Tubuh atletis dengan wajah tampan serta mata yang memikat terus-menerus tergambar di pikiran Tika. Berbagai fantasi romantis melanda sekembalinya dia dari kafetaria. Senyum tak pernah lepas dari wajah ayunya.
"Tika, apa yang salah? Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" tanya Rose curiga. Sejak tadi Tika terlihat melamun lalu tersenyum dan sesekali menghela napas. Rose khawatir Tika menjadi gila karena hukuman yang diberikan Madam Cleo.
"A--ah, tidak ada Rose. Aku baik-baik saja. Aku sedang senang. Itu saja," gagap Tika menjawab pertanyaan Rose. Dia seperti sedang ketahuan.
Rose makin bingung, dia tak habis pikir Tika masih bisa senang setelah mendapat hukuman. Rose yakin ada yang tidak normal dengan Tika, "Kamu serius baik-baik saja? Aku pikir mendapat hukuman bukanlah alasan untuk senang?"
"Hemh, kamu tidak sepenuhnya salah. Aku sedikit bersyukur karena aku dihukum hari ini," ucap Tika ceria.
"Astaga, Tika. Kamu sudah gila." Rose menggelengkan kepalanya.
"Kamu benar, Rose. Aku sudah gila." Kali ini Tika bahkan tertawa. Dia melihat dengan jelas perubahan muka Rose yang keheranan sekaligus penasaran.
"Ayolah, Tika. Sekarang, aku benar-benar khawatir padamu." Rose menempelkan tangannya pada dahi Tika.
"Rose. Aku sudah bilang aku baik-baik saja. Aku sedang senang saja. Bisakah kamu nggak bertanya lebih lanjut alasannya," pinta Tika lembut, "aku janji akan menceritakan padamu nanti," imbuhnya.
"Oke baiklah," gumam Rose mengalah.
Dia lalu kembali ke tempat duduknya. Namun, dia berbalik lagi, masih memandang Tika khawatir.
"Oh, ayolah Rose. I'm fine baby," tegas Tika yang dibalas anggukan oleh Rose.
Baru saja Rose duduk di kursinya, suara Madam Cleo terdengar menegur, "Ladies, rupanya kalian punya waktu untuk saling mengkhawatirkan ya?"
"Maaf, Madam," Rose dan Tika berkata bersamaan.
Madam Cleo mengangkat tangannya, menginstruksikan kepada Rose dan Tika untuk diam.
"Saya sedang tidak ingin mendengar alasan apa pun. Tolong bekerja secara profesional. Saya tidak ingin memiliki kinerja yang memalukan. Kalian pasti sudah tahu bukan? Besok, CEO baru perusahaan kita akan datang dan dari yang saya dengar beliau adalah orang yang sangat perfeksionis. Jadi, tolong jangan membuang waktu anda untuk hal yang tidak perlu," papar Madam Cleo panjang lebar.
"Baik, Madam," serentak seluruh staf di ruangan itu termasuk Tika dan Rose menjawab.
Selepas Madam Cleo pergi, Tika melirik ke arah Rose.
"Buka ponselmu," Tika meminta tanpa suara.
[Siapa CEO baru itu?], tulis Tika pada aplikasi pesan.
Rose membacanya, lalu terkekeh. [Kau penasaran?]
[Tentu saja, aku ingin tahu siapa orang yang sudah membuatku hampir tidak makan siang]
[Oh, ku kira kamu senang dapat hukuman]
[Oh, ayolah, Rose, jangan mulai lagi. Ceritakan padaku]
Rose melirik ke arah Tika, wanita itu sedang mengatupkan kedua tangannya seraya mengisyaratkan permohonan. Sayangnya, saat Rose mulai mengetik, terdengar suara dehaman Madam Cleo.
[Pulang kerja]. Tika membaca pesan singkat itu lalu mengangguk ke arah Rose.
"Rose, kau tidak lupa janjimu bukan?" tuntut Tika mensejajari langkah Rose saat mereka hendak pulang.
"Tentu saja aku ingat. Ayo kita duduk dulu." Rose menggiring Tika menuju sofa yang tersedia di lobi kantor.
"Jadi, siapa CEO baru itu, kenapa aku baru tahu?" Tika langsung bertanya setelah mereka berdua duduk.
"Astaga, rupanya kau sangat penasaran," goda Rose.
"Rose!"
