan menyadarkan lelaki itu untuk menghentikan tawanya.“Pelankan tawanya, Ray!” kata Damar yang duduk di kursi utama.Rayyan manggut-manggut, perlahan mulutnya terkatup seraya membuat gerakan menarik ujung bibirnya dengan tangan. Pertanda ia akan diam.“Umurmu sudah mau masuk tiga puluh, apa nggak pengen punya keluarga kecil?” tanya Yasmin.“Iya, Ma. Pengen lah. Ray masih normal.”“So?” Yasmin menaikkan sebelah alisnya.“So what?” Rayyan bertanya balik.“Menikahlah de
Bab 2ADARA*Matahari senja terlihat semerah saga, masih terasa panasnya meski hari telah hampir magrib. Seorang gadis baru saja turun dari ojek yang mengantarnya ke sebuah cafe.Adara namanya, orang-orang kerap menyapa Dara.Gadis itu menatap bangunan yang lebih banyak didominasi oleh dinding kaca, hampir sama seperti bangunan tempat ia bekerja. Meskipun ia telah terbiasa dengan segala suasana cafe, tapi kali ini rasanya berbeda.Dara menarik napas panjang, ia melihat penampilannya sendiri yang setidaknya masih sedikit rapi meski beberapa jam yang lalu ia berjuang dengan peluh keringat. Saat temannya datang menggantikan shift kerja, Dara langsung pamit dari cafe tempatnya bekerja dan menuju tempat tujuan selanjutnya.“Maaf, siapa ini?” tanya Dara setelah ia memberi salam. Pagi tadi, ia mendapat sebuah panggilan dari nomor tak dikenal di ponselnya.“Saya mamanya Rayyan, bisa bertemu sebentar?”Dara bergeming di tempatnya berdiri. Gadis itu masih berada di dalam kamarnya, baru saja ak
Bab 3ADARA*Dara menatap amplop tebal di depannya. Sejenak gadis itu diam, lalu menyunggingkan senyum sinisnya pada wanita itu. Ini bukan untuk pertama kali ia direndahkan seperti itu."Apa ibu selalu menyelesaikan semua hal dengan uang?" tanya Dara penuh penekanan.Wanita paruh baya itu tersenyum, menatapnya tajam. "Saya hanya menyelesaikan apa yang perlu saya selesaikan. Saya hanya melindungi apa yang perlu saya lindungi."Benar seperti dugaan Dara. Saat wanita itu menelepon, ia menebak sesuatu akan terjadi padanya. Sesuatu seperti sekarang ini, direndahkan dengan uang seolah segala hal di dunia ini bisa selesai dengannya. Seolah semua hal di dunia ini hanya senilai uang semata."Jangan pernah bilang kalau kamu itu anak yang terlahir tanpa ayah, Dara! Dengarkan, Om! Tidak ada lelaki yang akan menikahimu jika mereka tau kamu tak punya wali nikah." Paman Dara selalu mengatakan seperti itu. Namun, Dara tak bisa membenarkan perkataan pamannya."Katakan saja sebagai anakku. Biar aku ya
Bab 4ADARA.Dara sedang menahan isak tangisnya, lalu terdengar sebuah ketukan pintu kamarnya.“Dara … nenek sakit lagi.” Dara mendengar kakeknya memanggil.Gadis itu segera menghapus air matanya, meski tak bisa ia sembunyikan hidung dan matanya yang memerah.Dara membuka pintu, mendapati sang kakek yang berdiri khawatir di depannya. Segera ia menuju ke kamar nenek untuk melihat keadaan wanita tua itu.Di sebuah ruangan sebelum sampai di kamar nenek, Dara melihat ibunya, Liana. Kembali air dari sudut matanya menetes kala melihat ibunya sedang tertawa sediri dengan sebuah buku dan pulpen di depannya. Liana selalu meminta buku dan pulpen untuk menulis apa saja yang ia tulis, lalu tertawa atau menangis setelah itu. Tulisan acak seperti anak yang sedang belajar menulis.Pemandangan itu selalu menyoyak hati Dara. Ia berjanji pada diri sendiri suatu hari akan membawa ibunya berobat dan sembuh. Namun, kenyataan dan mimpinya tak sesuai dengan harapan. Untuk memenuhi kebutuhan harian saja Dar
Bab 41“Apa kabar, Liana?” tanya Damar sesaat setelah ia duduk bersama mereka.Liana yang ditanya seperti itu malah diam. Perempuan itu diam cukup lama dengan wajah masih menatap cinta masa lalunya. Menatap lelaki itu dalam-dalam seolah sadar bahwa ini adalah kesempatan terakhirnya.Lalu, meneteslah air mata di pipinya. Ia tak berkedip, seolah membiarkan air matanya mengalir begitu saja hingga berkumpul di ujung dagunya yang indah itu.Dara dan Rayyan saling menatap. Entahlah, satu sisi mereka merasa bersalah karena telah mempertemukan dua orang yang saling mencintai tapi tak bisa saling memiliki.Itu menyiksa!Namun, dibiarkan tetap jaga jarak dengan pertanyaan yang belum selesai di masa lalu, itu juga lebih menyiksa.Keduanya hanya berharap bahwa orangtua mereka bisa lebih bijaksana layaknya orang dewasa. Ia berharap mereka bisa move on dengan cintanya.Takdir. Ya, ini tentang takdir yang tak membiarkan mereka bersama.Ditatap seperti itu pun, Damar hanya bisa sekuat tenaga meredam
