Kepada pembacaku,
Hai-hai, salam kenal. Aku IchiOcha, penulis baru di pf Goodnovel. Novel Payung Merah ini debut novelku yang pertama lho..... Aku terharu banget, meski baru pertama ada teman-teman yang bersedia memasukkan bukuku di pustakanya. Terima kasih banget. Aku sangat menghargai itu karena aku sempat merasa ingin nyerah. Tapi berkat kalian aku jadi punya semangat lagi. Semoga kalian menyukai tulisanku dan mau memberi masukan agar aku semakin baik ke depannya dan semakin semangat lagi.
Oh iya nanti bila ada bab-bab dari ceritaku yang mulai dikunci, aku akan adain give away 100 koin untuk 5 pembacaku. Syaratnya gampang banget, cukup beri masukan untuk bab-bab yang sudah kalian baca dan menshare ceritaku ke sebanyak mungkin pembaca goodnovel.
Happy readers...
With love, IchiOcha
"Pak, kenapa kau bersikap seperti itu pada nona Tika?" Reiden melontarkan pertanyaan saat lift mulai merayap naik. "Aku tidak tahu bahwa kau orang yang sangat ingin tahu, Rei," sinis Axel. "Sedikit," Rei tersenyum kaku seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Lagipula, kemarin kau bilang tertarik padanya," imbuh Rei. "Perasaanku tidak penting yang penting aku sudah mendapatkan yang kuperlu, jadi dia tidak lagi berguna untukku," ketus Axel. Reiden menggut-manggut. Reiden tahu, bukan itu alasan Axel yang sesungguhnya. Saat Reiden bersembunyi sementara mengawasi mereka, Reiden dapat menangkap sekelebat tatapan hangat Axel pada Tika. Meski sekelebat, itu sudah cukup bagi Reiden untuk menyimpulkan bahwa Axel memiliki perasaan tertentu untuk Tika bukan sekedar tertarik. Axel sendiri sebenarnya tidak yakin dengan jawaban yang dia berikan pada Reiden. Hatinya sedikit nyeri saat mengatakan bahwa Tika sudah tidak berguna lagi untu
Hari itu, setelah Axel berkata begitu kejam dan meninggalkan Tika di depan lift, dia berdiri mematung selama beberapa saat. Perkataan Axel dan tatapan dinginnya membuat hati Tika terluka. Dia hampir saja menangis, andai ponselnya tidak berbunyi. Panggilan dari Rose, tapi Tika mengabaikannya. Gegas, Tika mengambil ikat rambut yang selama ini disimpannya dalam tas kerjanya, mengikat rambutnya asal, lalu berlari menuju ruangannya menggunakan tangga darurat. "Tika, sudah berapa kali kamu terlambat?" Suara madam Cleo sama sekali tidak terdengar ramah. Tika tidak langsung menjawab. Napasnya masih tersengal karena menaiki tangga sambil berlari. "Maaf bu." Hanya itu yang mampu Tika katakan. Dia kekurangan oksigen. Madam Cleo yang masih kesal dengan sikap Tika yang tidak disiplin, mengambil setumpuk dokumen dari mejanya lalu memberikannya ke Tika. "Ini! Kamu harus selesaikan hari ini!" Tika terbelalak, pekerjaan itu cukup banyak. Namun, dia tidak
Lokasi Penambangan Mineral di California "Mark, aku tahu kau tahu dimana Laura," ucap seorang laki-laki bermata biru pada seorang pria berambut keriting. Lawan bicaranya hanya tersenyum simpul, tidak menghiraukan, sibuk dengan berkas-berkas yang ada di depannya. Lelaki bermata biru mulai marah karena diabaikan. Dia beranjak dari tempat duduknya lalu mendekati pria berambut keriting itu. "Jangan pancing emosiku, Mark!" geramnya seraya menarik paksa kerah baju Mark. Bukannya takut, Mark malah tertawa mengejek, "Axel, jangan begitu sombong. Kau tidak lebih baik daripadaku. Hanya satu kata dari Laura, kau akan membusuk di penjara." Penghinaan yang baru saja Axel terima membuat darahnya mendidih, dia memukul Mark dengan keras sampai pria itu terlempar membentur dinding. Mark mengaduh lalu menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya, "Kau pikir, memukulku akan menyelesaikan masalah?" Mark merasa di atas awan. D