"Baiklah, akan ku ceritakan," tutur Rose mengalah.
"Nah, begitu lebih baik. Mulai saja dari kapan kalian diberitahu soal CEO baru itu dan bagaimana orangnya," cerca Tika.
"Kami diberitahu Madam Cleo kemarin, saat kau pergi meninjau lapangan. Kalau soal bagaimana orangnya, belum banyak yang tahu. Tapi yang kudengar dari pembicaraan para gadis, CEO baru kita adalah seorang laki-laki muda yang tampan. Tubuhnya kekar dan atletis. Katanya, setiap wanita yang melihatnya tak bisa memalingkan muka dan selalu ingin tidur dengan sang CEO. Tapi, nyatanya, dia adalah orang yang sangat dingin dan kejam. Tidak ada satupun wanita yang berhasil menaklukkannya. Belum lagi, kinerjanya di perusahaan selalu bagus bahkan sempurna. Sebelum dikirim ke sini, dia sudah pernah mengepalai beberapa anak perusahaan yang tersebar di seluruh Amerika Serikat," papar Rose.
Tika terperangah mendengar penjelasan Rose, temannya satu itu sangat handal mengumpulkan informasi.
"Kau luar biasa, Rose." Tika mengacungkan jempolnya.
Rose membusungkan dadanya, "Tentu saja."
Keduanya lalu tertawa sesaat.
"Jadi, artinya kita harus berhati-hati terhadap CEO baru itu, bukan?"
"Kurang lebih seperti itu. Kau sendiri sudah mendapatkan dampaknya lebih dulu," tutur Rose.
"Baiklah, tidak ada pilihan lain bagi bawahan seperti kita."
"Ada kok." Mata Rose mengerling nakal.
"Apa?" tanya Tika polos.
"Jadilah kekasihnya." Rose terkekeh setelah mengatakan itu.
Wajah Tika langsung berubah kesal. Dia mencubit Rose.
"Solusimu sangat tidak lucu."
"Ayolah Tika, aku hanya bercanda. Jangan marah, kita pulang sekarang." Rose beranjak.
"Oke, kita pulang." Tika ikut berdiri.
***
"Rei, bagaimana soal informasi yang aku minta?" tanya seorang lelaki yang tengah melatih otot-ototnya menggunakan benda berat.
"Salah satu penasehat kita - pak Rufus- kehilangan payungnya belum lama ini," jawab Reiden.
"Jadi, apakah kemungkinan payung yang dibawa oleh wanita itu adalah milik pak Rufus?"
"Soal itu belum bisa dipastikan. Kalaupun benar itu milik Pak Rufus, seharusnya ada yang membawanya kesini dan memberikannya pada wanita itu."
"Kamu benar. Kita harus mencari tahu siapa orang ini dan apa tujuannya."
Reiden mengangguk membenarkan.
"Akan baik kalau kita bisa bertanya langsung dengan wanita itu tentang bagaimana dia bisa mendapatkan payung itu," tukas Axel.
"Akan aku lakukan," putus Reiden.
"Jangan!" Tanpa sadar Axel berteriak. Dia pun tidak tahu alasannya. Dia hanya tidak ingin melihat pria lain berbicara dengan wanita kurang ajar itu.
"Baik." Reiden sebenarnya kaget, tapi tidak ingin bertanya lebih jauh.
"Bukan begitu, aku tidak mau menyusahkanmu, dia wanita yang sangat menyebalkan. Biarkan aku yang menghadapinya. Toh, dia masih memiliki hutang padaku, dia pasti akan mencariku," papar Axel.
"Axel, aku bahkan tidak bertanya alasanmu. Tapi, baiklah." Reiden menahan senyum.
"Jangan tersenyum, sungguh, niatku hanya tidak ingin membuat orang yang sudah kuanggap sebagai saudara kesusahan." Axel masih membela diri. Dia tidak ingin Reiden salah sangka dan memikirkan hal yang tidak benar.
"Aku mengerti," ucap Reiden menenangkan, "tapi, apa kau yakin dia akan menghubungimu?"
"Aku yakin. Selama ini tidak pernah ada wanita yang mampu menolak kebaikan dan keramahanku. Jadi, aku yakin dia akan menghubungiku." Nada suara Axel arogan.
"Kau sungguh narsis." Reiden terkekeh.
