Share

Bab 7

Penulis: IchiOcha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Tika mematut dirinya di cermin lalu berputar sebelum akhirnya tersenyum puas. Dia memuji dirinya sendiri yang terlihat cantik dan manis mengenakan gaun mini berwarna maroon itu. Rambut yang biasanya selalu ia kucir ke atas, kini dibiarkannya tergerai. Lipstik berwarna senada dengan gaunnya dan sepatu berhak tinggi berwarna putih tulang melengkapi penampilannya.

"Ini tidak terlalu berlebihan bukan? Aku hanya pergi makan malam," gumam Tika.

"Apa sebaiknya aku bertanya pada Rose? Tapi, nanti dia heboh," ucap Tika bimbang pada dirinya sendiri.

Ring ring ring ring, suara dering ponsel memutus kebimbangan Tika. Sebuah nomer asing meneleponnya.

"Hallo,"sapa Tika sedikit ragu.

"Hallo, nona Tika, saya Reiden. Saya ada di depan apartemen Nona. Tuan Axel meminta saya menjemput Nona," ucap Reiden sopan.

"Ke-kenapa dijemput, aku bisa naik taksi," Tika kaget karena Axel bahkan menjemputnya.

"Tolong segera turun saja, Nona. Tuan, sudah menunggu," tegas Reiden lalu mematikan telepon. 

Muka Tika bersemu merah, hatinya menghangat menerima kebaikan Axel. Dia bergegas turun. Sepanjang perjalanan menuju tempat Axel berada, Tika dan Reiden hanya diam tanpa bicara. Tika sebenarnya ingin bertanya banyak hal pada Reiden, tapi dia menahan mulutnya. Reiden tampak seperti tidak suka diajak bicara.

"Silahkan turun, Nona. Tuan sudah menunggu di dalam," tutur Reiden setelah mobil yang mereka kendarai tiba di suatu restoran mewah bergaya italia. Lagi-lagi Tika terkesiap, restoran itu adalah restoran teromantis dan termewah di seluruh North Carolina. Itu adalah alasannya pindah ke kota ini, dia ingin menemukan seseorang yang berasal dari kota ini dan makan di restoran ini. Namun, kali ini dia makan bukan dengan pasangannya tetapi dengan krediturnya. Tika tidak tahu harus bahagia atau sedih.

"Nona mari masuk," suara seorang pelayan pria yang menyambutnya membuyarkan pikirannya.

Tika meraih tangan yang terulur padanya lalu berjalan seanggun mungkin.

"Orang kaya memang suka menghamburkan uang, tapi bahkan dia akan menagihkannya padaku nantinya, bukankah ini keterlaluan?" Tika mengomel dalam hati.

Sesosok pria tampan bermata biru yang selalu bermain di pikirannya selama ini sedang berdiri menunggunya. Netra Tika tak lepas memandang sosok itu. Sungguh, andaikan dia tak memiliki harga diri yang tersisa, Tika sudah berlari dan memeluk pria itu. Namun, Tika masih memiliki kewarasannya.

Sementara itu, saat melihat wanita itu mulai memasuki restoran dan berjalan dengan anggun, Axel tidak bisa mengendalikan debaran di jantungnya. Jantung yang telah sekian lama dingin dan mati itu serasa mendapatkan kehangatan dan kehidupan baru. Oleh karenanya, Axel sengaja menunggu wanita itu sambil berdiri, untuk melancarkan peredaran darahnya yang terpompa lebih cepat daripada biasanya.

“Se—selamat malam, Tuan,” sapa Tika saat sudah berada di hadapan Axel.

Axel mengangguk lalu berjalan ke belakang Tika. Tika yang awalnya hendak menggeser sendiri kursi, mengurungkan niat melihat Axel melakukan itu untuknya.“Terima kasih,” bisik Tika. Posisi tubuhnya cukup dekat dengan Axel sampai-sampai dia bisa mencium aroma tubuh lelaki itu. Tika hampir terbius, beruntungnya lelaki itu segera beringsut kembali ke tempat duduknya sendiri.

