Seorang wanita tengah terduduk lesu di pinggir trotoar. Sebuah map berwarna merah yang dipegang adalah penyebabnya. Di dalam map itu terdapat pernyataan yang mengharuskan dirinya mengambil sebuah pilihan yang sulit yaitu mempertaruhkan nyawa ayahnya.
"Tidak ada pilihan lain, aku harus melakukan sesuatu!" gerutu wanita itu sembari beranjak dari pinggir trotoar. Langkah kakinya menuntun ke sebuah tempat. Ia tidak peduli dengan teriknya sinar matahari yang membakar kulit.Tempat yang dituju yaitu sebuah cafe yang tak jauh dari trotoar tersebut. Hanya butuh waktu lima menit untuk sampai di tempat.Ketika membuka pintu, wanita itu sudah disambut tatapan sinis."Ada apa kau kemari, Erin? Aku sudah tidak bisa memberimu uang lagi!" Seorang wanita paruh baya berkata dengan nada ketus."Tante Desi... aku mohon ... beri aku pinjaman uang lagi. Aku janji akan membayar semua hutangku." Erin meraih tangan tantenya seraya menatap penuh harap menginginkan kebaikan hati tantenya."Tidak bisa! Bayar semua hutangmu dengan lunas dulu! Baru kau bisa berhutang lagi padaku!" Tante Desi melepaskan tangan Erin dengan kasar, lalu mendorong Erin keluar dari cafe."Tante ... Erin mohon ... beri kesempatan lagi ...." Erin bersujud di kedua kaki tante Desi.Tante Desi nampak panik dengan apa yang dilakukan Erin, karena ada pelanggan yang menatap ke arah mereka."Ikut, Tante!" Tante Desi membungkuk sembari membantu Erin berdiri dari posisinya.Erin hanya mengangguk. Ia kemudian mengikuti tante Desi. Erin merasa ada sebuah harapan baru baginya. Ternyata tante Desi masih memiliki kebaikan dalam hatinya.Saat ini Erin telah berada di ruangan tante Desi. Wajah murungnya berubah menjadi berseri-seri.Tanpa ada perkataan apapun, tante Desi mengeluarkan sebuah berkas. Berkas itu diserahkan pada Erin."Ini apa, Tante?""Baca saja!"Erin membaca setiap kalimat yang ada di dalam berkas yang diserahkan oleh Tante Desi. Seketika Erin membelalakkan mata melihat rincian hutang yang ada di sana. Ia tidak menyangka jika selama ini ia mengangsur beberapa hutangnya, tidak membuat hutangnya berkurang. Ternyata tante Desi sudah memberikan bunga yang besar setiap bulan."I ... ini ... maksudnya apa, Tante?" Erin menunjuk pada sebuah kalimat yang janggal yang ada di dalam berkas."Apa kau tidak bisa membaca? Di sana sudah tertulis jelas, kalau kau ingin berhutang lagi sebelum membayar hutang sebelumnya, berarti kau harus menjadi wanita penghibur di club malamku, sampai semua hutangmu lunas!"Erin meneguk ludahnya susah payah. Ternyata ia tidak salah membaca kalimat yang tertera di dalam berkas itu."Cepat tanda tangani!" Tante Desi memberikan pulpen pada Erin.Erin hanya termenung menerima pulpen dari tante Desi. Pikirannya kacau. Memang setelah menandatangani berkas itu, nyawa ayahnya bisa terselamatkan. Namun, di sisi lain, harga diri Erin harus dikorbankan.“Cepat tanda tangan! Kau mau membayar dengan tubuhmu, atau membiarkan ayahmu mati?”Bukannya tanda tangan, Erin justru kabur dari hadapan tante Desi.