Gemuruh menggema di udara ketika Erik sedang mengotak atik laptop di ruang pribadinya. Ia melirik jam tangannya sekilas, pukul lima sore. Dari jendela, ia melihat langit tampak gelap, sepertinya akan turun hujan.
Erik menghela napas sejenak dan kembali menatap layar laptop. Rasa kantuk mulai menyerangnya karena cuaca dingin. Ah, rasanya menyeruput kopi sore ini sepertinya nikmat, pikirnya. Ia merapihkan beberapa barang terlebih dahulu sebelum melangkah keluar ruangan. Di depan ruangannya, ia sempat berpapasan dengan beberapa karyawan yang hendak pulang."Belum pulang, Pak?" tanya salah satu karyawan kepada Erik."Lembur. Tanggung soalnya," jawab Erik dan melangkah menuju pantry."Sepertinya mau hujan Pak. Bapak yakin tidak mau pulang sekarang?" tanya sang karyawan lagi."Nanti saja. Justru karena hujan begini jadi malas pulang cepat. Pasti jalanan macet parah. Daripada stress di jalan, lebih baik disini," jawab Erik sambil menuangkan kopi ke sebuah cangkir lalu membawanya kembali ke ruangannya.Erik Danendra adalah seorang pria berusia 43 tahun. Ia seorang manager di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Erik sudah menjabat status tersebut sejak sepuluh tahun terakhir. Sebagai seorang manager, ia memiliki beberapa bawahan. Namun, ia paling sering bekerja lembur dibanding bawahannya.Erik memang seorang workaholic. Ia bahkan sering mengabaikan urusan pribadi dan keluarganya demi pekerjaannya. Ya, itu juga sebagai cara untuk 'menjilat' sang CEO agar menjadikan dirinya sebagai direktur, posisi yang sudah diincarnya sejak lima tahun yang lalu.Sore ini, Erik kembali berniat lembur menyelesaikan project yang sedang ditanganinya karena sudah hampir deadline. Setelah menyeruput kopinya sedikit, Erik kembali fokus ke layar laptop.Tak lama, hujanpun turun mengguyur kota Jakarta. Dari ruangannya, Erik dapat melihat jalanan kota yang tampak macet total. Benar saja dugaannya, kalau sudah hujan pasti macet, pikirnya. Pria itu meneruskan kegiatannya kembali.Beberapa saat kemudian, ponselnya bergetar. Erik melirik layar, di layar muncul tulisan 'My Wife'. Ah, kenapa sang istri harus menelepon pada saat seperti ini, pikirnya. Erikpun mengabaikannya dan kembali bekerja. Bahkan sampai ketiga kalinya ponselnya bergetar, Erik tak pernah mengangkat telepon dari sang istri. Ia berpikir mungkin sang istri cuma mau bertanya pulang jam berapa atau sudah dimana? Itu tidak penting, pikir Erik.------------------------------Sambil terus mencoba menghubungi nomor sang istri, Erik gelisah. Panggilannya tak pernah bisa tersambung karena tidak ada sinyal sama sekali. Ah sial, bisiknya dalam hati.Pria itu memperhatikan sekitar. Ia melihat para penumpang dan awak pesawat yang masih berdiri di pinggir pantai dengan kegiatan masing-masing. Erik melihat salah satu pemuda, pemuda yang tadi duduk di samping kursinya. Pemuda itu tampak sedang melihat ke arah langit. Erik mencoba mendekati pemuda itu."Hei, Mas," ucapnya. Mahesa, pemuda itu, menoleh pada Erik. "Saya boleh pinjam ponselmu? Ponsel saya tidak mendapatkan sinyal sama sekali. Saya harus mengabari istri saya.""Sama Pak, ponsel saya juga tak mendapatkan sinyal," jawab Mahesa menunjukkan layar ponselnya pada pria itu."Ah, sial," ucap Erik mengumpat. Ia panik dan beberapa kali meremas rambutnya gusar sambil memperhatikan sekitar. Di dekat pantai itu hanya ada hutan belantara yang dipenuhi pepohonan."Ini kita dimana?" tanyanya lagi. Mahesa ikut mengendarakan pandang dan tak melihat adanya manusia lain selain para penumpang dan awak pesawat. Pantai itu benar-benar sepi. Tak ada juga terlihat rumah atau bangunan di sekitar pantai, hanya ada hutan."Saya... kurang tau Pak," jawab Mahesa akhirnya. Erik tampak semakin gusar dan kembali mendekati Brady, sang pilot."Heh, ini kita dimana? Ini pulau apa?" tanyanya cemas. Brady angkat bahu dan memperhatikan sekitar.Tiba-tiba semua dikejutkan oleh sebuah teriakan salah satu penumpang perempuan. Ketika