“Kau cukup cantik malam ini,” Axel memulai pembicaraan.

“Yeah, emm, aku memang selalu cantik,” balas Tika.

“Ternyata kau sangat narsis,” sindir Axel.

“Seperti seseorang,” Tika menahan senyum.

“Baiklah, kau ingin makan apa? Berhubung aku yang membayar makan malam kali ini, aku harap kau tidak terlalu boros,” sambung Tika blak-blakan.

“Kata siapa kau yang membayar?”

“Hah, bukannya kau mengajakku makan malam sebagai bayaran makan siang waktu itu?” Wajah Tika mengernyit.

“Benar, tapi, kan, aku tidak meminta kau membayari makananku. Aku hanya minta kau menemaniku makan,” tutur Axel santai.

Hati Tika melambung, meski Axel mungkin tidak memiliki niat tertentu, Tika cukup senang Axel mengjaknya makan malam.

“Baiklah, jangan sampai berubah pikiran.”

“Aku selalu menepati janjiku.”

“Bagus.” Tika tersenyum lalu menyesap anggur di gelasnya.

“Aku sudah memesankan makanan, aku harap kau suka,” cetus Axel.

Sedetik kemudian, beberapa pelayan datang menyajikan berbagai makanan italia di hadapan mereka. Tika berkali-kali menelan ludah. Dia benar-benar seperti menang lotre.

“Kau sangat murah hati,” puji Tika pada Axel.

“Tentu saja.”

Usai makan, Tika ingin berpamitan pulang. Namun, Axel mencegahnya.

“Ada hal lain yang harus kita lakukan?” Tika bertanya penasaran. Dia sempat memikirkan fantasi kotor dalam kepalanya, tapi nyatanya yang mereka lakukan setelah itu ialah duduk di atap gedung restoran.

“Kenapa kau membawaku kesini?” Tika mulai sedikit khawatir, mereka hanya berdua dan gedung ini cukup tinggi. Namun, Tika segera menghapus pikiran negatifnya.

“Tika, kau sungguh luar biasa,” ejek Axel.

“Maksudmu?”

“Beberapa saat lalu, kau berpikir aku akan mengajakmu tidur bersama, tapi saat ini kau berpikir aku akan membunuhmu. Bukankah, itu luar biasa?”

Ucapan Axel membuat pipi Tika bersemu merah.

“Aku tidak berpikir begitu,” Tika mengelak.

“Benarkah?”

Axel lalu melihat Tika sedang mencoba menghangatkan dirinya. Gaun yang dikenakan Tika tidak memiliki lengan, sedang di atas angin cukup kencang. Tanpa berpikir panjang, Axel mengenakan mantel luarnya pada Tika.

“Aku sungguh tak berpikir begitu,” Tika masih membela diri. “Terima kasih untuk mantelnya,”sambung Tika lagi seraya mengetatkan mantel hangat itu.

“Lalu, apa yang kau pikirkan?” pancing Axel.

“Aku memikirkan alasanmu melakukan ini semua padaku. Kita baru bertemu satu hari, kau adalah penolongku sekaligus bos yang memotong gajiku, tapi kau membuatku menemanimu makan malam di restoran mewah. Itu, tertalu membingungkan buatku.” Kata-kata Tika mengalir bagai air, tidak biasanya dia berbicara sebanyak itu di depan Axel.

“Rupanya sekarang kau mahir berbicara,”goda Axel.

Tika malu, dia merutuk dirinya yang terlalu banyak bicara, “Bukan, begitu.”

“Tidak apa, aku lebih senang melihatmu banyak bicara,”tutur Axel lembut. “Aku ingin mengenalmu lebih jauh, itu alasanku melakukan semua ini,” imbuhnya.

“Kau menggodaku atau ingin mempermainkanku?”

