Waktu tepat menunjukkan pukul satu siang saat Tika menyelesaikan laporan. Perut yang sejak tadi pagi belum terisi mulai menunjukkan protes.
Perih yang terasa melilit sekaligus keringat dingin membuat Tika berlari secepatnya menuju kafetaria menembus rinai hujan. 'Untung ada payung ini,' batinnya.
"Zeza, aku pesan paket 1 plus susu Milo. Cepat ya. Aku kelaparan," ucap Tika setelah sampai di kafetaria.
Pelayan bernama Zeza mengangguk sembari tersenyum. Namun, sesaat kemudian tatapan mata Zeza melewati Tika. Seruan kagum terlontar dari mulutnya, persis seperti seorang yang baru saja melihat artis idolanya.
"Zez, hai. Aku minta cepat. Kenapa kamu malah tersipu?" Tika mulai tidak sabar. Namun, Zeza tidak menanggapi.
Tika semakin yakin seseorang yang baru saja masuk sudah membuat Zeza seperti ini. Namun, Tika masa bodoh. Dia lebih peduli dengan perutnya.
Akhirnya dia mengulurkan tangannya menyentuh pundak Zeza, "Zez, aku minta pesananku. Aku lapar. Kamu bisa melanjutkan kegiatanmu setelah melayaniku!" Nada suara Tika agak tinggi.
"Ma--af, tunggu sebentar," jawab Zeza terbata lalu berbalik dengan berat hati.
Sambil menunggu pesanan, Tika berniat menegur sosok yang telah membuat perhatian Zeza teralihkan.
Tepat ketika berbalik, dahi Tika terbentur dada bidang seseorang, "Aw."
Tika mengelus dahinya lalu mendongak. Netranya langsung bertemu sepasang iris berwarna biru. Sontak, mata Tika membulat sempurna.
"Ka--u yang baru masuk tadi?" tanya Tika tergagap. Dia tidak menyangka orang yang ingin dia tegur tepat berada di belakangnya.
Lelaki itu tidak menjawab. Dia sebenarnya terkejut saat kepala wanita itu menabrak dadanya. Lebih lagi, saat kedua bola mata berwarna hitam itu menatapnya. Namun, dia memilih diam dan mengabaikan Tika.
Tika yang merasa diabaikan menjadi kesal. Dia mendengus, "Mentang-mentang tampan, kau sombong sekali. Asal tahu saja, wajah tampan tidak membuatmu berhak menghalangi aku makan siang."
Puas mengatakan unek-uneknya, Tika berbalik, hendak mengambil pesanan makan siangnya.
Sementara itu, lelaki yang ditegurnya merasa heran. Dia tidak menyangka seorang wanita yang baru saja bertemu berani menegurnya alasan yang tidak jelas. Rasanya dia ingin membalas wanita kurang ajar itu.
"Hah, apa? Masa, sih, enggak bisa?" Nada suara wanita yang tadi menegurnya terdengar cemas.
"Zez, ayolah. Aku sangat lapar sekarang, bisakah kamu membiarkan aku makan dulu. Besok aku akan membayarnya," suara wanita itu memelas.
"Maaf, nggak bisa Tika. Aturannya harus bayar dulu, baru makan," ucap pelayan yang dipanggil Zeza.
'Rupanya namanya Tika,' ujar lelaki itu tanpa suara.
Sejenak, lelaki itu mengamati Tika dari belakang.
'Dia lumayan cantik, badannya mungil tapi seksi. Sedikit mirip Marie, tapi sifatnya sangat buruk. Astaga, aku pasti sudah gila. Bagaimana bisa aku berpikir bahwa dia mirip Marie,' batin lelaki itu.
Tika, wanita itu berbalik dengan wajah pucat dan lesu. Keringat menghiasi wajah cantiknya. Dia berjalan terhuyung menuju ke arahnya.
"Tuan tampan, bisa tolong aku?" lirih Tika dengan wajah memelas. Dia menyingkirkan semua harga dirinya. Saat ini yang dia pikirkan adalah mencari bantuan agar dia bisa makan siang.
Tika mengutuk dirinya yang ceroboh. Terlalu terburu-buru membuatnya lupa membawa uang dan ponsel, hanya dompet berisi kartu identitas, kartu kereta, kartu pegawai, dan kartu kredit yang sudah mencapai limitnya.
