Getaran di meja Devana perlahan berhenti beringinan dengan berhentinya blender yang sedang menggiling beberapa stroberi dan susu yang tadi ia campurkan.
Setelah benda itu berhenti, Devana mematikannya dan mengeluarkan stroberi dan susu yang kini sudah menjadi sebuah krim berwarna merah muda. Devana kemudian menuangkan krim tersebut ke dalam sebuah plastik khusus yang ujungnya bolong. Perempuan itu kemudian menjadikan krim tersebut hiasan untuk kue yang sudah ada di meja.Devana memang seorang pemilik toko kue. Ia sudah menekuni profesi ini lebih dari dua tahun. Meskipun ia memiliki seorang suami yang mapan secara finansial namun Devana tetap ingin produktif dengan memiliki usaha sendiri. Apalagi ilmu tata boga yang sudah ia pelajari sayang jika tidak dipraktekkan. Alhasil, ia membuka sebuah toko kue di kota Jakarta.Devana pandai membuat bermacam-macam kue. Mulai dari kue kering, basah, ataupun kue ulang tahun dan kue tar. Pelanggannya sangat banyak, sebab ia juga pintar bergaul dan memiliki banyak teman. Tiap hari kue bikinannya selalu habis terjual, bahkan ada yang tidak kebagian. Pada momen tertentu, Devana bahkan sampai kewalahan menerima pesanan. Seperti hari lebaran atau hari besar lainnya.Tiap hari selalu ada salah satu kue dengan cita rasa baru yang ia buat dan akan ia tulis di papan di depan tokonya untuk menarik minat pelanggan. Hari ini, kue yang akan menjadi sorotan adalah bolu nanas dengan krim stroberi yang baru saja selesai dibuatnya.Begitu selesai menatanya, Devana langsung membawa kue itu ke dalam etalase dan meletakkannya di samping kue-kue lainnya. Devana senang melakukan pekerjaannya ini. Sebab ia memang hobi membuat kue dan penghasilannya dari usaha ini juga sangat lumayan.Kerincingan diatas pintu tokonya berbunyi. Itu menandakan ada yang membuka pintu. Devana menoleh, rupanya itu adalah Fabian, suaminya sendiri. Pria itu tersenyum pada sang istri. Penampilannya seperti sudah siap untuk berangkat kerja."Pagi..." sapa Fabian."Pagi..." balas Devana. Sejenak keduanya berciuman dan Fabian mencium aroma kue yang baru saja selesai dibuat istrinya."Pagi-pagi sudah jadi saja kuenya. Ada pesanan?" tanya Fabian."Tidak. Menu baru, kemarin baru dapat resepnya," jawab sang istri."Kau ini, jangan terlalu lelah. Ingat kandunganmu ya," bisik Fabian. Devana mengelus perutnya yang masih rata dan mengangguk pada sang suami."Tentu. Nanti sore aku kontrol," ujarnya."Ya sudah. Kalau begitu aku berangkat dulu ya," tukas Fabian pula dan kembali mencium kening istrinya. Pria itu bergegas keluar dari toko. Begitu ia tiba diluar dan hendak memasuki mobilnya, seorang pengemis menadahkan tangan kepadanya. Namun Fabian malah mendengus dan mengabaikan si pengemis lalu bergegas menaiki mobilnya.------------------------------Guncangan di dalam kabin pesawat semakin terasa kuat. Devana bahkan kini meremas tangan sang suami yang duduk di sampingnya dengan sangat kuat. Fabian juga tampak cukup pucat namun ia berusaha tetap tenang. Ia mengusap rambut istrinya sambil menenangkan.Fabian melirik ke arah jendela dan melihat cuaca diluar yang sangat buruk. Petir dan kilat menyambar-nyambar dan awan hitam tebal bergumpal-gumpal mengenai badan pesawat.Pramugara yang tadi di kursi perempuan tua kini sudah berjalan perlahan dan hampir mendekati kursi Fabian. Ketika sudah berada persis di dekat kursinya, Fabian langsung menanyai pria itu."Mas, ini kenapa?""Cuaca sedang buruk Pak. Tetap tenang dan kencangkan sabuk pengaman," jawab si pramugara dan kembali meneruskan langkah menuju bagian belakang pesawat.Fabian mencoba menoleh ke beberapa orang penumpang. Di seberang kursinya ada seorang gadis berbadan gempal yang tampak sedang berdoa. Di belakang gadis itu ada seorang wanita yang membawa anak, anaknya menangis karena takut. Fabian kini menoleh ke depan dan melihat pemuda yang tadi bertabrakan dengannya di toilet. Pemuda itu tampak cukup cemas seperti dirinya saat ini.Tak lama, guncangan perlahan berhenti. Fabian bisa bernapas lega ketika guncangan sudah tak terasa. Ia melirik istrinya yang tampak masih ketakutan. Meski cuaca diluar masih tampak buruk tapi setidaknya pesawat kini sudah tak berguncang.Dari kursinya, Fabian dapat melihat gadis bertubuh gempal yang duduk di seberangnya itu mulai melepas sabuk pengaman begitu pesawat sudah tenang. Gadis itu bangkit berdiri dan bergegas menuju toilet dengan tergesa-gesa.