Hari demi hari, Xiao Fang Lin terus berlatih dengan semangat. Tidak peduli hujan, panas, atau angin badai, dia tetap berlatih bela diri dan sihir yang diajarkan oleh Instruktur Guo Bai. Meskipun poin spiritualnya tidak bertambah, hal itu tidak membuatnya menyerah.
Tak terasa, Xiao Fang telah melewatkan banyak musim dan tiga tahun lamanya dia terus berlatih atas arahan Instruktur Guo Bai.
“Sudah tiga tahun aku belajar dengan Instruktur. Aku sangat senang sudah banyak mendapatkan ilmu yang bisa kupelajari dari Instruktur,” ucap Xiao Fang yang kini tubuhnya jauh lebih tinggi di usianya yang sudah beranjak dewasa.
“Aku bersyukur bertemu dengan Instruktur dan banyak mendapatkan pelajaran. Namun, hari ini izinkan aku untuk pergi mencari Ayahku. Terima kasih sudah membantuku selama ini dan memperlakukan saya layaknya anakmu sendiri. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikan Anda, Instruktur.”
Xiao Fang membungkukkan tubuhnya sebagai penghormatan dan ucapan terima kasih kepada Instruktur Guo Bai.
“Xiao Fang, aku turut senang dengan keputusanmu untuk mencari sosok ayahmu. Jika kamu merasa lelah, jangan ragu untuk beristirahat dan kembali ke sini. St. Guastria Suci akan selalu menjadi rumahmu. Pintu akan selalu terbuka bagi siapa saja.”
“Dan ingat, perjalananmu mungkin akan berat, Fang. Namun, aku yakin kamu bisa menghadapi banyak cobaan dan rintangan di sana. Tentu saja akan ada halangan di setiap prosesnya. Aku harap kamu bisa mengerti,” tutur Guo Bai kepada muridnya.
“Tentu saja, Instruktur.”
Murid-murid Guastria Suci yang berdiri di belakang Guo Bai menatap Xiao Fang dengan tatapan tak rela. Hampir empat tahun mereka belajar bersama-sama dengan Instruktur Guo Bai. Dan kini, Fang memutuskan untuk pergi mencari jati dirinya sendiri.
“Jangan pernah melupakan kami, Fang. Kuharap kita bisa bertemu lagi,” ucap salah satu murid Guastria Suci.
Fang tersenyum mendengar kalimat itu dari teman-temannya. Pandangannya beralih pada Jing Yan yang wajahnya terlihat sedih dan basah karena air mata.
“Kamu adalah temanku yang paling dekat. Haruskah aku ikut denganmu?” tanya Jing Yan dengan suara yang bergetar.
“Jing Yan, perjalanan hidup kita berbeda. Kita tidak akan bisa terus bersama dan menempuh perjalanan hidup bersama-sama.”
“Aku hanya pergi sebentar. Kita bisa bertemu di sini setelah sepuluh tahun. Aku pasti akan kembali dan menemuimu,” kata Fang dengan mencoba memahami perasaan Jing Yan sebagai teman dekatnya.
iao Fang berbalik dan mulai berjalan ke arah St. keluar dari St. Guastria Suci. Di lubuk hatinya, Fang benar-benar tidak ingin meninggalkan asramanya. Ia juga masih ingin bergaul dengan teman-temannya dan belajar silat dari gurunya. Namun, kenyataan dalam hidupnya menghentikan keinginan Xiao Fang. Dia sangat perlu menemukan ayahnya, yang belum pernah dilihatnya, karena saat ini dia satu-satunya keluarga yang dimilikinya.
"Hati-hati di jalan, Fang. Kami menunggumu kembali," teriak Guo Bai sambil melihat punggung Fang.
Tidak dapat menanggapi kata-kata gurunya, Fang hanya bisa melambaikan tangannya tanpa menoleh ke belakang. Dia segera menyeka air matanya karena tangisannya tidak akan mengubah apapun.
Tujuan Fang saat ini adalah pergi ke Kota Rigaenia untuk bertemu seseorang, dan ini adalah keinginan terakhir Guo Bai. Perjalanan menuju Rigaenia cukup melelahkan, dan Fang harus istirahat di desa setelah sepuluh jam perjalanan.
Ia membuka makanan yang telah disiapkan oleh gurunya berupa roti dan langsung memakannya dengan gembira. Fang menyapu dan melihat banyak warga lalu lalang dan berinteraksi. Beberapa di antaranya aktif dan suasana dimeriahkan dengan bermain anak-anak.