Dahi pria yang Tika panggil tampan mengkerut, "Kau, luar biasa," lalu menepis tangan Tika.
"Ayolah, Tuan. Aku minta maaf atas sikapku tadi, tapi, aku sungguh butuh pertolongan."
Tika memegang perutnya yang semakin terasa melilit. Matanya mulai buram. Keseimbangannya hilang, dia hampir terjatuh. Beruntungnya, tangan kokoh lelaki tampan itu menopangnya.
Saat tangan itu melingkar di pinggangnya, Tika merasakan sengatan listrik di seluruh tubuhnya. Wajahnya yang pucat sedikit merona.
"Baiklah, aku akan membayar pesananmu," ucap lelaki itu akhirnya. Dia iba melihat kondisi Tika. Gadis itu seperti akan mati.
"Terima kasih," tutur Tika tulus. Wajahnya dipenuhi dengan senyuman.
Sekalipun setelah itu, Tika justru makan dengan canggung. Lelaki tampan itu kini duduk di depannya. Tika tidak memahami alasannya, tapi tidak berani bertanya.
"Na--ma Tuan siapa?" tanya Tika ragu-ragu, usai menghabiskan makanannya demi membunuh kecanggungan.
"Untuk apa kau perlu tahu namaku?" Dingin suara lelaki itu terdengar.
"Aku ingin mengembalikan uang yang kupinjam."
"Tidak perlu," ucap lelaki itu seraya mengecek waktu di jam tangannya.
"Tapi, aku tidak mau berhutang," tegas Tika.
"Tidak apa. Anggap saja kau sedang beruntung," balas lelaki itu seraya beranjak ke luar kafetaria.
"Aku tidak mau begitu, beri aku kartu namamu," paksa Tika lagi setelah dia berhasil menyusul lelaki itu.
"Aku lihat kau tidak membawa payung, bisa beritahu aku dimana kantormu? Kalau dekat, akan kuhantar. Kebetulan aku membawa payung," tawar Tika sembari menunjukkan payung merah yang tadi diambilnya dari tempat penitipan payung milik kafetaria.
Mata lelaki itu membulat demi melihat payung yang Tika bawa. Gegas ia mengeluarkan kartu namanya, "Ini kartu namaku."
"Akhirnya, kau berubah pikiran," cetus Tika. Sebenarnya dia sedikit kaget, tak menyangka lelaki itu berubah secepat itu. Pasti dia telah melihat ketulusannya saat menawari payung.
"Akan aku hubungi," imbuh Tika seraya memasukkan kartu nama itu ke saku bajunya.
Setelahnya, sebuah mobil BMW seri 7 menjemput lelaki itu. Tika sempat terpana melihat kedatangan mobil mewah itu. Matanya tak lepas memandang mobil mewah itu, bahkan setelah mobil itu tidak tampak lagi.
"Ah, ternyata aku baru saja bertemu pria tampan nan kaya raya," soraknya dalam hati.
***
"Siapa wanita itu?" selidik lelaki pengendara mobil BMW pada penumpangnya.
"Bukan siapa-siapa, hanya wanita aneh yang kurang ajar," jawabnya sembari memejamkan mata. Efek kopi yang dia minum ternyata tidak mempan. Dia masih merasa lelah dan mengantuk.
"Ayolah, Axel! Kamu sampai memberikan kartu namamu," desak si sopir lagi.
"Astaga, Reiden! Kau sangat ingin tahu," Axel merasa jengah.
"Maaf. Aku pasti melewati batas," sesal Reiden.
"Dia memiliki hutang padaku," ungkap Axel akhirnya. Dia merasa tidak enak membuat Reiden kecewa. Sekalipun Reiden adalah asistennya, bagi Axel, Reiden sudah seperti saudara kandungnya.
"Waw, hubungan yang aneh. Tapi, sejak kapan kau menjadi rentenir?" Reiden terkekeh.
"Bukan karna uang aku memberinya kartu nama, dia membawa payung merah," beber Axel.
Reiden masih terkekeh, "Apakah semua gadis yang membawa payung merah akan kau beri kartu nama?"
Axel menangkap nada sindiran dalam nada suara Reiden, "Bukan payung merah biasa, itu payung merah milik kita."