“Aku sungguh ingin mengenalmu. Itu saja,” tegas Axel. Dia tidak menyangka wanita itu bisa berpikir bahwa dia akan mempermainkan wanita.

“Oh, maaf. Aku hanya tak percaya, lelaki tampan dan kaya juga berkuasa ingin mengenalku lebih jauh.”

“Kau tidak seburuk itu, selain dari sifatmu yang sedikit kurang ajar, kau lumayan cantik dan manis,” ungkap Axel.

Sekali lagi, wajah Tika bersemu merah. Axel benar-benar telah menguasai hatinya. Dia merasa melambung hanya dengan mendengar Axel menyebutnya cantik.

“Apa yang ingin kau ketahui?” tanya Tika setelah mereka berdua terdiam sesaat.

“Semua. Bisa kau ceritakan tentang dirimu dan apa yang membawamu kesini,” pinta Axel.

“Umm, itu akan sedikit panjang.”

“Tidak masalah, mereka sudah menyiapkan tempat duduk dan juga camilan. Tunjuk Axel pada tempat dimana kursi dan makanan yang sebelumnya tidak ada sudah bertahta dengan manis.

“Kapan mereka melakukan ini?” Tika heran.

“Saat kau sibuk menghangatkan dirimu,”ujar Axel lalu menggandeng tangan Tika, menariknya menuju tempat kursi dan makanan berada.

“Sekarang, kau bisa mulai bercerita,”usai mereka duduk. Mereka duduk bersila beralaskan permadani lembut.

“Aku seorang yatim piatu,” Tika mulai bercerita. “Aku orang Indonesia dan lahir di Indonesia tapi orang amerika mengadopsiku, aku besar di New York dan hidup bersama keluarga angkatku. Setengah tahun yang lalu mereka meninggal karena kecelakaan. Aku memutuskan pindah untuk memulai hidup baru dan disinilah aku,” Tika mengakhiri ceritanya.

“Tapi namamu sedikit unik, tidak seperti nama orang amerika?”

“Ya. Namaku yang sekarang bukan nama yang diberikan oleh orang tua angkatku. Aku mengubah namaku menjadi nama orang Indonesia setelah kematian orang tuaku. Aku lebih suka nama yang ini,” ungkap Tika.

“Yah, kau melakukan hal yang benar. Namamu yang sekarang indah dan unik,” Axel tersenyum ke arah Tika.

Pembicaraan itu masih berlanjut sampai satu jam lamanya. Axel dan Tika membicarakan berbagai topik pembicaraan yang menyenangkan. Anehnya, apapun topik yang mereka bicarakan, mereka selalu memiliki kesepakatan yang sama. Mereka akhirnya memutuskan pulang saat Tika mulai mengantuk.

Bab terkait

  • Payung Merah   Bab 8

    “Kau tampak menikmati kencanmu, Tuan?” tegur Reiden yang tengah membawa mobil menuju apartemen Axel. Sebelumnya, mereka telah menurunkan Tika di apartemennya. “Panggil saja namaku, Tika sudah tidak ada.” Axel protes. “Oke. Jadi, kau menikmati kencamu?” Reiden berbicara santai. “Aku bukan berkencan, aku sedang mencari informasi,” kelit Axel. 'Sesungguhnya terlalu berlebihan caramu mendapatkan informasi. Bahkan, bila dilakukan pemungutan suara, orang akan condong mengatakan kau sedang berusaha merebut hati seorang gadis,' Reiden mengatakan itu di hatinya. Sedang yang terjadi pada kenyataannya Reiden hanya terkekeh dan menanyakan pertanyaan formal, “Jadi informasi apa yang kau dapat?” “Tika mendapatkan payungnya dari orang tak dikenal. Dia bahkan tidak sempat melihat wajah orang yang memberinya payung. Dia mendapatkannya di stasiun yang berada di dekat kantor. Besok, kau bisa mencari rekaman CCTV yang mengarah ke sana,” jelas Axel.