“Sialan kau! Jangan kabur!” teriak tante Desi.Erin berlari keluar dari cafe. Ia harus menyelamatkan diri sebelum menentukan pilihan.Usai merasa cukup jauh dari cafe, Erin berjalan tanpa tujuan. Tatapannya berubah kosong ketika memandangi map yang diberikan tante Erin.Dug!"Aw!"Kaki Erin tak sengaja tersandung kursi yang ada di pinggir taman kota. Ia kemudian tersadar dari lamunannya."Astaga ... aku ternyata sudah ada di sini." Erin menatap sekeliling.Kini Erin duduk di kursi yang tak sengaja ditabraknya. Erin menundukkan kepala sembari mengembuskan napas berat. Sesekali Erin meremas berkas yang ada di tangannya sejak tadi.Perlahan air mata Erin terjatuh di pipinya. Ia sudah tak kuasa menahan rasa sedihnya. Bayangan ayahnya yang tengah terbaring koma selama bertahun-tahun yang membutuhkan pertolongannya untuk tetap hidup, bercampur aduk dengan harga diri yang harus dipertaruhkan.Erin bisa saja mengorbankan harga dirinya demi menyelamatkan nyawa ayahnya. Namun ia tidak ingin memberi luka lain pada ayahnya jika terbangun nanti. Erin tidak ingin ayahnya terbebani dengan kenyataan pahit.Tak ingin menjadi pusat perhatian orang lain lebih lama, Erin menghapus air matanya dengan kasar. Ia sudah memikirkan jalan terakhir yang mungkin bisa memberi harapan.Erin beranjak dari kursi. “Ya Tuhan … aku mohon … ubahlah hati ibuku untuk bisa membantuku,” ucap Erin sembari menatap langit. Usai melakukan permohonan, Erin menelepon ibunya. Sayangnya panggilan langsung ditolak oleh sang ibu. Detik berikutnya muncul pesan dari sang ibu yang berisi akan melaporkan Erin ke polisi kalau mengganggu kembali.'Kemana lagi aku harus meminjam uang? Ibuku bahkan sudah tidak peduli lagi padaku. Pasti ibu lebih senang melihat ayah mati,' batin Erin. Hanya embusan napas pasrah yang dikeluarkan oleh Erin. Rasa Frustrasinya semakin menumpuk. Kepala Erin rasanya ingin pecah. Air mata Erin menetes kembali ketika mengingat kenangan bersama sang ayah. Tidak sanggup rasanya Erin harus membiarkan ayahnya pergi dengan cepat."Aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus mencari cara lagi," ucap Erin meyakinkan diri. Ia kemudian berjalan kembali.Bugh!Erin bertabrakan dengan seseorang. Tanpa melihat keadaan orang yang ditabraknya, Erin segera menunduk dan meminta maaf berkali-kali.Tak ada respon dari seseorang yang ada di depannya. Hal itu membuat Erin menatap orang tersebut.“Ikut denganku!” Seseorang itu menarik lengan Erin.“Siapa kau?” tanya Erin sembari mencoba melepaskan diri.Seseorang yang menarik Erin adalah seorang pria. Namun Erin tak mengenalnya. Perasaan Erin semakin tidak enak. Erin mencoba melepaskan diri tak bisa terlepas, karena cengkeraman tangan pria itu cukup kuat.Pikiran Erin tertuju pada tante Desi. Mungkin orang yang di depan Erin adalah orang suruhan tante Desi untuk menangkapnya.Erin menatap sekeliling. Ia melihat dari kejauhan terdapat orang yang sedang berkumpul di area perumahan ibunya.