Bangun tidur, rasanya begitu membahagiakan bagi seorang Serena. Yap, ini adalah hari pertamanya merasa bebas, karena kemarin orang tuanya pindah ke London untuk membuka bisnis yang baru dirintis di sana. Itu artinya, nggak ada yang bisa melarangnya ini itu dan anu.
Biasanya mamanya akan melarang untuk keluyuran nggak jelas, atau hanya sekadar shooping dengan teman-temannya. Tapi sekarang, tidak lagi."Sampai kapan kamu akan senyum-senyum nggak jelas seperti itu?"Sontak, saking kagetnya ia sampai terpekik saat suara itu membuyarkan lamunannya dan langsung terguling dari atas tempat tidur, kemudian mendarat di lantai dengan mengenaskan."Aduh, Kakak apaan, sih ... ngagetin tahu, nggak!"Ia mengumpat kesal sambil memegangi bokongnya yang terasa nyeri karena mencium lantai. Rasanya sakit, tapi tak sesakit mengharapkan dia yang nggak peka-peka, sih."Ini masih pagi, matahari baru nongol ... udah stress aja."Dialah Kenzie, kakaknya yang paling tengil, cerewet, jahil, dan ... pokoknya semua yang menyebalkan ada pada dia. Bahkan ia sekarang ingat, meskipun kedua orangtuanya nggak di rumah, masih ada satu makhluk lagi yang menghambat langkahnya. Ekspektasinya benar-benar jauh dari apa yang ia harapkan kemarin. Ini menyakitkan sekali."Nanti aku bilang Mama, loh ... Kakak masuk ke kamarku tanpa ijin!" Lumayan, kan, ancamannya.Ken bersidekap dada dihadapan gadis dengan tinggi seukuran pundaknya itu. Kemudian dengan sengaja ia menyentil dahi sang adik."Kakak!" pekiknya lagi."Trus, Mama bakalan ngomelin aku, gitu?""Setidaknya uang jajanmu bakalan dipending," jawab Rena berharap banyak. Karena selama ini malah uang jajannya yang sering dipending. Bukan dipending lagi malah, seringnya dipotong tanpa pemberitahuan."Sebelum itu terjadi, uang jajanmu yang bakalan ku pending dulu," balas Ken tersenyum penuh kemenangan.Apa maksudnya semua ini? Come on ... jangan buat otaknya berpikir yang tidak-tidak. Dan semoga yang sedang ia pikirkan, tak terjadi."Cepetan mandi. Kalau lama, aku tinggal, loh," ujar Ken berlalu keluar dari kamar Serena dengan langkah santai.Sekeluar Ken, ia masih diam mematung dengan otaknya yang tiba-tiba berasa ngeblank."Gila! Berharap mama sama Papa pergi, kehidupan gue yang berasa dipasung, bisa lepas. Sekarang, apalagi ini? Gue lupa kalau ada satu lagi makhluk menyebalkan di rumah ini. Huhuhu ... Kak Ken, dirimu membuat kebahagian adikmu ini ambyar seketika. Ekspektasi gue anjlok ke dasar lautan terdalam!"Kembali menghempaskan badannya di kasur ... merutuki kalau kehidupan masih akan sama dengan sebelumnya. Bahkan sepertinya akan semakin menakutkan. Tahu sendiri, kakaknya itu punya peraturan lebih menyeramkan daripada mama atau papanya."Kalau lama, aku tinggal, ya, Dek!"Teriakan itu membuatnya seketika kembali bangkit dan bergegas menuju kamar mandi. Duh, habislah dirinya di tangan manusia tak punya rasa ini.Ken adalah satu-satunya kakaknya. Yap, ia sekarang duduk di kelas tiga SMA, sedangkan Ken merupakan mahasiswa semester akhir. Meskipun masih kuliah, tapi semenjak lulus SMA dia sudah membantu pekerjaan di kantor Papanya. Entahlah, kalau ia jadi Ken ... mending nggak kuliah aja. Toh tetap bakalan jadi pewaris perusahaan keluarga."Kak, nanti aku boleh main, nggak?""Nggak boleh.""Ih, pelit!""Kamu harus banyak belajar. Enggak mau, kan, nanti nilaimu jelek?""Udah belajar di sekolah dari jam 7 pagi hingga jam 3 sore ... masa iya setelahnya juga harus belajar. Yang benar aja dong, Kak," berengutnya tak terima.Ken menghentikan adegan makannya. Kemudian