  • Payung Merah   Bab 9

    Di lain sisi, Axel juga tengah memikirkan Tika. Sejak perbincangan waktu itu, bayangan Tika selalu muncul di pikirannya. Senyumnya, rambut panjangnya yang hitam legam, tubuh mungil namun berisi, juga suaranya. Bahkan malam itu, Axel hampir saja mengajak gadis itu ke kamarnya andai Reiden tidak datang menjemput. 'Sadarlah, Axel. Perasaan semacam itu tidak akan berhasil,' batin Axel menegur. 'Tapi, kalau hanya sekedar tidur, sepertinya tidak apa-apa bukan?' pikiran jahat Axel mulai bersuara. 'Tidak. Aku bukan lelaki seperti itu.' "Axel, kau akan makan siang dimana?" suara Reiden mengembalikan pikirannya yng menerawang. "Dimanapun yang dekat. Aku memiliki banyak pekerjaan." "Ayo, aku tahu tempatnya." Reiden berjalan memimpin Axel. Axel merapikan rambutnya yang sedikit berantakan lalu mengekori Reiden. "Sepertinya nona Tika sedang makan di dalam bersama temannya," ucap Reiden sesampainya mereka ke restoran yang Reiden

  • Payung Merah   Ucapan Terima Kasih dari Penulis Newbie

    Kepada pembacaku, Hai-hai, salam kenal. Aku IchiOcha, penulis baru di pf Goodnovel. Novel Payung Merah ini debut novelku yang pertama lho..... Aku terharu banget, meski baru pertama ada teman-teman yang bersedia memasukkan bukuku di pustakanya. Terima kasih banget. Aku sangat menghargai itu karena aku sempat merasa ingin nyerah. Tapi berkat kalian aku jadi punya semangat lagi. Semoga kalian menyukai tulisanku dan mau memberi masukan agar aku semakin baik ke depannya dan semakin semangat lagi. Oh iya nanti bila ada bab-bab dari ceritaku yang mulai dikunci, aku akan adain give away 100 koin untuk 5 pembacaku. Syaratnya gampang banget, cukup beri masukan untuk bab-bab yang sudah kalian baca dan menshare ceritaku ke sebanyak mungkin pembaca goodnovel. Happy readers... With love, IchiOcha

  • Payung Merah   Bab 10

    "Pak, kenapa kau bersikap seperti itu pada nona Tika?" Reiden melontarkan pertanyaan saat lift mulai merayap naik. "Aku tidak tahu bahwa kau orang yang sangat ingin tahu, Rei," sinis Axel. "Sedikit," Rei tersenyum kaku seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Lagipula, kemarin kau bilang tertarik padanya," imbuh Rei. "Perasaanku tidak penting yang penting aku sudah mendapatkan yang kuperlu, jadi dia tidak lagi berguna untukku," ketus Axel. Reiden menggut-manggut. Reiden tahu, bukan itu alasan Axel yang sesungguhnya. Saat Reiden bersembunyi sementara mengawasi mereka, Reiden dapat menangkap sekelebat tatapan hangat Axel pada Tika. Meski sekelebat, itu sudah cukup bagi Reiden untuk menyimpulkan bahwa Axel memiliki perasaan tertentu untuk Tika bukan sekedar tertarik. Axel sendiri sebenarnya tidak yakin dengan jawaban yang dia berikan pada Reiden. Hatinya sedikit nyeri saat mengatakan bahwa Tika sudah tidak berguna lagi untu

