"Madam, kenapa gaji saya dipotong? Apa salah saya?" tanya Tika frustrasi. Dia sekuat tenaga menahan suaranya agar tidak terdengar membentak. Meski ingin sekali dia memaki.
"Saya tidak tahu, itu keputusan atasan, saya bahkan baru diberitahu tadi pagi. Sejam sebelum kamu diberitahu," Madam Cleo membela diri.
Tika semakin merasa frustasi. Gaji yang selama ini dia terima saja hanya menyisakan sedikit untuk ditabung, tetapi ini justrus dipotong. Bagaimana nasibnya nanti?
"Madam, madam tahu saya selalu mengerjakan pekerjaan dengan baik, tidak kalah dari rekan kerja yang lain, tapi kenapa hanya saya yang diperlakukan begini." Suara Tika mulai serak, mendung mulai bergelayut di matanya.
"Tika, sudah bilang, saya juga tidak tahu kenapa gajimu dipotong. Ini perintah dari CEO langsung. Tadi, saya sudah berusaha membujuk pihak keuangan, tapi mereka juga tidak punya pilihan," ungkap Madam Cleo.
Tika terkesiap mendengar penjelasan Madam Cleo. Namun, Tika tahu madam Cleo tidak mungkin bohong. Meskipun galak, beliau adalah orang yang berintegritas.
'Jadi, siapa CEO kurang ajar yang berbuat seenaknya itu,' bisik Tika dalam hati.
"Bagaimana bisa beliau berbuat begitu?"
"Itu yang ingin saya tanyakan. Apa kau membuat masalah dengan CEO baru, sampai kau dihukum seperti itu?" tanya Madam Cleo penasaran.
"Saya bahkan belum pernah melihat wajah CEO baru kita, Madam."
"Kamu benar. Baiklah, kau tidak punya pilihan. Sementara ini kau terima saja." Madam Cleo berbalik pergi.
Tika melangkah gontai ke mejanya. Rose segera menghampiri.
"Tika, are you okey?" tanya Rose setelah berada di depan Tika.
"Umm, nggak. Ra--sanya mau mati," isak Tika.
Rose memeluk Tika lalu membelai kepala gadis itu.
"Kamu kuat, Tika. Yang penting kamu belum dipecat," hibur Rose.
"Kamu benar, Rose. Setidaknya aku masih bekerja," Tika menghela napas berat lalu menghapus air mata yang sempat tumpah.
Tiba-tiba Rose terpikir suatu ide bagus, "Tika, kenapa kau tidak tanya secara langsung pada CEO nanti sore saat upacara pelantikannya?"
"Menurutmu dia akan mau berbicara denganku?" Tika mulai memiliki setitik harapan.
"Kenapa tidak, itu acara besar dan dihadiri banyak CEO dari perusahaan lain. Dia pasti ingin menjaga nama baiknya. Jadi, kau tinggal buat keributan kalau tidak mau berbicara denganmu," usul Rose.
"Rose, kau gila. Aku bisa dipecat kalau sampai membuat keributan. Yang benar saja."
Rose mengendikkan bahu, "Kan kubilang seumpama dia tidak mau bicara, Tik."
"Baiklah, akan aku coba saranmu," putus Tika setelah beberapa saat.
"Nah, itu bagus. Kamu bisa lebih dulu berbicara dengan asistennya nanti," saran Rose.
"Tapi, aku bahkan tidak tahu wajah mereka sama sekali."
"Kamu tenang saja, kamu kan nanti pergi bersama beberapa staf dari divisi lain, kamu bisa bertanya dengan mereka." Rose menenangkan.
"Yeah, baiklah. Terima kasih, Rose," ungkap Tika tulus.
Rose mengangguk seraya tersenyum.
***
"Kau seharusnya urus itu dengan baik Arthur, aku sudah membayarmu mahal!" raut marah tergambar jelas di wajah lelaki tampan yang masih mengenakan setelan lengkap.
"Maafkan saya, pak Axel, ibu Laura menuntut kita lepas tangan atau dia akan meminta agen FBI langsung menangkap bapak," jelas lelaki bernama Arthur dengan suara gemetar. Dia beruntung, karena hanya menerima makian lewat telepon. Andaikan bertemu langsung, dia yakin tubuhnya sudah habis dipukuli.