"Tapi, jika ternyata dia tidak menghubungimu bagaimana?"
Axel merengut, dia tidak percaya Reiden meragukan pesona dan ketampanannya. Axel yakin Tika juga tertarik padanya, jika tidak kenapa wanita gila itu mendekatinya dan bahkan memintanya membayar makanan.
"Ayolah, Rei, yang benar saja," Axel mendengus.
"Aku bertanya jika saja, kalau betul dia menghubungimu, itu bagus."
"Kalau sampai dia tidak menghubungiku, cari dia!" perintah Axel tegas.
Reiden manggut-manggut lalu pamit pergi. Sebelum mencapai pintu, dia teringat sesuatu dan berbalik menghadap Axel kembali.
"Ada apa lagi?" selidik Axel.
"Aku lupa menyampaikan, besok waktunya kau mengunjungi perusahan yang akan kau pimpin selama di North Carolina. Itu anak perusahaan milik pak Remus, yang dikelola oleh Laura."
"Oke, aku paham. Tolong siapkan segala sesuatunya, Rei. Kita harus melakukan yang terbaik atau kita bisa kehilangan dukungan. Laura sudah mencurigai kita sejak payung milik kita ditemukan di dekat mayat ayahnya." Ada sedikit nada kemarahan yang tertahan dalam suara Axel.
"Aku laksanakan," ujar Reiden singkat lalu berlalu meninggalkan Axel.
***
Seorang lelaki tengah menikmati secangkir kopi di tangannya sembari menikmati langit senja kota North Carolina. Tak luput, sebatang rokok bermerk mahal terselip di sela bibirnya yang berisi. Asap putih yang mengepul dari ujung rokok menambah pesonanya, meski tak ada sedikitpun garis keramahan pada wadahnya. "Aku tidak tahu kau suka senja?" sela sebuah suara yang baru saja datang dan duduk di hadapan lelaki itu. Lelaki itu tidak menjawab dan hanya mengendikkan bahunya. "Tapi, aku akui, senja di North Carolina adalah yang terbaik. Apalagi bila melihatnya dari apartemenmu ini," lelaki yang baru datang itu kembali berucap. "Yah, kamu benar." Akhirnya pria yang merokok bersuara. "Oh, ya, Axel, apakah wanita itu belum menghubungimu?" Nada suaranya terdengar sedikit khawatir. Pasalnya, Axel terlihat kesal sejak kemarin. Sudah dua hari sejak Axel memberikan kartu namanya, tapi wanita itu tak kunjung menghubungi. "Ada apa dengan s
"Madam, kenapa gaji saya dipotong? Apa salah saya?" tanya Tika frustrasi. Dia sekuat tenaga menahan suaranya agar tidak terdengar membentak. Meski ingin sekali dia memaki."Saya tidak tahu, itu keputusan atasan, saya bahkan baru diberitahu tadi pagi. Sejam sebelum kamu diberitahu," Madam Cleo membela diri.Tika semakin merasa frustasi. Gaji yang selama ini dia terima saja hanya menyisakan sedikit untuk ditabung, tetapi ini justrus dipotong. Bagaimana nasibnya nanti?"Madam, madam tahu saya selalu mengerjakan pekerjaan dengan baik, tidak kalah dari rekan kerja yang lain, tapi kenapa hanya saya yang diperlakukan begini." Suara Tika mulai serak, mendung mulai bergelayut di matanya."Tika, sudah bilang, saya juga tidak tahu kenapa gajimu dipotong. Ini perintah dari CEO langsung. Tadi, saya sudah berusaha membujuk pihak keuangan, tapi mereka juga tidak punya pilihan," ungkap Madam Cleo.Tika terkesiap mendengar penjelasan Madam Cleo. Namun, Tika tahu ma