semua menoleh ke perempuan tersebut, ternyata perempuan itu tak sengaja menginjak sebuah tengkorak kepala manusia di pantai tersebut. Semua tentu saja panik dan takut."No... Kita harus segera pergi dari tempat ini. Ayo terbangkan pesawatnya lagi!" hardik Erik pada sang pilot, Thomas dan Julian bahkan terpaksa menahan pria itu agar ia tak sampai mencengkeram kerah baju sang pilot."Tidak bisa Pak. Wilayah ini terlalu sempit untuk kita lepas landas. Lagipula belum ada sinyal navigasi yang tertangkap. Tanpa adanya navigasi pesawat tidak akan terarah. Bapak mau kita semua celaka di udara?" ungkap Brady pula."Tapi tempat ini tidak aman. Itu tengkorak manusia pasti korban terkaman binatang buas. Lihat, cuma ada hutan disini. Tidak ada orang ataupun pemukiman penduduk. Kita saja bahkan tak tahu ini pulau apa," sergah Erik pula."Betul," seorang pria tampaknya setuju dengan Erik. Pria itu adalah Fabian. Wajahnya tampak panik apalagi sejak melihat tengkorak manusia tadi. "Kita tidak mungkin disini lebih lama lagi. Sepertinya ini wilayah yang kurang aman," sambungnya."Kita harus bertahan disini sampai ada tim evakuasi, karena tidak mungkin meninggalkan tempat ini kecuali jika ada yang nekat berenang," ujar sang pilot pula. Semua tampak kecewa dengan keputusan itu. Terutama Fabian dan Erik."Tunggu," perempuan tua yang berdiri di dekat Mahesa tiba-tiba menginterupsi. "Sepertinya di sebelah situ ada jalan setapak. Jika ada jalan, berarti pasti ada yang sering lewat," sambungnya menunjuk ke satu arah.Semua memperhatikan arah telunjuk si perempuan tua dan benar saja, di tengah pepohonan yang berdiri kokoh itu nampak ada sebuah ruang kecil seperti jalan setapak menuju ke dalam hutan."Sepertinya di balik hutan ini ada pemukiman penduduk," ujar perempuan itu lagi. Ia mulai melangkah menuju jalan tersebut, Mahesa yang ada di sebelahnya mencoba menemani si nenek tua dan memeganginya karena jalannya agak sedikit susah.Para penumpang lainnya tampak mulai mengikuti si nenek dari belakang. Namun ada beberapa juga yang tampak tak mau mengikuti dan memilih untuk bertahan saja di pantai."Ayo," Brady Anthony mengajak para penumpang dan awak yang masih enggan meninggalkan pantai untuk menyusul si nenek dan para penumpang yang mendekati jalan setapak itu."Kita tidak tahu apa yang ada di balik hutan itu," sergah Erik pula. "Siapa tahu ada binatang buas. Lebih baik disini saja. Setidaknya jika ada bahaya kita bisa bergegas masuk kembali ke pesawat," sambungnya. Beberapa orang tampak sependapat dengan pria itu."Tapi jika disini terlalu lama kita tidak akan mendapat pertolongan. Lambat laun akan mati karena tidak ada persediaan makanan dan minuman," ucap Brady pula. Ia mulai melangkah menuju jalan setapak diikuti para awak.Julian, Thomas, Sylvia, Carissa, dan para awak lainnya tentu saja mengikuti arahan dari sang pilot. Mereka menyusul si nenek dan para penumpang yang kini sudah mencapai jalanan setapak tersebut. Namun mereka tidak bisa memaksa penumpang lainnya yang memilih untuk tetap di pantai seperti Erik.Fabian dan Devana pada awalnya memilih untuk tetap di pantai. Namun sepertinya ada perdebatan dan perbedaan pendapat antara pasutri itu. Fabian sependapat dengan Erik namun Devana lebih memilih untuk menyusul yang lainnya."Apa yang dikatakan Bapak ini ada benarnya Dev. Kita tidak tahu apa yang ada di balik hutan itu. Yang namanya hutan pasti banyak bahaya, binatang buas, dan lainnya. Jika kita celaka bagaimana?" ungkap Fabian."Tapi yang dikatakan pilot ada benarnya juga Bian. Kalau kita disini terus, kita tidak punya stock makanan dan minuman. Kita tidak mungkin makan ikan mentah dari laut dan minum air garam. Lebih baik kita ikuti mereka untuk mencari bantuan. Lagipula jalanan itu tampak sering ditempuh manusia," ucap Devana pula.Pepohonan yang ada di hadapan mereka mulai bergoyang-goyang karena angin. Sementara orang-orang yang memilih untuk masuk hutan kini sudah tak tampak