New York City, Desember 2020
Napas seorang wanita muda terdengar menderu seiring degupan jantungnya. Kedua tangannya menutup mulut rapat untuk menjaga teriakan yang sedari tadi ingin keluar. Ketakutan meliputinya, tepat di seberang jalan seorang pria sedang menikam dengan ganas pria paruh baya yang sudah tidak berdaya. Darah segera mengucur, kontras dengan salju yang menutup hampir seluruh permukaan jalan.
Netra pria paruh baya yang telah meregang nyawa itu masih terbuka, seolah menatap si wanita meminta pertolongan. Namun, si wanita tak bergeming. Kengerian telah membuat sarafnya lumpuh.
Setelah beberapa saat, barulah wanita itu berani menelepon kantor polisi, "Po-poli-si, ada seorang pria tua tewas di depan bar Candy."
"Benarkah? Kamu melihat pembunuhnya?" tanya petugas yang menerima panggilan sembari memberi kode pada rekannya untuk menghubungi tim patroli yang bertugas di sekitar bar.
"Aku melihatnya tapi terlalu gelap. Satu-satunya yang aku lihat, dia memiliki mata biru. Pak Polisi, tolong, aku takut sekali," rengek wanita itu sembari matanya tak lepas mengamati situasi di seberang jalan. Rasa dingin yang sejak tadi menghantam, ditahannya.
"Baik kami a---."
Tut Tut Tut, sambungan telepon terputus. Wanita itu terpaksa memutuskan panggilan telepon, pasalnya dia tidak sengaja bersitatap dengan mata si pembunuh ketika sedang mengamati. Sejenak dia mematung, tapi ketika menyadari si pembunuh itu mungkin akan menyadari keberadaannya dia memutuskan lari. Dia terus berlari sampai kakinya terasa lemah. Malam ini malam paling sial baginya. Andai saja dia tidak memilih pulang sendiri, andai saja dia menuruti ajakan Sophia, mungkin kejadian mengerikan ini tidak akan dia alami.
Memang, sebelum berakhir di tempat itu, wanita itu dan teman-temannya mengadakan pesta malam perpisahaan untuknya. Dia hendak pindah ke North Carolina dan memulai hidup baru di sana. Sehingga, teman-teman terdekatnya mengadakan pesta di kafe yang letaknya tidak jauh dari lokasi pembunuhan. Saat pesta usai, teman-temannya berulangkali menawarinya tumpangan berhubung sudah malam dan bersalju. Namun, wanita itu ingin menikmati kota New York di malam hari untuk terakhir kalinya.
"Sial, aku betul-betul akan meninggalkan kota ini dan tidak akan kembali," isaknya.
Sementara itu, si pembunuh yang menyadari ada orang lain yang sudah melihat perbuatannya hanya mendengus, tidak berniat mengejar, "Rupanya, ada tikus kecil yang berani mengintip." Nada suaranya dingin.
"Dia bahkan berlari. Benar, kau harus lari dan memastikan dirimu selamat," pembunuh itu tersenyum miring saat memperhatikan sosok yang sedang berlari di kejauhan.
Sang pembunuh lalu memutar badannya pada sesosok mayat yang nyawanya dia renggut beberapa menit yang lalu. Dia mulai tersenyum lebar bahkan hampir tertawa. Mata birunya memancarkan kebahagiaan terdalam yang ia pendam di hatinya.
"Selamat tinggal orang tua," pamitnya sembari meletakkan payung di sebelah mayat.
Sang pembunuh kelihatan ingin mengucapkan beberapa kata lagi, tapi suara sirine mobil patroli membuatnya mengurungkan niat dan berlalu masuk ke dalam kegelapan.
"Bukankah itu Pak Remus, anggota parlemen kota New York yang belum lama dilantik?" ujar seorang petugas patroli pada rekannya sesaat setelah mereka sampai di lokasi.
"Kamu benar. Ini sungguh mengejutkan," balas rekannya.
Salah satu petugas berambut cokelat mulai mengamati mayat di depannya dengan seksama, "Ia ditikam tepat di jantungnya."
Petugas lain ikut mengamati, "Kamu benar. Tapi pisaunya bahkan dicabut, sehingga darah mengalir keluar tanpa henti, sangat kejam."