meneguk air minum hingga habis satu gelas penuh. Menatap horor pada gadis berseragam SMA yang ada di kursi berhadap-hadapan dengannya."Aku cuman punya satu adik ... tentunya aku nggak mau kamu jadi anak yang bodoh. Belajar yang rajin, adalah salah satu cara agar otakmu pintar.""Tapi aku juga nggak bodoh-bodoh amat.""Masih ada kata 'bodoh' di kalimat yang kamu ucapkan itu, kan," sahut Ken langsung.Lain kali ia akan buat pengumuman. Siapa yang bisa membungkam mulut cerewet kakaknya ini, bakalan ia kasih uang jajannya satu bulan."Berharap mama sama papa balik lagi ke sini. Setidaknya nyampe rumah aku nggak dipaksa belajar," gerutunya sambil melanjutkan sarapannya."Berharap aja terus," ledek Ken sambil tersenyum."Dasar cowok aneh. Disuruh senyum, susah amat. Ngeledekin adik sendiri malah senyum nggak jelas," kesalnya melihat ekspressi menyebalkan Ken.Nanti ia akan menghubungi mamanya untuk nambah anak satu lagi. Setidaknya saat Ken ingin menyalurkan hobby menyebalkan itu, bukan hanya dirinya yang jadi tumbal.Selesai sarapan, sebelum ke kampus, ia mengantarkan Serena ke sekolah dulu. Mobil dia punya, hanya saja ia tak akan mengijinkan adiknya untuk mengemudi lagi. Banyak pengalaman buruk yang sudah dia ciptakan."Kak, kenapa nggak ijinin aku bawa mobil, sih? Aku kasihan, loh ... Kakak harus ngaterin aku terus. Adikmu ini nggak tega." Pasang muka prihatin, sedikit sad dan tampang seolah-olah sedang kasihan pake banget gais.Menghembuskan napasnya dengan sedikit berat. "Calon-calon tak akan dapat uang jajan," respon Ken kembali menutup dompetnya saat mendengar perkataan Rena."Jangan dong!!!"Sesak napas rasanya berhadapan dengan Ken. Sikap dia semakin menyebalkan saja saat orang tuanya tak ada di sini. Sebelumnya ia masih jadi anak kesayangan mama papa, meskipun sering diomelin kalau lakuin kesalahan. Tapi sekarang? Ya, ia jadi adik kesayangan seorang Kenzie, hanya saja cara dia menyayanginya terlalu menyeramkan."Aku nangis, nih, kalau uang jajanku nggak dikasih," ancamnya mulai pasang muka mewek. Bukan acting lagi ini mah, tapi ini beneran mau nangis rasanya.Ken menyodorkan beberapa lembar uang pada Rena. "Aku ada kelas sampai jam lima, nanti ku minta temanku buat jemput kamu," terangnya."Lagi-lagi aku ingin bilang ... kenapa nggak ijinin aku bawa mobil, sih? Pergi dianter, pulang juga gitu. Berasa terkurung di kandang macan menyebalkan tahu, nggak, Kak.""Apa itu sebuah sindirian?""Bukan," tangannya mulai membuka pintu mobil. "Lebih tepatnya kamu itu macannya, Kak," lanjutnya.Langsung bergegas turun dari mobil. Kalau tidak, bisa disentil lagi kepalanya oleh Ken. Dia kan hobby nyentil. Berharap dunia bisa terbalik. Kebayang bisa menyentil kepala kakaknya itu. Iya, berharap aja terus ... yakali ia berani melakukan itu.Berjalan cepat menuju kelas. Sampai di ruangan yang sudah hampir ia tempati selama satu tahu belakangan, ternyata dua sahabatnya sudah sampai duluan."Pagi," sapanya menghempaskan bokongnya di kursi. Sedikit nyeri, melupakan kalau ini bukan sofa."Lesu amat tu muka," komentar Kalina."Ngefek banget, kan, ke muka? Yap, benar sekali. Ini tuh menggambarkan perasaan gue saat ini. Gue dalam mode kesal akut," terangnya menggebu-gebu."Heran, ya ... kemarin happy banget karena akan bebas karena orang tua lo mau pergi. Lah, sekarang kenapa jadi begini," tambah Sandra."Gue melupakan sesuatu," balas Rena dengan muka cemberut."Apa?""Gue lupa ada Kak Ken," ungkapnya kesal. "Happy happy gue kagak jadi. Lupa kalau tu cowok malah lebih menyebalkan