“Tolooooongg! Toloooongg!” teriak Erin dengan cukup keras.Pria yang menarik Erin nampak panik ketika melihat orang yang mendengar teriakan Erin menatap ke arahnya.Erin mengambil kesempatan yang ada di depan matanya. Ia segera melepaskan tangannya dari cengkeraman pria itu.Usaha Erin berhasil. Ia terlepas dan segera berlari menjauh, tanpa menoleh ke belakang. Pedoman Erin hanya suara hentakan kaki dari pria yang menariknya tadi.‘Aku harus kabur! Tuhan ... aku mohon ... selamatkan aku,’ batin Erin di sela-sela berlari. Ia kemudian mencari jalan yang bisa membawanya ke jalan raya.“Hey bocah! Tunggu!” teriak pria yang mengejarnya.Erin tak mempedulikan panggilan pria itu. Ia semakin mempercepat kecepatan larinya. Ketika melihat dirinya akan sampai di ujung perumahan, Erin berbelok ke arah kanan. Beruntung dirinya ingat di mana arah yang membawanya ke jalan raya.Dug!Erin tersandung. Ia langsung panik, lalu menoleh ke belakang. Pria yang mengejarnya tak jauh dari dirinya terjatuh. Tak ingin tertangkap, Erin langsung bangkit kembali. Kaki Erin juga tidak terluka parah atau terkilir, sehingga tidak membuat hambatan yang berarti.‘Jika aku terus berjalan lurus, pasti akan mudah tertangkap. Lebih baik aku menyeberang jalan saja,’ yakin Erin. Mata Erin menatap ke arah zebra cross yang tak jauh darinya. Ia segera menambah kecepatan larinya.Erin melihat tanda lampu hijau untuk menyeberang menyaja sejak pertama kali melihatnya. Ia segera berbelok ke kiri untuk menyeberang.“Nona awas!” teriak beberapa orang yang melihat Erin menyeberang.Erin terkejut ketika melihat ada mobil yang mengarah padanya. Ia tiba-tiba menghentikan langkahnya.Bugh!Erin terjatuh dengan mata tertutup. Ia sudah pasrah dengan apa yang terjadi pada dirinya.Pria yang mengejar Erin bergegas pergi ketika melihat Erin tak muncul lagi saat mobil melaju ke hadapan Erin. Ia tidak ingin terlibat lebih jauh dengan kecelakaan yang menimpa Erin.“Nona! Nona! Anda tidak apa-apa?” ucap seorang pria yang mengemudi mobil mengguncang tubuh Erin.Erin perlahan membuka matanya. Ia bersyukur jika masih hidup. Hanya rasa perih yang dirasakan Erin saat ini. Lulut dan lengannya tergores aspal."Maaf. Saya tadi tidak terlalu fokus. Mari saya antar ke rumah sakit." Pria yang mengemudikan mobil mengulurkan tangan pada Erin.'Apakah aku harus ikut dengannya?' tanya Erin dalam batinnya yang masih ragu. Mata Erin menatap sekeliling mencari pria yang mengejarnya. Erin langsung panik.Erin menatap sekeliling sekali lagi. Ia mencari keberadaan orang yang mengejarnya. Namun tidak ada. "Ayo, Nona." Pria tersebut membantu Erin berdiri. 'Lebih baik aku menerima tawaran orang ini. Daripada aku di sini, nanti tertangkap lagi,' batin Erin. Pria yang hampir menabrak Erin membukakan pintu mobil, lalu mempersilakan Erin masuk ke dalam. Erin langsung masuk ke dalam mobil. Erin duduk di samping pria yang hampir menabraknya. Ia juga merasa ketakutan saat ini, karena tidak mengenal pria yang disampingnya. Entah orang yang di samping Erin jahat atau tidak.Mobil berhenti di depan rumah sakit. Erin di antar ke dalam rumah sakit oleh pria yang hampir menabraknya. Erin ditangani oleh perawat. Luka Erin dibersihkan dan diobati. Usai diobati, Erin keluar dari ruangan. Pria yang sebelumnya menunggu Erin di ruang tunggu. Erin berjalan mendekat ke arah pria itu. "Apa Nona sudah baik-baik saja?" "Iya, Pak.""Saya benar-benar meminta maaf untuk yang tadi. Sebagai wujud tanggung jawa