lagi, ditelan ribuan pohon tinggi itu.Devana mengedarkan pandang dan langit tampak semakin gelap. Gumpalan awan hitam tampak semakin menyelimuti langit. Angin kini juga mulai bertiup cukup kencang membuat pohon-pohon di hutan itu bergoyang-goyang. Gemuruhpun ikut membahana, dan ombak laut semakin meninggi."Sepertinya akan badai," sebuah suara membuat semua yang ada di pantai itu menoleh. Suara itu berasal dari Marinka, gadis bertubuh gempal yang tadi duduk di seberang kursi Fabian. Mendengar hal itu, Devana semakin mendesak suaminya untuk segera meninggalkan tepian pantai."Bian, sebentar lagi badai. Ombak semakin meninggi. Kita harus segera menyusul mereka," ucap Devana."Tapi..." Fabian masih tampak keberatan hingga akhirnya Devana memutuskan untuk berlari meninggalkan bibir pantai menuju jalan setapak itu."Devana, tunggu!" seru Fabian menyusul istrinya. Marinka ikut-ikutan menyusul pasutri itu karena melihat ombak yang semakin meninggi dan angin semakin kencang. Daripada mati diterjang ombak lebih baik pergi menyelamatkan diri, pikirnya.Kini tinggallah Erik dan beberapa penumpang lainnya. Pria itu tampak semakin cemas apalagi ketika ombak hampir menyeret kakinya hingga ia terjatuh. Alhasil, Erikpun memutuskan untuk menyusul yang lainnya ke dalam hutan. Meninggalkan para penumpang yang masih memilih bertahan.Dari 145 orang penumpang, terhitung 75 orang memilih masuk ke dalam hutan sementara sisanya bertahan di pantai. 75 orang penumpang dan 12 orang awak pesawat termasuk pilot kini sudah menyusuri jalanan setapak. Yang berjalan paling depan adalah nenek tua itu dibantu oleh Mahesa dan yang terakhir adalah Erik yang baru saja menyusul dengan napas terengah-engah.Mahesa menatap pohon-pohon yang ia lewati. Pohon-pohon itu tampak bergerak-gerak ditiup angin ribut. Sejauh mereka melangkah belum pernah melihat manusia ataupun rumah."Ini benar-benar hutan rimba," ujar Brady yang berjalan di belakang Mahesa."Jalan ini pasti ada ujungnya, mungkin akan mengarah ke sebuah desa," balas si nenek tua yang tangannya masih dibimbing oleh Mahesa. "Sudah, lepaskan saja tanganku Nak, aku masih bisa berjalan dengan baik," ucap perempuan itu pula kepada Mahesa."Iya Nek. Hati-hati, jalan ini sepertinya licin," ujar Mahesa pula mengingatkan. Tiba-tiba, kaki Mahesa menyandung sesuatu. Iring-iringan itu terhenti karena ia hampir saja terjatuh akibat sandungan. Ketika ia melihat ke bawah, alangkah terkejutnya ia ketika menyadari yang baru saja disandungnya adalah sebuah tulang yang menyembul dari dalam tanah. Hal itu tentu saja membuat semua kembali panik dan heboh."Sudah, jangan panik. Ini sepertinya tulang hewan mati," ujar Brady menenangkan. Melihat hal itu, Erik yang berada di ujung barisan menginterupsi."Kita kembali saja. Sepertinya ini hutan larangan. Tadi tengkorak kepala manusia di pantai, sekarang tulang di dalam tanah. Aku tidak ingin meneruskan lagi, aku akan kembali," serunya dan membalikkan badan berniat kembali ke pantai. Tapi tak satupun yang sependapat dengannya kini. Alhasil Erik sendirian berlari ke arah pantai kembali. Sementara yang lain meneruskan langkah.Tak lama, Erik kembali ke dalam rombongan dengan napas terengah-engah dan wajah pucat pasi seperti baru saja melihat hal yang mengerikan. Melihat kedatangannya kembali, yang lain menghentikan langkah dan menatap pria itu lagi."Ada apa? Kenapa kau kembali?" Fabian yang bertanya. Ia mengusap pundak pria itu agar Erik dapat bernapas lebih leluasa. Setelah merasa tenang, akhirnya Erik bersuara."Semua penumpang yang masih di pantai hilang. Tak tahu kemana. Aku mencari ke dalam pesawat dan berseru memanggil mereka, tapi semuanya tidak ada. Aku tidak tahu mereka dimana. Karena panik, aku akhirnya kembali kesini," ungkap Erik dengan bibir bergetar."Mungkin mereka menemukan jalan lain. Kita lanjutkan saja langkah kita," jawab Brady pula."Tidak ada jalan lain selain jalan ini!" sergah Erik cepat."Ya sudah, mungkin