"Rose, sekarang aku tahu alasan pemotongan gajiku," ucap Tika menggebu usai teleponnya tersambung dengan Rose."Tika, kau bahkan tak menyapa lebih dulu. Jadi, apa alasannya?" Rose ikut antusias."Itu karena CEO baru itu," tukas Tika."Astaga, Tika. Hal itu sudah kita tahu dari kemarin," Rose mulai gemas. Seandainya berada di sampingnya, Rose ingin menepuk kepala gadis itu."Oh ya, maksudku karena CEO baru itu adalah orang yang membayariku makan siang beberapa hari yang lalu," Tika menjelaskan."What, suatu kebetulan yang aneh. Tapi apa kenapa dia mengurangi gajimu dan bagaimana dia bisa membayar makan siangmu," Rose bertanya kebingungan.Tika menepuk dahinya, dia lupa belum menceritakan pada Rose soal pertemuannya dengan si CEO, tuan tampan yang membayar makan siangnya sekaligus memotong gajinya."Baiklah, dengarkan, Rose. Akan aku ceritakan," ucap Tika. Tika menceritakan pertemuannya dengan CEO tampan itu dan bagaimana dia mend
Tika mematut dirinya di cermin lalu berputar sebelum akhirnya tersenyum puas. Dia memuji dirinya sendiri yang terlihat cantik dan manis mengenakan gaun mini berwarna maroon itu. Rambut yang biasanya selalu ia kucir ke atas, kini dibiarkannya tergerai. Lipstik berwarna senada dengan gaunnya dan sepatu berhak tinggi berwarna putih tulang melengkapi penampilannya."Ini tidak terlalu berlebihan bukan? Aku hanya pergi makan malam," gumam Tika."Apa sebaiknya aku bertanya pada Rose? Tapi, nanti dia heboh," ucap Tika bimbang pada dirinya sendiri.Ring ring ring ring, suara dering ponsel memutus kebimbangan Tika. Sebuah nomer asing meneleponnya."Hallo,"sapa Tika sedikit ragu."Hallo, nona Tika, saya Reiden. Saya ada di depan apartemen Nona. Tuan Axel meminta saya menjemput Nona," ucap Reiden sopan."Ke-kenapa dijemput, aku bisa naik taksi," Tika kaget karena Axel bahkan menjemputnya."Tolong segera turun saja, Nona. Tuan, s
“Kau tampak menikmati kencanmu, Tuan?” tegur Reiden yang tengah membawa mobil menuju apartemen Axel. Sebelumnya, mereka telah menurunkan Tika di apartemennya. “Panggil saja namaku, Tika sudah tidak ada.” Axel protes. “Oke. Jadi, kau menikmati kencamu?” Reiden berbicara santai. “Aku bukan berkencan, aku sedang mencari informasi,” kelit Axel. 'Sesungguhnya terlalu berlebihan caramu mendapatkan informasi. Bahkan, bila dilakukan pemungutan suara, orang akan condong mengatakan kau sedang berusaha merebut hati seorang gadis,' Reiden mengatakan itu di hatinya. Sedang yang terjadi pada kenyataannya Reiden hanya terkekeh dan menanyakan pertanyaan formal, “Jadi informasi apa yang kau dapat?” “Tika mendapatkan payungnya dari orang tak dikenal. Dia bahkan tidak sempat melihat wajah orang yang memberinya payung. Dia mendapatkannya di stasiun yang berada di dekat kantor. Besok, kau bisa mencari rekaman CCTV yang mengarah ke sana,” jelas Axel.
Di lain sisi, Axel juga tengah memikirkan Tika. Sejak perbincangan waktu itu, bayangan Tika selalu muncul di pikirannya. Senyumnya, rambut panjangnya yang hitam legam, tubuh mungil namun berisi, juga suaranya. Bahkan malam itu, Axel hampir saja mengajak gadis itu ke kamarnya andai Reiden tidak datang menjemput. 'Sadarlah, Axel. Perasaan semacam itu tidak akan berhasil,' batin Axel menegur. 'Tapi, kalau hanya sekedar tidur, sepertinya tidak apa-apa bukan?' pikiran jahat Axel mulai bersuara. 'Tidak. Aku bukan lelaki seperti itu.' "Axel, kau akan makan siang dimana?" suara Reiden mengembalikan pikirannya yng menerawang. "Dimanapun yang dekat. Aku memiliki banyak pekerjaan." "Ayo, aku tahu tempatnya." Reiden berjalan memimpin Axel. Axel merapikan rambutnya yang sedikit berantakan lalu mengekori Reiden. "Sepertinya nona Tika sedang makan di dalam bersama temannya," ucap Reiden sesampainya mereka ke restoran yang Reiden