aturannya dari mama papa gue. Berasa ditindas, cuy."Kalina dan Sandra malah tertawa mendengarkan penjelasannya. Benar-benar sahabat terbaik, kan, mereka. Saat ia kesal, malah menertawakan. Iya, tahu, kok ... ini benar-benar lucu."Padahal kita berdua udah bikin rencana shooping buat hari ini. Eh, ternyata, gagal donggg," terang Sandra.Rena menghembuskan napasnya dengan berat. "Yang benar saja ... ini aja dia nggak bisa jemput gue di sekolah, malah sudah mempersiapkan temannya buat jemput ntar.""Sad gais," respon Kalina.Seperti yang dikatakan Ken tadi pagi, karena dia tak bisa menjemput, jadilah sekarang Rena pulang dijemput oleh teman kakaknya. Siapa lagi orangnya kalau bukan Zean. Ya ... setidaknya ia sudah mengenal cowok ini. Meskipun hanya sekadar tahu sedikit saja tentang dia.Asal tahu saja, Zean bukan orang yang cocok untuk diajak bicara apalagi sampai ngobrol panjang lebar. Karena dia dan Ken punya sikap yang bisa dikatakan sama persis. Paling bedanya karena Kenzie adalah kakaknya, jadinya dia lebih bar-bar terhadapnya. Jika dengan orang lain, dia juga bakalan beku kayak kutub utara.Malas, sih, sebenarnya bersama Zean, tapi ia tak bisa membantah perkataan Ken. Ya ... setidaknya tampang ni cowok bikin pangling lah. "Kak Zean, Kak Ken mana?" tanyanya buka suara saat perjalanan pulang ke rumah."Dia sudah bilang, kan, tadi pagi ... kenapa sekarang bertanya lagi?""Oh, iya ... aku lupa," balasnya cengengesan nggak jelas.Oke ... kartunya terbongkar. Ya, ia tahu kok kalau Ken ada kelas. Hanya sa
Saat ini Kenzie dan Serana sedang menikmati makan malam. Fokus Ken hanya pada makanan yang dia nikmati, tapi tidak dengan Serana. Gadis itu seperti sedang memikirman sesuatu hingga membuat makanan yang dia nikmati tampak biasa saja. "Kak, boleh aku ngomong sesuatu?" tanyanya pada Ken buka suara."Apa?""Tentang Kak Zean."Fokus Ken yang tadinya hanya pada makanan dan sesekali pada ponselnya, kini berpindah kearah adiknya."Zean?"Serena mengangguk. "Kak Zean itu sikapnya gimana, sih ... aku bingung," ujarnya langsung."Sikap yang mana?"Rena menghentikan adegan makannya dan menatap fokus ke arah kakaknya."Sikapnya beda-beda. Awalnya dingin, trus ... hangat, trus tiba-tiba jadi baik, eh ... balik lagi jadi nyebelin. Pas dia baik, aku senang banget. Pas lagi senang-senangnya, langsung sikap jeleknya muncul," jelasnya."Lebih detail," balas Ken."Awalnya sikapnya seperti biasa, dingin. Trus, tiba-tiba dia sepemikiran denganku. Saat aku terbawa suasana, berpikir kalau aku punya pemikira
Sungguh, rasanya dihadapkan pada sesuatu yang menakutkan dan mengerikan itu benar-benar menguras otak dan pikiran. Pagi hari sudah dihadapkan pada munculnya Zean, sekarang pulang sekolah lagi-lagi ia harus berhadapan dengan cowok itu. Menghindar adalah cara yang paling tepat."Gue ikut kalian," ujar Serena pada Kalina dan Sandra saat pulang sekolah."Lah, bukannya nggak diijinin sama Kak Ken?""Gue malanggar ijin," balasnya sambil merogoh ponselnya di dalam tas.Mengirimi pesan pada Ken dan mengatakan kalau ia akan pulang telat."Kuyy ... cabut," ajaknya pada kedua sahabatnya setelah menonaktifkan ponselnya. Karena apa? Yakinlah kakaknya tercinta itu pasti bakalan ngamuk dan heboh meneleponnya. Jadi, cara yang paling aman agar kupingnya nggak panas, adalah dengan memasang mode silent di ponsel.Keduanya memasuki sebuah pusat perbelanjaan. Rasanya sudah lama ia tak menelusuri tempat ini. Ya, tepatnya saat dirinya dan kehidupannya berada di pengaturan Ken. Ketiganya belanja sepuasnya.