"Sh*t up, perempuan itu masih meragukanku rupanya." Kini raut kemarahan berubah menjadi rasa frustrasi.
"Maafkan aku, Pak. Aku kurang kompeten," sesal Arthur.
"Baiklah, tolong tetap berusaha untuk melobi. Aku akan coba bicara dengan Laura." Axel mengakhiri sambungan.
Axel melonggarkan dasi yang melilit dagunya, dia merasa sesak napas. Kepalanya terasa pusing. Dia menyulut rokoknya. Matanya menjelajah sisi kota North Carolina yang tertangkap dari jendela kamar apatemennya.
"Sepertinya, akhir-akhir ini kau menjadi sedikit melankolis, Axel," tegur sebuah suara.
Axel berbalik lalu tersenyum sinis, "Terima kasih, sudah memujiku."
"Sama-sama," balas Reiden seraya tersenyum mengejak.
Axel manggut-manggut lalu kembali berdiri memandang ke luar jendela. Kerlap-kerlip lampu lumayan menyenangkan untuk dipandang.
"Aku tadi bertemu dengan gadis yang kau cari," celetuk Reiden.
Mata Axel membulat lalu menghampiri Reiden.
"Dimana?" suara Axel penasaran dan antusias. Reiden sudah menyangka akan reaksi Axel, tapi tetap saja itu membuatnya kaget ketika melihatnya secara langsung.
"Rupanya kau sangat peduli dengan gadis itu," pancing Reiden.
"Tentu saja. Dia membawa payung merah dan juga punya hutang padaku." Axel beralasan.
"Kau yakin hanya sebatas itu?" Reiden makin penasaran.
"Reiden!" Axel mulai kesal karena bawahannya satu ini terus-menerus memancing.
"Baiklah, baiklah. Akan aku beritahu," ucap Reiden mengalah.
"Bagus, ceritakan!" komando Axel.
"Aku bertemu dia di acara pelantikanmu." Reiden berhenti demi memancing rasa penasaran Axel.
"Lalu? Kenapa kau berhenti bicara?" Axel sungguh penasaran bagaimana gadis kurang ajar itu datang pada acara pelantikkannya. Seingat Axel, hanya dewan direksi dan beberapa karyawan senior yang diundang. Sedangkan, gadis itu hanya karyawan rendahan.
Reiden tersenyum, lalu menlanjutkan, "Kau ingat, kau menyuruhku untuk memotong gaji wanita itu karena dia tak kunjung menghubungimu? Ternyata dia tidak dengan sengaja melakukannya. Dia kehilangan kartu namamu dan tidak tahu siapa namamu. Itu alasannya tidak menghubungimu. Bukan karena ingin lari dari tanggungjawab," jelas Reiden.
"Jadi, alasan dia datang pada hari pelantikanku .... " suara Axel menggantung.
"Ya, dia ingin bertanya alasan kau memotong gajinya. Dia sangat frustrasi dan sedih ketika mengetahui gajinya dipotong atas perintah seorang CEO baru yang bahkan dia tidak tahu wajah dan namanya. Untuk itu, dia datang ke acara pelantikanmu untuk bertanya alasannya. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa CEO itu kamu, orang yang sudah membayar makan siangnya," beber Reiden.
"Wajahnya langsung pucat saat melihat kau berjalan ke podium untuk memberi sambutan. Bahkan saat aku bertanya keadaannya, dia hanya menggeleng dan berlari ke luar gedung. Aku rasa dia sangat syok,"sambung Reiden lagi.
Saat mendengar kebenaran yang disampaikan oleh Reiden, Axel sedikit merasa bersalah. Namun, dia adalah seorang Axel yang tidak akan kalah pada perasaan remeh semacam itu. Salah wanita itu sendiri berani melibatkan diri dengannya.
"Biarkan saja dia," Axel berkata dingin.
Reiden terkesiap tak menyangka dengan reaksi Axel. Reiden pikir, Axel akan berubah pikiran dan mengampuni wanita itu.
"Tapi, kurasa kau tak perlu mengurangi gajinya. Dia bekerja cukup baik selama ini," Reiden mencoba memberi masukan.