Kepada pembacaku, Hai-hai, salam kenal. Aku IchiOcha, penulis baru di pf Goodnovel. Novel Payung Merah ini debut novelku yang pertama lho..... Aku terharu banget, meski baru pertama ada teman-teman yang bersedia memasukkan bukuku di pustakanya. Terima kasih banget. Aku sangat menghargai itu karena aku sempat merasa ingin nyerah. Tapi berkat kalian aku jadi punya semangat lagi. Semoga kalian menyukai tulisanku dan mau memberi masukan agar aku semakin baik ke depannya dan semakin semangat lagi. Oh iya nanti bila ada bab-bab dari ceritaku yang mulai dikunci, aku akan adain give away 100 koin untuk 5 pembacaku. Syaratnya gampang banget, cukup beri masukan untuk bab-bab yang sudah kalian baca dan menshare ceritaku ke sebanyak mungkin pembaca goodnovel. Happy readers... With love, IchiOcha
"Pak, kenapa kau bersikap seperti itu pada nona Tika?" Reiden melontarkan pertanyaan saat lift mulai merayap naik. "Aku tidak tahu bahwa kau orang yang sangat ingin tahu, Rei," sinis Axel. "Sedikit," Rei tersenyum kaku seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Lagipula, kemarin kau bilang tertarik padanya," imbuh Rei. "Perasaanku tidak penting yang penting aku sudah mendapatkan yang kuperlu, jadi dia tidak lagi berguna untukku," ketus Axel. Reiden menggut-manggut. Reiden tahu, bukan itu alasan Axel yang sesungguhnya. Saat Reiden bersembunyi sementara mengawasi mereka, Reiden dapat menangkap sekelebat tatapan hangat Axel pada Tika. Meski sekelebat, itu sudah cukup bagi Reiden untuk menyimpulkan bahwa Axel memiliki perasaan tertentu untuk Tika bukan sekedar tertarik. Axel sendiri sebenarnya tidak yakin dengan jawaban yang dia berikan pada Reiden. Hatinya sedikit nyeri saat mengatakan bahwa Tika sudah tidak berguna lagi untu
Axel memandang ponselnya dengan gusar. Sejak 10 menit yang lalu dia mencoba menghubungi Tika, tapi yang menjawab adalah mesin penjawab otomatis. "Apa yang sedang kamu lakukan, Tika?" geram Axel saat teleponnya yang kesekian kali tidak dijawab juga. Kepala Axel berdenyut, juga inti tubuhnya. Dia teramat merindukan Tika. Axel terus mengingat, malam saat Tika menyerahkan seluruhnya padanya. Axel bahkan tidak pernah bisa tenang bekerja sejak hari itu. Dia menjadi sangat menginginkan wanita itu. Cinta dan nafsu seakan memburunya, tanpa memberinya ruang. Selama ini, dia selalu berhasil menahan perasaan dan nafsunya. Namun, pertahanannya luruh malam itu. Sudah sejak lama dia tidak merasakan perasaan seperti malam itu. Sesuatu yang Axel rindukan sejak kematian Marry, telah Tika berikan bahkan dengan rasa yang lebih dahsyat. Axel yakin, dia tidak akan bisa hidup tanpa Tika. Sayangnya, wanita itu justru mengabaikannya. "Reiden, Reiden!" teriak Axel memanggil asisten sekaligus sekretaris pri
"Tika, wajahmu tampak berseri-seri hari ini, " celetuk Rose saat melihat Tika datang. "Benarkah?" Tika memegang pipi dengan kedua tangannya sembari tersenyum. "Kalian pasti bersenang-senang ya?" "Hemh," ucap Tika tersipu. "Waw, good job girl!" teriak Rose histeris. "Rose, pelankan suaramu." "Iya, iya, iya. Tapi selamat ya, akhirnya." "Semua berkat kamu, Rose." Tika beringsut mendekati Rose lalu memeluknya. "Wah, ada apa ini dengan dua gadis cantik kita?" celetuk Mike yang baru masuk ruangan bersama Reino. "Tika sedang bahagia, Mike," jawab Rose. Meski tampak biasa, sebenarnya kecanggungan terlihat diantara Reino dan Tika. "Tika, aku mencoba menghubungimu sejak kemarin. Aku mau minta maaf." Reino mencoba mengajak Tika bicara saat mereka bertemu di dapur ruangan. "Tidak apa, Rei, aku sudah memaafkanmu. Bukan sepenuhnya salahmu, aku saja yang terlalu emosional." "Terima kasih, Tik, sudah memaafkanku. Aku janji tidak akan melewati batas." "I see, Rei." Tika tersenyum pada Re