Erin menunjuk pada foto yang ada di dalam kamar bukanlah seorang anak, melainkan pria. Insting Erin mengatakan jika pak Edo mungkin salah kamar. “Apa Bapak yakin ini kamarnya?” Erin berbalik tanya.Pak Edo mengangguk. Sikap Erin yang nampak terkejut sekaligus takut disebabkan kamar yang disinggahinya memancarkan aura yang menyeramkan. Sangat jauh dari kamar anak kecil. Dinding yang berwarna abu-abu gelap dilengkapi dengan lukisan dan poster yang mengerikan. Erin tidak yakin jika penghuninya anak kecil yang akan diasuh Erin. “Tuan Muda, Anda di mana?” Pak Edo mencari seseorang pemilik kamar tersebut. Erin masih terdiam di tempatnya. Ia menatap sekeliling. Suasana kamar masih tetap mencekam bagi Erin. Apalagi Erin melihat ada sebuah papan yang penuh dengan coretan berwarna merah. Tak hanya itu, ekspresi manusia dari lukisan dan poster yang tampak berdarah-darah juga menambah kesan menakutkan. Namun yang paling membuat bertanya-tanya, ada sebuah sisi yang cukup terang dari salah satu
Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu kamar membuat perkacapan terhenti. Rupanya pak Edo yang datang kembali ke kamar. "Apa dia tidak diberitahu hal yang harus ditunjukkan?" tanya Edward pada pak Edo."Maaf, saya lupa Tuan.""Kau mendapatkannya atas perintah siapa?""Mom Elisa, Tuan."“Ternyata wanita itu cukup cepat bekerja menemukan pengasuh baru.” “Iya, Tuan. Saya menyampaikan dengan cepat pada nyonya dengan kriteria yang Anda inginkan.” “Tinggalkan aku dengannya sekarang!” “Baik, Tuan.” Erin menatap pak Edo. Tatapan Erin seolah menuntut banyak penjelasan. Namun tatapan pak Edo hanya menyiratkan semua akan baik-baik saja. Edward mendekat ke arah Erin. Ia mengamati Erin dari atas sampai bawah. Sementara Erin yang diamati cukup intens merasa terintimidasi. ‘Ya Tuhan ... aku di sini benar akan menjadi pengasuh, kan? Bukan untuk pemuas nafsu atau yang lainnya?’ batin Erin menguatkan diri. Ia cukup khawatir telah menerima pekerjaan sebagai pengasuh. "Berikan surat perjanjian kerjam
“Sebentar.” Edward meminta Erin menunggu sembari mengecek satu per satu catatan yang ada di meja belajar.Perasaan Erin semakin tidak tentu. Ia takut rencana kepribadian lain dari Edward membahayakan. ‘Apakah aku sudah mengambil keputusan yang benar?’ batin Erin sembari menatap sekeliling. Berapa kali pun Erin menatap sekeliling, suasana mengerikan dari lukisan dan poster yang di dinding tetap terasa nyata. Edward kembali ke hadapan Erin dengan membawa sebuah kertas. “Jadi ... rencana Alex malam ini adalah taruhan balap liar.”“A ... apa aku ... yang akan balapan?” “Entahlah. Hanya tertulis seperti ini saja.” Edward memperlihatkan tulisan yang ada dalam secarik kertas. “Edward! Buka pintunya!” teriak seseorang dari luar kamar. Ekspresi Edward terlihat berubah. Aura ketegangan menyelimuti wajah Edward. “Sembunyi!” seru Edward pada Erin. Erin menatap bingung ke arah Edward. Ia tak mengerti mengapa harus bersembunyi. “Aku bilang sembunyi!” bentak Edward pada Erin. Erin langsung me