Harusnya ia tenang dan tidur dengan sangat nyenyak malam ini, tapi yang terjadi justru malah sebaliknya. Sikap dan perlakuan Zean tadi sukses membuatnya gelisah galau tapi tak sampai merana. "Gue sepertinya tak sehat. Kenapa malah kepikiran terus sama Kak Zean. Apalagi adegan pelukan tadi, bikin otak gue yang biasanya hanya mikirin Glenn, jadi berpaling," gumamnya. Kemudian berteriak-teriak. "Glenn ... posisi lo jadi kalah sama Kak Zean!!!"Seketika semuanya jadi gelap. Membuatnya bergidik ngeri."Bibik!!!!!" pekiknya langsung beranjak dari tempat tidur. Tanpa pikir panjang dan langsung berlari hingga tak sengaja malah menabrak dinding."Non ... Non Rena nggak apa-apa?" tanya bibik datang menghampirinya dengan sebuah lilin sebagai cahaya."Kenapa pake acara mati lampu, sih, Bik," ringisnya sambil mengusap-usap dahinya yang tampak memar karena menabrak dinding. Rasanya nyut-nyutan. Astaga! Untung nggak pingsan."Bibik juga nggak tahu, Non ... tapi tetangga masih pada nyala, kok, listr
Sebenarnya matanya sangat mengantuk, tapi tiba-tiba pelukan yang semakin mengerat di badannya membuat ia dipaksa bangun. Dan apa hasilnya? Gadis yang semalam mengomel-ngomel karena panas lah, banyak nyamuk lah ... kini tidur dengan memeluknya erat. Tersenyum puas. Jangan ditanya lagi apa yang membuatnya tersenyum, karena bagi siapapun yang peka, pasti bisa paham kenapa sikapnya begitu pada Serena. Entah gadis ini memahami apa yang sedang ia rasakan, tapi yang jelas dia masih bisa dekat dengannya. Setidaknya untuk saat ini itu sudah cukup, jika ada kesempatan, mungkin akan lebih dekat lagi. Tak bisa melakukan hal manis di saat dia bangun, setidaknya dalam keadaan tidur begini, ia bisa lakukan apa saja. Ya, apa saja. Di saat menikmati moment itu, Serena melakukan pergerakan dan ia memilih untuk kembali pura-pura tidur. Apalagi posisi dia yang memeluknya begini, bisa-bisa malah dia yang lakuin, tapi justru dirinya yang malah diomelin. Biasalah, tingkat omelan gadis ini bisa di bilang
Di sekolah, saat keluar ia segera menelepon Zean kalau akan sampai di rumah tepat waktu. Oke ... itu berarti dirinya masih punya waktu yang aman untuk berkeliaran hari ini.“Ren, lo jadi jalan sama Glenn?” tanya Kalina.“Iya, ini lagi nungguin dia, nih,” jawabnya.“Sandra mana, ya?” tanya Kalina.“Tadi katanya mau ke toilet, kan.”Saat keduanya duduk menunggu di dekat parkiran sekolah, tiba-tiba Sandra datang beriringan dengan Glenn.“Loh, kok kalian bisa barengan?” tanya Serena heran.“Papasan di lorong kelas,” jawab Glenn menebar senyum ke arah gadis itu.Jadilah, saat Sandra dan Kalina memasuki mobil masing-masing untuk segera pulang, sedangkan Serena memasuki mobil Glenn untuk segera pergi kencan. Yap, kencan ... bahkan sudah satu tahun jadian, keduanya hanya menjalani hubungan aneh seperti ini. Tanpa adanya malam minggu, tanpa adanya jadwal kencan dan kesan kesan dalam dunia pacaran yang seperti dilakukan teman teman sebayanya.“Glenn ... sorry, ya ... kita pacarannya malah jadi