mereka memilih untuk bersembunyi di hutan bagian lain karena takut badai. Sudahlah, tidak usah memperdebatkan hal yang tidak penting. Sekarang yang terpenting adalah, kita harus segera menemukan pemukiman warga," pungkas Brady lagi. Ia kembali menginstruksikan untuk meneruskan langkah.Semuanya kembali meneruskan langkah dengan pelan dan hati-hati. Sebab setelah kejadian Mahesa tadi, Brady menginstruksikan agar yang lain benar-benar memperhatikan langkah agar tidak tersandung lagi."Hei, tunggu," Mahesa bersuara yang membuat semua langkah kembali terhenti. Pemuda itu menunjuk batang-batang pohon di sekitar mereka. Di tiap batang pohon itu ada sebuah ukiran berbentuk sebuah segitiga terbalik."Coba perhatikan, hampir semua batang pohon ini terukir. Pasti yang mengukirnya adalah manusia karena polanya sama dengan tinggi sebatas tubuh manusia dewasa normal," ucap Mahesa. Hal itu melegakan yang lain, itu artinya pulau ini memang dihuni oleh manusia."Ah, syukurlah. Artinya kita bisa minta bantuan," tukas Brady dan menyuruh Mahesa meneruskan langkah.Semakin diperhatikan, pohon-pohon di hutan ini semakin banyak dan jalan setapak yang mereka lewati ini seperti tak berujung. Sebab kabut di ujung jalan menutupi jarak pandang. Sayup-sayup, telinga Mahesa menangkap sebuah suara yang semakin lama semakin keras. Suara-suara itu seperti suara manusia, semakin di dengar semakin banyak."Apa ada yang dengar?" tanya Mahesa pada yang lain. Semua mencoba memfokuskan pendengaran masing-masing dan mereka menangkap suara-suara itu."Ini suara manusia. Artinya kita semakin dekat dengan peradaban. Ayo teruskan langkah," ujar Brady pula. Mahesa dan yang lain meneruskan langkah kembali meski Mahesa merasa suara-suara itu bukan seperti suara manusia yang bercakap-cakap melainkan seperti suara jeritan dan erangan. Namun enggan berdebat, ia memutuskan untuk meneruskan langkah.Rombongan kini melihat sebuah gerbang dari kayu yang tampaknya dibuat ala kadarnya yang bertuliskan "Selamat Datang di Pulau Gumantra"."Pulau Gumantra?" tanya Julian membaca tulisan di gerbang. "Apakah ada yang pernah dengar nama pulau ini sebelumnya?"Semua menggeleng."Sudahlah, mungkin ini pulau kecil yang bahkan terlewat dari peta. Sudahlah, tak usah banyak berdebat dulu. Dengan adanya gerbang bertulisan ini kita semakin yakin bahwa di ujung jalan ini ada peradaban manusia," ucap Brady dan menyuruh Julian meneruskan langkah. Meski ragu, pramugara itu mengikuti arahan sang pilot. Hingga semua kini sudah memasuki gerbang dan tubuh mereka tak terlihat ditelan kabut yang semakin tebal. Tanpa mereka tahu apa yang ada dibalik hutan berkabut itu.------------------------------Mahesa menatap nanar pada pohon-pohon yang berdiri tegak di hadapannya. Pagi ini, kabut masih menggantung membuat jarak pandangnya terbatas dan tak mampu melihat lebih jauh kebalik pohon-pohon itu.Mahesa sedang duduk disebuah ayunan di belakang villa keluarganya saat ini. Pandangan matanya masih nanar menatap pepohonan yang berdiri menjulang di belakang bangunan villa.Rumput-rumput di sekitar halaman belakang itu masih tampak basah karena embun masih enggan beranjak. Perlahan, Mahesa mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto. Ia membuka sebuah foto yang memperlihatkan dirinya dengan seorang perempuan berhijab. Itu adalah Amelia, sang ibu. Mengingat sang ibu, entah kenapa mata Mahesa menjadi basah layaknya rerumputan berembun itu."Sa," sebuah suara membuat Mahesa sedikit terjingkat. Pintu belakang villa terbuka perlahan dan Faisal muncul dari dalam dengan setelan baju santai dan wajah yang masih agak kusut.Menyadari sang putra sedang duduk sendirian di ayunan membuat Faisal me