"Kau harus mencari kotak hitam yang tersembunyi di sekitar makam ini. Waktunya hanya lima belas menit." Alex memberi perintah dengan seenaknya pada Erin."Kotak hitam? Untuk apa?""Tidak perlu banyak tanya. Cepat cari! Kalau kau tidak mencarinya, maka tidak ada gaji awal yang kau harapkan tadi!"Erin ingin lari saja rasanya. Namun bayangan sang ayah pergi meninggalkan dirinya untuk selamanya tidak sanggup. Oleh karena itu, Erin langsung bergegas menyusuri pemakaman yang tampak gelap. Berbeda sekali dengan pemakaman yang ada di pinggir kota. Alex tampak tersenyum senang melihat Erin patuh bak anjing peliharaan. Ia menyempatkan mengambil video saat Erin mencari kotak hitam yang berisi kain bendera balap liar. Lain halnya dengan Erin yang tampak gemetar melawan rasa merinding yang menyusup di sekujur tubuhnya. Berkali-kali Erin meminta maaf pada mendiang beristirahat di dalam tanah yang dilewati oleh Erin. Kraakk!Erin tak sengaja menginjak nisan kayu yang telah lapuk. Kaki Erin gemet
Pemandangan yang disaksikan Erin berupa kumpulan pria dan wanita yang seumuran Erin, bahkan ada yang lebih tua. Semua hal yang dilihat Erin sekarang rasanya mengiris hati. Namun anehnya mereka menikmatinya. Sesekali Erin mengalihkan pandangan agar tidak merasa risih.Kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan yang tidak pantas dilihat oleh umum. Ada pria yang sedang memainkan dua aset masa depan bagian atas dari wanita dengan terang-terangan. Ada juga yang berpelukan tidak biasa dengan adanya lenguhan aneh. Erin merasa ternodai lagi matanya. Cukup gila ternyata perkumpulan kepribadian lain dari Edward sekarang. Entah apa yang dilakukan selanjutnya, Erin masih tak sanggup bergerak dari tempatnya. Ia terlalu takut dengan situasi di sana. "Kenapa kau di sini? Aku sejak tadi memanggilmu?" Alex mendekati Erin. "Maaf, bisakah aku menunggu di sini saja?" Erin mencoba memohon. Walaupun kemungkinan disetujui oleh Alex sangat kecil."Tidak. Kau harus ikut bersamaku. Pengasuh sebelumnya juga mel
Duak!Benturan mobil terdengar keras. Erin merasakan dirinya seperti terbang. Namun mata Erin tetap dibiarkan terpejam. Tak sanggup rasanya melihat kenyataan. Entah Erin akan pindah alam atau masih dikasihani oleh Tuhan. "Woooooowwwwww! Wuuuhuuuu!" teriak Alex kegirangan.'Pria gila! Akan menghadap sang pencipta bisa-bisanya berseru senang!' batin Erin.Braakk! Braakkk! Braakk! Ciiiiitttttt! Kraaaakkkk!Erin mendengar jelas bunyi aneh yang menyakitkan. Sepertinya berasal dari truk yang sempat dilihat tadi. Karena Erin merasa tidak berguncang seperti tadi. Rasa penasaran Erin membuatnya membuka mata. Rupanya mobil yang ditumpangi Erin berada di jalan raya lagi. Entah kapan bisa terjadi seperti itu."Yeeeeaahhh! Aku pasti menang!" Alex berseru dengan semangat. Saat Erin akan mendebat Alex, justru kesulitan kembali dengan fantasi Erin yang lebih menyesakkan. Adegan pergulatan panas antara pria dan wanita di atas ranjang membuat Erin berkeringat. Tanpa sengaja Erin juga melepaskan suar