Sampai malam, pesan yang Tika kirim tak kunjung mendapatkan balasan. Meski telah belasan kali dia mengecek ponselnya bahkan memastikan ponselnya terhubung dengan jaringan. "Baiklah, sepertinya sudah tidak ada harapan lagi." Tika menghela napas berat. Hatinya kembali sakit. Dia menyesal menuruti saran Rose. Tak lama kemudian Tika mulai menangis dan mengumpat Axel, "Laki-laki sialan, kenapa kau mempermainkan aku, huh?" "Bagaimana bisa kau memperlakukanku dengan begitu manis, tapi mengabaikanku di kesempatan lain. Apa aku tampak begitu mudah?" cerocos Tika. Air matanya berderai tak tertahan. Sekaleng bir diteguknya habis dalam sekali tarikan napas. Ring ring ring. Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Serentak Tika berhenti menangis, dia mengusap air matanya lalu melihat pesan yang masuk. Tika mendesah kecewa, karena pesan yang masuk bukanlah dari Axel melainkan dari agen trip mendaki. Mereka membagikan poster tentang rencana pendakian k
"Laura, kau semakin cantik," puji seorang lelaki berlesung pipi. Dia memakai pakaian mendaki serta menggendong ransel besar dipunggungnya. Laura tidak menghiraukan. Dia sedang sibuk membetulkan tali sepatunya. Seperti pria itu, Laura juga menggunakan pakaian mendaki. "Kau tidak berubah. Masih begitu dingin," pria kembali bicara. "Dan kau, masihlah playboy yang suka merayu wanita," balas Laura. "Auch, aku tidak seburuk itu," kekehnya. "Sudahlah, kita mulai saja mendaki. Akan aku ceritakan hal yang perlu kau lakukan." Laura memimpin jalan. "Siap," ujar lelaki itu mengikuti langkah Laura. Tiga puluh menit semenjak perjalanan itu dimulai, mereka memutuskan beristirahat. "Mau minum?" tawar si pria pada Laura. Laura mengambil air dari tangan lelaki itu lalu meneguknya. "Kau harus menyamar menjadi karyawan di Meidenbourgh. Awasi Axel dan seorang gadis untukku," ujar Laura. "Untuk Axel, aku mengerti. Tap
Matahari berada di puncak kepala saat Tika mulai merasa kelelahan. Dia jauh tertinggal dari rombongannya tapi masih bisa melihat beberapa orang yang pergi bersamanya. 'Sebaiknya aku beristirahat dulu,' pikir Tika. Namun, keputusannya itu justru membuatnya benar-benar tertinggal. Saat memutuskan istirahat dan berbaring di bawah pohon besar yang terletak di tepi jalur pendakian, Tika jatuh tertidur. Sementara itu Axel yang mendaki tidak lama setelah grup pendaki Tika, sampai di tempat Tika berada sejam kemudian. Axel tertegun melihat Tika yang bisa tertidur nyenyak di kondisi seperti itu. Dia mengacuhkannya dan berjalan terus. "Gadis bodoh, tidur sembarangan. Tapi itu bukan urusanku," gumam Axel tanpa mengurangi kecepatannya mendaki. Namun, dia teringat berpapasan dengan beberapa lelaki bermuka tidak ramah dan mesuk di kaki gunung. Axel tiba-tiba menjadi khawatir. Akhirnya dia memilih berbalik lagi. Sayangnya, Axel kurang hati-hati, sehing