Devana sedang merebahkan tubuhnya di sofa ketika Fabian memasuki rumah. Pria itu tampak sedang berbicara di telepon dengan seseorang hingga membuat Devana sedikit mengerutkan kening."Iya Ma, nanti Bian kirim ya," bisiknya di telepon dan melirik sang istri yang tampak menatapnya penuh selidik. "Sudah dulu ya Ma, ini Bian baru saja tiba di rumah," sambungnya dan langsung memutuskan hubungan pembicaraan.Fabianpun kemudian mendekati sang istri dan duduk di pinggir sofa lalu mengusap perut Devana yang masih rata."Bagaimana? Kau sudah kontrol tadi?" tanya Fabian. Namun, Devana bukannya menjawab, malah ikut duduk dan balik bertanya."Mamamu minta apa lagi?" tanyanya tampak agak jengkel. Fabian menghela napas panjang dan mengusap rambut sang istri sebelum menjawab."Uang semester Febrian sudah jatuh tempo," jawabnya lemah. Devana mendengus dan geleng-geleng kepala."Gila ya keluargamu itu. Mereka seperti tidak punya otak, mereka tau kau sudah menikah sudah punya kewajiban lain. Tapi kenapa
Pukul sebelas malam, Erik baru tiba di rumahnya. Setelah memarkir mobilnya di garasi, Erik melangkah perlahan menuju rumah. Ia menguap perlahan, rasa kantuk mulai menyerangnya.Erik mengeluarkan kunci rumah dari sakunya dan mulai membuka pintu. Ia memang memegang kunci cadangan rumah sebab ia sering sekali pulang larut karena bekerja. Daripada membangunkan sang istri, lebih baik ia mengantongi kunci sendiri.Begitu ia membuka pintu dan masuk, ruangan sudah gelap. Pasti sang istri telah tidur, pikirnya. Tapi begitu ia hendak melangkah menuju kamar, lampu ruangan tiba-tiba menyala. Widya, istri Erik, yang menyalakan lampu dan kini sedang duduk di sofa dengan tatapan sedikit kecewa."Belum tidur?" tanya Erik sambil membuka sepatunya."Malam sekali kau pulang, Mas," ujar Widya."Biasalah, lembur. Sudah hampir deadline soalnya," jawab Erik dan melonggarkan kancing kemejanya."Kau bahkan tidak mengangkat telepon dariku," bisik Widya lagi, bernada kecewa. Erik agak mendengus dan tampak sedik
Julian Andrew, adalah pria berusia 28 tahun yang berprofesi sebagai seorang pramugara. Ia sudah menekuni profesi tersebut sejak 5 tahun yang lalu. Setelah lulus dari pendidikan khusus dan melalui berbagai proses seleksi akhirnya Julian diterima menjadi pramugara di maskapai Bianglala Airlines disaat usianya 23 tahun.Penerbangan pertamanya adalah tujuan Jakarta-Medan dan setelah itu ia sudah sering bepergian ke berbagai daerah di Indonesia. Setelah 5 tahun berkarier, Julian sudah menyinggahi hampir seluruh kota di Indonesia bahkan ia pernah beberapa kali mendapat penerbangan Internasional dan menyinggahi beberapa negara meski masih dalam benua Asia.Penerbangan kali ini sudah tak terhitung lagi merupakan penerbangan keberapa baginya. Ini juga bukan pertama kalinya ia terbang ke Lombok, sebab sebelumnya sudah pernah sekitar 4 kali ia mendarat di Lombok. Namun yang ia tak tahu, penerbangan kali ini akan mengubah hidupnya.Julian sendiri sudah bertunangan dengan seorang gadis bernama Mis
Cahaya dari senter di genggamannya menerangi langkah Mahesa malam ini. Ia sedang menyusuri hutan di belakang villa, berniat kabur. Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat ia mengendap keluar dari villa. Faisal, Imelda, dan Nino sudah tertidur pulas saat ia keluar.Faisal yang terbangun di malam hari karena ingin buang air, akhirnya menyadari ketidak beradaan Mahesa. Pasalnya, ketika melewati kamar sang anak, pintu kamar itu terbuka dan Mahesa tidak ada di dalam. Ya, Mahesa lupa menutup pintu kamarnya kembali."Mahesa..." seru Faisal mencari sang anak. Ia mengobrak abrik seisi kamar namun tetap tak menemukan Mahesa.Imelda akhirnya terbangun karena mendengar suara sang suami yang cukup keras. Ia menyusul keluar dari kamar dan mendapati Faisal sedang mondar mandir di seantero ruangan."Ada apa Mas?" tanya Imelda."Mahesa, dia tidak ada. Dia pasti kabur," jawab Faisal dan mencoba menghubungi ponsel Mahesa. Namun sayangnya, ponsel itu dalam keadaan tidak aktif."Coba cek mobil," usul Ime