Tika menautkan kedua pasang tangannya erat sembari berdoa dalam hati. Debaran jantung yang bertalu serta butir keringat halus yang mengalir perlahan di punggungnya menyiratkan ketegangan yang kini tengah membelenggunya. 'Tuhan, semoga aku tidak pingsan saat melihatnya.' Kurang lebih seperti itu doa yang Tika panjatkan demi mengurangi semua ketegangan dan kegugupan. Tika sendiri tidak paham akan perasaannya atau alasan dari semua reaksi tubuhnya. Bertemu seorang Axel bukanlah hal baru, tapi Tika tetap merasa gugup. Saat masih bergulat dengan perasaannya sendiri, seseorang menyapanya. "Tika," sapa sebuah suara. Suara dari orang yang Tika tunggu sejak tadi. "A-ah, iya," gagap Tika. Lelaki itu menarik kursi dan duduk di hadapan Tika. Lucunya, Tika tetap menunduk tanpa berani memandang ke arah lelaki itu. "Kamu tidak mau melihatku, Tika?" tanya lelaki itu. "Ah, ti-dak, bukan begitu." Tika masih gugup. Tautan ditangannya maki
"Tika, kamu lagi bahagia ya?" tanya Reino penasaran."Eh, Rei, dia tu lagi hepi soalnya pacarnya mau ngajak makan malam.""Oh," ucap Reino datar. Raut mukanya langsung berubah menjadi sedikit masam."Kenapa Rei?" tanya Tika."Nggak apa-apa. Aku cuma bingung aja kamu tiba-tiba baikan sama pacarmu. Bukannya kalian sudah putus, ya?""Hemh, ceritanya panjang Rei. Kami tidak putus, aku hanya menjauh karena suatu masalah. Tapi dia berjanji akan menjelaskan semuanya saat nanti kami bertemu, jadi aku memutuskan untuk berhubungan dengan dia lagi," jelas Tika."Begitu rupanya, syukurlah. Aku turut senang, Tika. Tapi, sebagai temanmu aku berharap kamu tidak langsung percaya seratus persen pada pacarmu. Apalagi pacarmu adalah Axelsis." "Maksudmu? Lalu sejak kapan kau tahu pacarku adalah Axel?""Tidak ada. Hanya saranku, kamu lebih baik tidak langsung mempercayai semua ucapannya dan mengenai kapan aku tahu pacarmu adalah Axel, itu sejak kamu diculik. Malam itu, saat aku mengunjungimu di rumah sak
Tika memandang ponselnya dengan gamang. Dia masih belum yakin mampu berbicara dengan Axel. Berkali-kali dia membuka nomor kontak lelaki itu lalu menutupnya lagi. "Tika, ada apa dengamu? Bukankah kau sudah putuskan untuk memaki lelaki itu?" umpat Tika pada dirinya sendiri. Tika menghela napas berat. Perlahan dibukanya kembali nomor kontak Axel, lalu secara perlehan dia menekan tombol hijau. Tidak kurang dari satu menit, sebuah suara yang sangat dia rindukan terdengar dari seberang. "Hallo,...." Tiba-tiba air mata mengalir deras dari pelupuk mata Tika, seolah itu sudah ada disana dan menunggu untuk keluar. Lalu tanpa menunggu Axel menyelesaikan ucapannya, Tika menyela, "Ax, apa salahku? Kenapa aku mesti mencintai orang sepertimu? Kenapa aku begitu bodoh?" Tika terisak. Hati Axel sebenarnya ikut sakit mendengar isak tangis Tika. Namun, bila mengingat kembali bahwa Tika pernah mengusirnya, Axel bersikap ketus. "Apa maksudmu, Tika?" ketus Axel. "Aku membencimu, Ax. Aku takut pada