------------------------------Marinka memuntahkan isi perutnya begitu tiba di dalam toilet. Guncangan yang cukup kuat yang baru saja dirasakannya itu membuat isi perutnya terkocok dan ingin dimuntahkan.Setelah merasa lega, Marinka mengelap sisa muntahan di mulutnya dan menatap cermin. Ia memperhatikan bentuk wajahnya yang bulat dengan pipi yang sangat tembem. Gadis itu mendengus dan mengangkat dagunya sedikit. Bahkan dagunya saja seperti ada dua saking gemuknya ia. Marinka mendengus kesal bila melihat dirinya sendiri di pantulan cermin."Cita-cita kurus tapi hobi makan. Tapi suka aneh melihat orang yang makan banyak tapi tidak gemuk," omelnya pada diri sendiri.Gadis itu kemudian mencuci tangannya lalu bergegas keluar dari toilet. Di depan toilet ia tak sengaja berpapasan dengan seorang pramugara tampan yang tersenyum padanya. Marinka membalas senyuman pria itu dan memperhatikan sang pramugara yang kini berjalan menuju kabin penumpang."Eh, Mas..." seru Marinka hingga menghentikan langkah sang pramugara. Pria itu menoleh kembali pada Marinka yang kini berjalan mendekatinya."Ada yang bisa kami bantu, Ibu?" tanya sang pramugara."Saya minta extra seat belt bisa?" tanya Marinka dengan nada pelan seperti berbisik. Takut jika penumpang lain mendengar ucapannya.Sang pramugara tak segera menjawab. Ia memperhatikan postur gadis di hadapannya sejenak. Gadis itu memang bertubuh gempal dengan lingkar perut yang cukup lebar dibanding orang kebanyakan. Sang pramugara mengerti kenapa ia memerlukan extra seat belt."Baik. Silakan kembali ke kursi Anda," ucap sang pramugara sopan dan kembali ke bagian belakang pesawat."Terimakasih," ucap Marinka tersenyum dan memperhatikan pria itu sampai hilang di balik tirai. Gadis itu kemudian menghela napas panjang dan melangkah menuju kursinya kembali.Sementara di ruang khusus awak pesawat, Julian, sang pramugara yang baru saja berbicara kepada Marinka, masuk. Di ruangan itu ada dua orang pramugari yang sedang bercakap-cakap. Sepertinya obrolan mereka cukup intens. Melihat kehadiran Julian, kedua pramugari itu tampak memperbaiki sikap."Kenapa Jul?" tanya salah satu pramugari."Ada penumpang yang minta extra seat belt," jawab Julian tanpa menoleh. Ia mengambil benda yang dicarinya dan setelah menemukannya, pria itu berniat untuk kembali keluar ruangan. Namun sesuatu menghentikan langkahnya. Ia mendengar salah satu dari pramugari itu sedikit terisak. Julianpun menoleh dan menatap seorang pramugari yang sedang mengusap matanya."Ada apa Car?" tanya Julian mendekat.Carissa, nama pramugari yang ditanyai, tampak memperbaiki sikap dan tersenyum pada Julian."Tidak apa-apa," jawabnya."Jangan bohong. Kau seperti menangis begitu," ujar Julian pula."Tidak, matanya kelilipan. Sudah sana, kembali ke kabin," tukas pramugari yang lainnya, yang bernama Sylvia.Julian akhirnya enggan bertanya lagi. Ia menyimpulkan bahwa kedua teman seprofesinya itu sedang tidak ingin menceritakan apapun. Nanti juga akan cerita sendiri kalau memang sudah waktunya, seperti biasanya, pikir Julian. Iapun bergegas keluar ruangan dengan membawa extra seat belt yang diminta Marinka.Sepeninggal Julian, Sylvia kembali menatap sahabatnya, Carissa. Perempuan itupun tampak kembali tersedu sehingga Sylvia mengusap pundaknya untuk menenangkan."Tapi dia sudah tahu?" tanya Sylvia pula. Carissa menggeleng perlahan."Belum.""Kau harus beritahu dia Car. Jangan sampai hal ini tercium maskapai bisa jadi masalah nantinya," tukas Sylvia pula. Carissa mengusap lelehan air mata di pipinya sebelum kembali berkata."Aku bingung Syl..." bisiknya."Kau harus ambil tindakan. Karena semakin lama akan semakin ketahuan. Kau mau namamu tercoreng dan di blacklist dari semua maskapai bila sampai ketahuan?"Carissa menghela