Duduk di pinggir jalan sambil menangis. Bahkan tak menhiraukan orang-orang yang memerhatikannya dengan raut heran ... seperti seorang yang sudah dicampakkan dengan mengenaskan. Ya, begitulah yang memang sedang ia alami. Dicampakkan oleh orang yang selama ini bilang cinta, tapi ternyata hanya rasa kasihan.Kalau bukan karena seragam yang masih dikenakannya, mungkin ia akan dilempari uang recehan oleh mereka yang lewat.Ponselnya tiba-tiba berdering ... saat ia lihat, ternyata nama Ken lah yang tertera. Tentu saja tak mungkin ia jawab, di saat dirinya masih dalam keadaan menangis begini. Bisa-bisa kakaknya itu dengan mudah mencurigai suaranya yang berbeda karena serak.Baru juga panggilan dari Ken terhenti, kini nama Zean yang muncul di layar datar itu.“Aku lagi patah hati begini, kenapa kalian berdua malah meneleponku terus, sih,” tangisnya. “Bisa-bisa aku khilaf dan bunuh diri aja, nih.”Terus menangis, bahkan wajahnya saja terlihat sudah sembab. Melihat kiri kanan, sudah sepi pejala
Eren duduk di samping Zean dengan sebuah guling yang ia bawa dari kamar. Menatap fokus pada cowok yang saat itu sedang bicara di telepon dengan seseorang. Hanya jadi pendengar yang baik, saat cowok itu terkadang hanya mengeluarkan kata-kata singkat saat bicara di telepon. Sungguh ... itu yang jadi lawan bicaranya pasti merasa gregetan. “Kak Zean nggak pulang?” tanya Eren saat Zean selesai bicara di telepon.Zean menatap dingin ke arah Eren.“Suka sekali mengusirku.”“Aku, kan, lagi nanya, Kak.” Menghela napasnya berat, saat pertanyaannya justru dikira pernyataan.Zean menyandarkan punggungnya di sofa.“Maaf, merepotkanmu,” ucap Eren memasang wajah bersalah.“Tak apa, jika itu membuatmu senang,” balas Zean.Serena malah merebahkan badannya begitu saja, dengan kedua paha Zean sebagai bantalan dan kemudian memeluk guling.“Jadi, menurutmu gimana, Kak?” tanya Serena.“Apanya?” Tiba tiba bertanya begitu, tentu saja membuatnya bingung.“Ya, aku.”“Aku nggak tahu,” respon Zean singkat.“K
Tadinya Kalina hanya bergelayut di tangan Ken, membuat langkah itu begitu susah. Apalagi tanpa alas kaki. Tapi saat sampai di luar ... Ken malah dengan cepat mengangkat tubuh Kalina."Jangan mulai membuatku kesal lagi. Turunin aku sekarang juga!"Kehebohan itu terulang lagi. Saat sikap Ken membuatnya seolah jadi pusat utama. Kemarin posisi rumah sakit sedang sepi, dan sekarang? Jangan ditanya lagi. Bisa-bisa ia jadi tontonan semua orang di rumah sakit ini."Jalanmu seperti itu, kapan kita sampainya?""Tapi jangan menggendongku juga dong. Demi apa sikapmu membuatku jadi seseorang yang ...""Bentuk perhatianku padamu," timpal Ken langsung."Jangan mulai lagi!" tegas Kalina.Apa tidak cukup sikap dia semlaam yang bikin dirinya merasa bingung. Dan sekarang dia mulai lagi. Apa niat Ken emmang sedang menguji hatinya yang terlalu mudah baper ini?"Peringatanmu tak mempan sama sekali buatku, Kalina. Selama aku nyaman, akan ku lakukan ... meskipun kamu menolak sekalipun. Aku nggak perduli."La
"Kak," gumam Kalina kaget akan kedatangan Kenzie. "Kok ke sini? Kamu kan lagi sakit."Dokter tersenyum mendapati Kenzie muncul di saat yang dibutuhkan.Ken berjalan menghampiri Kalina yang posisinya berdiri di dekat tempat tidur, karena tadinya sudah siap untuk mengenakan sepatunya."Memangnya kenapa kalau aku ada di sini. Kaget?""Sangat," sahut Kalina cepat. Bukan kaget lagi, tapi justru malah shock berat."Bagus, akhirnya pacar kamu datang buat jagain, kan," respon dokter akan kehadiran Ken.Kalina hanya bisa menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal dan senyuman penuh rasa tak enaka, saat mendengar celetukan dokter ketika mengatakan kalau Ken adalah kekasihnya."Duh, Dokter ... kan aku sudah bilang kalau kita berdua nggak punya hubungan apa-apa, apalagi pacaran. Pliss deh, dok. Jangan mengada-ngada.""Dia kenapa dokter?" tanya Ken, malah mengabaikan sikap Kalina yang seolah menghindarinya."Semalam sudah saya bilang, kan. Tolong hingga luka itu sedikit mengering, agar jangan dibaw