Namun, matanya tertuju pada anak kecil yang duduk di sebelahnya.
"Apakah kamu mau?" Fang menawarkan roti itu kepada anak laki-laki itu, yang tampak sedih dan menggelengkan kepalanya.
“Sepertinya kamu sedang dalam suasana hati yang buruk. Apakah kamu tidak bermain dengan teman-temanmu?" Fang bertanya sambil memakan roti terakhir.
"Mereka bukan temanku. Aku tidak pernah bermain dengan mereka,” jawabnya sambil melihat anak-anak lain yang sedang bermain.
"Tidak masalah. Tapi cobalah berhubungan dengan orang lain. Karena kita manusia butuh teman, keluarga, dan kita tidak bisa hidup dalam individualisme."
Xiao Fang dengan ringan menepuk pundak bocah itu, “Hei! Jangan terlalu murung. Jika kamu tidak menerima kata-kataku tadi, tidak apa-apa. Jangan sedih."
"Aku tidak punya keluarga. Ayah dan ibuku meninggal dan itu semua karena bangsa iblis membunuhnya. Mereka tidak mau bermain karena aku tidak memiliki orang tua. Begitulah cara ku diperlakukan. Aku juga tinggal dengan keluarga lain.”
Kalimat yang diucapkan bocah itu mampu membekukan Fang seketika. Ia seperti sedang melihat masa lalunya.
"Kamu beruntung. Hidup baik dengan keluargamu. Meskipun mereka tidak berhubungan darah denganmu, mereka sangat mencintaimu," kata Xiao Fang pelan, dan bocah itu merasa terhibur ataskata-kata Fang.
"Benarkah?"
Fang pun menganggukkan kepalanya pelan,
Saat mereka sedang ngobrol, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari kejauhan. Para warga yang tadinya sedang riang gembira bermain, kini ketakutan dan berhamburan berlarian. Fang dan bocah kecil itu juga ikut terbawa arus orang-orang yang lari-lari itu.
Mereka berlari sejauh mungkin hingga menemukan sebuah bukit kecil untuk bersembunyi. Fang merasa ta bingung, tidak tahu apa yang terjadi dan mengapa para warga tiba-tiba begitu ketakutan. Namun, ketika mereka berada di atas bukit, mereka melihat pemandangan yang menakutkan.
Para prajurit yang mengenakan baju zirah dan membawa senjata lengkap sedang menyerang desa mereka. Mereka merusak dan membakar rumah-rumah, serta mengejar siapa saja yang ditemukan di jalanan. Bocah kecil itu menangis ketakutan, dan Fang merasa perlu melindungi dia.
Dengan hati yang berdebar-debar, Fang berusaha mencari jalan keluar dari situasi yang menegangkan ini. Namun, para prajurit semakin mendekat, membuat keduanya semakin terpojok. Tiba-tiba, sebuah suara menggelegar terdengar begitu keras.
"Oh tidak, apa yang terjadi? Semua orang kelihatan panik dan bingung. Mereka membutuhkan bantuan! Tapi tunggu sebentar, siapa mereka? Para prajurit? Apa maksud kedatangan mereka? Apakah mereka akan menyelesaikan masalah ini atau justru membuat semuanya menjadi lebih buruk? Aku harus tetap tenang dan berhati-hati. Mungkin ada cara untuk membantu tanpa menambahkan kekacauan. Aku harus mencari tahu lebih dulu sebelum bertindak."