Sebuah hal yang diminta oleh Alex semalam rupanya bukan hal yang menakutkan bagi Erin. Namun sangat merepotkan. Karena Erin harus membujuk kekasih Alex yang sedang marah dan menyampaikan pesan jika Alex ingin menghabiskan malam yang panjang dengan sang kekasih.Akibat kelelahan dalam menuruti segala perintah Alex dan pacarnya membuat Erin harus tertidur di sofa sebuah hotel yang ada di lobi hotel. Erin tidak bisa berada di kamar hotel yang dipesan Alex, karena suara sahut-sahutan Alex dan pacarnya saat beradu aset masa depan sangat mengganggu. Kini Erin terpaksa dibangunkan oleh Alex. "Hei! Ayo pergi!" ucap Alex dengan nada lirih sembari mengguncang keras tubuh Erin. Erin mengerjapkan mata. Rasa pusing masih mendera kepala Erin akibat kurang tidur dan meminum sesuatu yang aneh semalam. Namun Alex tidak membiarkan Erin menyelaraskan tubuhnya hingga normal kembali.Kini Erin berada di dalam mobil bersama Alex. Erin merasa Alex berbeda dengan yang semalam. Harapan Erin sekarang Alex te
"Apa permintaanmu?" Elisa terdengar penasaran dari seberang telepon.Alex memperbesar volume suara, agar Erin bisa mendengarnya. Walaupun Erin berusaha menjauh agar tidak mendengar percakapan Alex dan Elisa. Namun Alex menahan tangan Erin agar tetap mendengar pembicaraannya dengan Elisa."Aku tau kalau kau hanya ingin harta dari iblis itu. Jadi, aku akan mewujudkannya. Asalkan kau menjamin semua yang aku inginkan terwujud."Erin tampak terkejut dengan ucapan Alex. Ia tidak pernah terpikirkan kalau Elisa menginginkan harta Xander ayah dari Edward. Padahal dari luar Elisa terlihat seperti ibu peri bagi Edward. "Apa yang kau inginkan?""Semua yang aku lakukan tercukupi. Tidak ada hambatan.""Apa semua yang kau dapatkan masih kurang hingga meminta sesuatu lagi padaku?"Erin yang awalnya masih tidak percaya, begitu mendengar ucapan Elisa yang berbeda seratus delapan puluh derajat. Hal itu membuat Erin berpikir ulang. "Kalau begitu, ya sudah. Kau jangan ganggu aku. Kita hidup pada masing-
Alex menutup mulut Erin. Ia kemudian menarik Erin untuk memasuki mobil. Walaupun Erin terlihat kesakitan, Alex tidak peduli."Kemari kau anak bangst!" Xander berteriak. Alex tak mendengarkan Xander yang mengejarnya. Ia terus menancap gas dengan cukup gila, mobil sampai sedikit terangkat saat keluar dari gerbang. Erin berpegangan erat. Ia pikir Xander akan berhenti mengejar Alex. Rupanya dugaan Erin salah. Sebuah mobil tampak keluar dari rumah dengan mengikuti Alex."Sialan! Dia benar-benar ingin mati!" Alex berniat membalikkan mobilnya, lalu beradu bagian depan mobil."Alex! Kau jangan gila! Aku tidak ingin mati!" ucap Erin dengan gemetar saat melihat mobil Alex berbalik, lalu seakan-akan ingin menabrak mobil yang mengikutinya."Alex!" teriak Erin sembari menutup mata. Ia pasrah terhadap apa yang akan terjadi. Jika memang Erin nanti mati, hanya bisa memasrahkan ayahnya pada Sang Pencipta saja untuk menjaga sang ayah.Perlahan Erin membuka mata akibat tidak mendengar suara tabrakan.