Reiden terkesiap, "Kau serius?"
Axel tak menjawab, tapi raut mukanya yang tegas telah membuat Reiden paham.
"Baik, aku akan cari tahu," tutur Reiden seolah mengerti keinginan atasan sekaligus orang terdekatnya itu.
Sementara itu, pikiran Axel memutar kembali kejadian di kafetaria. Axel masih ingat jelas sikap kikuk Tika saat duduk di hadapannya. Bukan tanpa alasan Axel melakukannya. Dia ingin mengamati wajah Tika dengan seksama.
Jujur saja, semakin lama dia melihat Tika, dia seperti melihat Marie. Axel merasa bahagia sekaligus kesal. Kenapa harus wanita aneh itu? Lebih lagi, wanita itu membawa payung merah. Lelah dengan pikirannya sendiri, Axel tertidur.
Reiden melirik dari kaca spion lalu tersenyum pahit, "Maafkan aku, Axel."
Tubuh atletis dengan wajah tampan serta mata yang memikat terus-menerus tergambar di pikiran Tika. Berbagai fantasi romantis melanda sekembalinya dia dari kafetaria. Senyum tak pernah lepas dari wajah ayunya. "Tika, apa yang salah? Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" tanya Rose curiga. Sejak tadi Tika terlihat melamun lalu tersenyum dan sesekali menghela napas. Rose khawatir Tika menjadi gila karena hukuman yang diberikan Madam Cleo. "A--ah, tidak ada Rose. Aku baik-baik saja. Aku sedang senang. Itu saja," gagap Tika menjawab pertanyaan Rose. Dia seperti sedang ketahuan. Rose makin bingung, dia tak habis pikir Tika masih bisa senang setelah mendapat hukuman. Rose yakin ada yang tidak normal dengan Tika, "Kamu serius baik-baik saja? Aku pikir mendapat hukuman bukanlah alasan untuk senang?" "Hemh, kamu tidak sepenuhnya salah. Aku sedikit bersyukur karena aku dihukum hari ini," ucap Tika ceria. "Astaga, Tika. Kamu sudah gila." Rose menggelengkan
Seorang lelaki tengah menikmati secangkir kopi di tangannya sembari menikmati langit senja kota North Carolina. Tak luput, sebatang rokok bermerk mahal terselip di sela bibirnya yang berisi. Asap putih yang mengepul dari ujung rokok menambah pesonanya, meski tak ada sedikitpun garis keramahan pada wadahnya. "Aku tidak tahu kau suka senja?" sela sebuah suara yang baru saja datang dan duduk di hadapan lelaki itu. Lelaki itu tidak menjawab dan hanya mengendikkan bahunya. "Tapi, aku akui, senja di North Carolina adalah yang terbaik. Apalagi bila melihatnya dari apartemenmu ini," lelaki yang baru datang itu kembali berucap. "Yah, kamu benar." Akhirnya pria yang merokok bersuara. "Oh, ya, Axel, apakah wanita itu belum menghubungimu?" Nada suaranya terdengar sedikit khawatir. Pasalnya, Axel terlihat kesal sejak kemarin. Sudah dua hari sejak Axel memberikan kartu namanya, tapi wanita itu tak kunjung menghubungi. "Ada apa dengan s
"Madam, kenapa gaji saya dipotong? Apa salah saya?" tanya Tika frustrasi. Dia sekuat tenaga menahan suaranya agar tidak terdengar membentak. Meski ingin sekali dia memaki."Saya tidak tahu, itu keputusan atasan, saya bahkan baru diberitahu tadi pagi. Sejam sebelum kamu diberitahu," Madam Cleo membela diri.Tika semakin merasa frustasi. Gaji yang selama ini dia terima saja hanya menyisakan sedikit untuk ditabung, tetapi ini justrus dipotong. Bagaimana nasibnya nanti?"Madam, madam tahu saya selalu mengerjakan pekerjaan dengan baik, tidak kalah dari rekan kerja yang lain, tapi kenapa hanya saya yang diperlakukan begini." Suara Tika mulai serak, mendung mulai bergelayut di matanya."Tika, sudah bilang, saya juga tidak tahu kenapa gajimu dipotong. Ini perintah dari CEO langsung. Tadi, saya sudah berusaha membujuk pihak keuangan, tapi mereka juga tidak punya pilihan," ungkap Madam Cleo.Tika terkesiap mendengar penjelasan Madam Cleo. Namun, Tika tahu ma