"Untuk itu, kurasa kau sedikit benar. Kembalikan saja gajinya," ujar Axel.
"Oke, tapi, ...." Reiden ragu-ragu.
"Katakan saja."
"Masalah payung merah yang ada di tangan gadis itu bagaimana?"
"Itu nanti akan ku pikirkan. Sekarang kita punya permasalahan baru, Rei," wajah Axel berubah serius.
"Apa ini menyangkut bisnis tambang di California?" tebak Reiden.
"Kau benar, Laura melarang kita turut serta," ujar Axel.
"Pasti karena payung itu, kan?"
"Yeah, kita harus segera bertemu Laura."
"Akan ku atur."
***
"Rose, sekarang aku tahu alasan pemotongan gajiku," ucap Tika menggebu usai teleponnya tersambung dengan Rose."Tika, kau bahkan tak menyapa lebih dulu. Jadi, apa alasannya?" Rose ikut antusias."Itu karena CEO baru itu," tukas Tika."Astaga, Tika. Hal itu sudah kita tahu dari kemarin," Rose mulai gemas. Seandainya berada di sampingnya, Rose ingin menepuk kepala gadis itu."Oh ya, maksudku karena CEO baru itu adalah orang yang membayariku makan siang beberapa hari yang lalu," Tika menjelaskan."What, suatu kebetulan yang aneh. Tapi apa kenapa dia mengurangi gajimu dan bagaimana dia bisa membayar makan siangmu," Rose bertanya kebingungan.Tika menepuk dahinya, dia lupa belum menceritakan pada Rose soal pertemuannya dengan si CEO, tuan tampan yang membayar makan siangnya sekaligus memotong gajinya."Baiklah, dengarkan, Rose. Akan aku ceritakan," ucap Tika. Tika menceritakan pertemuannya dengan CEO tampan itu dan bagaimana dia mend
Tika mematut dirinya di cermin lalu berputar sebelum akhirnya tersenyum puas. Dia memuji dirinya sendiri yang terlihat cantik dan manis mengenakan gaun mini berwarna maroon itu. Rambut yang biasanya selalu ia kucir ke atas, kini dibiarkannya tergerai. Lipstik berwarna senada dengan gaunnya dan sepatu berhak tinggi berwarna putih tulang melengkapi penampilannya."Ini tidak terlalu berlebihan bukan? Aku hanya pergi makan malam," gumam Tika."Apa sebaiknya aku bertanya pada Rose? Tapi, nanti dia heboh," ucap Tika bimbang pada dirinya sendiri.Ring ring ring ring, suara dering ponsel memutus kebimbangan Tika. Sebuah nomer asing meneleponnya."Hallo,"sapa Tika sedikit ragu."Hallo, nona Tika, saya Reiden. Saya ada di depan apartemen Nona. Tuan Axel meminta saya menjemput Nona," ucap Reiden sopan."Ke-kenapa dijemput, aku bisa naik taksi," Tika kaget karena Axel bahkan menjemputnya."Tolong segera turun saja, Nona. Tuan, s
“Kau tampak menikmati kencanmu, Tuan?” tegur Reiden yang tengah membawa mobil menuju apartemen Axel. Sebelumnya, mereka telah menurunkan Tika di apartemennya. “Panggil saja namaku, Tika sudah tidak ada.” Axel protes. “Oke. Jadi, kau menikmati kencamu?” Reiden berbicara santai. “Aku bukan berkencan, aku sedang mencari informasi,” kelit Axel. 'Sesungguhnya terlalu berlebihan caramu mendapatkan informasi. Bahkan, bila dilakukan pemungutan suara, orang akan condong mengatakan kau sedang berusaha merebut hati seorang gadis,' Reiden mengatakan itu di hatinya. Sedang yang terjadi pada kenyataannya Reiden hanya terkekeh dan menanyakan pertanyaan formal, “Jadi informasi apa yang kau dapat?” “Tika mendapatkan payungnya dari orang tak dikenal. Dia bahkan tidak sempat melihat wajah orang yang memberinya payung. Dia mendapatkannya di stasiun yang berada di dekat kantor. Besok, kau bisa mencari rekaman CCTV yang mengarah ke sana,” jelas Axel.