"Aku tidak menyangka gadis bodoh sepertimu bisa berada di tengah gunung seperti ini," celetuk Axel setelah menyelesaikan makanannya."Um, apa salah?" tanya Tika."Tidak salah. Hanya sedikit ceroboh dan tidak bijaksana?""Maksudmu?" Tika mulai sedikit gusar. Lelaki di depannya memang tampan, hatinya bahkan tertawan, tapi bukan berarti dia tidak akan marah jika terus direndahkan dan dihina seperti itu."Kau tertidur sendirian di alam terbuka, bukankah itu suatu kecerobohan?" cela Axel.Tika merengut, "Aku tidak sendirian. Aku bersama rombongan.""Lalu, dimana mereka?""I--tu,...""Sudahlah, kau memang ceroboh sampai tertinggal rombonganmu. Kau sadar tidak, perbuatanmu itu sangat berbahaya. Ini gunung, bukan tempat piknik biasa," ceramah Axel.Tika bergeming, dia menyadari perkataan Axel sepenuhnya benar."Aku rasa kau setuju dengan ucapanku." Axel menghela napas. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan wanita di depannya itu. Axel tau persis bahwa Tik me
Kengerian yang tadi menyelimuti Tika perlahan menguap. Dia memegang kuat tangan yang meraihnya, lalu perlahan menaiki tebing. Orang yang menolongnya, mengerahkan sejumlah besar tenaga untuk menarik Tika, sehingga dalam waktu singkat dia telah berada di atas."Terima kasih sudah menye,..." kata-kata Tika menggantung. Kilatan penuh amarah dari orang yang menolongnya membuat lidahnya kelu. Seketika rasa lega karena telah diselamatkan berganti dengan rasa takut."Aku minta maaf, aku kurang hati-hati," lirih Tika hampir menangis. Wanita itu benar-benar merasa bersalah karena tidak mendengarkan Axel.Axel, lelaki yang telah menolongnya tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya diam beberapa saat, lalu perlahan meraih tubuh Tika dan memeluknya. Tika kaget tapi tidak membuat reaksi apapun. Perlakuan Axel sungguh di luar dugaannya. Dia pikir Axel akan marah dan memakinya."Gadis bodoh, kau hampir kehilangan nyawamu," ucap Axel lembut sembari membelai kepala Tika.
Axel memandang ponselnya dengan gusar. Sejak 10 menit yang lalu dia mencoba menghubungi Tika, tapi yang menjawab adalah mesin penjawab otomatis. "Apa yang sedang kamu lakukan, Tika?" geram Axel saat teleponnya yang kesekian kali tidak dijawab juga. Kepala Axel berdenyut, juga inti tubuhnya. Dia teramat merindukan Tika. Axel terus mengingat, malam saat Tika menyerahkan seluruhnya padanya. Axel bahkan tidak pernah bisa tenang bekerja sejak hari itu. Dia menjadi sangat menginginkan wanita itu. Cinta dan nafsu seakan memburunya, tanpa memberinya ruang. Selama ini, dia selalu berhasil menahan perasaan dan nafsunya. Namun, pertahanannya luruh malam itu. Sudah sejak lama dia tidak merasakan perasaan seperti malam itu. Sesuatu yang Axel rindukan sejak kematian Marry, telah Tika berikan bahkan dengan rasa yang lebih dahsyat. Axel yakin, dia tidak akan bisa hidup tanpa Tika. Sayangnya, wanita itu justru mengabaikannya. "Reiden, Reiden!" teriak Axel memanggil asisten sekaligus sekretaris pri
"Tika, wajahmu tampak berseri-seri hari ini, " celetuk Rose saat melihat Tika datang. "Benarkah?" Tika memegang pipi dengan kedua tangannya sembari tersenyum. "Kalian pasti bersenang-senang ya?" "Hemh," ucap Tika tersipu. "Waw, good job girl!" teriak Rose histeris. "Rose, pelankan suaramu." "Iya, iya, iya. Tapi selamat ya, akhirnya." "Semua berkat kamu, Rose." Tika beringsut mendekati Rose lalu memeluknya. "Wah, ada apa ini dengan dua gadis cantik kita?" celetuk Mike yang baru masuk ruangan bersama Reino. "Tika sedang bahagia, Mike," jawab Rose. Meski tampak biasa, sebenarnya kecanggungan terlihat diantara Reino dan Tika. "Tika, aku mencoba menghubungimu sejak kemarin. Aku mau minta maaf." Reino mencoba mengajak Tika bicara saat mereka bertemu di dapur ruangan. "Tidak apa, Rei, aku sudah memaafkanmu. Bukan sepenuhnya salahmu, aku saja yang terlalu emosional." "Terima kasih, Tik, sudah memaafkanku. Aku janji tidak akan melewati batas." "I see, Rei." Tika tersenyum pada Re