Zean tak tidur semalaman, pagi ini kepalanya dibuat kliyengan. Tapi semua itu ia abaikan, demi menunggu hasil dari pemeriksaan yang akan diberikan oleh dokter tentang kondisi Serena. Berharap semuanya lebih baik, karena kalau tidak ... itu benar-benar akan membuatnya mati secara perlahan."Zean, kamu istirahat saja dulu. Ada Om dan Tante, kan, di sini," ujar Norin pada Zean.Ia tahu bagaimana cemasnya Zean akan putrinya, tapi sebagai seorang Ibu dirinya juga khawatir kalau Zean malah mengabaikan kodisi dia karena memikirkan Serena."Tante tahu kalau kamu cemas, tapi kalau kondisi kamu ikut drop, bukankah itu akan membuat dia juga merasakan itu."Zean mengangguk paham dengan apa yang dikatakan Norin. "Aku akan istirahat, Tante ... tapi sebelum itu, aku mastiin dulu kalau Eren baik-baik saja."Menghela napasnya ketika sarannya diterima oleh Zean. Ya, meskipun tetap ... dia menjadikan Serena nomer satu dulu dibandingkan kondisi dia sendiri.Tepat saat jam menunjukkan pukul 8 pagi, dokter
Berharap tidur nyenyak, tapi apa yang terjadi. Ia justru tak bisa tidur sama sekali. Bukan perkara memikirkan Ken, tapi justru kakinya yang malah nyut-nyutan. Entahlah, mungkin karena tadi ia terus bawa jalan tanpa berpikir efeknya ... sekarang malah merasakan sendiri sakitnya.Matahari sudah menampakkan sinarnya, memasuki beberapa sudut gorden yang tersingkap oleh angin pagi, karena jendela tak ia tutup sama sekali."Bik!" teriaknya memanggil bibik yang berada di lantai bawah. Berharap panggilannya didengar, tapi sepertinya tidak sama sekali. Buktinya wanita paruh baya itu hingga beberapa menit kemudian tak menampakkan diri di kamarnya.Membuka perlahan perban yang menutupi kakinya dan ya ... hasil yang mengejutkan. Luka itu kembali mengeluarkan darah. Itu artinya, masih jauh dari kata baik-baik saja."Lukanya malah makin parah ini mah," ringisnya dengan nada tertahan ... melepaskan benda yang menempel itu dari telapak kakinya hingga benar-benar lepas.Berjalan perlahan menuju lemari
Kalina meletakkan telapak tangannya di dahi Kenzie, menghela napas ketika rasa panas itu masih terasa. Bahkan masih sama seperti sebelumnya. Ya, jelas ... karena dia belum minum obat sama sekali. "Kak, kotak obat di mana?""Di bawah. Di dalam lemari dekat ruang keluarga," jelas Ken.Kalina hendak beranjak pergi, tapi Ken menyambar tangannya ... membuat niatnya terhenti."Hmm, kenapa?" tanya Kalina heran."Aku nggak butuh obat," ujarnya pelan, dengan punggung yang ia senderkan di sandaran tempat tidur."Kakak mau sembuh nggak, sih?""Kal, maaf, membuatmu repot harus mengurusku," ucap Ken.Kalina malah tersenyum menanggapi perkataan Kenzie. "Hanya itu?" Canda Kalina.Tak membalas, tapi tiba-tiba Ken malah menarik Kalina ke pelukannya dan memeluk erat gadis itu. Entahlah apa yang terjadi padanya, tapi ketika berada sedekat ini dengan Kalina membuatnya berasa tenang saja."Kak ...""Hanya sebentar," timpal Kenzie saat Kalina berusaha lepas darinya.Hatinya tak karuan mendapatkan sikap se