Di lain sisi, Axel juga tengah memikirkan Tika. Sejak perbincangan waktu itu, bayangan Tika selalu muncul di pikirannya. Senyumnya, rambut panjangnya yang hitam legam, tubuh mungil namun berisi, juga suaranya. Bahkan malam itu, Axel hampir saja mengajak gadis itu ke kamarnya andai Reiden tidak datang menjemput. 'Sadarlah, Axel. Perasaan semacam itu tidak akan berhasil,' batin Axel menegur. 'Tapi, kalau hanya sekedar tidur, sepertinya tidak apa-apa bukan?' pikiran jahat Axel mulai bersuara. 'Tidak. Aku bukan lelaki seperti itu.' "Axel, kau akan makan siang dimana?" suara Reiden mengembalikan pikirannya yng menerawang. "Dimanapun yang dekat. Aku memiliki banyak pekerjaan." "Ayo, aku tahu tempatnya." Reiden berjalan memimpin Axel. Axel merapikan rambutnya yang sedikit berantakan lalu mengekori Reiden. "Sepertinya nona Tika sedang makan di dalam bersama temannya," ucap Reiden sesampainya mereka ke restoran yang Reiden
Kepada pembacaku, Hai-hai, salam kenal. Aku IchiOcha, penulis baru di pf Goodnovel. Novel Payung Merah ini debut novelku yang pertama lho..... Aku terharu banget, meski baru pertama ada teman-teman yang bersedia memasukkan bukuku di pustakanya. Terima kasih banget. Aku sangat menghargai itu karena aku sempat merasa ingin nyerah. Tapi berkat kalian aku jadi punya semangat lagi. Semoga kalian menyukai tulisanku dan mau memberi masukan agar aku semakin baik ke depannya dan semakin semangat lagi. Oh iya nanti bila ada bab-bab dari ceritaku yang mulai dikunci, aku akan adain give away 100 koin untuk 5 pembacaku. Syaratnya gampang banget, cukup beri masukan untuk bab-bab yang sudah kalian baca dan menshare ceritaku ke sebanyak mungkin pembaca goodnovel. Happy readers... With love, IchiOcha
"Pak, kenapa kau bersikap seperti itu pada nona Tika?" Reiden melontarkan pertanyaan saat lift mulai merayap naik. "Aku tidak tahu bahwa kau orang yang sangat ingin tahu, Rei," sinis Axel. "Sedikit," Rei tersenyum kaku seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Lagipula, kemarin kau bilang tertarik padanya," imbuh Rei. "Perasaanku tidak penting yang penting aku sudah mendapatkan yang kuperlu, jadi dia tidak lagi berguna untukku," ketus Axel. Reiden menggut-manggut. Reiden tahu, bukan itu alasan Axel yang sesungguhnya. Saat Reiden bersembunyi sementara mengawasi mereka, Reiden dapat menangkap sekelebat tatapan hangat Axel pada Tika. Meski sekelebat, itu sudah cukup bagi Reiden untuk menyimpulkan bahwa Axel memiliki perasaan tertentu untuk Tika bukan sekedar tertarik. Axel sendiri sebenarnya tidak yakin dengan jawaban yang dia berikan pada Reiden. Hatinya sedikit nyeri saat mengatakan bahwa Tika sudah tidak berguna lagi untu
Hari itu, setelah Axel berkata begitu kejam dan meninggalkan Tika di depan lift, dia berdiri mematung selama beberapa saat. Perkataan Axel dan tatapan dinginnya membuat hati Tika terluka. Dia hampir saja menangis, andai ponselnya tidak berbunyi. Panggilan dari Rose, tapi Tika mengabaikannya. Gegas, Tika mengambil ikat rambut yang selama ini disimpannya dalam tas kerjanya, mengikat rambutnya asal, lalu berlari menuju ruangannya menggunakan tangga darurat. "Tika, sudah berapa kali kamu terlambat?" Suara madam Cleo sama sekali tidak terdengar ramah. Tika tidak langsung menjawab. Napasnya masih tersengal karena menaiki tangga sambil berlari. "Maaf bu." Hanya itu yang mampu Tika katakan. Dia kekurangan oksigen. Madam Cleo yang masih kesal dengan sikap Tika yang tidak disiplin, mengambil setumpuk dokumen dari mejanya lalu memberikannya ke Tika. "Ini! Kamu harus selesaikan hari ini!" Tika terbelalak, pekerjaan itu cukup banyak. Namun, dia tidak