"Hei, bukankah ini payung merah yang unik," sambungnya ketika menyadari keberadaan payung merah yang terletak tepat di samping tubuh mayat.
"Iya, sepertinya kita harus segera melapor," kata petugas berambut cokelat.
Sepuluh menit kemudian, lokasi tersebut sudah ramai oleh beberapa petugas polisi, tim forensik, dan agen FBI.
"Nasib Pak Remus sangat malang, dia baru dilantik," tutur seorang wanita agen FBI.
"Aku tidak heran, latar belakang pak Remus gelap, wajar banyak orang mengincar nyawanya," balas agen FBI lainnya.
"Payung merah itu, tidak sembarang orang memilikinya," ujar petugas polisi paruh baya.
Wanita agen FBI tersenyum dan menanggapi, "Anda benar pak kepala, pasti ini ada hubungannya dengan organisasi mafia."
Polisi paruh baya yang tadi dipanggil sebagai kepala polisi terkekeh, "Sepertinya kasus ini akan menjadi menarik sekaligus sulit. Organisasi semacam itu sangat tertutup."
"Anda tidak perlu khawatir. Kami akan membantu penyelidikan semaksimal mungkin. Apalagi bila benar anggota organisasi payung merah terlibat. Kami sudah lama mengincar mereka," si wanita bersemangat.
"Aku menyangsikan kalau ini perbuatan payung merah. Pembunuh bahkan tidak meninggalkan sidik jari ataupun senjata pembunuhan. Namun, mengapa meninggalkan payung yang jelas akan mengarahkan tuduhan pada mereka," agen FBI lainnya menyatakan ketidaksetujuannya.
"Kamu betul, tapi, tidak ada salahnya memasukkan mereka dalam daftar. Siapa tahu mereka sengaja melakukan itu karena tahu bahwa kita akan berpikir sepertimu," agen wanita bersikukuh.
"Sudahlah, tidak perlu kita berdebat. Yang jelas tolong kerja samanya agar kasus ini cepat selesai. Pak Remus lumayan disukai masyarakat. Saya takut, bila kita tidak segera menemukan pelakunya, akan timbul keresahan dan ketidakpercayaan masyarakat pada kita," kepala polisi menengahi.
Mereka lalu mengangguk membenarkan perkataan kepala polisi. Beribu pikiran dan deduksi yang terus melintas, dipendam sampai adanya bukti yang kuat dan tak terbantahkan.
********
"Kenapa kau membiarkan seekor tikus kecil lolos," sebuah suara di kegelapan menegurnya.
Sang pembunuh hanya tertawa, dia menertawakan kebodohan rekannya.
"Kenapa kau hanya tertawa? Bagaimana kalau dia mengenalimu?"
"Itu lebih baik, jika dia mengenaliku." Suara sang pembunuh terdengar arogan.
Sosok di kegelapan mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"
"Jangan banyak bertanya, segera kumpulkan seluruh CCTV yang ada di lingkungan ini sebelum polisi dan agen FBI mengambilnya. Kau akan tahu, apa gunanya melepas tikus itu," jelas sang pembunuh.
"Baiklah akan aku laksanakan. Sejujurnya sebelum kau mengatakannya aku sudah mengambilnya. Kau membuang waktu terlalu lama hanya untuk membunuh seekor tikus tua."
"Aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal," jawabnya.
"Kau merasa bersalah?"
"Bersalah? Itu bukan kata yang tepat untuk menggambarkannya. Seharusnya kau memakai kata bahagia. Aku sangat bahagia menyaksikan dia pergi untuk selamanya, untuk itu aku berpamitan," ungkap sang pembunuh.
"Astaga, ternyata kau cukup kejam dan berdarah dingin," puji sosok itu.
Sang pembunuh tidak menanggapi. Dia hanya tersenyum samar sembari melepas topeng dan atribut yang dipakainya.
"Lensa mata ini tidak terlalu buruk, aku suka," ujar sang pembunuh.
Saat lensa biru itu diterima oleh seseorang yang bersembunyi itu, dia memahami apa maksud sang pembunuh membiarkan tikus kecil melarikan diri.