Brraaaaakkk!Xander melemparkan lampu hias pada tubuh Alex saat mulai bangkit. Hal itu tak membuat Alex gentar. Walaupun rasa sakit yang dirasakannya tidak hanya tubuh saja, melainkan batinnya juga sakit.Bugh! Alex menyerang Xander dengan menyeruduk dengan kepalanya hingga Xander terjatuh. Ketika Xander terjatuh, Alex langsung menerjangnya. Dug!Tubuh Alex dijatuhkan dengan keras pada bagian perut Xander. Pukulan diberikan Alex pada Xander. Sayangnya tangan Xander dengan sigap menangkis. "Anak sialan! Tidak tahu diri!" Xander mendorong Alex hingga oleng ke kanan. Namun tidak bisa menjatuhkan Alex, karena kaki Alex mengunci tubuh Xander. "Aku tidak minta dilahirkan bangst! Kenapa kau menginginkan aku ada!" Alex berteriak di wajah Xander. Bugh!Pukulan keras diberikan Xander pada Alex. Erin dan Elisa tidak tahan dengan pemandangan ayah dan anak yang saling menyiksa. Elisa menahan Xander. Sedangkan Erin menahan Alex. Mereka kemudian masing-masing menarik Xander baik Alex agar bisa
"Kak Erin, ini bukan jalan ke rumah Vije."Perkataan Vije membuat Erin bisa fokus kembali. Namun memang Erin tidak bisa membawa Vije pulang ke rumah. Ponsel Erin berdering kembali. Kali ini ayah Edward yang menelepon. Keringat dingin dirasakan Erin saat sempat mengintip nama yang tertera. Erin menepikan mobil. Ia tidak mungkin mengabaikan panggilan dari ayah Edward. Bisa tamat riwayat Erin jika melakukannya."Halo, Pak. Ada apa?""Ada apa katamu? Di mana Edward!" tanya ayah Edward dengan nada kesal.Erin sampai menjauhkan ponselnya demi meredam suara ayah Edward. "Ada bersama saya, Pak." Erin tidak bisa berbohong. Kalau suatu hal diawali dengan kebohongan, maka seterusnya akan memerlukan kebohongan untuk menutupinya. "Bawa ke hadapanku sekarang!" "Tapi, Tuan Muda Edward ada rapat setengah jam lagi, Pak." "Tidak perlu datang! Lebih penting datang ke hadapanku sekarang!""Maaf, Pak. Anda ada di mana?""Di rumah."Klik!Sambungan telepon terputus secara tiba-tiba. Erin dilema. Elisa
Hari buruk Erin berlalu kemarin. Namun bukan berarti hari ini Erin akan bahagia. Masih ada misteri yang akan dijalani hari ini. Semalam Alex tidak melakukan hal buruk, melainkan hanya memasak kembali menu yang dimasak Erin. Rasa masakannya jauh lebih enak daripada milik Erin. Perbedaannya Erin bumbu versi rempah Indonesia. Sedangkan Alex memasak dengan bumbu yang sama dengan masakan Western.Erin terbangun dari tidurnya. Ia tidak sadar jika tertidur di meja minibar yang ada di dapur. Anehnya Erin tidur dengan berbantalkan tangan Alex. Alex yang tertidur dimanfaatkan oleh Erin untuk mencari ponsel. Terakhir kali Erin tahu jika ponselnya disembunyikan Alex di dalam sakunya. "Kalau aku mengambil dari dalam sakunya, apa nanti tidak membuatnya bangun?" gerutu Erin. Erin akhirnya membiarkan Alex tertidur. Sepanjang malam Erin dan Alex hanya bercerita. Terkadang Erin mengerti perasaan Alex. Rupanya Alex tidak hanya merugikan saja. Alex sama seperti manusia biasa. Tangan Erin perlahan ing