"Rose, sekarang aku tahu alasan pemotongan gajiku," ucap Tika menggebu usai teleponnya tersambung dengan Rose."Tika, kau bahkan tak menyapa lebih dulu. Jadi, apa alasannya?" Rose ikut antusias."Itu karena CEO baru itu," tukas Tika."Astaga, Tika. Hal itu sudah kita tahu dari kemarin," Rose mulai gemas. Seandainya berada di sampingnya, Rose ingin menepuk kepala gadis itu."Oh ya, maksudku karena CEO baru itu adalah orang yang membayariku makan siang beberapa hari yang lalu," Tika menjelaskan."What, suatu kebetulan yang aneh. Tapi apa kenapa dia mengurangi gajimu dan bagaimana dia bisa membayar makan siangmu," Rose bertanya kebingungan.Tika menepuk dahinya, dia lupa belum menceritakan pada Rose soal pertemuannya dengan si CEO, tuan tampan yang membayar makan siangnya sekaligus memotong gajinya."Baiklah, dengarkan, Rose. Akan aku ceritakan," ucap Tika. Tika menceritakan pertemuannya dengan CEO tampan itu dan bagaimana dia mend
Tika mematut dirinya di cermin lalu berputar sebelum akhirnya tersenyum puas. Dia memuji dirinya sendiri yang terlihat cantik dan manis mengenakan gaun mini berwarna maroon itu. Rambut yang biasanya selalu ia kucir ke atas, kini dibiarkannya tergerai. Lipstik berwarna senada dengan gaunnya dan sepatu berhak tinggi berwarna putih tulang melengkapi penampilannya."Ini tidak terlalu berlebihan bukan? Aku hanya pergi makan malam," gumam Tika."Apa sebaiknya aku bertanya pada Rose? Tapi, nanti dia heboh," ucap Tika bimbang pada dirinya sendiri.Ring ring ring ring, suara dering ponsel memutus kebimbangan Tika. Sebuah nomer asing meneleponnya."Hallo,"sapa Tika sedikit ragu."Hallo, nona Tika, saya Reiden. Saya ada di depan apartemen Nona. Tuan Axel meminta saya menjemput Nona," ucap Reiden sopan."Ke-kenapa dijemput, aku bisa naik taksi," Tika kaget karena Axel bahkan menjemputnya."Tolong segera turun saja, Nona. Tuan, s
“Kau tampak menikmati kencanmu, Tuan?” tegur Reiden yang tengah membawa mobil menuju apartemen Axel. Sebelumnya, mereka telah menurunkan Tika di apartemennya. “Panggil saja namaku, Tika sudah tidak ada.” Axel protes. “Oke. Jadi, kau menikmati kencamu?” Reiden berbicara santai. “Aku bukan berkencan, aku sedang mencari informasi,” kelit Axel. 'Sesungguhnya terlalu berlebihan caramu mendapatkan informasi. Bahkan, bila dilakukan pemungutan suara, orang akan condong mengatakan kau sedang berusaha merebut hati seorang gadis,' Reiden mengatakan itu di hatinya. Sedang yang terjadi pada kenyataannya Reiden hanya terkekeh dan menanyakan pertanyaan formal, “Jadi informasi apa yang kau dapat?” “Tika mendapatkan payungnya dari orang tak dikenal. Dia bahkan tidak sempat melihat wajah orang yang memberinya payung. Dia mendapatkannya di stasiun yang berada di dekat kantor. Besok, kau bisa mencari rekaman CCTV yang mengarah ke sana,” jelas Axel.
