Fabian sedang memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper ketika terdengar bunyi ketukan di pintu depan. Pria itu mendengus sejenak dan mencoba mengabaikan ketukan itu."Bian, kamu bisa tolong bukakan pintu tidak?"Terdengar suara Devana dari dalam kamar mandi berseru. Rupanya sang istripun mendengar ketukan itu untuk kedua kalinya."Iya," sahut Fabian akhirnya. Siapa yang datang pagi-pagi begini, pikir Fabian. Ia melangkah keluar kamar dan mendekati pintu depan. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi ketika ia membuka pintu.Ketika daun pintu terkuak, rupanya yang berdiri di depan pintu itu adalah seorang pria bersetelan rapi yang sedang membawa beberapa kotak. Fabian melirik sekilas gambar di kotak di pegang si pria, sepertinya kotak itu berisi peralatan rumah tangga, terlihat dari gambarnya."Ada apa Mas?" tanya Fabian dengan pandangan sedikit meremehkan."Selamat pagi Bapak, maaf mengganggu waktunya. Perkenalkan saya Wisnu dari PT...""Sudah, langsung saja. Mas mau apa? Mau menawar
Carissa dapat mendengar suara tawa cekikikan dari gubuk ketiga. Ia tahu itu suara tawa Daryo, dan ia juga tahu bahwa di dalam gubuk itu ada Fabian yang sedang di sekap. Sementara dirinya sendiri berada di gubuk keempat dalam keadaan kaki dan tangan yang juga di rantai."Toloooong!" pekik Carissa mencoba berseru. Berharap seseorang dapat mendengar suaranya meski rasanya mustahil.Perlahan, ia mendengar suara menderit. Ketika ia menoleh, rupanya pintu gubuk mulai terbuka dan seseorang melangkah masuk. Itu adalah Kanti, dengan membawa sebuah celurit di tangannya. Perempuan muda itu tersenyum pada Carissa, namun senyum yang sedikit menyeramkan."Jangan berisik," bisik Kanti ketika ia sudah berada di dekat Carissa. Carissa mendelik takut padanya."Tolong Mbak, lepaskan saya. Tolong kasihani saya, kita sama-sama perempuan," bisik Carissa memohon. Namun Kanti malah tertawa dan menyorotkan pandangan yang menakutkan."Sudah terlambat Carissa," bisiknya dengan nada aneh."Jika Mbak tidak peduli
Di gubuk dua, Mahesa kini sedang terengah-engah mengatur napasnya. Setelah kembali ke gubuk ini dan terikat rantai begini, Mahesa tak berhenti mendengar jeritan demi jeritan.Mahesa sempat mendengar jeritan Fabian di gubuk tiga, Carissa di gubuk empat, dan terakhir jeritan Brady di gubuk satu. Gubuk yang bersebelahan dengan gubuk tempat dirinya disekap.Apakah teman-temannya itu sudah mati semua? Atau masih hidup dalam siksaan? Mahesa tak tahu, sebab ia tak dapat melihat kondisi di luar gubuknya. Tapi sejak jeritan Brady yang terakhir, memang ia tak mendengar jeritan lagi.Kali ini, pintu gubuk mulai terbuka. Mahesa melirik ke arah pintu dan melihat Lasun masuk membawa cambuk. Di belakangnya ada Ebiet yang memegang pisau. Mahesa bergidik cemas."Bu, saya mohon jangan sakiti saya," bisik Mahesa bergetar. Namun Lasun tersenyum dan duduk di dekatnya. Ia bahkan membelai wajah Mahesa yang penuh dengan peluh."Selamat datang di neraka," bisik perempuan itu. Mendengar hal itu Mahesa bergidik