Erin menelan ludahnya susah payah. Ia seakan dikunci oleh tatapan dari Alex. Tak disangka ucapan asal yang dilontarkan Erin membuat Alex tampak bersungguh-sungguh."Kenapa tidak menjawab?""Maaf. Aku tadi asal bicara. Jangan jadikan dirimu pembunuh. Jika itu terjadi, sampai kau masuk neraka pun ... aku akan tetap membalasmu.""Ck! Kau di dunia saja lemah seperti ini. Percaya diri sekali kalau di akhirat lebih hebat?" "Biarkan saja!" Cup!Alex mencium bibir Erin. Selanjutnya Erin menipiskan bibirnya agar tidak bisa terhisap kembali oleh bibir Alex. "Alex, jangan perlakukan aku seenaknya. Kau tidak menyukaiku. Jadi, tolong jangan jadikan aku jalangmu.""Aku tidak menjadikan kau sebagai jalangku. Kau memang milikku." Alex beralih mencium pipi Erin. Ia tidak menyerah kalau hanya bagian bibir saja yang ditutup aksesnya oleh Erin."Alex, tolong jangan meninggalkan kesan buruk di benakku. Aku ingin berteman denganmu layaknya aku bersama Edward dan Vije.""Aku tidak mau disamakan dengan me
Darwin sempat menoleh ke belakang. Ia ingin memastikan kalau Alex tidak muncul secara tiba-tiba. Karena cerita kelam Alex merupakan hal yang dibenci untuk disebarkan pada orang lain."Om?" Erin tanpa sadar lancang memanggil Darwin agar meneruskan ceritanya."Oh, iya! Maaf. Om tadi hanya ingin memastikan ada Alex atau tidak. Cerita ini sebenarnya tidak bisa disebarkan. Berhubung kau sempat terseret kasus Revan. Makanya Om beritahu.""Kalau memang privasi tidak apa-apa disimpan saja, Om. Erin tidak mau Om nanti dimusuhi oleh Alex.""Tenang saja. Tidak akan terjadi. Alex tidak bisa hidup tanpa, Om. Dia meskipun terlihat arogan, hanya Om yang diandalkan dan dipercaya oleh Alex." Darwin terlihat membanggakan diri.Erin hanya tersenyum kecil menanggapi Darwin. Cukup unik keluarga besar Vijendra. Mulai dari ayah yang kejam, anak yang memiliki kepribadian ganda dan paman yang terlihat berbeda dentan tampilan luarnya."Sampai mana tadi ceritanya?""Sampai Alex bertemu Revan dengan membawa paca
Tidak seperti dugaan Erin, Alex tidak melakukan sesuatu yang membahayakan bagi bibi Surti. Alex hanya merebut ponsel bibi Surti agar tidak mengangkat telepon."Bi, saya pulang!""Lo, Nak Alex. Kenapa pulang? Ini sudah malam."Alex tak menjawab. Ia justru menarik tangan Erin. Sementara Erin memberikan permintaan maaf secara halus pada bibi Surti. Kini Alex dan Erin berada di dalam mobil. Langsung saja Alex menancap gas dengan kecepatan tinggi setelah keluar dari halaman rumah. Erin sempat memperhatikan Alex. Tatapan Alex sempat memperlihatkan ada aura ketakutan meskipun hanya sekilas. Erin menghargai Alex yang menyembunyikan sesuatu."Rumahmu di mana?" tanya Alex di sela-sela mengemudinya."Tidak ada.""Kau aslinya gelandangan?""Hei! Bukan berarti aku gelandangan.""Kan gelandangan saja yang tidak memiliki rumah.""Ya, memang benar. Tapi, kenyataanya rumahku sudah tidak ada. Sudah diratakan menjadi tanah.""Kenapa boleh diratakan begitu saja? Biasanya kan, rumah menyimpan kenangan?"
Alex masih tak menjawab pertanyaan Erin. Ia fokus mengemudi. Tujuan Alex entah akan membawa Erin kemana.Perjalanan yang cukup panjang membuat Alex berhenti di depan sebuah klinik. Ia meminta Erin turun dari mobil. "Kenapa kita datang ke klinik?""Sejak tadi darahmu selalu keluar. Itu terlihat menjijikkan. Jadi, aku membawamu kemari."Erin mengartikan kalau Alex gengsi mengatakan kalau peduli pada luka Erin. Namanya juga wanita pasti cenderung berprasangka lebih jauh dari kenyataan."Ayo!" Alex berdiri tepat di depan pintu mobil dekat Erin. "Sabar sedikit." Erin keluar dari mobil dengan langkah yang hampir terjatuh. Rupanya Erin baru merasakan kalau kepalanya pusing. Mungkin lebih tepatnya baru dirasakan, meskipun sejak tadi kepala Erin pusing. Di dalam klinik Erin diberi penanganan agar darah di dalam hidungnya tidak keluar terus-menerus. Sementara Alex menunggu di luar ruangan. Terlihat jelas jika Alex enggan masuk ke dalam ruangan. Pengobatan pada luka di hidung Erin terganggu