Tika menautkan kedua pasang tangannya erat sembari berdoa dalam hati. Debaran jantung yang bertalu serta butir keringat halus yang mengalir perlahan di punggungnya menyiratkan ketegangan yang kini tengah membelenggunya. 'Tuhan, semoga aku tidak pingsan saat melihatnya.' Kurang lebih seperti itu doa yang Tika panjatkan demi mengurangi semua ketegangan dan kegugupan. Tika sendiri tidak paham akan perasaannya atau alasan dari semua reaksi tubuhnya. Bertemu seorang Axel bukanlah hal baru, tapi Tika tetap merasa gugup. Saat masih bergulat dengan perasaannya sendiri, seseorang menyapanya. "Tika," sapa sebuah suara. Suara dari orang yang Tika tunggu sejak tadi. "A-ah, iya," gagap Tika. Lelaki itu menarik kursi dan duduk di hadapan Tika. Lucunya, Tika tetap menunduk tanpa berani memandang ke arah lelaki itu. "Kamu tidak mau melihatku, Tika?" tanya lelaki itu. "Ah, ti-dak, bukan begitu." Tika masih gugup. Tautan ditangannya maki
"Tika, kamu lagi bahagia ya?" tanya Reino penasaran."Eh, Rei, dia tu lagi hepi soalnya pacarnya mau ngajak makan malam.""Oh," ucap Reino datar. Raut mukanya langsung berubah menjadi sedikit masam."Kenapa Rei?" tanya Tika."Nggak apa-apa. Aku cuma bingung aja kamu tiba-tiba baikan sama pacarmu. Bukannya kalian sudah putus, ya?""Hemh, ceritanya panjang Rei. Kami tidak putus, aku hanya menjauh karena suatu masalah. Tapi dia berjanji akan menjelaskan semuanya saat nanti kami bertemu, jadi aku memutuskan untuk berhubungan dengan dia lagi," jelas Tika."Begitu rupanya, syukurlah. Aku turut senang, Tika. Tapi, sebagai temanmu aku berharap kamu tidak langsung percaya seratus persen pada pacarmu. Apalagi pacarmu adalah Axelsis." "Maksudmu? Lalu sejak kapan kau tahu pacarku adalah Axel?""Tidak ada. Hanya saranku, kamu lebih baik tidak langsung mempercayai semua ucapannya dan mengenai kapan aku tahu pacarmu adalah Axel, itu sejak kamu diculik. Malam itu, saat aku mengunjungimu di rumah sak
Tika memandang ponselnya dengan gamang. Dia masih belum yakin mampu berbicara dengan Axel. Berkali-kali dia membuka nomor kontak lelaki itu lalu menutupnya lagi. "Tika, ada apa dengamu? Bukankah kau sudah putuskan untuk memaki lelaki itu?" umpat Tika pada dirinya sendiri. Tika menghela napas berat. Perlahan dibukanya kembali nomor kontak Axel, lalu secara perlehan dia menekan tombol hijau. Tidak kurang dari satu menit, sebuah suara yang sangat dia rindukan terdengar dari seberang. "Hallo,...." Tiba-tiba air mata mengalir deras dari pelupuk mata Tika, seolah itu sudah ada disana dan menunggu untuk keluar. Lalu tanpa menunggu Axel menyelesaikan ucapannya, Tika menyela, "Ax, apa salahku? Kenapa aku mesti mencintai orang sepertimu? Kenapa aku begitu bodoh?" Tika terisak. Hati Axel sebenarnya ikut sakit mendengar isak tangis Tika. Namun, bila mengingat kembali bahwa Tika pernah mengusirnya, Axel bersikap ketus. "Apa maksudmu, Tika?" ketus Axel. "Aku membencimu, Ax. Aku takut pada