Laju mobil Fabian cukup kencang melewati jalanan Jakarta sore ini. Sebab, ia baru saja mendapat telepon dari ibunya yang mengabarkan bahwa sang istri saat ini sedang berada di rumah sakit.Begitu mendapat kabar tersebut, Fabian langsung melajukan mobilnya dengan cepat menuju rumah sakit. Ia sangat cemas bila Devana sampai keguguran lagi. Ini adalah kehamilan ketiganya, tentu saja Fabian cemas bukan main.Begitu tiba di rumah sakit, Fabian langsung menghambur masuk. Karena terlalu terburu-buru ia bahkan tanpa sengaja menabrak seorang cleaning service rumah sakit yang sedang bertugas hingga membuat cleaning service itu terjatuh. Namun, bukannya meminta maaf, Fabian justru mengomeli pria itu."Kalau mau bekerja jangan menghalangi jalan orang. Kamu tidak tahu saya sedang terburu-buru ke ICU?" omel Fabian."Maaf, Pak," jawab cleaning service itu sambil berusaha berdiri kembali."Huh," Fabian masih saja mengomel bahkan setelah ia melangkah menghindari pria itu.Setibanya di depan ruang ICU,
Malam ini tak ada yang dapat memejamkan mata. Peristiwa yang dialami Devana membuat semuanya cukup trauma. Terutama Carissa, perempuan cantik itu kini tampak termenung di dekat sebatang pohon di dekat balai sambil mengusap perutnya. Sylvia yang melihatnya perlahan menghampiri."Kau kenapa?" tanya Sylvia."Tidak, aku masih trauma bila mengingat yang dialami Mbak Devana," jawab Carissa. Sylvia menghela napas pelan lalu mengelus pundak sahabatnya itu."Semua juga trauma, begitupun aku. Lihat, semua tak dapat tidur," ucap Sylvia."Tapi Syl, aku jadi kepikiran masalahku sendiri," bisik Carissa melirik perutnya. Sylvia mengikuti arah pandang sahabatnya itu dan akhirnya mengerti apa yang dikhawatirkan Carissa."Kau harus beritahu dia Car, dia harus tahu," ujar Sylvia. Kedua pramugari itu saling pandang sejenak. Carissa tampak bingung dan beberapa kali menoleh pada seseorang di dalam balai. Orang itu adalah Brady, sang pilot.Merasa diperhatikan, Bradypun menoleh dan melihat kedua pramugariny
Mahesa menatap nanar pohon mangga di halaman depan villa pagi ini. Udara masih terasa dingin, dan embun masih setia menempel di permukaan daun.Tak lama, Imelda mendekati pemuda itu yang kini duduk di teras. Imelda menghela napas sejenak kemudian duduk di samping sang anak tiri. Mahesa akhirnya menoleh karena merasa lamunannya buyar. Ia sedikit mendengus ketika menyadari bahwa sang ibu tiri kini duduk di sebelahnya."Mau apa Tante kesini?" tanya Mahesa pelan. Imelda tak segera menjawab, ia menelan ludah getir."Sa, Mama tidak apa kalau kamu belum bisa memanggil Mama. Mama juga tidak apa jika kamu membenci Mama, tapi satu hal yang Mama minta, kamu jangan pernah membenci papamu ya. Dia itu sangat menyayangimu," ucap Imelda perlahan dengan penuh kehati-hatian. Mahesa malah mengeluarkan nada mengejek."Jika dia sayang sama aku tidak mungkin jadi seperti ini," jawab Mahesa. Imelda menghela napas getir beberapa saat. Ia masih teringat kata-kata Mahesa tadi malam yang menyesalkan sang ayah m
Di gubuk dua, Mahesa kini sedang terengah-engah mengatur napasnya. Setelah kembali ke gubuk ini dan terikat rantai begini, Mahesa tak berhenti mendengar jeritan demi jeritan.Mahesa sempat mendengar jeritan Fabian di gubuk tiga, Carissa di gubuk empat, dan terakhir jeritan Brady di gubuk satu. Gubuk yang bersebelahan dengan gubuk tempat dirinya disekap.Apakah teman-temannya itu sudah mati semua? Atau masih hidup dalam siksaan? Mahesa tak tahu, sebab ia tak dapat melihat kondisi di luar gubuknya. Tapi sejak jeritan Brady yang terakhir, memang ia tak mendengar jeritan lagi.Kali ini, pintu gubuk mulai terbuka. Mahesa melirik ke arah pintu dan melihat Lasun masuk membawa cambuk. Di belakangnya ada Ebiet yang memegang pisau. Mahesa bergidik cemas."Bu, saya mohon jangan sakiti saya," bisik Mahesa bergetar. Namun Lasun tersenyum dan duduk di dekatnya. Ia bahkan membelai wajah Mahesa yang penuh dengan peluh."Selamat datang di neraka," bisik perempuan itu. Mendengar hal itu Mahesa bergidik