Plot bab 6 : Bertemu dengan Huang Xia Fang Lin dan beberapa warga desa bersembunyi di dalam goa, menyusun rencana untuk melawan pasukan yang terus menerus datang untuk membakar desa mereka. Mereka tahu bahwa mereka harus bertahan dan melawan, namun situasinya sangat sulit.“Apa rencana kita selanjutnya? Kita tidak akan terus seperti ini. Mereka terus datang dan membakar desa,” tanya Xiao Fang Lin yang tangannya tidak lepas menggenggam tangan mungil si bocah laki-laki itu yang merasa ketakutan.“Kita harus melawan mereka! Tapi bagaimana caranya?” Kata salah satu warga.“Kita harus mencari cara untuk membalikkan keadaan. Tapi untuk saat ini, kita harus tetap bersembunyi dan menunggu kesempatan,” usul Fang.Saar mereka berbicara, tiba-tiba ada suara gaduh di luar goa. Fang Lin memutuskan untuk melihat dari celah dari goa dan melihat seorang gadis sedang berjuan melawan pasukan yang datang.“Wah dia sangat berani.”“Siapa itu?” Tanya warga pada Fang.“Aku tidak tahu, tapi aku rasa kita
Setelah beberapa jam perjalanan, mereka sampai di sebuah sungai yang lebar. Mereka mencari tempat untuk menyeberang dan menemukan sebuah rakit kayu di tepi sungai. Mereka menaiki rakit tersebut dan Fang Lin membantu Huang Xia mendorong rakit tersebut ke sisi lain.Setelah berhasil menyeberang, mereka berjalan lagi dan akhirnya sampai di sebuah desa kecil. Mereka mencari tempat untuk istirahat dan menemukan sebuah toko kecil di tepi jalan. Mereka membeli beberapa makanan dan minuman untuk dijadikan bekal selama perjalanan.Saat mereka melanjutkan perjalanan, Fang Lin bertanya kepada Huang Xia, “Apa kamu pernah mencari guru sebelumnya?”Huang Xia menjawab, “Tidak, aku tidak pernah memiliki guru. Tapi aku mendengar bahwa mencari seorang guru itu tidaklah mudah. Kita harus sabar dan tekun dalam mencarinya.”Fang Lin mengangguk setuju, “Ya, aku telah belajar banyak dari instruktur Guo Bai dan beliau memintaku untuk mencari guru. Kamu bisa bergabung denganku jika kamu bersedia.”Setelah beb
Huang Xia dan Ding He sedang duduk bersama Fang Lin di ruang tamu Akademi Tianlong. Keduanya terkejut saat mendnegar semua syarat-syarat yang diminta oleh Master Sun Long pada Xiao Fang.“Hal ini tidak mungkin bisa dilakukan,” ujar Huang Xia. “Untuk mendapatkan akar pohon dunia dan batu sihir? Itu akan sulit dilakukan. Apalagi Lautan Asap Kematian dijaga oleh Naga Hitam.”Dong He menggangguk.“Naga Hitam termasuk hewan yang paling dihindari. Bagaimanapun juga syarat ini sebenarnya sangat mustahil untuk dipenuhi. Namun apa salahnya jika dicoba dulu?”Xiao Fang menghembuskan napasnya dengan kasar, dia tahu bahwa semua syarat itu tidak mungkin bisa dia lakukan. Tetapi, apa boleh buat? Dia harus tetap melakukannya, bukan?“Bisakah kalian ikut denganku? Hanya kalian berdua yang bisa kumintai bantuan. Mungkin akan sedikit merepotkan, itupun jika kalian bersedia.”Huang Xia dan Dong He saling pandang, kemudian mengangguk secara bersamaan. Mereka sepakat untuk membantu Fang.Tak perlu ada la
Bab 8 Ruangan aula di Akademi Tianlong adalah tempat yang sanga mmegah dan bersejarah, dengan langit-langit yang tinggi dan dinding yang dihiasi dengan lukisan kuni dan patung-patung Naga. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja besar nan bulat yang terbuat dari kayu mahoni yang sangat indah, di mana para pemimpin dan guru akademi biasanya duduk selama pertemuan penting. Kursi-kursi kayu berderet rapi mengelilingi meja, memberikan kesan kehormatan dan keanggunan. Sun Long berdiri di hadapan pemilik Akademi Tianlong, seorang teman dekatnya yang selalu pergi menjelajahi dunia bersama-sama. Pemilik akademi yang bernama Li Wei itu bertanya, “Aku mendengar bahwa kamu memberikan syarat yang sulit pada seseorang yang datang dari jauh. Dia bernama Fang Lin. Kenapa kamu begitu memberikan syarat yang amat sulit untuk menerima Fang Lin sebagai muridmu?” Sun Long mengalihkan pandangannya dari tira-tirai kain sutra merah yang dihiasi dengan lambang-lambang akademi Tianlong yang mempesona. Mat