Bab 40Mereka sedang memesan makanan, Liana ikut saja pada Dara terserah mau pesan apa, yang penting bisa dimakan untuk perbaikan gizinya.Lalu, suara Liana mengalihkan pandangan Dara dan Rayyan yang tengah sibuk memilih menu.“Mas Damar …?” lirih Liana sambil menatap lelaki yang berjalan ke arahnya.Damar tersenyum perih melihat cinta masa lalunya yang menatapnya dengan masih penuh cinta seperti waktu dulu. Masih tampak binar itu di matanya.Wajahnya masih sebersih dulu. Matanya, hidungnya. Hanya pipinya terlihat lebih kurus dari yang dulu. Ah, Damar bahkan masih bisa membayangkan indahnya rambut lurus Liana meski saat ini ia sudah memakai jilbab.Dara dan Rayyan juga tersenyum menyambut lelaki itu.“Silakan, duduk, Pa!” kata Rayyan.Selama ini Damar selalu bertanya tentang keadaan Liana pada Ray, karena tak ingin menemuinya secara langsung. Ia tak ingin membuat suasana lebih rumit akan kehadirannya.Namun, hatiny selalu ingin tahu kabarnya.“Gimana keadaan ibunya Dara?” tanyanya wak
Bab 39.Rayyan dan Dara semakin sering bertemu karena pengobatan Liana. Seperti hari ini, mereka kembali lagi ke rumah sakit untuk membawa Liana berobat jalan.Dokter bilang agar Liana sebaiknya jangan putus obat dulu meskipun sudah terlihat tenang. Karena yang namanya penyakit bisa saja kambuh lagi kapan saja, seperti penyakit fisik lainnya.Antara merasa sedih atau senang karena Dara dan Rayyan sering bertemu. Saling melepas rindu dalam diam, tapi di lain kesempatan mereka juga saling bersiap-siap untuk berpisah.Rayyan seringkali mengirimkan pesan untuk Dara, hanya sekadar menanyakan kabar ibunya. Meskipun sebenarnya bukan hanya itu yang ingin ditanyakan. Namun, keduanya paham dan saling menjaga batasan. Batasan untuk semakin mencintai satu sama lain.Dara bahkan sering menolak saat Rayyan minta mengantar ke rumah sakit. Sadar diri, bahwa semakin hari ia semakin jatuh dalam rasa cinta dan pesona seorang Rayyan. Jatuh cinta lagi pada kebaikan dan ketulusan Ray.Sementara Rayyan, te
Bab 38“Maunya kamu apa, Ray?” tanya Yasmin saat mereka hampir selesai sarapan pagi.Ray menautkan alis sejenak, terlihat bingung.“Maksudnya apa, Ma?” Rayyan balik bertanya.“Kamu apakan Sandra sampai dia nangis?” Rayyan tersenyum miris dan sinis. Yasmin yang melihat itu, merasa putranya sudah sama seperti Dara saja. Yasmin masih selalu terbayang tawa sumbang dan senyum sinis gadis itu.Sangat memuakkan baginya. Gadis miskin yang sombong!“Sandra ngadu ke mama?” tanya Rayyan.“Kebetulan mama ketemu dia lagi nangis,”“Berarti mama udah tau dong jawabannya.”Damar yang saat itu juga sedang berada di meja makan, menatap Rayyan agar tak membuat keributan dengan mamanya pagi-pagi seperti ini.Rayyan paham. Yang ia tak habis pikir adalah kenapa Sandra terkesan malah menjadi-jadi. Ini ulah mama, atau memang Sandra yang terlalu menginginkan pernikahan itu.Padahal terang-terangan Sandra tahu bahwa Ray tak bisa mencintainya.Itu bukan seperti Sandra yang dia kenal.“Aku mulai risih sama dia,
Bab 37“Gimana kabar ibumu, Dara?” tanya Damar saat Dara mengajaknya bertemu di suatu tempat.Mereka duduk di dekat taman yang jauh dari pusat kota, agar tak tertangkap oleh mata-mata Yasmin.“Alhamdulillah, Pak. Jauh lebih baik,” jawab Dara.Damar mengangguk-anggukan kepala, bahagia mendengar kabar Liana. Mendengar namanya saja disebutkan, seolah kembali menggetarkan cinta lamanya.Namun, Damar berusaha untuk tetap pada komitmen yang telah dibangunnya bersama Yasmin. Ia bukan lagi anak muda yang masih mengedepankan ego. Ini tentang harga diri, janji dan tanggung jawab.Dara mengamati raut wajah lelaki paruh baya di depannya. Ia mengerti betapa cinta itu masih menyala dalam binar mata itu. Namun, kembali ke konsep semesta, bahwa adakalanya pertemuan bukan untuk penyatuan, tapi untuk sekadar berkenalan dengan rasa, jatuh cinta, lalu rindu, dan kemudian terpisahkan oleh banyak sebab.Dara jadi sedikit meringis mengingat perasaannya untuk Rayyan. Mungkin akan berakhir seperti itu juga.