Di lain sisi, Axel juga tengah memikirkan Tika. Sejak perbincangan waktu itu, bayangan Tika selalu muncul di pikirannya. Senyumnya, rambut panjangnya yang hitam legam, tubuh mungil namun berisi, juga suaranya. Bahkan malam itu, Axel hampir saja mengajak gadis itu ke kamarnya andai Reiden tidak datang menjemput. 'Sadarlah, Axel. Perasaan semacam itu tidak akan berhasil,' batin Axel menegur. 'Tapi, kalau hanya sekedar tidur, sepertinya tidak apa-apa bukan?' pikiran jahat Axel mulai bersuara. 'Tidak. Aku bukan lelaki seperti itu.' "Axel, kau akan makan siang dimana?" suara Reiden mengembalikan pikirannya yng menerawang. "Dimanapun yang dekat. Aku memiliki banyak pekerjaan." "Ayo, aku tahu tempatnya." Reiden berjalan memimpin Axel. Axel merapikan rambutnya yang sedikit berantakan lalu mengekori Reiden. "Sepertinya nona Tika sedang makan di dalam bersama temannya," ucap Reiden sesampainya mereka ke restoran yang Reiden
Kepada pembacaku, Hai-hai, salam kenal. Aku IchiOcha, penulis baru di pf Goodnovel. Novel Payung Merah ini debut novelku yang pertama lho..... Aku terharu banget, meski baru pertama ada teman-teman yang bersedia memasukkan bukuku di pustakanya. Terima kasih banget. Aku sangat menghargai itu karena aku sempat merasa ingin nyerah. Tapi berkat kalian aku jadi punya semangat lagi. Semoga kalian menyukai tulisanku dan mau memberi masukan agar aku semakin baik ke depannya dan semakin semangat lagi. Oh iya nanti bila ada bab-bab dari ceritaku yang mulai dikunci, aku akan adain give away 100 koin untuk 5 pembacaku. Syaratnya gampang banget, cukup beri masukan untuk bab-bab yang sudah kalian baca dan menshare ceritaku ke sebanyak mungkin pembaca goodnovel. Happy readers... With love, IchiOcha
Axel memandang ponselnya dengan gusar. Sejak 10 menit yang lalu dia mencoba menghubungi Tika, tapi yang menjawab adalah mesin penjawab otomatis. "Apa yang sedang kamu lakukan, Tika?" geram Axel saat teleponnya yang kesekian kali tidak dijawab juga. Kepala Axel berdenyut, juga inti tubuhnya. Dia teramat merindukan Tika. Axel terus mengingat, malam saat Tika menyerahkan seluruhnya padanya. Axel bahkan tidak pernah bisa tenang bekerja sejak hari itu. Dia menjadi sangat menginginkan wanita itu. Cinta dan nafsu seakan memburunya, tanpa memberinya ruang. Selama ini, dia selalu berhasil menahan perasaan dan nafsunya. Namun, pertahanannya luruh malam itu. Sudah sejak lama dia tidak merasakan perasaan seperti malam itu. Sesuatu yang Axel rindukan sejak kematian Marry, telah Tika berikan bahkan dengan rasa yang lebih dahsyat. Axel yakin, dia tidak akan bisa hidup tanpa Tika. Sayangnya, wanita itu justru mengabaikannya. "Reiden, Reiden!" teriak Axel memanggil asisten sekaligus sekretaris pri
"Tika, wajahmu tampak berseri-seri hari ini, " celetuk Rose saat melihat Tika datang. "Benarkah?" Tika memegang pipi dengan kedua tangannya sembari tersenyum. "Kalian pasti bersenang-senang ya?" "Hemh," ucap Tika tersipu. "Waw, good job girl!" teriak Rose histeris. "Rose, pelankan suaramu." "Iya, iya, iya. Tapi selamat ya, akhirnya." "Semua berkat kamu, Rose." Tika beringsut mendekati Rose lalu memeluknya. "Wah, ada apa ini dengan dua gadis cantik kita?" celetuk Mike yang baru masuk ruangan bersama Reino. "Tika sedang bahagia, Mike," jawab Rose. Meski tampak biasa, sebenarnya kecanggungan terlihat diantara Reino dan Tika. "Tika, aku mencoba menghubungimu sejak kemarin. Aku mau minta maaf." Reino mencoba mengajak Tika bicara saat mereka bertemu di dapur ruangan. "Tidak apa, Rei, aku sudah memaafkanmu. Bukan sepenuhnya salahmu, aku saja yang terlalu emosional." "Terima kasih, Tik, sudah memaafkanku. Aku janji tidak akan melewati batas." "I see, Rei." Tika tersenyum pada Re