Tika nampak anggun dengan balutan gaun berwarna merah maron. Sepatu berhak tinggi berwarna putih krem turut mempercantik kaki mungilnya. Wanita itu berjalan dengan riang menghampiri lelaki tampan yang telah menunggu kedatangannya sejak tadi."Kamu cantik sekali malam ini, Sayang," ucap lelaki tampan itu seraya mengulurkan tangan pada Tika.Tika menyambut tangan itu, lalu menggenggamnya erat, "Terima kasih, Ax. Kau juga sangat tampan."Axel dan Tika lalu berjalan masuk ke dalam restoran."Ax, ini tidak seperti yang aku pikirkan bukan?" Raut wajah Tika tampak penasaran melihat tidak ada satupun orang di dalam restoran."Ya, ini seperti dugaanmu. Aku menyewa semua tempat disini. Aku hanya ingin makan romantis berdua denganmu tanpa ada orang lain mengganggu.""Bukankah ini agak berlebihan?""Tidak, tidak. Ini sangat sepadan.""Oh, oke, baiklah. Meski aku berpikir ini sedikit tidak masuk akal.""Tika, please, jangan bahas lag
"Hai, Rose," sapa Tika ceria begitu wajah Rose tersembul dari balik pintu yang setengah terbuka. Meski sedikit terkejut dengan kedatangan Tika, Rose ikut tersenyum sembari membuka pintu rumahnya sepenuhnya. "Waw, Tika." Mereka berdua berpelukan seolah baru bertemu setelah sekian lama, padahal baru satu hari Tika tidak masuk kantor. "Ayo, ayo masuk Tika. Rei, juga." Rose mempersilahkan Tika dan Reino masuk. "Thanks, Rose," ucap Reino yang mengekor di belakang Tika dan Rose sambil membawa koper milik Tika. "Jadi, kalian mau minum apa?" "Terima kasih, Rose, aku memang sangat haus, apa saja yang segar boleh," jawab Reino. "Tika?" "Tidak ada, aku tidak haus. Nanti akan aku ambil sendiri bila butuh." "Oke." Rose lalu sibuk mengambil beberapa botol minuman dingin dari dalam lemari es, juga mengambil tiga buah gelas. "Rose, aku bilang kan kau tidak perlu repot." "Oh, ayolah Tika, ini tidak repot sama sekali. Hanya minuman dingin instan." "Baiklah, Rose, tempat sandaranku, aku minum
"Gimana? Udah merasa baikan setelah makan?" tanya Reino pada Tika usai mereka menyelesaikan makan. "Yah, aku merasa lebih bertenaga juga lebih penasaran." "Astaga, Tika. Aku pasti akan menceritakannya. Tapi, sebelum itu, aku penasaran apa yang terjadi sampai kamu diteror seperti ini?" "Ah, itu, mungkin karena aku terlalu baik hati." "Ayolah Tika, ini bukan hal yang bisa dijadikan lelucon. Kamu kemarin diculik dan sekarang diteror. Itu semua kejadian yang mengerikan bahkan untukku yang seorang lelaki. Apalgi buat kamu." Nada suara Reino terdengar frustasi sekaligus khawatir. "Rei, aku masih baik-baik saja sampai saat ini. Kamu tidak perlu begitu khawatir. Aku sedang sial saja." "Oke, oke, tapi bisa kan kamu ceritakan, foto-foto itu?" "Ih, kok, jadi aku yang mesti cerita. Kan kamu yang harusnya jelasin ke aku tentang orang yang kamu kenali di salah satu foto itu." Wajah Tika merengut. "I-iya, sih. Tapi menurutku lebih adil kalau kamu juga menceritakan kisahmu lebih dulu Tika."
Tika terbelalak melihat bungkusan yang dipeganggnya. Lalu sedetik kemudian wajahnya memucat, diiringi teriakan yang terlontar dari bibirnya."Aaaaaaaaaaa!!!!"Tika menendang jauh bungkusan yang tadi dipegangnya.Ting tong, ting tong,"Aaaaa!" Sekali lagi Tika berteriak. Suara bel apartemen megejutkannya.Meskipun masih terkejut sekaligus takut, Tika memberanikan diri membawa tubuhnya mendekati pintu. Perempuan itu lalu perlahan membuka pintu apartemennya. Rasa lega langsung mengalir ke seluruh pembuluh darahnya melihat Reino berdiri di depan pintu kamarnya."Hai, Tika, selamat pagi," sapa Reino sambil tersenyum manis.Gegas Tika memeluk Reino karena merasa senang dan aman."Hei, ada apa ini, Tik?" tanya Reino kaget dengan perilaku Tika yang tidak biasa."Nggak apa-apa, aku seneng aja, kamu datang. Ayo masuk." Tika mempersilahkan Reino masuk.Reino mengikuti Tika, lalu matanya menangkap bungkusan yang tadi Tika bua