  • Payung Merah   Bab 11

    Hari itu, setelah Axel berkata begitu kejam dan meninggalkan Tika di depan lift, dia berdiri mematung selama beberapa saat. Perkataan Axel dan tatapan dinginnya membuat hati Tika terluka. Dia hampir saja menangis, andai ponselnya tidak berbunyi. Panggilan dari Rose, tapi Tika mengabaikannya. Gegas, Tika mengambil ikat rambut yang selama ini disimpannya dalam tas kerjanya, mengikat rambutnya asal, lalu berlari menuju ruangannya menggunakan tangga darurat. "Tika, sudah berapa kali kamu terlambat?" Suara madam Cleo sama sekali tidak terdengar ramah. Tika tidak langsung menjawab. Napasnya masih tersengal karena menaiki tangga sambil berlari. "Maaf bu." Hanya itu yang mampu Tika katakan. Dia kekurangan oksigen. Madam Cleo yang masih kesal dengan sikap Tika yang tidak disiplin, mengambil setumpuk dokumen dari mejanya lalu memberikannya ke Tika. "Ini! Kamu harus selesaikan hari ini!" Tika terbelalak, pekerjaan itu cukup banyak. Namun, dia tidak

  • Payung Merah   Bab 12

    Lokasi Penambangan Mineral di California "Mark, aku tahu kau tahu dimana Laura," ucap seorang laki-laki bermata biru pada seorang pria berambut keriting. Lawan bicaranya hanya tersenyum simpul, tidak menghiraukan, sibuk dengan berkas-berkas yang ada di depannya. Lelaki bermata biru mulai marah karena diabaikan. Dia beranjak dari tempat duduknya lalu mendekati pria berambut keriting itu. "Jangan pancing emosiku, Mark!" geramnya seraya menarik paksa kerah baju Mark. Bukannya takut, Mark malah tertawa mengejek, "Axel, jangan begitu sombong. Kau tidak lebih baik daripadaku. Hanya satu kata dari Laura, kau akan membusuk di penjara." Penghinaan yang baru saja Axel terima membuat darahnya mendidih, dia memukul Mark dengan keras sampai pria itu terlempar membentur dinding. Mark mengaduh lalu menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya, "Kau pikir, memukulku akan menyelesaikan masalah?" Mark merasa di atas awan. D

  • Payung Merah   Bab 13

    Sampai malam, pesan yang Tika kirim tak kunjung mendapatkan balasan. Meski telah belasan kali dia mengecek ponselnya bahkan memastikan ponselnya terhubung dengan jaringan. "Baiklah, sepertinya sudah tidak ada harapan lagi." Tika menghela napas berat. Hatinya kembali sakit. Dia menyesal menuruti saran Rose. Tak lama kemudian Tika mulai menangis dan mengumpat Axel, "Laki-laki sialan, kenapa kau mempermainkan aku, huh?" "Bagaimana bisa kau memperlakukanku dengan begitu manis, tapi mengabaikanku di kesempatan lain. Apa aku tampak begitu mudah?" cerocos Tika. Air matanya berderai tak tertahan. Sekaleng bir diteguknya habis dalam sekali tarikan napas. Ring ring ring. Sebuah pesan masuk ke ponselnya. Serentak Tika berhenti menangis, dia mengusap air matanya lalu melihat pesan yang masuk. Tika mendesah kecewa, karena pesan yang masuk bukanlah dari Axel melainkan dari agen trip mendaki. Mereka membagikan poster tentang rencana pendakian k

  • Payung Merah   Bab 14

    "Laura, kau semakin cantik," puji seorang lelaki berlesung pipi. Dia memakai pakaian mendaki serta menggendong ransel besar dipunggungnya. Laura tidak menghiraukan. Dia sedang sibuk membetulkan tali sepatunya. Seperti pria itu, Laura juga menggunakan pakaian mendaki. "Kau tidak berubah. Masih begitu dingin," pria kembali bicara. "Dan kau, masihlah playboy yang suka merayu wanita," balas Laura. "Auch, aku tidak seburuk itu," kekehnya. "Sudahlah, kita mulai saja mendaki. Akan aku ceritakan hal yang perlu kau lakukan." Laura memimpin jalan. "Siap," ujar lelaki itu mengikuti langkah Laura. Tiga puluh menit semenjak perjalanan itu dimulai, mereka memutuskan beristirahat. "Mau minum?" tawar si pria pada Laura. Laura mengambil air dari tangan lelaki itu lalu meneguknya. "Kau harus menyamar menjadi karyawan di Meidenbourgh. Awasi Axel dan seorang gadis untukku," ujar Laura. "Untuk Axel, aku mengerti. Tap