Bandara Internasional Soekarno-Hatta, 14.20 WIB.Sebuah taksi menghantarkan Mahesa ke depan pintu keberangkatan bandara. Pemuda 24 tahun itu bergegas menuruni taksi dengan tergesa-gesa setelah membayar argo. Ia mengeluarkan kopernya dari bagasi dan menyeretnya menuju pintu keberangkatan.Mahesa harus sedikit bersabar mengantri bersama beberapa orang untuk melalui pemeriksaan sebelum tiba di dalam bandara. Ia sudah menyiapkan tiket dan tanda pengenalnya di tangan kiri, sementara tangan kanannya menyeret koper.Di depan Mahesa ada seorang perempuan yang cukup tua, rambutnya sudah memutih. Ia tampak hanya seorang diri. Kasihan setua ini masih harus bepergian seorang diri, pikir Mahesa dalam hati.Begitu tiba gilirannya, Mahesa menunjukkan tiket dan juga tanda pengenalnya kepada petugas bandara. Sejenak petugas tersebut memeriksanya lalu mempersilakan Mahesa untuk masuk.Seperti biasa, sebelum tiba di counter untuk check in, setiap penumpang harus melewati proses pemeriksaan barang dulu d
Ketika mata Mahesa terbuka, hal yang dilihatnya pertama kali adalah pepohonan yang berjejer di sepanjang jalan yang di laluinya. Ia kemudian sadar bahwa saat ini ia masih berada di dalam mobil, dalam sebuah perjalanan menuju villa keluarganya.Mahesa menghela napas perlahan dan memperbaiki letak duduknya. Di jok depan ia melihat sang ayah sedang mengemudikan mobil. Disampingnya ada seorang perempuan yang sudah dinikahi ayahnya setahun yang lalu. Mahesa sebetulnya enggan menyebut perempuan itu dengan panggilan ibu, meski ayahnya terus saja memaksa.Mahesa menoleh ke sampingnya. Di jok belakang ia tidak sendirian sebab ada Nino disana, adiknya yang masih berusia 12 tahun. Bocah itu tampak sedang memainkan sebuah game di ponselnya."Kamu sudah bangun?" suara sang ayah membuat mata Mahesa kembali melirik ke depan. Dari spion ia melihat mata ayahnya sedang menatap dirinya."Iya," jawab Mahesa malas. Ia kembali mengalihkan pandangan keluar jendela, menatap pepohonan dan jalan yang dilaluiny
Getaran di meja Devana perlahan berhenti beringinan dengan berhentinya blender yang sedang menggiling beberapa stroberi dan susu yang tadi ia campurkan.Setelah benda itu berhenti, Devana mematikannya dan mengeluarkan stroberi dan susu yang kini sudah menjadi sebuah krim berwarna merah muda. Devana kemudian menuangkan krim tersebut ke dalam sebuah plastik khusus yang ujungnya bolong. Perempuan itu kemudian menjadikan krim tersebut hiasan untuk kue yang sudah ada di meja.Devana memang seorang pemilik toko kue. Ia sudah menekuni profesi ini lebih dari dua tahun. Meskipun ia memiliki seorang suami yang mapan secara finansial namun Devana tetap ingin produktif dengan memiliki usaha sendiri. Apalagi ilmu tata boga yang sudah ia pelajari sayang jika tidak dipraktekkan. Alhasil, ia membuka sebuah toko kue di kota Jakarta.Devana pandai membuat bermacam-macam kue. Mulai dari kue kering, basah, ataupun kue ulang tahun dan kue tar. Pelanggannya sangat banyak, sebab ia juga pintar bergaul dan m
Gemuruh menggema di udara ketika Erik sedang mengotak atik laptop di ruang pribadinya. Ia melirik jam tangannya sekilas, pukul lima sore. Dari jendela, ia melihat langit tampak gelap, sepertinya akan turun hujan.Erik menghela napas sejenak dan kembali menatap layar laptop. Rasa kantuk mulai menyerangnya karena cuaca dingin. Ah, rasanya menyeruput kopi sore ini sepertinya nikmat, pikirnya. Ia merapihkan beberapa barang terlebih dahulu sebelum melangkah keluar ruangan. Di depan ruangannya, ia sempat berpapasan dengan beberapa karyawan yang hendak pulang."Belum pulang, Pak?" tanya salah satu karyawan kepada Erik."Lembur. Tanggung soalnya," jawab Erik dan melangkah menuju pantry."Sepertinya mau hujan Pak. Bapak yakin tidak mau pulang sekarang?" tanya sang karyawan lagi."Nanti saja. Justru karena hujan begini jadi malas pulang cepat. Pasti jalanan macet parah. Daripada stress di jalan, lebih baik disini," jawab Erik sambil menuangkan kopi ke sebuah cangkir lalu membawanya kembali ke r