napas berat beberapa kali. Ia tampak benar-benar gundah dan bingung. Sylvia hanya bisa memberikan rasa empati lewat sebuah pelukan dan usapan hangat sebagai sesama perempuan.Tiba-tiba, sebuah guncangan terjadi lagi. Kedua pramugari itu hampir jatuh akibat guncangan yang terjadi. Pesawat kini benar-benar mengalami turbulensi hebat.Di kabin, para penumpangpun mulai panik. Mahesa yang duduk persis di sayap pesawat melirik ke jendela dan melihat sayap pesawat itu bergoyang-goyang diterpa gumpalan awan hitam yang sangat banyak.Lampu tanda kenakan sabuk pengaman menyala berkedap kedip. Marinka yang sedang memasang sabuk pengaman tambahan yang baru saja diberikan sang pramugara tampak sedikit kesusahan dan panik.Tak lama, masker oksigen yang ada di atas kursi penumpang mulai turun membuat para penumpang sangat panik. Tekanan udara di kabin seketika mulai berkurang hingga secara otomatis masker oksigen itu akan keluar sendiri."Para penumpang yang terhormat, demi keselamatan bersama harap jangan panik dan segera gunakan masker oksigen yang sudah tersedia sesuai instruksi dari para awak pesawat. Saat ini, pesawat menempuh ketinggian jelajah maksimal untuk menghindari cuaca ekstrim yang mengakibatkan tekanan udara berkurang," terdengar suara pemberitahuan dari sang pilot.Namun, para penumpang tetap saja panik, termasuk Mahesa. Meski ia mulai memasang masker oksigen yang menggantung di depannya agar bisa bernapas dengan normal tapi tetap saja ia merasa panik. Pemuda itu melirik ke kursi seberang, perempuan tua yang duduk di seberangnya, tampak sedikit kesusahan memasang masker. Karena merasa kasihan, Mahesapun berinisiatif untuk melepas kembali maskernya dan membantu perempuan tua itu terlebih dahulu.Mahesa melepas sabuk pengamannya dan melangkah meninggalkan kursi demi membantu perempuan tua itu. Meski pemberitahuan untuk mengencangkan sabuk dan memakai masker sudah terdengar.Mahesa sedikit kesusahan ketika membantu perempuan tua itu memasang masker oksigen sebab guncangan di badan pesawat membuat tubuhnya kesulitan berdiri dengan baik. Ditambah lagi tekanan udara yang berkurang menyebabkan dirinya susah bernapas. Namun akhirnya ia berhasil memasangkan masker kepada perempuan tua itu.Mahesa kembali duduk dikursinya dan memasang sabuk lalu memasang masker dengan cepat. Ia melirik perempuan tua itu yang juga menatapnya dengan pandangan terimakasih.Sementara di ruang kokpit, kapten Brady Anthony selaku pilot tampak masih mengendalikan pesawat dengan cukup tenang dan serius. Ia dan juga co-pilot yang duduk di sebelahnya juga sudah memakai masker oksigen.Tiba-tiba, sang pilot menoleh kepada co-pilot dengan sorotan yang cukup panik."Jarak pandang terlalu dekat, navigasi juga mulai menghilang. Sepertinya kita harus menghentikan penerbangan ini dengan melakukan pendaratan darurat," ucapnya kepada sang co-pilot.Hal itupun di setujui oleh co-pilot mengingat di depan mereka kabut hitam menghalangi jarak pandang dan di salah satu bagian flight instrument(*) terlihat navigasi yang sudah mulai menghilang. Apalagi oksigen yang ada di masker yang mereka dan penumpang gunakan hanya akan bertahan selama lima belas menit."Tapi bandara terdekat sepertinya masih cukup jauh Kap," ujar co-pilot yang bernama Thomas itu."Ketinggian jelajah harus kita kurangi agar tekanan udara bisa kembali normal dan kita sepertinya harus melakukan emergency landing secepatnya," jawab sang pilot.Pesawat itupun turun perlahan, tak lama tekanan udara di kabin kembali normal. Para penumpang satu persatu mulai melepas kembali masker oksigennya dan bernapas seperti biasa."Para penumpang yang terhormat, dikarenakan cuaca yang sangat buruk dan jarak pandang yang sangat terbatas serta hilangnya navigasi, penerbangan ini harus dihentikan. Kita harus melakukan pendaratan darurat demi keselamatan bersama dan akan menunggu sinyal navigator dari bandara terdekat untuk melanjutkan penerbangan. Kami minta maaf atas ketidak nyamanannya," terdengar pemberitahuan dari sang pilot yang menggema di kabin.Mendengar hal itu tentu saja semua penumpang