Bab 36“Kondisi Liana makin membaik, tapi saya lihat dia masih suka nangis kadang-kadang, mungkin mengingat kejadian yang menimpanya di masa lalu,” kata Dokter saat Dara dan Rayyan menemuinya sore ini.“Kalau memang tidak memungkinkan untuk ditanyai tentang itu, jangan ditanya, jangan diungkit, karena itu bisa menyebabkan mentalnya down lagi.”“Apalagi bertanya tentang pelaku, sebaiknya jangan dulu, tunggu keadaannya benar-benar pilih,” tambah dokter paruh baya itu.Dara mengangguk mengerti. Memang kebenciannya untuk pelaku sangat memuncak sejak dulu. Ia ingin sekali ibunya membuka mulut tentang siapa pelakunya, dan Dara akan memberikan hukuman untuknya.Hanya Liana sebagai korban yang tahu siapa pelakunya, sementara orang lain, orang di desa mereka dulu, tidak ada yang tahu.Herman sudah mencari tahu itu, ia pernah mengumpulkan warga desa dan bertanya satu persatu. Juga mencari tahu dengan cara lain, takut jika warga ada yang berbohong.Namun, sepertinya mereka jujur, karena rata-rat
Bab 35Rayyan kembali pulang ke rumah orangtuanya atas saran sang papa. Ia juga tak mau jika mamanya makin curiga dengan apa yang ia lakukan di luar sana. Ray sadar bahwa selama ini tinggal di rumah sendiri, ia kerap diawasi oleh seseorang. Beruntung papanya sigap lebih jeli dari mama, hingga ia bisa mengelabui.“Pa, aku gak cinta sama Sandra. Ya, hubungan kami memang baik. Dia gadis yang baik, cerdas, dan attitudenya bagus. Kuakui! Tapi itu semua gak bisa memaksa harus cinta, kan, Pa?”Rayyan mengeluh pada papanya saat Yasmin bilang bahwa malam ini ia mengajak Sandra untuk makan malam di rumah. Ray tak tahu apa rencana mamanya itu.Padahal hubungan ia dan mama pun masih tampak dingin, tapi Yasmin malah mengundang Sandra makan malam seolah memang ada rencana lain.“Papa paham, Ray! Sebagai lelaki papa paham,” kata Damar.Rayyan sejenak menarik napas dalam. Cukup berat baginya memberi keyakinan pada mama bahwa ia tak bisa menerima perjodohan dengan Sandra.“Santai, Ray!” kata papanya.
ADARABab 34.Kondisi Liana semakin membaik, meskipun sesekali wanita itu masih tampak murung dan melamun, tapi setidaknya perkembangan mentalnya sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya. Lebih tenang.Liana ikut kegiatan olahraga, sebagai salah satu aktivitas terapi untuk pasien gangguan jiwa. Karena dengan olahraga, tubuh mereka tentu akan lebih sehat dan pikiran menjadi lebih baik.Liana juga diarahkan ikut kegiatan membuat kerajinan tangan, yang diarahkan oleh perawat di rumah sakit itu. Terapi ini dimaksudkan agar saat pasien jiwa kembali normal dan hidup sebagai manusia normal, setidaknya meminimalkan sematan mantan pasien gangguan jiwa pada mereka.Artinya jika mereka dulunya memang berbakat, mereka akan dikenal dengan bakatnya, bukan hanya sekadar sematan gangguan jiwanya.Ada banyak yang mengalami penyakit seperti Liana di sana. Berbagai macam penyebabnya, ada yang memang persis seperti kasus Liana, ada juga yang karena perpisahan orangtua, dan ada juga kasus ditinggalkan s
ADARABab 33.Ingatan Liana perlahan mengingat-ingat tentang namanya sendiri. Si al nya hanya kenangan buruk yang bisa ia ingat dari nama Liana. Kepalanya terasa sakit, hingga berkali-kali ia memukul kepala dan menjambak rambutnya.Ia bahkan mengacak-acak barang di kamar saking kacaunya.Liana hamil.Liana gi la.Liana di p e r k o s a.Ingatan-ingatan yang membuat kepalanya terasa begitu berdentam, ingin sekali ia masuk dan mencabut semua pikiran buruk itu, tapi tak bisa ia lakukan. Liana belum bisa mengontrol dan menenangkan diri sendiri.Meskipun sedikit kualahan, tapi perawat dan dokter profesional itu tetap merawat dengan baik. Menenangkan dan memberinya obat-obatan. Bahkan memandikannya sehari sekali agar Liana tetap bersih dan wangi.Entah karena uang yang berperan, atau pada sumpah tugas, atau memang hati mereka yang baik. Liana mendapatkan dokter dan perawat yang sabar.Sore itu perwat kembali membuka pintu kamar Liana, ia tetap menyapa dengan menyebut nama itu, juga menamba