Mata Kenzie yang terpejam seketika terbuka saat mendengar sebuah kalimat ajakan itu. Bukan karena ajakan, tapi lebih tepatnya fokus pada sosok yang mengajaknya."Ayo, pulang denganku," ajak Kalina menyodorkan tangannya, berharap dapat sambutan dari Ken."Udah, pulang sana sama Kalina. Serena juga bakalan nyuruh lo pulang, kalau tahu kakaknya sakit, tapi malah di sini dengan udara dinginnya malam," terang Zean. "Kamu kuat bawa mobil, kan? Atau Papa minta supir untuk jemput aja?" tanya Wira pada Kenzie. Karena tak ingin mengambil resiko terburuk, dengan kondisi Ken yang sedang tak baik malah memaksakan untuk mengemudi."Aku bisa kok, Om," sahut Kalina ramah yang mendapatkan anggukan dari Wira."Nanti Kalina istirahat di rumah aja, ya. Sekalian bisa mantau kondisi Kenzie. Biasanya dia kalau lagi sakit suka rada ...""Ma ..." timpal Ken dengan ocehan mamanya.Norin malah tersenyum melihat ekspressi putranya yang tak terima dengan perkataannya.Kalina menarik kembali tangannya karena tak
Menyambar tangan Kalina dengan cepat dan menarik gadis itu hingga jatuh ke pelukannya. Dia berusaha lepas, tapi tentu saja tak ia lepaskan."Kak!""Apa aku ada salah? Kenapa sikapmu begini padaku?"Kalina diam. Ingin rasanya membalas pelukan ini, tapi bertahan untuk tak melakukan. Bingung harus mengeluarkan kata-kata apalagi. Di satu sisi, ia takut sikap Kenzie membuatnya baper sendiri. Tapi kalau mengakui perasaannya, tentu saja itu terasa memalukan. Dirinya sadar diri, seperti apa sosok gadis yang disukai oleh cowok ini. Yang jelas, ia tak termasuk ke dalam list itu."Lepasin aku, Kak," pinta Kalina."Nggak akan."Tapi di saat bersamaan, ponsel milik Ken malah berdering. Membuatnya mau tak mau malah melepaskan Kalina dari pelukannya. Bahkan dia dengan cepat berlalu pergi dari hadapannya."Kalina!"Ingin menyusul, tapi nama yang tertera di layar ponsel membuat niatnya terhenti."Ya, Pa.""Ken, kamu di mana, Nak? Serena udah ketemu? Mama udah lapor pihak kepolisian, tapi ternyata ..."
Kalina langsung tersentak saat mendengar perkataan itu. Karena posisinya masih fokus dengan pikirannya. Langsung menghapus air mata yang membasahi kedua pipinya dengan kasar."A-apa, Kak?" Berusaha tetap tenang, dengan senyuman singkat yang ia berikan pada Kenzie.Ken menatap fokus pada Kalina, seakan sedang menelisik jauh ke dalam dua bola mata yang tampak memerah itu. Bagaimanapun dia berbohong, tetap saja ia akan peka."Kenapa nangis lagi?""Enggak," jawab Kalina.Ken mengapus air bening yang masih tampak tergenang di pipi Kalina dengan jemarinya. Tapi, sedikit terhenti ketika fokus matanya tertuju pada luka yang tampak di sudut bibir gadis itu."Masih membohongiku?""Aku baik-baik saja," ujar Kalina mengelakkan tangan Ken yang masih berada di wajahnya. Sentuhan Ken di wajahnya ... kenapa terasa begitu hangat hingga rasanya sampai menyentuh hatinya.Tiba-tiba hatinya kembali sedih, ketika mengingat keadaan Serena."Kak, apa Eren akan baik-baik aja? Aku takut dia kenapa-kenapa. Anda
Setelah mendapatkan telepon dari Kalina, Zean dan Ken segera menuju tempat yang di maksud. Yap, sekolahan. Tempat yang di awal jadi tempat pencarian dan tak menemukan apa apa, tapi justru di sanalah mereka berada.Zean mengemudi dengan kecepatan tinggi ... berharap cepat sampai. Jujur saja, hatinya terasa tak baik-baik saja saat ini. Bahkan sedari tadi siang Serena menghilang tak ada kabar, ditambah lagi dengan perkataan Kalina di telepon. Itu membuktikan jika feelingnya benar-benar terjadi.Kenzie menyenderkan punggungnya, dengan kedua mata yang ia pejamkan. Kondisinya sedang tak sehat, di saat adiknya dalam masalah. Tiba-tiba bersyukur dengan adanya Zean ... jadi seseorang yang bisa diandalkan perihal Serena. Tapi, kenapa hatinya malah justru fokus pada Kalina?"Lo baik-baik aja, kan?" tanya Zean pada Ken.Kenzie itu sedang sakit, jadi wajar jika ia khawatir akan kondisi sobatnya. Padahal tadi sudah ia minta untuk tetap di rumah, tapi tahu sajalah seperti apa kekeraskepalaan Ken sep