gelisah. Tak terkecuali Fabian dan Devana. Pasangan suami istri itu tampak gusar dan panik.Tak hanya penumpang, para awak pesawat juga tampak panik dan bingung. Carissa dan Sylvia yang ada ruang khusus awak pesawat terlihat cemas namun mereka tetap berinisiatif untuk membuat para penumpang rileks dan tidak panik. Alhasil, keduanya melangkah menuju kabin dan membuat para penumpang untuk tetap tenang dan tidak panik. Ada Julian juga disana yang membantu mereka.Pesawat terbang semakin rendah dan kini air laut mulai kelihatan dari jendela. Dari kursinya, Mahesa dapat melihat air laut yang sudah mulai tampak. Tak lama, ada sebuah pulau kecil di tengah lautan itu. Perlahan, pulau itu tampak semakin membesar karena sepertinya pesawat semakin mendekati pulau tersebut.Benar saja, pendaratan darurat akhirnya dilakukan di pulau kecil itu. Perlahan pesawat Bianglala Airlines terbang menukik dan pendaratan yang sangat tidak muluspun terjadi akibat roda pesawat yang bersentuhan dengan pasir pantai.Pendaratan tersebut menimbulkan hantaman yang cukup kuat di dalam kabin hingga membuat para penumpang benar-benar tak nyaman dan bahkan ada beberapa yang menjerit karena kesakitan. Sang pilot meminta maaf atas ketidak nyamanan yang terjadi dan meminta para penumpang untuk segera turun dari pesawat.Dengan panik, para penumpang mulai turun dari beberapa pintu dan jendela darurat. Perempuan tua yang duduk di seberang kursi Mahesa bahkan hampir beberapa kali terjatuh akibat tersenggol penumpang lainnya yang berdesakan hendak turun. Mahesa membantu perempuan itu hingga tiba diluar pesawat.Sang pilot, Brady dan juga Thomas ikut turun bersama para awak pesawat lainnya. 12 orang awak dan pilot, serta 145 penumpang berhasil keluar dari pesawat tersebut."Mana pilotnya? Mana pilotnya?" sebuah suara membuat Mahesa menoleh. Pemuda itu masih memapah si perempuan tua dan ketika ia menoleh ia menemukan suara itu berasal dari pria paruh baya yang duduk di sebelahnya. Pria itu tampak cukup marah.Pria itu kemudian mendekati Brady yang memang sedang memakai seragam pilotnya dengan lengkap. Pria tersebut segera meraih kerah baju Brady dan memakinya."Kau harus bertanggung jawab, saya harus tiba di Lombok pukul 7 malam nanti sebab ada meeting yang sangat penting. Bagaimana ini? Maskapai ini sangat tidak becus," ucapnya memaki-maki."Maaf Pak, ini kesalahan teknis dan cuaca yang sangat buruk. Pesawat kehilangan navigasi dan jarak pandang terlalu dekat. Jika diteruskan akan membahayakan nyawa kita semua," jawab Brady tenang.Namun pria itu tetap tampak tak terima dan kini sedang mengeluarkan ponselnya lalu menyalakannya. Sepertinya ia hendak mengabarkan seseorang bahwa ia terdampar di sebuah pulau."Ah, tidak ada sinyal lagi," keluhnya beberapa saat kemudian. Mendengar ucapan itu para penumpang yang lainpun mencoba menyalakan ponsel masing-masing termasuk Mahesa. Ternyata benar, tidak ada sinyal sama sekali.Gemuruh menggema dengan cukup keras dari langit. Mahesa mendongak keatas dan melihat gumpalan awan hitam menyelimuti langit. Tapi anehnya, gumpalan awan-awan itu terlihat agak aneh setidaknya di mata Mahesa. Sebab bila diperhatikan lebih teliti gumpalan awan-awan itu tampak seperti sekelompok wajah-wajah yang sedang memperhatikan mereka.-------------------------------Gemuruh menggema di udara ketika Erik sedang mengotak atik laptop di ruang pribadinya. Ia melirik jam tangannya sekilas, pukul lima sore. Dari jendela, ia melihat langit tampak gelap, sepertinya akan turun hujan.Erik menghela napas sejenak dan kembali menatap layar laptop. Rasa kantuk mulai menyerangnya karena cuaca dingin. Ah, rasanya menyeruput kopi sore ini sepertinya nikmat, pikirnya. Ia merapihkan beberapa barang terlebih dahulu sebelum melangkah keluar ruangan. Di depan ruangannya, ia sempat berpapasan dengan beberapa karyawan yang hendak pulang."Belum pulang, Pak?" tanya salah satu karyawan kepada Erik."Lembur. Tanggung soalnya," jawab Erik dan melangkah menuju pantry."Sepertinya mau hujan Pak. Bapak yakin tidak mau pulang sekarang?" tanya sang karyawan lagi."Nanti saja. Justru karena hujan begini jadi malas pulang cepat. Pasti jalanan macet parah. Daripada stress di jalan, lebih baik disini," jawab Erik sambil menuangkan kopi ke sebuah cangkir lalu membawanya kembali ke r