Bab terbaru

  • Payung Merah   Bab 40

    Axel memandang ponselnya dengan gusar. Sejak 10 menit yang lalu dia mencoba menghubungi Tika, tapi yang menjawab adalah mesin penjawab otomatis. "Apa yang sedang kamu lakukan, Tika?" geram Axel saat teleponnya yang kesekian kali tidak dijawab juga. Kepala Axel berdenyut, juga inti tubuhnya. Dia teramat merindukan Tika. Axel terus mengingat, malam saat Tika menyerahkan seluruhnya padanya. Axel bahkan tidak pernah bisa tenang bekerja sejak hari itu. Dia menjadi sangat menginginkan wanita itu. Cinta dan nafsu seakan memburunya, tanpa memberinya ruang. Selama ini, dia selalu berhasil menahan perasaan dan nafsunya. Namun, pertahanannya luruh malam itu. Sudah sejak lama dia tidak merasakan perasaan seperti malam itu. Sesuatu yang Axel rindukan sejak kematian Marry, telah Tika berikan bahkan dengan rasa yang lebih dahsyat. Axel yakin, dia tidak akan bisa hidup tanpa Tika. Sayangnya, wanita itu justru mengabaikannya. "Reiden, Reiden!" teriak Axel memanggil asisten sekaligus sekretaris pri

  • Payung Merah   Bab 39

    "Tika, wajahmu tampak berseri-seri hari ini, " celetuk Rose saat melihat Tika datang. "Benarkah?" Tika memegang pipi dengan kedua tangannya sembari tersenyum. "Kalian pasti bersenang-senang ya?" "Hemh," ucap Tika tersipu. "Waw, good job girl!" teriak Rose histeris. "Rose, pelankan suaramu." "Iya, iya, iya. Tapi selamat ya, akhirnya." "Semua berkat kamu, Rose." Tika beringsut mendekati Rose lalu memeluknya. "Wah, ada apa ini dengan dua gadis cantik kita?" celetuk Mike yang baru masuk ruangan bersama Reino. "Tika sedang bahagia, Mike," jawab Rose. Meski tampak biasa, sebenarnya kecanggungan terlihat diantara Reino dan Tika. "Tika, aku mencoba menghubungimu sejak kemarin. Aku mau minta maaf." Reino mencoba mengajak Tika bicara saat mereka bertemu di dapur ruangan. "Tidak apa, Rei, aku sudah memaafkanmu. Bukan sepenuhnya salahmu, aku saja yang terlalu emosional." "Terima kasih, Tik, sudah memaafkanku. Aku janji tidak akan melewati batas." "I see, Rei." Tika tersenyum pada Re

  • Payung Merah   Bab 38

    Tika menautkan kedua pasang tangannya erat sembari berdoa dalam hati. Debaran jantung yang bertalu serta butir keringat halus yang mengalir perlahan di punggungnya menyiratkan ketegangan yang kini tengah membelenggunya. 'Tuhan, semoga aku tidak pingsan saat melihatnya.' Kurang lebih seperti itu doa yang Tika panjatkan demi mengurangi semua ketegangan dan kegugupan. Tika sendiri tidak paham akan perasaannya atau alasan dari semua reaksi tubuhnya. Bertemu seorang Axel bukanlah hal baru, tapi Tika tetap merasa gugup. Saat masih bergulat dengan perasaannya sendiri, seseorang menyapanya. "Tika," sapa sebuah suara. Suara dari orang yang Tika tunggu sejak tadi. "A-ah, iya," gagap Tika. Lelaki itu menarik kursi dan duduk di hadapan Tika. Lucunya, Tika tetap menunduk tanpa berani memandang ke arah lelaki itu. "Kamu tidak mau melihatku, Tika?" tanya lelaki itu. "Ah, ti-dak, bukan begitu." Tika masih gugup. Tautan ditangannya maki