Tika nampak anggun dengan balutan gaun berwarna merah maron. Sepatu berhak tinggi berwarna putih krem turut mempercantik kaki mungilnya. Wanita itu berjalan dengan riang menghampiri lelaki tampan yang telah menunggu kedatangannya sejak tadi."Kamu cantik sekali malam ini, Sayang," ucap lelaki tampan itu seraya mengulurkan tangan pada Tika.Tika menyambut tangan itu, lalu menggenggamnya erat, "Terima kasih, Ax. Kau juga sangat tampan."Axel dan Tika lalu berjalan masuk ke dalam restoran."Ax, ini tidak seperti yang aku pikirkan bukan?" Raut wajah Tika tampak penasaran melihat tidak ada satupun orang di dalam restoran."Ya, ini seperti dugaanmu. Aku menyewa semua tempat disini. Aku hanya ingin makan romantis berdua denganmu tanpa ada orang lain mengganggu.""Bukankah ini agak berlebihan?""Tidak, tidak. Ini sangat sepadan.""Oh, oke, baiklah. Meski aku berpikir ini sedikit tidak masuk akal.""Tika, please, jangan bahas lag
"Hai, Rose," sapa Tika ceria begitu wajah Rose tersembul dari balik pintu yang setengah terbuka. Meski sedikit terkejut dengan kedatangan Tika, Rose ikut tersenyum sembari membuka pintu rumahnya sepenuhnya. "Waw, Tika." Mereka berdua berpelukan seolah baru bertemu setelah sekian lama, padahal baru satu hari Tika tidak masuk kantor. "Ayo, ayo masuk Tika. Rei, juga." Rose mempersilahkan Tika dan Reino masuk. "Thanks, Rose," ucap Reino yang mengekor di belakang Tika dan Rose sambil membawa koper milik Tika. "Jadi, kalian mau minum apa?" "Terima kasih, Rose, aku memang sangat haus, apa saja yang segar boleh," jawab Reino. "Tika?" "Tidak ada, aku tidak haus. Nanti akan aku ambil sendiri bila butuh." "Oke." Rose lalu sibuk mengambil beberapa botol minuman dingin dari dalam lemari es, juga mengambil tiga buah gelas. "Rose, aku bilang kan kau tidak perlu repot." "Oh, ayolah Tika, ini tidak repot sama sekali. Hanya minuman dingin instan." "Baiklah, Rose, tempat sandaranku, aku minum
"Gimana? Udah merasa baikan setelah makan?" tanya Reino pada Tika usai mereka menyelesaikan makan. "Yah, aku merasa lebih bertenaga juga lebih penasaran." "Astaga, Tika. Aku pasti akan menceritakannya. Tapi, sebelum itu, aku penasaran apa yang terjadi sampai kamu diteror seperti ini?" "Ah, itu, mungkin karena aku terlalu baik hati." "Ayolah Tika, ini bukan hal yang bisa dijadikan lelucon. Kamu kemarin diculik dan sekarang diteror. Itu semua kejadian yang mengerikan bahkan untukku yang seorang lelaki. Apalgi buat kamu." Nada suara Reino terdengar frustasi sekaligus khawatir. "Rei, aku masih baik-baik saja sampai saat ini. Kamu tidak perlu begitu khawatir. Aku sedang sial saja." "Oke, oke, tapi bisa kan kamu ceritakan, foto-foto itu?" "Ih, kok, jadi aku yang mesti cerita. Kan kamu yang harusnya jelasin ke aku tentang orang yang kamu kenali di salah satu foto itu." Wajah Tika merengut. "I-iya, sih. Tapi menurutku lebih adil kalau kamu juga menceritakan kisahmu lebih dulu Tika."
Tika terbelalak melihat bungkusan yang dipeganggnya. Lalu sedetik kemudian wajahnya memucat, diiringi teriakan yang terlontar dari bibirnya."Aaaaaaaaaaa!!!!"Tika menendang jauh bungkusan yang tadi dipegangnya.Ting tong, ting tong,"Aaaaa!" Sekali lagi Tika berteriak. Suara bel apartemen megejutkannya.Meskipun masih terkejut sekaligus takut, Tika memberanikan diri membawa tubuhnya mendekati pintu. Perempuan itu lalu perlahan membuka pintu apartemennya. Rasa lega langsung mengalir ke seluruh pembuluh darahnya melihat Reino berdiri di depan pintu kamarnya."Hai, Tika, selamat pagi," sapa Reino sambil tersenyum manis.Gegas Tika memeluk Reino karena merasa senang dan aman."Hei, ada apa ini, Tik?" tanya Reino kaget dengan perilaku Tika yang tidak biasa."Nggak apa-apa, aku seneng aja, kamu datang. Ayo masuk." Tika mempersilahkan Reino masuk.Reino mengikuti Tika, lalu matanya menangkap bungkusan yang tadi Tika bua