Lokasi Penambangan Mineral di California "Mark, aku tahu kau tahu dimana Laura," ucap seorang laki-laki bermata biru pada seorang pria berambut keriting. Lawan bicaranya hanya tersenyum simpul, tidak menghiraukan, sibuk dengan berkas-berkas yang ada di depannya. Lelaki bermata biru mulai marah karena diabaikan. Dia beranjak dari tempat duduknya lalu mendekati pria berambut keriting itu. "Jangan pancing emosiku, Mark!" geramnya seraya menarik paksa kerah baju Mark. Bukannya takut, Mark malah tertawa mengejek, "Axel, jangan begitu sombong. Kau tidak lebih baik daripadaku. Hanya satu kata dari Laura, kau akan membusuk di penjara." Penghinaan yang baru saja Axel terima membuat darahnya mendidih, dia memukul Mark dengan keras sampai pria itu terlempar membentur dinding. Mark mengaduh lalu menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya, "Kau pikir, memukulku akan menyelesaikan masalah?" Mark merasa di atas awan. D
Axel memandang ponselnya dengan gusar. Sejak 10 menit yang lalu dia mencoba menghubungi Tika, tapi yang menjawab adalah mesin penjawab otomatis. "Apa yang sedang kamu lakukan, Tika?" geram Axel saat teleponnya yang kesekian kali tidak dijawab juga. Kepala Axel berdenyut, juga inti tubuhnya. Dia teramat merindukan Tika. Axel terus mengingat, malam saat Tika menyerahkan seluruhnya padanya. Axel bahkan tidak pernah bisa tenang bekerja sejak hari itu. Dia menjadi sangat menginginkan wanita itu. Cinta dan nafsu seakan memburunya, tanpa memberinya ruang. Selama ini, dia selalu berhasil menahan perasaan dan nafsunya. Namun, pertahanannya luruh malam itu. Sudah sejak lama dia tidak merasakan perasaan seperti malam itu. Sesuatu yang Axel rindukan sejak kematian Marry, telah Tika berikan bahkan dengan rasa yang lebih dahsyat. Axel yakin, dia tidak akan bisa hidup tanpa Tika. Sayangnya, wanita itu justru mengabaikannya. "Reiden, Reiden!" teriak Axel memanggil asisten sekaligus sekretaris pri
"Tika, wajahmu tampak berseri-seri hari ini, " celetuk Rose saat melihat Tika datang. "Benarkah?" Tika memegang pipi dengan kedua tangannya sembari tersenyum. "Kalian pasti bersenang-senang ya?" "Hemh," ucap Tika tersipu. "Waw, good job girl!" teriak Rose histeris. "Rose, pelankan suaramu." "Iya, iya, iya. Tapi selamat ya, akhirnya." "Semua berkat kamu, Rose." Tika beringsut mendekati Rose lalu memeluknya. "Wah, ada apa ini dengan dua gadis cantik kita?" celetuk Mike yang baru masuk ruangan bersama Reino. "Tika sedang bahagia, Mike," jawab Rose. Meski tampak biasa, sebenarnya kecanggungan terlihat diantara Reino dan Tika. "Tika, aku mencoba menghubungimu sejak kemarin. Aku mau minta maaf." Reino mencoba mengajak Tika bicara saat mereka bertemu di dapur ruangan. "Tidak apa, Rei, aku sudah memaafkanmu. Bukan sepenuhnya salahmu, aku saja yang terlalu emosional." "Terima kasih, Tik, sudah memaafkanku. Aku janji tidak akan melewati batas." "I see, Rei." Tika tersenyum pada Re