"Kau memang sangat pintar," sekali lagi dia memuji sang pembunuh.
"Tentu saja. Baiklah, aku pamit. Segera bereskan semuanya," ucap sang pembunuh seraya berbalik meninggalkan orang yang sejak tadi berbicara dengannya.
******
North Carolina, Awal April 2021Kring kring kringDering jam weker terdengar nyaring. Seorang wanita tampak menggeliat di balik selimut lalu perlahan meraih jam tersebut.Matanya membulat saat melihat petunjuk waktu yang tertera."Sial, aku terlambat," umpatnya seraya berlari masuk ke kamar mandi.Tiga puluh menit kemudian wanita berdarah Indonesia dengan rambut kuncir kuda itu sudah sampai di stasiun kereta dekat kantornya. Dia sedikit beruntung, saat berangkat tadi kereta yang biasa dia gunakan langsung tersedia. Namun, sayangnya, keberuntungan itu tidak bertahan lama."Ya, Tuhan, kenapa musti hujan, sih?" gerutu wanita itu memandang langit yang sedang mengguyurkan butiran hujan.Matanya cemas menatap jam tangannya, "Sial, sudah bangun kesiangan, sekarang kejebak hujan. Mana lupa bawa payung lagi," keluhnya."Apa aku nekad aja ya? Tapi, deres banget. Kalau nekad pasti basah ku
Waktu tepat menunjukkan pukul satu siang saat Tika menyelesaikan laporan. Perut yang sejak tadi pagi belum terisi mulai menunjukkan protes.Perih yang terasa melilit sekaligus keringat dingin membuat Tika berlari secepatnya menuju kafetaria menembus rinai hujan. 'Untung ada payung ini,' batinnya."Zeza, aku pesan paket 1 plus susu Milo. Cepat ya. Aku kelaparan," ucap Tika setelah sampai di kafetaria.Pelayan bernama Zeza mengangguk sembari tersenyum. Namun, sesaat kemudian tatapan mata Zeza melewati Tika. Seruan kagum terlontar dari mulutnya, persis seperti seorang yang baru saja melihat artis idolanya."Zez, hai. Aku minta cepat. Kenapa kamu malah tersipu?" Tika mulai tidak sabar. Namun, Zeza tidak menanggapi.Tika semakin yakin seseorang yang baru saja masuk sudah membuat Zeza seperti ini. Namun, Tika masa bodoh. Dia lebih peduli dengan perutnya.Akhirnya dia mengulurkan tangannya menyentuh pundak Zeza, "Zez, aku minta pesananku. Aku
Tubuh atletis dengan wajah tampan serta mata yang memikat terus-menerus tergambar di pikiran Tika. Berbagai fantasi romantis melanda sekembalinya dia dari kafetaria. Senyum tak pernah lepas dari wajah ayunya. "Tika, apa yang salah? Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" tanya Rose curiga. Sejak tadi Tika terlihat melamun lalu tersenyum dan sesekali menghela napas. Rose khawatir Tika menjadi gila karena hukuman yang diberikan Madam Cleo. "A--ah, tidak ada Rose. Aku baik-baik saja. Aku sedang senang. Itu saja," gagap Tika menjawab pertanyaan Rose. Dia seperti sedang ketahuan. Rose makin bingung, dia tak habis pikir Tika masih bisa senang setelah mendapat hukuman. Rose yakin ada yang tidak normal dengan Tika, "Kamu serius baik-baik saja? Aku pikir mendapat hukuman bukanlah alasan untuk senang?" "Hemh, kamu tidak sepenuhnya salah. Aku sedikit bersyukur karena aku dihukum hari ini," ucap Tika ceria. "Astaga, Tika. Kamu sudah gila." Rose menggelengkan