Mahesa menatap nanar pada pohon-pohon yang berdiri tegak di hadapannya. Pagi ini, kabut masih menggantung membuat jarak pandangnya terbatas dan tak mampu melihat lebih jauh kebalik pohon-pohon itu.Mahesa sedang duduk disebuah ayunan di belakang villa keluarganya saat ini. Pandangan matanya masih nanar menatap pepohonan yang berdiri menjulang di belakang bangunan villa.Rumput-rumput di sekitar halaman belakang itu masih tampak basah karena embun masih enggan beranjak. Perlahan, Mahesa mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto. Ia membuka sebuah foto yang memperlihatkan dirinya dengan seorang perempuan berhijab. Itu adalah Amelia, sang ibu. Mengingat sang ibu, entah kenapa mata Mahesa menjadi basah layaknya rerumputan berembun itu."Sa," sebuah suara membuat Mahesa sedikit terjingkat. Pintu belakang villa terbuka perlahan dan Faisal muncul dari dalam dengan setelan baju santai dan wajah yang masih agak kusut.Menyadari sang putra sedang duduk sendirian di ayunan membuat Faisal me
Di gubuk dua, Mahesa kini sedang terengah-engah mengatur napasnya. Setelah kembali ke gubuk ini dan terikat rantai begini, Mahesa tak berhenti mendengar jeritan demi jeritan.Mahesa sempat mendengar jeritan Fabian di gubuk tiga, Carissa di gubuk empat, dan terakhir jeritan Brady di gubuk satu. Gubuk yang bersebelahan dengan gubuk tempat dirinya disekap.Apakah teman-temannya itu sudah mati semua? Atau masih hidup dalam siksaan? Mahesa tak tahu, sebab ia tak dapat melihat kondisi di luar gubuknya. Tapi sejak jeritan Brady yang terakhir, memang ia tak mendengar jeritan lagi.Kali ini, pintu gubuk mulai terbuka. Mahesa melirik ke arah pintu dan melihat Lasun masuk membawa cambuk. Di belakangnya ada Ebiet yang memegang pisau. Mahesa bergidik cemas."Bu, saya mohon jangan sakiti saya," bisik Mahesa bergetar. Namun Lasun tersenyum dan duduk di dekatnya. Ia bahkan membelai wajah Mahesa yang penuh dengan peluh."Selamat datang di neraka," bisik perempuan itu. Mendengar hal itu Mahesa bergidik
Carissa dapat mendengar suara tawa cekikikan dari gubuk ketiga. Ia tahu itu suara tawa Daryo, dan ia juga tahu bahwa di dalam gubuk itu ada Fabian yang sedang di sekap. Sementara dirinya sendiri berada di gubuk keempat dalam keadaan kaki dan tangan yang juga di rantai."Toloooong!" pekik Carissa mencoba berseru. Berharap seseorang dapat mendengar suaranya meski rasanya mustahil.Perlahan, ia mendengar suara menderit. Ketika ia menoleh, rupanya pintu gubuk mulai terbuka dan seseorang melangkah masuk. Itu adalah Kanti, dengan membawa sebuah celurit di tangannya. Perempuan muda itu tersenyum pada Carissa, namun senyum yang sedikit menyeramkan."Jangan berisik," bisik Kanti ketika ia sudah berada di dekat Carissa. Carissa mendelik takut padanya."Tolong Mbak, lepaskan saya. Tolong kasihani saya, kita sama-sama perempuan," bisik Carissa memohon. Namun Kanti malah tertawa dan menyorotkan pandangan yang menakutkan."Sudah terlambat Carissa," bisiknya dengan nada aneh."Jika Mbak tidak peduli