Carissa dapat mendengar suara tawa cekikikan dari gubuk ketiga. Ia tahu itu suara tawa Daryo, dan ia juga tahu bahwa di dalam gubuk itu ada Fabian yang sedang di sekap. Sementara dirinya sendiri berada di gubuk keempat dalam keadaan kaki dan tangan yang juga di rantai."Toloooong!" pekik Carissa mencoba berseru. Berharap seseorang dapat mendengar suaranya meski rasanya mustahil.Perlahan, ia mendengar suara menderit. Ketika ia menoleh, rupanya pintu gubuk mulai terbuka dan seseorang melangkah masuk. Itu adalah Kanti, dengan membawa sebuah celurit di tangannya. Perempuan muda itu tersenyum pada Carissa, namun senyum yang sedikit menyeramkan."Jangan berisik," bisik Kanti ketika ia sudah berada di dekat Carissa. Carissa mendelik takut padanya."Tolong Mbak, lepaskan saya. Tolong kasihani saya, kita sama-sama perempuan," bisik Carissa memohon. Namun Kanti malah tertawa dan menyorotkan pandangan yang menakutkan."Sudah terlambat Carissa," bisiknya dengan nada aneh."Jika Mbak tidak peduli
Fabian sedang memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper ketika terdengar bunyi ketukan di pintu depan. Pria itu mendengus sejenak dan mencoba mengabaikan ketukan itu."Bian, kamu bisa tolong bukakan pintu tidak?"Terdengar suara Devana dari dalam kamar mandi berseru. Rupanya sang istripun mendengar ketukan itu untuk kedua kalinya."Iya," sahut Fabian akhirnya. Siapa yang datang pagi-pagi begini, pikir Fabian. Ia melangkah keluar kamar dan mendekati pintu depan. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi ketika ia membuka pintu.Ketika daun pintu terkuak, rupanya yang berdiri di depan pintu itu adalah seorang pria bersetelan rapi yang sedang membawa beberapa kotak. Fabian melirik sekilas gambar di kotak di pegang si pria, sepertinya kotak itu berisi peralatan rumah tangga, terlihat dari gambarnya."Ada apa Mas?" tanya Fabian dengan pandangan sedikit meremehkan."Selamat pagi Bapak, maaf mengganggu waktunya. Perkenalkan saya Wisnu dari PT...""Sudah, langsung saja. Mas mau apa? Mau menawar
Pagi menjelang, langit kembali terang. Mahesa sedang duduk di bawah sebatang pohon dan menatap langit. Ia menatap gumpalan-gumpalan awan hitam di atas. Tampak masih sama, seperti wajah-wajah yang memperhatikan mereka.Sementara Brady, Carissa, dan Sylvia tampak masih tidur berguling di tanah tak jauh dari Mahesa. Sedangkan Fabian sedang berdiri termenung menatap nanar pepohonan tinggi yang tegak menjulang di hadapan mereka."Mas..." perlahan Mahesa mendekati pria itu. Fabian menoleh dan menghapus lelehan air matanya."Kenapa?" tanya Fabian."Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita cintai," bisik Mahesa mengusap pundak pria itu."Ah, kau tahu apa? Berapa umurmu?" tanya Fabian pula."24 tahun, tapi aku tahu rasanya Mas. Aku pernah ditinggal ibuku untuk selama-lamanya," jawab Mahesa pula. Mendengar hal itu Fabian balas mengusap pundak pemuda itu memberikan rasa empati."Tapi setidaknya, mungkin cara kematiannya tidak setragis istriku," ujar Fabian pula. Mahesa hanya menghel
Marinka Vista adalah seorang gadis berusia 22 tahun. Ia tercatat sebagai salah satu mahasiswi jurusan Seni Budaya di salah satu universitas swasta di Jakarta.Marinka terlahir memiliki bobot tubuh yang melebihi bobot bayi pada umumnya. Iapun tumbuh menjadi anak dengan berat diatas rata-rata anak seusianya. Ketika anak-anak hingga remaja, Marinka sering diledek teman seusianya karena bentuk tubuhnya yang besar. Itu membuatnya tak percaya diri.Marinka juga bukan berasal dari keluarga kaya. Ia hanya anak seorang pedagang kain dan sejak remaja sudah sering membantu sang ayah berjualan.Hingga dewasa, Marinka sering merasa minder jika berkumpul bersama teman-temannya karena bentuk tubuhnya yang gempal. Ia iri dengan gadis-gadis bertubuh langsing dan cantik. Terutama pada Sherly, mahasiswi populer di kampusnya.Sherly memiliki cukup banyak penggemar, bukan hanya di kampus tapi juga di dunia maya. Sebab, Sherly merupakan seorang content creator yang memfokuskan isi kontennya tentang review