Mahesa menatap nanar pada pohon-pohon yang berdiri tegak di hadapannya. Pagi ini, kabut masih menggantung membuat jarak pandangnya terbatas dan tak mampu melihat lebih jauh kebalik pohon-pohon itu.Mahesa sedang duduk disebuah ayunan di belakang villa keluarganya saat ini. Pandangan matanya masih nanar menatap pepohonan yang berdiri menjulang di belakang bangunan villa.Rumput-rumput di sekitar halaman belakang itu masih tampak basah karena embun masih enggan beranjak. Perlahan, Mahesa mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto. Ia membuka sebuah foto yang memperlihatkan dirinya dengan seorang perempuan berhijab. Itu adalah Amelia, sang ibu. Mengingat sang ibu, entah kenapa mata Mahesa menjadi basah layaknya rerumputan berembun itu."Sa," sebuah suara membuat Mahesa sedikit terjingkat. Pintu belakang villa terbuka perlahan dan Faisal muncul dari dalam dengan setelan baju santai dan wajah yang masih agak kusut.Menyadari sang putra sedang duduk sendirian di ayunan membuat Faisal me
Devana sedang merebahkan tubuhnya di sofa ketika Fabian memasuki rumah. Pria itu tampak sedang berbicara di telepon dengan seseorang hingga membuat Devana sedikit mengerutkan kening."Iya Ma, nanti Bian kirim ya," bisiknya di telepon dan melirik sang istri yang tampak menatapnya penuh selidik. "Sudah dulu ya Ma, ini Bian baru saja tiba di rumah," sambungnya dan langsung memutuskan hubungan pembicaraan.Fabianpun kemudian mendekati sang istri dan duduk di pinggir sofa lalu mengusap perut Devana yang masih rata."Bagaimana? Kau sudah kontrol tadi?" tanya Fabian. Namun, Devana bukannya menjawab, malah ikut duduk dan balik bertanya."Mamamu minta apa lagi?" tanyanya tampak agak jengkel. Fabian menghela napas panjang dan mengusap rambut sang istri sebelum menjawab."Uang semester Febrian sudah jatuh tempo," jawabnya lemah. Devana mendengus dan geleng-geleng kepala."Gila ya keluargamu itu. Mereka seperti tidak punya otak, mereka tau kau sudah menikah sudah punya kewajiban lain. Tapi kenapa
Pukul sebelas malam, Erik baru tiba di rumahnya. Setelah memarkir mobilnya di garasi, Erik melangkah perlahan menuju rumah. Ia menguap perlahan, rasa kantuk mulai menyerangnya.Erik mengeluarkan kunci rumah dari sakunya dan mulai membuka pintu. Ia memang memegang kunci cadangan rumah sebab ia sering sekali pulang larut karena bekerja. Daripada membangunkan sang istri, lebih baik ia mengantongi kunci sendiri.Begitu ia membuka pintu dan masuk, ruangan sudah gelap. Pasti sang istri telah tidur, pikirnya. Tapi begitu ia hendak melangkah menuju kamar, lampu ruangan tiba-tiba menyala. Widya, istri Erik, yang menyalakan lampu dan kini sedang duduk di sofa dengan tatapan sedikit kecewa."Belum tidur?" tanya Erik sambil membuka sepatunya."Malam sekali kau pulang, Mas," ujar Widya."Biasalah, lembur. Sudah hampir deadline soalnya," jawab Erik dan melonggarkan kancing kemejanya."Kau bahkan tidak mengangkat telepon dariku," bisik Widya lagi, bernada kecewa. Erik agak mendengus dan tampak sedik
Julian Andrew, adalah pria berusia 28 tahun yang berprofesi sebagai seorang pramugara. Ia sudah menekuni profesi tersebut sejak 5 tahun yang lalu. Setelah lulus dari pendidikan khusus dan melalui berbagai proses seleksi akhirnya Julian diterima menjadi pramugara di maskapai Bianglala Airlines disaat usianya 23 tahun.Penerbangan pertamanya adalah tujuan Jakarta-Medan dan setelah itu ia sudah sering bepergian ke berbagai daerah di Indonesia. Setelah 5 tahun berkarier, Julian sudah menyinggahi hampir seluruh kota di Indonesia bahkan ia pernah beberapa kali mendapat penerbangan Internasional dan menyinggahi beberapa negara meski masih dalam benua Asia.Penerbangan kali ini sudah tak terhitung lagi merupakan penerbangan keberapa baginya. Ini juga bukan pertama kalinya ia terbang ke Lombok, sebab sebelumnya sudah pernah sekitar 4 kali ia mendarat di Lombok. Namun yang ia tak tahu, penerbangan kali ini akan mengubah hidupnya.Julian sendiri sudah bertunangan dengan seorang gadis bernama Mis