Tika menautkan kedua pasang tangannya erat sembari berdoa dalam hati. Debaran jantung yang bertalu serta butir keringat halus yang mengalir perlahan di punggungnya menyiratkan ketegangan yang kini tengah membelenggunya. 'Tuhan, semoga aku tidak pingsan saat melihatnya.' Kurang lebih seperti itu doa yang Tika panjatkan demi mengurangi semua ketegangan dan kegugupan. Tika sendiri tidak paham akan perasaannya atau alasan dari semua reaksi tubuhnya. Bertemu seorang Axel bukanlah hal baru, tapi Tika tetap merasa gugup. Saat masih bergulat dengan perasaannya sendiri, seseorang menyapanya. "Tika," sapa sebuah suara. Suara dari orang yang Tika tunggu sejak tadi. "A-ah, iya," gagap Tika. Lelaki itu menarik kursi dan duduk di hadapan Tika. Lucunya, Tika tetap menunduk tanpa berani memandang ke arah lelaki itu. "Kamu tidak mau melihatku, Tika?" tanya lelaki itu. "Ah, ti-dak, bukan begitu." Tika masih gugup. Tautan ditangannya maki
"Tika, kamu lagi bahagia ya?" tanya Reino penasaran."Eh, Rei, dia tu lagi hepi soalnya pacarnya mau ngajak makan malam.""Oh," ucap Reino datar. Raut mukanya langsung berubah menjadi sedikit masam."Kenapa Rei?" tanya Tika."Nggak apa-apa. Aku cuma bingung aja kamu tiba-tiba baikan sama pacarmu. Bukannya kalian sudah putus, ya?""Hemh, ceritanya panjang Rei. Kami tidak putus, aku hanya menjauh karena suatu masalah. Tapi dia berjanji akan menjelaskan semuanya saat nanti kami bertemu, jadi aku memutuskan untuk berhubungan dengan dia lagi," jelas Tika."Begitu rupanya, syukurlah. Aku turut senang, Tika. Tapi, sebagai temanmu aku berharap kamu tidak langsung percaya seratus persen pada pacarmu. Apalagi pacarmu adalah Axelsis." "Maksudmu? Lalu sejak kapan kau tahu pacarku adalah Axel?""Tidak ada. Hanya saranku, kamu lebih baik tidak langsung mempercayai semua ucapannya dan mengenai kapan aku tahu pacarmu adalah Axel, itu sejak kamu diculik. Malam itu, saat aku mengunjungimu di rumah sak
Tika memandang ponselnya dengan gamang. Dia masih belum yakin mampu berbicara dengan Axel. Berkali-kali dia membuka nomor kontak lelaki itu lalu menutupnya lagi. "Tika, ada apa dengamu? Bukankah kau sudah putuskan untuk memaki lelaki itu?" umpat Tika pada dirinya sendiri. Tika menghela napas berat. Perlahan dibukanya kembali nomor kontak Axel, lalu secara perlehan dia menekan tombol hijau. Tidak kurang dari satu menit, sebuah suara yang sangat dia rindukan terdengar dari seberang. "Hallo,...." Tiba-tiba air mata mengalir deras dari pelupuk mata Tika, seolah itu sudah ada disana dan menunggu untuk keluar. Lalu tanpa menunggu Axel menyelesaikan ucapannya, Tika menyela, "Ax, apa salahku? Kenapa aku mesti mencintai orang sepertimu? Kenapa aku begitu bodoh?" Tika terisak. Hati Axel sebenarnya ikut sakit mendengar isak tangis Tika. Namun, bila mengingat kembali bahwa Tika pernah mengusirnya, Axel bersikap ketus. "Apa maksudmu, Tika?" ketus Axel. "Aku membencimu, Ax. Aku takut pada