Seorang lelaki tengah menikmati secangkir kopi di tangannya sembari menikmati langit senja kota North Carolina. Tak luput, sebatang rokok bermerk mahal terselip di sela bibirnya yang berisi. Asap putih yang mengepul dari ujung rokok menambah pesonanya, meski tak ada sedikitpun garis keramahan pada wadahnya. "Aku tidak tahu kau suka senja?" sela sebuah suara yang baru saja datang dan duduk di hadapan lelaki itu. Lelaki itu tidak menjawab dan hanya mengendikkan bahunya. "Tapi, aku akui, senja di North Carolina adalah yang terbaik. Apalagi bila melihatnya dari apartemenmu ini," lelaki yang baru datang itu kembali berucap. "Yah, kamu benar." Akhirnya pria yang merokok bersuara. "Oh, ya, Axel, apakah wanita itu belum menghubungimu?" Nada suaranya terdengar sedikit khawatir. Pasalnya, Axel terlihat kesal sejak kemarin. Sudah dua hari sejak Axel memberikan kartu namanya, tapi wanita itu tak kunjung menghubungi. "Ada apa dengan s
"Madam, kenapa gaji saya dipotong? Apa salah saya?" tanya Tika frustrasi. Dia sekuat tenaga menahan suaranya agar tidak terdengar membentak. Meski ingin sekali dia memaki."Saya tidak tahu, itu keputusan atasan, saya bahkan baru diberitahu tadi pagi. Sejam sebelum kamu diberitahu," Madam Cleo membela diri.Tika semakin merasa frustasi. Gaji yang selama ini dia terima saja hanya menyisakan sedikit untuk ditabung, tetapi ini justrus dipotong. Bagaimana nasibnya nanti?"Madam, madam tahu saya selalu mengerjakan pekerjaan dengan baik, tidak kalah dari rekan kerja yang lain, tapi kenapa hanya saya yang diperlakukan begini." Suara Tika mulai serak, mendung mulai bergelayut di matanya."Tika, sudah bilang, saya juga tidak tahu kenapa gajimu dipotong. Ini perintah dari CEO langsung. Tadi, saya sudah berusaha membujuk pihak keuangan, tapi mereka juga tidak punya pilihan," ungkap Madam Cleo.Tika terkesiap mendengar penjelasan Madam Cleo. Namun, Tika tahu ma
"Rose, sekarang aku tahu alasan pemotongan gajiku," ucap Tika menggebu usai teleponnya tersambung dengan Rose."Tika, kau bahkan tak menyapa lebih dulu. Jadi, apa alasannya?" Rose ikut antusias."Itu karena CEO baru itu," tukas Tika."Astaga, Tika. Hal itu sudah kita tahu dari kemarin," Rose mulai gemas. Seandainya berada di sampingnya, Rose ingin menepuk kepala gadis itu."Oh ya, maksudku karena CEO baru itu adalah orang yang membayariku makan siang beberapa hari yang lalu," Tika menjelaskan."What, suatu kebetulan yang aneh. Tapi apa kenapa dia mengurangi gajimu dan bagaimana dia bisa membayar makan siangmu," Rose bertanya kebingungan.Tika menepuk dahinya, dia lupa belum menceritakan pada Rose soal pertemuannya dengan si CEO, tuan tampan yang membayar makan siangnya sekaligus memotong gajinya."Baiklah, dengarkan, Rose. Akan aku ceritakan," ucap Tika. Tika menceritakan pertemuannya dengan CEO tampan itu dan bagaimana dia mend
Tika mematut dirinya di cermin lalu berputar sebelum akhirnya tersenyum puas. Dia memuji dirinya sendiri yang terlihat cantik dan manis mengenakan gaun mini berwarna maroon itu. Rambut yang biasanya selalu ia kucir ke atas, kini dibiarkannya tergerai. Lipstik berwarna senada dengan gaunnya dan sepatu berhak tinggi berwarna putih tulang melengkapi penampilannya."Ini tidak terlalu berlebihan bukan? Aku hanya pergi makan malam," gumam Tika."Apa sebaiknya aku bertanya pada Rose? Tapi, nanti dia heboh," ucap Tika bimbang pada dirinya sendiri.Ring ring ring ring, suara dering ponsel memutus kebimbangan Tika. Sebuah nomer asing meneleponnya."Hallo,"sapa Tika sedikit ragu."Hallo, nona Tika, saya Reiden. Saya ada di depan apartemen Nona. Tuan Axel meminta saya menjemput Nona," ucap Reiden sopan."Ke-kenapa dijemput, aku bisa naik taksi," Tika kaget karena Axel bahkan menjemputnya."Tolong segera turun saja, Nona. Tuan, s