Cahaya dari senter di genggamannya menerangi langkah Mahesa malam ini. Ia sedang menyusuri hutan di belakang villa, berniat kabur. Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat ia mengendap keluar dari villa. Faisal, Imelda, dan Nino sudah tertidur pulas saat ia keluar.Faisal yang terbangun di malam hari karena ingin buang air, akhirnya menyadari ketidak beradaan Mahesa. Pasalnya, ketika melewati kamar sang anak, pintu kamar itu terbuka dan Mahesa tidak ada di dalam. Ya, Mahesa lupa menutup pintu kamarnya kembali."Mahesa..." seru Faisal mencari sang anak. Ia mengobrak abrik seisi kamar namun tetap tak menemukan Mahesa.Imelda akhirnya terbangun karena mendengar suara sang suami yang cukup keras. Ia menyusul keluar dari kamar dan mendapati Faisal sedang mondar mandir di seantero ruangan."Ada apa Mas?" tanya Imelda."Mahesa, dia tidak ada. Dia pasti kabur," jawab Faisal dan mencoba menghubungi ponsel Mahesa. Namun sayangnya, ponsel itu dalam keadaan tidak aktif."Coba cek mobil," usul Ime
Laju mobil Fabian cukup kencang melewati jalanan Jakarta sore ini. Sebab, ia baru saja mendapat telepon dari ibunya yang mengabarkan bahwa sang istri saat ini sedang berada di rumah sakit.Begitu mendapat kabar tersebut, Fabian langsung melajukan mobilnya dengan cepat menuju rumah sakit. Ia sangat cemas bila Devana sampai keguguran lagi. Ini adalah kehamilan ketiganya, tentu saja Fabian cemas bukan main.Begitu tiba di rumah sakit, Fabian langsung menghambur masuk. Karena terlalu terburu-buru ia bahkan tanpa sengaja menabrak seorang cleaning service rumah sakit yang sedang bertugas hingga membuat cleaning service itu terjatuh. Namun, bukannya meminta maaf, Fabian justru mengomeli pria itu."Kalau mau bekerja jangan menghalangi jalan orang. Kamu tidak tahu saya sedang terburu-buru ke ICU?" omel Fabian."Maaf, Pak," jawab cleaning service itu sambil berusaha berdiri kembali."Huh," Fabian masih saja mengomel bahkan setelah ia melangkah menghindari pria itu.Setibanya di depan ruang ICU,
Malam ini tak ada yang dapat memejamkan mata. Peristiwa yang dialami Devana membuat semuanya cukup trauma. Terutama Carissa, perempuan cantik itu kini tampak termenung di dekat sebatang pohon di dekat balai sambil mengusap perutnya. Sylvia yang melihatnya perlahan menghampiri."Kau kenapa?" tanya Sylvia."Tidak, aku masih trauma bila mengingat yang dialami Mbak Devana," jawab Carissa. Sylvia menghela napas pelan lalu mengelus pundak sahabatnya itu."Semua juga trauma, begitupun aku. Lihat, semua tak dapat tidur," ucap Sylvia."Tapi Syl, aku jadi kepikiran masalahku sendiri," bisik Carissa melirik perutnya. Sylvia mengikuti arah pandang sahabatnya itu dan akhirnya mengerti apa yang dikhawatirkan Carissa."Kau harus beritahu dia Car, dia harus tahu," ujar Sylvia. Kedua pramugari itu saling pandang sejenak. Carissa tampak bingung dan beberapa kali menoleh pada seseorang di dalam balai. Orang itu adalah Brady, sang pilot.Merasa diperhatikan, Bradypun menoleh dan melihat kedua pramugariny
Di gubuk dua, Mahesa kini sedang terengah-engah mengatur napasnya. Setelah kembali ke gubuk ini dan terikat rantai begini, Mahesa tak berhenti mendengar jeritan demi jeritan.Mahesa sempat mendengar jeritan Fabian di gubuk tiga, Carissa di gubuk empat, dan terakhir jeritan Brady di gubuk satu. Gubuk yang bersebelahan dengan gubuk tempat dirinya disekap.Apakah teman-temannya itu sudah mati semua? Atau masih hidup dalam siksaan? Mahesa tak tahu, sebab ia tak dapat melihat kondisi di luar gubuknya. Tapi sejak jeritan Brady yang terakhir, memang ia tak mendengar jeritan lagi.Kali ini, pintu gubuk mulai terbuka. Mahesa melirik ke arah pintu dan melihat Lasun masuk membawa cambuk. Di belakangnya ada Ebiet yang memegang pisau. Mahesa bergidik cemas."Bu, saya mohon jangan sakiti saya," bisik Mahesa bergetar. Namun Lasun tersenyum dan duduk di dekatnya. Ia bahkan membelai wajah Mahesa yang penuh dengan peluh."Selamat datang di neraka," bisik perempuan itu. Mendengar hal itu Mahesa bergidik