Tika menautkan kedua pasang tangannya erat sembari berdoa dalam hati. Debaran jantung yang bertalu serta butir keringat halus yang mengalir perlahan di punggungnya menyiratkan ketegangan yang kini tengah membelenggunya. 'Tuhan, semoga aku tidak pingsan saat melihatnya.' Kurang lebih seperti itu doa yang Tika panjatkan demi mengurangi semua ketegangan dan kegugupan. Tika sendiri tidak paham akan perasaannya atau alasan dari semua reaksi tubuhnya. Bertemu seorang Axel bukanlah hal baru, tapi Tika tetap merasa gugup. Saat masih bergulat dengan perasaannya sendiri, seseorang menyapanya. "Tika," sapa sebuah suara. Suara dari orang yang Tika tunggu sejak tadi. "A-ah, iya," gagap Tika. Lelaki itu menarik kursi dan duduk di hadapan Tika. Lucunya, Tika tetap menunduk tanpa berani memandang ke arah lelaki itu. "Kamu tidak mau melihatku, Tika?" tanya lelaki itu. "Ah, ti-dak, bukan begitu." Tika masih gugup. Tautan ditangannya maki
"Tika, kamu lagi bahagia ya?" tanya Reino penasaran."Eh, Rei, dia tu lagi hepi soalnya pacarnya mau ngajak makan malam.""Oh," ucap Reino datar. Raut mukanya langsung berubah menjadi sedikit masam."Kenapa Rei?" tanya Tika."Nggak apa-apa. Aku cuma bingung aja kamu tiba-tiba baikan sama pacarmu. Bukannya kalian sudah putus, ya?""Hemh, ceritanya panjang Rei. Kami tidak putus, aku hanya menjauh karena suatu masalah. Tapi dia berjanji akan menjelaskan semuanya saat nanti kami bertemu, jadi aku memutuskan untuk berhubungan dengan dia lagi," jelas Tika."Begitu rupanya, syukurlah. Aku turut senang, Tika. Tapi, sebagai temanmu aku berharap kamu tidak langsung percaya seratus persen pada pacarmu. Apalagi pacarmu adalah Axelsis." "Maksudmu? Lalu sejak kapan kau tahu pacarku adalah Axel?""Tidak ada. Hanya saranku, kamu lebih baik tidak langsung mempercayai semua ucapannya dan mengenai kapan aku tahu pacarmu adalah Axel, itu sejak kamu diculik. Malam itu, saat aku mengunjungimu di rumah sak
Tika memandang ponselnya dengan gamang. Dia masih belum yakin mampu berbicara dengan Axel. Berkali-kali dia membuka nomor kontak lelaki itu lalu menutupnya lagi. "Tika, ada apa dengamu? Bukankah kau sudah putuskan untuk memaki lelaki itu?" umpat Tika pada dirinya sendiri. Tika menghela napas berat. Perlahan dibukanya kembali nomor kontak Axel, lalu secara perlehan dia menekan tombol hijau. Tidak kurang dari satu menit, sebuah suara yang sangat dia rindukan terdengar dari seberang. "Hallo,...." Tiba-tiba air mata mengalir deras dari pelupuk mata Tika, seolah itu sudah ada disana dan menunggu untuk keluar. Lalu tanpa menunggu Axel menyelesaikan ucapannya, Tika menyela, "Ax, apa salahku? Kenapa aku mesti mencintai orang sepertimu? Kenapa aku begitu bodoh?" Tika terisak. Hati Axel sebenarnya ikut sakit mendengar isak tangis Tika. Namun, bila mengingat kembali bahwa Tika pernah mengusirnya, Axel bersikap ketus. "Apa maksudmu, Tika?" ketus Axel. "Aku membencimu, Ax. Aku takut pada
Tika nampak anggun dengan balutan gaun berwarna merah maron. Sepatu berhak tinggi berwarna putih krem turut mempercantik kaki mungilnya. Wanita itu berjalan dengan riang menghampiri lelaki tampan yang telah menunggu kedatangannya sejak tadi."Kamu cantik sekali malam ini, Sayang," ucap lelaki tampan itu seraya mengulurkan tangan pada Tika.Tika menyambut tangan itu, lalu menggenggamnya erat, "Terima kasih, Ax. Kau juga sangat tampan."Axel dan Tika lalu berjalan masuk ke dalam restoran."Ax, ini tidak seperti yang aku pikirkan bukan?" Raut wajah Tika tampak penasaran melihat tidak ada satupun orang di dalam restoran."Ya, ini seperti dugaanmu. Aku menyewa semua tempat disini. Aku hanya ingin makan romantis berdua denganmu tanpa ada orang lain mengganggu.""Bukankah ini agak berlebihan?""Tidak, tidak. Ini sangat sepadan.""Oh, oke, baiklah. Meski aku berpikir ini sedikit tidak masuk akal.""Tika, please, jangan bahas lag