“Kau tampak menikmati kencanmu, Tuan?” tegur Reiden yang tengah membawa mobil menuju apartemen Axel. Sebelumnya, mereka telah menurunkan Tika di apartemennya. “Panggil saja namaku, Tika sudah tidak ada.” Axel protes. “Oke. Jadi, kau menikmati kencamu?” Reiden berbicara santai. “Aku bukan berkencan, aku sedang mencari informasi,” kelit Axel. 'Sesungguhnya terlalu berlebihan caramu mendapatkan informasi. Bahkan, bila dilakukan pemungutan suara, orang akan condong mengatakan kau sedang berusaha merebut hati seorang gadis,' Reiden mengatakan itu di hatinya. Sedang yang terjadi pada kenyataannya Reiden hanya terkekeh dan menanyakan pertanyaan formal, “Jadi informasi apa yang kau dapat?” “Tika mendapatkan payungnya dari orang tak dikenal. Dia bahkan tidak sempat melihat wajah orang yang memberinya payung. Dia mendapatkannya di stasiun yang berada di dekat kantor. Besok, kau bisa mencari rekaman CCTV yang mengarah ke sana,” jelas Axel.
Axel memandang ponselnya dengan gusar. Sejak 10 menit yang lalu dia mencoba menghubungi Tika, tapi yang menjawab adalah mesin penjawab otomatis. "Apa yang sedang kamu lakukan, Tika?" geram Axel saat teleponnya yang kesekian kali tidak dijawab juga. Kepala Axel berdenyut, juga inti tubuhnya. Dia teramat merindukan Tika. Axel terus mengingat, malam saat Tika menyerahkan seluruhnya padanya. Axel bahkan tidak pernah bisa tenang bekerja sejak hari itu. Dia menjadi sangat menginginkan wanita itu. Cinta dan nafsu seakan memburunya, tanpa memberinya ruang. Selama ini, dia selalu berhasil menahan perasaan dan nafsunya. Namun, pertahanannya luruh malam itu. Sudah sejak lama dia tidak merasakan perasaan seperti malam itu. Sesuatu yang Axel rindukan sejak kematian Marry, telah Tika berikan bahkan dengan rasa yang lebih dahsyat. Axel yakin, dia tidak akan bisa hidup tanpa Tika. Sayangnya, wanita itu justru mengabaikannya. "Reiden, Reiden!" teriak Axel memanggil asisten sekaligus sekretaris pri
"Tika, wajahmu tampak berseri-seri hari ini, " celetuk Rose saat melihat Tika datang. "Benarkah?" Tika memegang pipi dengan kedua tangannya sembari tersenyum. "Kalian pasti bersenang-senang ya?" "Hemh," ucap Tika tersipu. "Waw, good job girl!" teriak Rose histeris. "Rose, pelankan suaramu." "Iya, iya, iya. Tapi selamat ya, akhirnya." "Semua berkat kamu, Rose." Tika beringsut mendekati Rose lalu memeluknya. "Wah, ada apa ini dengan dua gadis cantik kita?" celetuk Mike yang baru masuk ruangan bersama Reino. "Tika sedang bahagia, Mike," jawab Rose. Meski tampak biasa, sebenarnya kecanggungan terlihat diantara Reino dan Tika. "Tika, aku mencoba menghubungimu sejak kemarin. Aku mau minta maaf." Reino mencoba mengajak Tika bicara saat mereka bertemu di dapur ruangan. "Tidak apa, Rei, aku sudah memaafkanmu. Bukan sepenuhnya salahmu, aku saja yang terlalu emosional." "Terima kasih, Tik, sudah memaafkanku. Aku janji tidak akan melewati batas." "I see, Rei." Tika tersenyum pada Re