Tika nampak anggun dengan balutan gaun berwarna merah maron. Sepatu berhak tinggi berwarna putih krem turut mempercantik kaki mungilnya. Wanita itu berjalan dengan riang menghampiri lelaki tampan yang telah menunggu kedatangannya sejak tadi."Kamu cantik sekali malam ini, Sayang," ucap lelaki tampan itu seraya mengulurkan tangan pada Tika.Tika menyambut tangan itu, lalu menggenggamnya erat, "Terima kasih, Ax. Kau juga sangat tampan."Axel dan Tika lalu berjalan masuk ke dalam restoran."Ax, ini tidak seperti yang aku pikirkan bukan?" Raut wajah Tika tampak penasaran melihat tidak ada satupun orang di dalam restoran."Ya, ini seperti dugaanmu. Aku menyewa semua tempat disini. Aku hanya ingin makan romantis berdua denganmu tanpa ada orang lain mengganggu.""Bukankah ini agak berlebihan?""Tidak, tidak. Ini sangat sepadan.""Oh, oke, baiklah. Meski aku berpikir ini sedikit tidak masuk akal.""Tika, please, jangan bahas lag
"Hai, Rose," sapa Tika ceria begitu wajah Rose tersembul dari balik pintu yang setengah terbuka. Meski sedikit terkejut dengan kedatangan Tika, Rose ikut tersenyum sembari membuka pintu rumahnya sepenuhnya. "Waw, Tika." Mereka berdua berpelukan seolah baru bertemu setelah sekian lama, padahal baru satu hari Tika tidak masuk kantor. "Ayo, ayo masuk Tika. Rei, juga." Rose mempersilahkan Tika dan Reino masuk. "Thanks, Rose," ucap Reino yang mengekor di belakang Tika dan Rose sambil membawa koper milik Tika. "Jadi, kalian mau minum apa?" "Terima kasih, Rose, aku memang sangat haus, apa saja yang segar boleh," jawab Reino. "Tika?" "Tidak ada, aku tidak haus. Nanti akan aku ambil sendiri bila butuh." "Oke." Rose lalu sibuk mengambil beberapa botol minuman dingin dari dalam lemari es, juga mengambil tiga buah gelas. "Rose, aku bilang kan kau tidak perlu repot." "Oh, ayolah Tika, ini tidak repot sama sekali. Hanya minuman dingin instan." "Baiklah, Rose, tempat sandaranku, aku minum
"Gimana? Udah merasa baikan setelah makan?" tanya Reino pada Tika usai mereka menyelesaikan makan. "Yah, aku merasa lebih bertenaga juga lebih penasaran." "Astaga, Tika. Aku pasti akan menceritakannya. Tapi, sebelum itu, aku penasaran apa yang terjadi sampai kamu diteror seperti ini?" "Ah, itu, mungkin karena aku terlalu baik hati." "Ayolah Tika, ini bukan hal yang bisa dijadikan lelucon. Kamu kemarin diculik dan sekarang diteror. Itu semua kejadian yang mengerikan bahkan untukku yang seorang lelaki. Apalgi buat kamu." Nada suara Reino terdengar frustasi sekaligus khawatir. "Rei, aku masih baik-baik saja sampai saat ini. Kamu tidak perlu begitu khawatir. Aku sedang sial saja." "Oke, oke, tapi bisa kan kamu ceritakan, foto-foto itu?" "Ih, kok, jadi aku yang mesti cerita. Kan kamu yang harusnya jelasin ke aku tentang orang yang kamu kenali di salah satu foto itu." Wajah Tika merengut. "I-iya, sih. Tapi menurutku lebih adil kalau kamu juga menceritakan kisahmu lebih dulu Tika."
Tika terbelalak melihat bungkusan yang dipeganggnya. Lalu sedetik kemudian wajahnya memucat, diiringi teriakan yang terlontar dari bibirnya."Aaaaaaaaaaa!!!!"Tika menendang jauh bungkusan yang tadi dipegangnya.Ting tong, ting tong,"Aaaaa!" Sekali lagi Tika berteriak. Suara bel apartemen megejutkannya.Meskipun masih terkejut sekaligus takut, Tika memberanikan diri membawa tubuhnya mendekati pintu. Perempuan itu lalu perlahan membuka pintu apartemennya. Rasa lega langsung mengalir ke seluruh pembuluh darahnya melihat Reino berdiri di depan pintu kamarnya."Hai, Tika, selamat pagi," sapa Reino sambil tersenyum manis.Gegas Tika memeluk Reino karena merasa senang dan aman."Hei, ada apa ini, Tik?" tanya Reino kaget dengan perilaku Tika yang tidak biasa."Nggak apa-apa, aku seneng aja, kamu datang. Ayo masuk." Tika mempersilahkan Reino masuk.Reino mengikuti Tika, lalu matanya menangkap bungkusan yang tadi Tika bua