Carissa dapat mendengar suara tawa cekikikan dari gubuk ketiga. Ia tahu itu suara tawa Daryo, dan ia juga tahu bahwa di dalam gubuk itu ada Fabian yang sedang di sekap. Sementara dirinya sendiri berada di gubuk keempat dalam keadaan kaki dan tangan yang juga di rantai."Toloooong!" pekik Carissa mencoba berseru. Berharap seseorang dapat mendengar suaranya meski rasanya mustahil.Perlahan, ia mendengar suara menderit. Ketika ia menoleh, rupanya pintu gubuk mulai terbuka dan seseorang melangkah masuk. Itu adalah Kanti, dengan membawa sebuah celurit di tangannya. Perempuan muda itu tersenyum pada Carissa, namun senyum yang sedikit menyeramkan."Jangan berisik," bisik Kanti ketika ia sudah berada di dekat Carissa. Carissa mendelik takut padanya."Tolong Mbak, lepaskan saya. Tolong kasihani saya, kita sama-sama perempuan," bisik Carissa memohon. Namun Kanti malah tertawa dan menyorotkan pandangan yang menakutkan."Sudah terlambat Carissa," bisiknya dengan nada aneh."Jika Mbak tidak peduli
Fabian sedang memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper ketika terdengar bunyi ketukan di pintu depan. Pria itu mendengus sejenak dan mencoba mengabaikan ketukan itu."Bian, kamu bisa tolong bukakan pintu tidak?"Terdengar suara Devana dari dalam kamar mandi berseru. Rupanya sang istripun mendengar ketukan itu untuk kedua kalinya."Iya," sahut Fabian akhirnya. Siapa yang datang pagi-pagi begini, pikir Fabian. Ia melangkah keluar kamar dan mendekati pintu depan. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi ketika ia membuka pintu.Ketika daun pintu terkuak, rupanya yang berdiri di depan pintu itu adalah seorang pria bersetelan rapi yang sedang membawa beberapa kotak. Fabian melirik sekilas gambar di kotak di pegang si pria, sepertinya kotak itu berisi peralatan rumah tangga, terlihat dari gambarnya."Ada apa Mas?" tanya Fabian dengan pandangan sedikit meremehkan."Selamat pagi Bapak, maaf mengganggu waktunya. Perkenalkan saya Wisnu dari PT...""Sudah, langsung saja. Mas mau apa? Mau menawar
Pagi menjelang, langit kembali terang. Mahesa sedang duduk di bawah sebatang pohon dan menatap langit. Ia menatap gumpalan-gumpalan awan hitam di atas. Tampak masih sama, seperti wajah-wajah yang memperhatikan mereka.Sementara Brady, Carissa, dan Sylvia tampak masih tidur berguling di tanah tak jauh dari Mahesa. Sedangkan Fabian sedang berdiri termenung menatap nanar pepohonan tinggi yang tegak menjulang di hadapan mereka."Mas..." perlahan Mahesa mendekati pria itu. Fabian menoleh dan menghapus lelehan air matanya."Kenapa?" tanya Fabian."Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita cintai," bisik Mahesa mengusap pundak pria itu."Ah, kau tahu apa? Berapa umurmu?" tanya Fabian pula."24 tahun, tapi aku tahu rasanya Mas. Aku pernah ditinggal ibuku untuk selama-lamanya," jawab Mahesa pula. Mendengar hal itu Fabian balas mengusap pundak pemuda itu memberikan rasa empati."Tapi setidaknya, mungkin cara kematiannya tidak setragis istriku," ujar Fabian pula. Mahesa hanya menghel
Marinka Vista adalah seorang gadis berusia 22 tahun. Ia tercatat sebagai salah satu mahasiswi jurusan Seni Budaya di salah satu universitas swasta di Jakarta.Marinka terlahir memiliki bobot tubuh yang melebihi bobot bayi pada umumnya. Iapun tumbuh menjadi anak dengan berat diatas rata-rata anak seusianya. Ketika anak-anak hingga remaja, Marinka sering diledek teman seusianya karena bentuk tubuhnya yang besar. Itu membuatnya tak percaya diri.Marinka juga bukan berasal dari keluarga kaya. Ia hanya anak seorang pedagang kain dan sejak remaja sudah sering membantu sang ayah berjualan.Hingga dewasa, Marinka sering merasa minder jika berkumpul bersama teman-temannya karena bentuk tubuhnya yang gempal. Ia iri dengan gadis-gadis bertubuh langsing dan cantik. Terutama pada Sherly, mahasiswi populer di kampusnya.Sherly memiliki cukup banyak penggemar, bukan hanya di kampus tapi juga di dunia maya. Sebab, Sherly merupakan seorang content creator yang memfokuskan isi kontennya tentang review