  • Payung Merah   Bab 37

    "Tika, kamu lagi bahagia ya?" tanya Reino penasaran."Eh, Rei, dia tu lagi hepi soalnya pacarnya mau ngajak makan malam.""Oh," ucap Reino datar. Raut mukanya langsung berubah menjadi sedikit masam."Kenapa Rei?" tanya Tika."Nggak apa-apa. Aku cuma bingung aja kamu tiba-tiba baikan sama pacarmu. Bukannya kalian sudah putus, ya?""Hemh, ceritanya panjang Rei. Kami tidak putus, aku hanya menjauh karena suatu masalah. Tapi dia berjanji akan menjelaskan semuanya saat nanti kami bertemu, jadi aku memutuskan untuk berhubungan dengan dia lagi," jelas Tika."Begitu rupanya, syukurlah. Aku turut senang, Tika. Tapi, sebagai temanmu aku berharap kamu tidak langsung percaya seratus persen pada pacarmu. Apalagi pacarmu adalah Axelsis." "Maksudmu? Lalu sejak kapan kau tahu pacarku adalah Axel?""Tidak ada. Hanya saranku, kamu lebih baik tidak langsung mempercayai semua ucapannya dan mengenai kapan aku tahu pacarmu adalah Axel, itu sejak kamu diculik. Malam itu, saat aku mengunjungimu di rumah sak

  • Payung Merah   Bab 36

    Tika memandang ponselnya dengan gamang. Dia masih belum yakin mampu berbicara dengan Axel. Berkali-kali dia membuka nomor kontak lelaki itu lalu menutupnya lagi. "Tika, ada apa dengamu? Bukankah kau sudah putuskan untuk memaki lelaki itu?" umpat Tika pada dirinya sendiri. Tika menghela napas berat. Perlahan dibukanya kembali nomor kontak Axel, lalu secara perlehan dia menekan tombol hijau. Tidak kurang dari satu menit, sebuah suara yang sangat dia rindukan terdengar dari seberang. "Hallo,...." Tiba-tiba air mata mengalir deras dari pelupuk mata Tika, seolah itu sudah ada disana dan menunggu untuk keluar. Lalu tanpa menunggu Axel menyelesaikan ucapannya, Tika menyela, "Ax, apa salahku? Kenapa aku mesti mencintai orang sepertimu? Kenapa aku begitu bodoh?" Tika terisak. Hati Axel sebenarnya ikut sakit mendengar isak tangis Tika. Namun, bila mengingat kembali bahwa Tika pernah mengusirnya, Axel bersikap ketus. "Apa maksudmu, Tika?" ketus Axel. "Aku membencimu, Ax. Aku takut pada

  • Payung Merah   Bab 35

    Tika nampak anggun dengan balutan gaun berwarna merah maron. Sepatu berhak tinggi berwarna putih krem turut mempercantik kaki mungilnya. Wanita itu berjalan dengan riang menghampiri lelaki tampan yang telah menunggu kedatangannya sejak tadi."Kamu cantik sekali malam ini, Sayang," ucap lelaki tampan itu seraya mengulurkan tangan pada Tika.Tika menyambut tangan itu, lalu menggenggamnya erat, "Terima kasih, Ax. Kau juga sangat tampan."Axel dan Tika lalu berjalan masuk ke dalam restoran."Ax, ini tidak seperti yang aku pikirkan bukan?" Raut wajah Tika tampak penasaran melihat tidak ada satupun orang di dalam restoran."Ya, ini seperti dugaanmu. Aku menyewa semua tempat disini. Aku hanya ingin makan romantis berdua denganmu tanpa ada orang lain mengganggu.""Bukankah ini agak berlebihan?""Tidak, tidak. Ini sangat sepadan.""Oh, oke, baiklah. Meski aku berpikir ini sedikit tidak masuk akal.""Tika, please, jangan bahas lag