Pria berjubah hitam itu matanya berbinar cerah saat melihat ikan panggang yang ada di hadapannya. Dengan cepat dia bergabung dengan Fang Lin dan yang lainnya yang kini menatapnya dengan tatapan penuh tanya.“Siapa dia? Kenapa dia tiba-tiba muncul begitu saja?” bisik Dong He pada Fang Lin.Fang Lin menggelengkan kepalanya pelan, “Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba datang dan memakan ikan panggang dengan lahap. Sepertinya dia sedikit kelaparan.”“Hei. Setidaknya kau perkenalkan diri pada kami,” kata Huang Xia seraya memberikan ikan panggang yang baru pada pria berjubah hitam itu.“Liu Yang. Aku datang untuk pergi ke Akademi Tianlong.”Akademi Tianlong~Fang Lin, Huang Xia, dan Dong He akhirnya tiba di akademi Tianlong setelah melewati banyak rintangan dan bahaya dalam perjalanan mereka. Setibanya di akademi, Fang Lin langsung mencari Sun Long untuk menyerahkan batu sihir dan akar pohon dunia yang dipersyaratkan untuk menjadi murid Sun Long.“Master, saya membawa batu sihir dan akar pohon du
Suasana pagi yang sejuk di Kota Tua, di kawasan pegunungan mempesona. Fang Lin dan Sun Long, gurunya.Keduanya berjalan dengan santai menuju tebing Hinakara, tempat yang dikenal sebagai sumber daya spiritual yang kuat. Mereka berharap bisa mendapatkan inspirasi baru untuk mengasah keterampilan Fang Lin dalam kultivasi.Namun, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari arah pasar. Tanpa pikir panjang, Fang Lin dan Sun Long bergegas menuju sana dan melihat sebuah adegan yang mengerikan. Seorang iblis bertubuh besar dengan kulit merah dan tanduk di kepalanya sedang menyerang warga dan menghancurkan pasar."Kita harus bertindak cepat, Fang Lin!" seru Sun Long sambil mempersiapkan diri untuk bertarung."Siap, Master!" jawab Fang Lin sambil mengeluarkan pedangnya.Mereka berdua segera melompat ke tengah kerumunan dan melawan iblis itu. Sun Long menggunakan kekuatannya untuk menghindari serangan iblis dan meluncurkan serangan balik yang tajam dengan sumpitnya. Sementara itu, Fang Lin bergerak d
Fang Lin masih berdiri di depan gurunya.Menatap mata lelaki paruh baya itu dengan ekspresi serius. Pikirannya berpacu ketika dia mencoba memahami mengapa gurunya ingin mengajarinya teknik tertentu.Setelah hening sejenak, Sun Long berbicara, "Fang Lin, teknik ini adalah sesuatu yang hanya bisa kamu kuasai. Aku percaya pada kemampuanmu dan aku yakin kamu mampu mencapai hal-hal hebat dengannya."Fang Lin ragu-ragu sejenak, tidak yakin pada dirinya sendiri."Tapi Master, aku tidak ingin mengecewakan Anda di masa depan. Saya tahu keterampilanku dalam pertempuran sangatlah kurang, terutama dengan ilmu pedangku yang biasa-biasa saja."Sun Long tersenyum meyakinkan. "Fang Lin, aku melihat kemampuan dan potensi besar yang ada pada dirimu. Percayalah, aku tidak sembarang memilih orang untuk kuangkat sebagai muridku."Fang Lin mempertimbangkan kata-kata gurunya dengan hati-hati. Dengan napas dalam-dalam, Fang Lin membuat keputusan. "Baiklah, Master. Aku akan melakukan yan g terbaik untuk memp
Langkah kaki yang terdengar berirama memenuhi koridor saat seorang pria memasuki ruang master Sun Long. Dalam tangannya, ia memegang erat sebuah pedang, menunjukkan kesiapannya yang tak tergoyahkan. Ketika ia semakin mendekati pintu ruang Sun Long, denyut jantungnya tiba-tiba semakin cepat, mencerminkan kegugupan yang melanda.Malam ini, suasana sunyi menghampiri, hanya terdengar suara lembut jangkrik dan gemericik air terjun yang mengalir di balik gedung Akademi Tianlong.Pintu terbuka perlahan, dan pemuda tersebut menemukan pamannya, Sun Long, berada di dalam ruangan.Sun Long menatap Liu Yang dengan tatapan dingin yang membuat nyali pemuda itu menciut. Seperti biasa, Sun Long selalu disalahpahami oleh orang-orang di sekitarnya."Sudah beberapa hari kamu berada di sini, Liu Yang, dan mengapa baru sekarang kamu menemuiku?" suara Sun Long terdengar dingin dan tajam.Liu Yang, dengan senyum penuh sopan, menunjukkan deretan gigi putihnya sambil menjawab, "Maaf, paman. Aku lupa untuk men