Fabian sedang memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper ketika terdengar bunyi ketukan di pintu depan. Pria itu mendengus sejenak dan mencoba mengabaikan ketukan itu."Bian, kamu bisa tolong bukakan pintu tidak?"Terdengar suara Devana dari dalam kamar mandi berseru. Rupanya sang istripun mendengar ketukan itu untuk kedua kalinya."Iya," sahut Fabian akhirnya. Siapa yang datang pagi-pagi begini, pikir Fabian. Ia melangkah keluar kamar dan mendekati pintu depan. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi ketika ia membuka pintu.Ketika daun pintu terkuak, rupanya yang berdiri di depan pintu itu adalah seorang pria bersetelan rapi yang sedang membawa beberapa kotak. Fabian melirik sekilas gambar di kotak di pegang si pria, sepertinya kotak itu berisi peralatan rumah tangga, terlihat dari gambarnya."Ada apa Mas?" tanya Fabian dengan pandangan sedikit meremehkan."Selamat pagi Bapak, maaf mengganggu waktunya. Perkenalkan saya Wisnu dari PT...""Sudah, langsung saja. Mas mau apa? Mau menawar
Pagi menjelang, langit kembali terang. Mahesa sedang duduk di bawah sebatang pohon dan menatap langit. Ia menatap gumpalan-gumpalan awan hitam di atas. Tampak masih sama, seperti wajah-wajah yang memperhatikan mereka.Sementara Brady, Carissa, dan Sylvia tampak masih tidur berguling di tanah tak jauh dari Mahesa. Sedangkan Fabian sedang berdiri termenung menatap nanar pepohonan tinggi yang tegak menjulang di hadapan mereka."Mas..." perlahan Mahesa mendekati pria itu. Fabian menoleh dan menghapus lelehan air matanya."Kenapa?" tanya Fabian."Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita cintai," bisik Mahesa mengusap pundak pria itu."Ah, kau tahu apa? Berapa umurmu?" tanya Fabian pula."24 tahun, tapi aku tahu rasanya Mas. Aku pernah ditinggal ibuku untuk selama-lamanya," jawab Mahesa pula. Mendengar hal itu Fabian balas mengusap pundak pemuda itu memberikan rasa empati."Tapi setidaknya, mungkin cara kematiannya tidak setragis istriku," ujar Fabian pula. Mahesa hanya menghel
Marinka Vista adalah seorang gadis berusia 22 tahun. Ia tercatat sebagai salah satu mahasiswi jurusan Seni Budaya di salah satu universitas swasta di Jakarta.Marinka terlahir memiliki bobot tubuh yang melebihi bobot bayi pada umumnya. Iapun tumbuh menjadi anak dengan berat diatas rata-rata anak seusianya. Ketika anak-anak hingga remaja, Marinka sering diledek teman seusianya karena bentuk tubuhnya yang besar. Itu membuatnya tak percaya diri.Marinka juga bukan berasal dari keluarga kaya. Ia hanya anak seorang pedagang kain dan sejak remaja sudah sering membantu sang ayah berjualan.Hingga dewasa, Marinka sering merasa minder jika berkumpul bersama teman-temannya karena bentuk tubuhnya yang gempal. Ia iri dengan gadis-gadis bertubuh langsing dan cantik. Terutama pada Sherly, mahasiswi populer di kampusnya.Sherly memiliki cukup banyak penggemar, bukan hanya di kampus tapi juga di dunia maya. Sebab, Sherly merupakan seorang content creator yang memfokuskan isi kontennya tentang review
Mahesa menatap nanar pohon mangga di halaman depan villa pagi ini. Udara masih terasa dingin, dan embun masih setia menempel di permukaan daun.Tak lama, Imelda mendekati pemuda itu yang kini duduk di teras. Imelda menghela napas sejenak kemudian duduk di samping sang anak tiri. Mahesa akhirnya menoleh karena merasa lamunannya buyar. Ia sedikit mendengus ketika menyadari bahwa sang ibu tiri kini duduk di sebelahnya."Mau apa Tante kesini?" tanya Mahesa pelan. Imelda tak segera menjawab, ia menelan ludah getir."Sa, Mama tidak apa kalau kamu belum bisa memanggil Mama. Mama juga tidak apa jika kamu membenci Mama, tapi satu hal yang Mama minta, kamu jangan pernah membenci papamu ya. Dia itu sangat menyayangimu," ucap Imelda perlahan dengan penuh kehati-hatian. Mahesa malah mengeluarkan nada mengejek."Jika dia sayang sama aku tidak mungkin jadi seperti ini," jawab Mahesa. Imelda menghela napas getir beberapa saat. Ia masih teringat kata-kata Mahesa tadi malam yang menyesalkan sang ayah m