Tika menautkan kedua pasang tangannya erat sembari berdoa dalam hati. Debaran jantung yang bertalu serta butir keringat halus yang mengalir perlahan di punggungnya menyiratkan ketegangan yang kini tengah membelenggunya. 'Tuhan, semoga aku tidak pingsan saat melihatnya.' Kurang lebih seperti itu doa yang Tika panjatkan demi mengurangi semua ketegangan dan kegugupan. Tika sendiri tidak paham akan perasaannya atau alasan dari semua reaksi tubuhnya. Bertemu seorang Axel bukanlah hal baru, tapi Tika tetap merasa gugup. Saat masih bergulat dengan perasaannya sendiri, seseorang menyapanya. "Tika," sapa sebuah suara. Suara dari orang yang Tika tunggu sejak tadi. "A-ah, iya," gagap Tika. Lelaki itu menarik kursi dan duduk di hadapan Tika. Lucunya, Tika tetap menunduk tanpa berani memandang ke arah lelaki itu. "Kamu tidak mau melihatku, Tika?" tanya lelaki itu. "Ah, ti-dak, bukan begitu." Tika masih gugup. Tautan ditangannya maki
"Tika, kamu lagi bahagia ya?" tanya Reino penasaran."Eh, Rei, dia tu lagi hepi soalnya pacarnya mau ngajak makan malam.""Oh," ucap Reino datar. Raut mukanya langsung berubah menjadi sedikit masam."Kenapa Rei?" tanya Tika."Nggak apa-apa. Aku cuma bingung aja kamu tiba-tiba baikan sama pacarmu. Bukannya kalian sudah putus, ya?""Hemh, ceritanya panjang Rei. Kami tidak putus, aku hanya menjauh karena suatu masalah. Tapi dia berjanji akan menjelaskan semuanya saat nanti kami bertemu, jadi aku memutuskan untuk berhubungan dengan dia lagi," jelas Tika."Begitu rupanya, syukurlah. Aku turut senang, Tika. Tapi, sebagai temanmu aku berharap kamu tidak langsung percaya seratus persen pada pacarmu. Apalagi pacarmu adalah Axelsis." "Maksudmu? Lalu sejak kapan kau tahu pacarku adalah Axel?""Tidak ada. Hanya saranku, kamu lebih baik tidak langsung mempercayai semua ucapannya dan mengenai kapan aku tahu pacarmu adalah Axel, itu sejak kamu diculik. Malam itu, saat aku mengunjungimu di rumah sak
Tika memandang ponselnya dengan gamang. Dia masih belum yakin mampu berbicara dengan Axel. Berkali-kali dia membuka nomor kontak lelaki itu lalu menutupnya lagi. "Tika, ada apa dengamu? Bukankah kau sudah putuskan untuk memaki lelaki itu?" umpat Tika pada dirinya sendiri. Tika menghela napas berat. Perlahan dibukanya kembali nomor kontak Axel, lalu secara perlehan dia menekan tombol hijau. Tidak kurang dari satu menit, sebuah suara yang sangat dia rindukan terdengar dari seberang. "Hallo,...." Tiba-tiba air mata mengalir deras dari pelupuk mata Tika, seolah itu sudah ada disana dan menunggu untuk keluar. Lalu tanpa menunggu Axel menyelesaikan ucapannya, Tika menyela, "Ax, apa salahku? Kenapa aku mesti mencintai orang sepertimu? Kenapa aku begitu bodoh?" Tika terisak. Hati Axel sebenarnya ikut sakit mendengar isak tangis Tika. Namun, bila mengingat kembali bahwa Tika pernah mengusirnya, Axel bersikap ketus. "Apa maksudmu, Tika?" ketus Axel. "Aku membencimu, Ax. Aku takut pada
Tika nampak anggun dengan balutan gaun berwarna merah maron. Sepatu berhak tinggi berwarna putih krem turut mempercantik kaki mungilnya. Wanita itu berjalan dengan riang menghampiri lelaki tampan yang telah menunggu kedatangannya sejak tadi."Kamu cantik sekali malam ini, Sayang," ucap lelaki tampan itu seraya mengulurkan tangan pada Tika.Tika menyambut tangan itu, lalu menggenggamnya erat, "Terima kasih, Ax. Kau juga sangat tampan."Axel dan Tika lalu berjalan masuk ke dalam restoran."Ax, ini tidak seperti yang aku pikirkan bukan?" Raut wajah Tika tampak penasaran melihat tidak ada satupun orang di dalam restoran."Ya, ini seperti dugaanmu. Aku menyewa semua tempat disini. Aku hanya ingin makan romantis berdua denganmu tanpa ada orang lain mengganggu.""Bukankah ini agak berlebihan?""Tidak, tidak. Ini sangat sepadan.""Oh, oke, baiklah. Meski aku berpikir ini sedikit tidak masuk akal.""Tika, please, jangan bahas lag