"Hai, Rose," sapa Tika ceria begitu wajah Rose tersembul dari balik pintu yang setengah terbuka. Meski sedikit terkejut dengan kedatangan Tika, Rose ikut tersenyum sembari membuka pintu rumahnya sepenuhnya. "Waw, Tika." Mereka berdua berpelukan seolah baru bertemu setelah sekian lama, padahal baru satu hari Tika tidak masuk kantor. "Ayo, ayo masuk Tika. Rei, juga." Rose mempersilahkan Tika dan Reino masuk. "Thanks, Rose," ucap Reino yang mengekor di belakang Tika dan Rose sambil membawa koper milik Tika. "Jadi, kalian mau minum apa?" "Terima kasih, Rose, aku memang sangat haus, apa saja yang segar boleh," jawab Reino. "Tika?" "Tidak ada, aku tidak haus. Nanti akan aku ambil sendiri bila butuh." "Oke." Rose lalu sibuk mengambil beberapa botol minuman dingin dari dalam lemari es, juga mengambil tiga buah gelas. "Rose, aku bilang kan kau tidak perlu repot." "Oh, ayolah Tika, ini tidak repot sama sekali. Hanya minuman dingin instan." "Baiklah, Rose, tempat sandaranku, aku minum
"Gimana? Udah merasa baikan setelah makan?" tanya Reino pada Tika usai mereka menyelesaikan makan. "Yah, aku merasa lebih bertenaga juga lebih penasaran." "Astaga, Tika. Aku pasti akan menceritakannya. Tapi, sebelum itu, aku penasaran apa yang terjadi sampai kamu diteror seperti ini?" "Ah, itu, mungkin karena aku terlalu baik hati." "Ayolah Tika, ini bukan hal yang bisa dijadikan lelucon. Kamu kemarin diculik dan sekarang diteror. Itu semua kejadian yang mengerikan bahkan untukku yang seorang lelaki. Apalgi buat kamu." Nada suara Reino terdengar frustasi sekaligus khawatir. "Rei, aku masih baik-baik saja sampai saat ini. Kamu tidak perlu begitu khawatir. Aku sedang sial saja." "Oke, oke, tapi bisa kan kamu ceritakan, foto-foto itu?" "Ih, kok, jadi aku yang mesti cerita. Kan kamu yang harusnya jelasin ke aku tentang orang yang kamu kenali di salah satu foto itu." Wajah Tika merengut. "I-iya, sih. Tapi menurutku lebih adil kalau kamu juga menceritakan kisahmu lebih dulu Tika."
Tika terbelalak melihat bungkusan yang dipeganggnya. Lalu sedetik kemudian wajahnya memucat, diiringi teriakan yang terlontar dari bibirnya."Aaaaaaaaaaa!!!!"Tika menendang jauh bungkusan yang tadi dipegangnya.Ting tong, ting tong,"Aaaaa!" Sekali lagi Tika berteriak. Suara bel apartemen megejutkannya.Meskipun masih terkejut sekaligus takut, Tika memberanikan diri membawa tubuhnya mendekati pintu. Perempuan itu lalu perlahan membuka pintu apartemennya. Rasa lega langsung mengalir ke seluruh pembuluh darahnya melihat Reino berdiri di depan pintu kamarnya."Hai, Tika, selamat pagi," sapa Reino sambil tersenyum manis.Gegas Tika memeluk Reino karena merasa senang dan aman."Hei, ada apa ini, Tik?" tanya Reino kaget dengan perilaku Tika yang tidak biasa."Nggak apa-apa, aku seneng aja, kamu datang. Ayo masuk." Tika mempersilahkan Reino masuk.Reino mengikuti Tika, lalu matanya menangkap bungkusan yang tadi Tika bua