  • Payung Merah   Bab 34

    "Hai, Rose," sapa Tika ceria begitu wajah Rose tersembul dari balik pintu yang setengah terbuka. Meski sedikit terkejut dengan kedatangan Tika, Rose ikut tersenyum sembari membuka pintu rumahnya sepenuhnya. "Waw, Tika." Mereka berdua berpelukan seolah baru bertemu setelah sekian lama, padahal baru satu hari Tika tidak masuk kantor. "Ayo, ayo masuk Tika. Rei, juga." Rose mempersilahkan Tika dan Reino masuk. "Thanks, Rose," ucap Reino yang mengekor di belakang Tika dan Rose sambil membawa koper milik Tika. "Jadi, kalian mau minum apa?" "Terima kasih, Rose, aku memang sangat haus, apa saja yang segar boleh," jawab Reino. "Tika?" "Tidak ada, aku tidak haus. Nanti akan aku ambil sendiri bila butuh." "Oke." Rose lalu sibuk mengambil beberapa botol minuman dingin dari dalam lemari es, juga mengambil tiga buah gelas. "Rose, aku bilang kan kau tidak perlu repot." "Oh, ayolah Tika, ini tidak repot sama sekali. Hanya minuman dingin instan." "Baiklah, Rose, tempat sandaranku, aku minum

  • Payung Merah   Bab 33

    "Gimana? Udah merasa baikan setelah makan?" tanya Reino pada Tika usai mereka menyelesaikan makan. "Yah, aku merasa lebih bertenaga juga lebih penasaran." "Astaga, Tika. Aku pasti akan menceritakannya. Tapi, sebelum itu, aku penasaran apa yang terjadi sampai kamu diteror seperti ini?" "Ah, itu, mungkin karena aku terlalu baik hati." "Ayolah Tika, ini bukan hal yang bisa dijadikan lelucon. Kamu kemarin diculik dan sekarang diteror. Itu semua kejadian yang mengerikan bahkan untukku yang seorang lelaki. Apalgi buat kamu." Nada suara Reino terdengar frustasi sekaligus khawatir. "Rei, aku masih baik-baik saja sampai saat ini. Kamu tidak perlu begitu khawatir. Aku sedang sial saja." "Oke, oke, tapi bisa kan kamu ceritakan, foto-foto itu?" "Ih, kok, jadi aku yang mesti cerita. Kan kamu yang harusnya jelasin ke aku tentang orang yang kamu kenali di salah satu foto itu." Wajah Tika merengut. "I-iya, sih. Tapi menurutku lebih adil kalau kamu juga menceritakan kisahmu lebih dulu Tika."

  • Payung Merah   Bab 32

    Tika terbelalak melihat bungkusan yang dipeganggnya. Lalu sedetik kemudian wajahnya memucat, diiringi teriakan yang terlontar dari bibirnya."Aaaaaaaaaaa!!!!"Tika menendang jauh bungkusan yang tadi dipegangnya.Ting tong, ting tong,"Aaaaa!" Sekali lagi Tika berteriak. Suara bel apartemen megejutkannya.Meskipun masih terkejut sekaligus takut, Tika memberanikan diri membawa tubuhnya mendekati pintu. Perempuan itu lalu perlahan membuka pintu apartemennya. Rasa lega langsung mengalir ke seluruh pembuluh darahnya melihat Reino berdiri di depan pintu kamarnya."Hai, Tika, selamat pagi," sapa Reino sambil tersenyum manis.Gegas Tika memeluk Reino karena merasa senang dan aman."Hei, ada apa ini, Tik?" tanya Reino kaget dengan perilaku Tika yang tidak biasa."Nggak apa-apa, aku seneng aja, kamu datang. Ayo masuk." Tika mempersilahkan Reino masuk.Reino mengikuti Tika, lalu matanya menangkap bungkusan yang tadi Tika bua

DMCA.com Protection Status