"Hai, Rose," sapa Tika ceria begitu wajah Rose tersembul dari balik pintu yang setengah terbuka. Meski sedikit terkejut dengan kedatangan Tika, Rose ikut tersenyum sembari membuka pintu rumahnya sepenuhnya. "Waw, Tika." Mereka berdua berpelukan seolah baru bertemu setelah sekian lama, padahal baru satu hari Tika tidak masuk kantor. "Ayo, ayo masuk Tika. Rei, juga." Rose mempersilahkan Tika dan Reino masuk. "Thanks, Rose," ucap Reino yang mengekor di belakang Tika dan Rose sambil membawa koper milik Tika. "Jadi, kalian mau minum apa?" "Terima kasih, Rose, aku memang sangat haus, apa saja yang segar boleh," jawab Reino. "Tika?" "Tidak ada, aku tidak haus. Nanti akan aku ambil sendiri bila butuh." "Oke." Rose lalu sibuk mengambil beberapa botol minuman dingin dari dalam lemari es, juga mengambil tiga buah gelas. "Rose, aku bilang kan kau tidak perlu repot." "Oh, ayolah Tika, ini tidak repot sama sekali. Hanya minuman dingin instan." "Baiklah, Rose, tempat sandaranku, aku minum
"Gimana? Udah merasa baikan setelah makan?" tanya Reino pada Tika usai mereka menyelesaikan makan. "Yah, aku merasa lebih bertenaga juga lebih penasaran." "Astaga, Tika. Aku pasti akan menceritakannya. Tapi, sebelum itu, aku penasaran apa yang terjadi sampai kamu diteror seperti ini?" "Ah, itu, mungkin karena aku terlalu baik hati." "Ayolah Tika, ini bukan hal yang bisa dijadikan lelucon. Kamu kemarin diculik dan sekarang diteror. Itu semua kejadian yang mengerikan bahkan untukku yang seorang lelaki. Apalgi buat kamu." Nada suara Reino terdengar frustasi sekaligus khawatir. "Rei, aku masih baik-baik saja sampai saat ini. Kamu tidak perlu begitu khawatir. Aku sedang sial saja." "Oke, oke, tapi bisa kan kamu ceritakan, foto-foto itu?" "Ih, kok, jadi aku yang mesti cerita. Kan kamu yang harusnya jelasin ke aku tentang orang yang kamu kenali di salah satu foto itu." Wajah Tika merengut. "I-iya, sih. Tapi menurutku lebih adil kalau kamu juga menceritakan kisahmu lebih dulu Tika."
Tika terbelalak melihat bungkusan yang dipeganggnya. Lalu sedetik kemudian wajahnya memucat, diiringi teriakan yang terlontar dari bibirnya."Aaaaaaaaaaa!!!!"Tika menendang jauh bungkusan yang tadi dipegangnya.Ting tong, ting tong,"Aaaaa!" Sekali lagi Tika berteriak. Suara bel apartemen megejutkannya.Meskipun masih terkejut sekaligus takut, Tika memberanikan diri membawa tubuhnya mendekati pintu. Perempuan itu lalu perlahan membuka pintu apartemennya. Rasa lega langsung mengalir ke seluruh pembuluh darahnya melihat Reino berdiri di depan pintu kamarnya."Hai, Tika, selamat pagi," sapa Reino sambil tersenyum manis.Gegas Tika memeluk Reino karena merasa senang dan aman."Hei, ada apa ini, Tik?" tanya Reino kaget dengan perilaku Tika yang tidak biasa."Nggak apa-apa, aku seneng aja, kamu datang. Ayo masuk." Tika mempersilahkan Reino masuk.Reino mengikuti Tika, lalu matanya menangkap bungkusan yang tadi Tika bua