Mahesa menatap nanar pohon mangga di halaman depan villa pagi ini. Udara masih terasa dingin, dan embun masih setia menempel di permukaan daun.Tak lama, Imelda mendekati pemuda itu yang kini duduk di teras. Imelda menghela napas sejenak kemudian duduk di samping sang anak tiri. Mahesa akhirnya menoleh karena merasa lamunannya buyar. Ia sedikit mendengus ketika menyadari bahwa sang ibu tiri kini duduk di sebelahnya."Mau apa Tante kesini?" tanya Mahesa pelan. Imelda tak segera menjawab, ia menelan ludah getir."Sa, Mama tidak apa kalau kamu belum bisa memanggil Mama. Mama juga tidak apa jika kamu membenci Mama, tapi satu hal yang Mama minta, kamu jangan pernah membenci papamu ya. Dia itu sangat menyayangimu," ucap Imelda perlahan dengan penuh kehati-hatian. Mahesa malah mengeluarkan nada mengejek."Jika dia sayang sama aku tidak mungkin jadi seperti ini," jawab Mahesa. Imelda menghela napas getir beberapa saat. Ia masih teringat kata-kata Mahesa tadi malam yang menyesalkan sang ayah m
Malam ini tak ada yang dapat memejamkan mata. Peristiwa yang dialami Devana membuat semuanya cukup trauma. Terutama Carissa, perempuan cantik itu kini tampak termenung di dekat sebatang pohon di dekat balai sambil mengusap perutnya. Sylvia yang melihatnya perlahan menghampiri."Kau kenapa?" tanya Sylvia."Tidak, aku masih trauma bila mengingat yang dialami Mbak Devana," jawab Carissa. Sylvia menghela napas pelan lalu mengelus pundak sahabatnya itu."Semua juga trauma, begitupun aku. Lihat, semua tak dapat tidur," ucap Sylvia."Tapi Syl, aku jadi kepikiran masalahku sendiri," bisik Carissa melirik perutnya. Sylvia mengikuti arah pandang sahabatnya itu dan akhirnya mengerti apa yang dikhawatirkan Carissa."Kau harus beritahu dia Car, dia harus tahu," ujar Sylvia. Kedua pramugari itu saling pandang sejenak. Carissa tampak bingung dan beberapa kali menoleh pada seseorang di dalam balai. Orang itu adalah Brady, sang pilot.Merasa diperhatikan, Bradypun menoleh dan melihat kedua pramugariny
Laju mobil Fabian cukup kencang melewati jalanan Jakarta sore ini. Sebab, ia baru saja mendapat telepon dari ibunya yang mengabarkan bahwa sang istri saat ini sedang berada di rumah sakit.Begitu mendapat kabar tersebut, Fabian langsung melajukan mobilnya dengan cepat menuju rumah sakit. Ia sangat cemas bila Devana sampai keguguran lagi. Ini adalah kehamilan ketiganya, tentu saja Fabian cemas bukan main.Begitu tiba di rumah sakit, Fabian langsung menghambur masuk. Karena terlalu terburu-buru ia bahkan tanpa sengaja menabrak seorang cleaning service rumah sakit yang sedang bertugas hingga membuat cleaning service itu terjatuh. Namun, bukannya meminta maaf, Fabian justru mengomeli pria itu."Kalau mau bekerja jangan menghalangi jalan orang. Kamu tidak tahu saya sedang terburu-buru ke ICU?" omel Fabian."Maaf, Pak," jawab cleaning service itu sambil berusaha berdiri kembali."Huh," Fabian masih saja mengomel bahkan setelah ia melangkah menghindari pria itu.Setibanya di depan ruang ICU,
Cahaya dari senter di genggamannya menerangi langkah Mahesa malam ini. Ia sedang menyusuri hutan di belakang villa, berniat kabur. Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat ia mengendap keluar dari villa. Faisal, Imelda, dan Nino sudah tertidur pulas saat ia keluar.Faisal yang terbangun di malam hari karena ingin buang air, akhirnya menyadari ketidak beradaan Mahesa. Pasalnya, ketika melewati kamar sang anak, pintu kamar itu terbuka dan Mahesa tidak ada di dalam. Ya, Mahesa lupa menutup pintu kamarnya kembali."Mahesa..." seru Faisal mencari sang anak. Ia mengobrak abrik seisi kamar namun tetap tak menemukan Mahesa.Imelda akhirnya terbangun karena mendengar suara sang suami yang cukup keras. Ia menyusul keluar dari kamar dan mendapati Faisal sedang mondar mandir di seantero ruangan."Ada apa Mas?" tanya Imelda."Mahesa, dia tidak ada. Dia pasti kabur," jawab Faisal dan mencoba menghubungi ponsel Mahesa. Namun sayangnya, ponsel itu dalam keadaan tidak aktif."Coba cek mobil," usul Ime