Malam ini tak ada yang dapat memejamkan mata. Peristiwa yang dialami Devana membuat semuanya cukup trauma. Terutama Carissa, perempuan cantik itu kini tampak termenung di dekat sebatang pohon di dekat balai sambil mengusap perutnya. Sylvia yang melihatnya perlahan menghampiri."Kau kenapa?" tanya Sylvia."Tidak, aku masih trauma bila mengingat yang dialami Mbak Devana," jawab Carissa. Sylvia menghela napas pelan lalu mengelus pundak sahabatnya itu."Semua juga trauma, begitupun aku. Lihat, semua tak dapat tidur," ucap Sylvia."Tapi Syl, aku jadi kepikiran masalahku sendiri," bisik Carissa melirik perutnya. Sylvia mengikuti arah pandang sahabatnya itu dan akhirnya mengerti apa yang dikhawatirkan Carissa."Kau harus beritahu dia Car, dia harus tahu," ujar Sylvia. Kedua pramugari itu saling pandang sejenak. Carissa tampak bingung dan beberapa kali menoleh pada seseorang di dalam balai. Orang itu adalah Brady, sang pilot.Merasa diperhatikan, Bradypun menoleh dan melihat kedua pramugariny
Laju mobil Fabian cukup kencang melewati jalanan Jakarta sore ini. Sebab, ia baru saja mendapat telepon dari ibunya yang mengabarkan bahwa sang istri saat ini sedang berada di rumah sakit.Begitu mendapat kabar tersebut, Fabian langsung melajukan mobilnya dengan cepat menuju rumah sakit. Ia sangat cemas bila Devana sampai keguguran lagi. Ini adalah kehamilan ketiganya, tentu saja Fabian cemas bukan main.Begitu tiba di rumah sakit, Fabian langsung menghambur masuk. Karena terlalu terburu-buru ia bahkan tanpa sengaja menabrak seorang cleaning service rumah sakit yang sedang bertugas hingga membuat cleaning service itu terjatuh. Namun, bukannya meminta maaf, Fabian justru mengomeli pria itu."Kalau mau bekerja jangan menghalangi jalan orang. Kamu tidak tahu saya sedang terburu-buru ke ICU?" omel Fabian."Maaf, Pak," jawab cleaning service itu sambil berusaha berdiri kembali."Huh," Fabian masih saja mengomel bahkan setelah ia melangkah menghindari pria itu.Setibanya di depan ruang ICU,
Cahaya dari senter di genggamannya menerangi langkah Mahesa malam ini. Ia sedang menyusuri hutan di belakang villa, berniat kabur. Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat ia mengendap keluar dari villa. Faisal, Imelda, dan Nino sudah tertidur pulas saat ia keluar.Faisal yang terbangun di malam hari karena ingin buang air, akhirnya menyadari ketidak beradaan Mahesa. Pasalnya, ketika melewati kamar sang anak, pintu kamar itu terbuka dan Mahesa tidak ada di dalam. Ya, Mahesa lupa menutup pintu kamarnya kembali."Mahesa..." seru Faisal mencari sang anak. Ia mengobrak abrik seisi kamar namun tetap tak menemukan Mahesa.Imelda akhirnya terbangun karena mendengar suara sang suami yang cukup keras. Ia menyusul keluar dari kamar dan mendapati Faisal sedang mondar mandir di seantero ruangan."Ada apa Mas?" tanya Imelda."Mahesa, dia tidak ada. Dia pasti kabur," jawab Faisal dan mencoba menghubungi ponsel Mahesa. Namun sayangnya, ponsel itu dalam keadaan tidak aktif."Coba cek mobil," usul Ime