Mahesa menatap nanar pohon mangga di halaman depan villa pagi ini. Udara masih terasa dingin, dan embun masih setia menempel di permukaan daun.Tak lama, Imelda mendekati pemuda itu yang kini duduk di teras. Imelda menghela napas sejenak kemudian duduk di samping sang anak tiri. Mahesa akhirnya menoleh karena merasa lamunannya buyar. Ia sedikit mendengus ketika menyadari bahwa sang ibu tiri kini duduk di sebelahnya."Mau apa Tante kesini?" tanya Mahesa pelan. Imelda tak segera menjawab, ia menelan ludah getir."Sa, Mama tidak apa kalau kamu belum bisa memanggil Mama. Mama juga tidak apa jika kamu membenci Mama, tapi satu hal yang Mama minta, kamu jangan pernah membenci papamu ya. Dia itu sangat menyayangimu," ucap Imelda perlahan dengan penuh kehati-hatian. Mahesa malah mengeluarkan nada mengejek."Jika dia sayang sama aku tidak mungkin jadi seperti ini," jawab Mahesa. Imelda menghela napas getir beberapa saat. Ia masih teringat kata-kata Mahesa tadi malam yang menyesalkan sang ayah m
Malam ini tak ada yang dapat memejamkan mata. Peristiwa yang dialami Devana membuat semuanya cukup trauma. Terutama Carissa, perempuan cantik itu kini tampak termenung di dekat sebatang pohon di dekat balai sambil mengusap perutnya. Sylvia yang melihatnya perlahan menghampiri."Kau kenapa?" tanya Sylvia."Tidak, aku masih trauma bila mengingat yang dialami Mbak Devana," jawab Carissa. Sylvia menghela napas pelan lalu mengelus pundak sahabatnya itu."Semua juga trauma, begitupun aku. Lihat, semua tak dapat tidur," ucap Sylvia."Tapi Syl, aku jadi kepikiran masalahku sendiri," bisik Carissa melirik perutnya. Sylvia mengikuti arah pandang sahabatnya itu dan akhirnya mengerti apa yang dikhawatirkan Carissa."Kau harus beritahu dia Car, dia harus tahu," ujar Sylvia. Kedua pramugari itu saling pandang sejenak. Carissa tampak bingung dan beberapa kali menoleh pada seseorang di dalam balai. Orang itu adalah Brady, sang pilot.Merasa diperhatikan, Bradypun menoleh dan melihat kedua pramugariny
Laju mobil Fabian cukup kencang melewati jalanan Jakarta sore ini. Sebab, ia baru saja mendapat telepon dari ibunya yang mengabarkan bahwa sang istri saat ini sedang berada di rumah sakit.Begitu mendapat kabar tersebut, Fabian langsung melajukan mobilnya dengan cepat menuju rumah sakit. Ia sangat cemas bila Devana sampai keguguran lagi. Ini adalah kehamilan ketiganya, tentu saja Fabian cemas bukan main.Begitu tiba di rumah sakit, Fabian langsung menghambur masuk. Karena terlalu terburu-buru ia bahkan tanpa sengaja menabrak seorang cleaning service rumah sakit yang sedang bertugas hingga membuat cleaning service itu terjatuh. Namun, bukannya meminta maaf, Fabian justru mengomeli pria itu."Kalau mau bekerja jangan menghalangi jalan orang. Kamu tidak tahu saya sedang terburu-buru ke ICU?" omel Fabian."Maaf, Pak," jawab cleaning service itu sambil berusaha berdiri kembali."Huh," Fabian masih saja mengomel bahkan setelah ia melangkah menghindari pria itu.Setibanya di depan ruang ICU,
Cahaya dari senter di genggamannya menerangi langkah Mahesa malam ini. Ia sedang menyusuri hutan di belakang villa, berniat kabur. Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat ia mengendap keluar dari villa. Faisal, Imelda, dan Nino sudah tertidur pulas saat ia keluar.Faisal yang terbangun di malam hari karena ingin buang air, akhirnya menyadari ketidak beradaan Mahesa. Pasalnya, ketika melewati kamar sang anak, pintu kamar itu terbuka dan Mahesa tidak ada di dalam. Ya, Mahesa lupa menutup pintu kamarnya kembali."Mahesa..." seru Faisal mencari sang anak. Ia mengobrak abrik seisi kamar namun tetap tak menemukan Mahesa.Imelda akhirnya terbangun karena mendengar suara sang suami yang cukup keras. Ia menyusul keluar dari kamar dan mendapati Faisal sedang mondar mandir di seantero ruangan."Ada apa Mas?" tanya Imelda."Mahesa, dia tidak ada. Dia pasti kabur," jawab Faisal dan mencoba menghubungi ponsel Mahesa. Namun sayangnya, ponsel itu dalam keadaan tidak aktif."Coba cek mobil," usul Ime