Sebuah hal yang diminta oleh Alex semalam rupanya bukan hal yang menakutkan bagi Erin. Namun sangat merepotkan. Karena Erin harus membujuk kekasih Alex yang sedang marah dan menyampaikan pesan jika Alex ingin menghabiskan malam yang panjang dengan sang kekasih.Akibat kelelahan dalam menuruti segala perintah Alex dan pacarnya membuat Erin harus tertidur di sofa sebuah hotel yang ada di lobi hotel. Erin tidak bisa berada di kamar hotel yang dipesan Alex, karena suara sahut-sahutan Alex dan pacarnya saat beradu aset masa depan sangat mengganggu. Kini Erin terpaksa dibangunkan oleh Alex. "Hei! Ayo pergi!" ucap Alex dengan nada lirih sembari mengguncang keras tubuh Erin. Erin mengerjapkan mata. Rasa pusing masih mendera kepala Erin akibat kurang tidur dan meminum sesuatu yang aneh semalam. Namun Alex tidak membiarkan Erin menyelaraskan tubuhnya hingga normal kembali.Kini Erin berada di dalam mobil bersama Alex. Erin merasa Alex berbeda dengan yang semalam. Harapan Erin sekarang Alex te
"Ada apa?" tanya Edward tampak penasaran. "Ayahku tiba-tiba kondisinya menurun. Bolehkah aku turun di depan sana saja. Aku janji akan kembali ke rumahmu setelah ini." Edward yang pada dasarnya suka iba dengan derita orang lain, akhirnya menepikan mobilnya. Sejujurnya Edward ingin mengantarkan Erin kembali ke rumah sakit. Namun pesan dari ayahnya untuk segera ke kantor membuat Edward mengurungkan niat."Punya ongkos untuk ke rumah sakit?" tanya Edward sebelum meninggalkan Erin."Punya. Kau tenang saja. Terima kasih. Maaf, ya."Edward kemudian melajukan mobilnya meninggalkan Erin. Erin memandangi mobil Edward yang telah menjauh. Ia harus memesan ojek online agar cepat sampai di rumah sakit. Jika menunggu taksi akan lama bagi Erin. Ojek online pesanan Erin telah tiba. Erin naik ke motor setelah memakai helm. Perlahan motor melaju menuju ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan Erin merapalkan doa untuk keselamatan sang ayah. 'Tuhan ... tolong jangan ambil ayah sekarang. Aku masih belum m
Erin pusing tujuh keliling mendengar pertanyaan Vije. Belum sempat memberi jawaban, Erin ditelepon oleh pak Edo. Hal itu membuat Erin pamit keluar sebentar dari kamar Vije. Di luar kamar, Erin mengangkat telepon dari pak Edo. "Halo, Pak. Ada apa?""Erin, tolong segera siapkan tuan muda. Rapat di kantor akan dimulai empat puluh menit lagi.""Masalahnya, sekarang Edward sedang berganti kepribadian menjadi Vije, Pak. Saya bingung harus bagaimana membujuknya untuk pergi ke kantor.""Aduuhhh! Bisa gawat kalau seperti ini. Karena rapat yang akan diadakan merupakan rapat penting. Kalau tidak datang, kesempatan tuan muda untuk bisa mengelola perusahaan akan jatuh ke tangan sepupunya."Erin mengigit kukunya. Ia harus berpikir keras. "Pak, sebenarnya Vije mau ke kantor dengan dua syarat.""Apa itu? Pertama minta dimandikan dan kedua minta naik kereta pulang dari kantor.""Turuti saja.""Ta ... tapi ... Pak. Saya kan wanita. Tidak mungkin memandikan Vije yang merupakan pria dewasa, Pak.""Keing
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Vije. Erin terkejut dengan tindakan pria yang ada di depannya itu. Tindakan tersebut membuat Vije menatap dengan air mata yang tertahan."Anak sialan! Kenapa kau ke kantor dengan seperti ini!" Pria di hadapan Vije dan Erin meninggikan suara. Vije berlari menjauh dari sana. Erin langsung menyusul Vije. Tidak mungkin Erin membiarkan Vije sendirian. Namun langkah Erin kalah dengan langkah Vije yang lebih cepat hingga pintu lift tertutup. Erin harus menunggu lift naik kembali. Suasana sepi di lantai dua memberikan keuntungan bagi Vije. Erin bisa memastikan jika rapat memang akan diadakan lebih lambat dari perkiraan. Sepertinya memang disengaja. Ting!Pintu lift terbuka. Erin segera masuk ke dalam lift. Sebuah doa terus dipanjatkan Erin agar Vije tidak pergi jauh. Sampailah Erin di lantai dasar. Ia menatap ke sana kemari untuk mencari Vije. Terlihat di sana ada pria lain yang menghentikan Vije. Erin berlari mendekati Vije. "Tolong lepaska
Erin pergi dari taman bermain bersama Edward. Tujuan mereka tentu saja kembali ke kantor. Harapan Erin, semoga saja Edward tidak berganti kepribadian pada saat yang penting. "Kau memikirkan sesuatu?" tanya Erin yang sempat menangkap Edward menatap jalanan dengan serius. "Hanya penasaran dengan apa yang akan dibicarakan di kantor sampai memanggilku kembali. Padahal jelas tadi aku membuat kekacaun." "Jangan buat dirimu tertekan. Penting untuk menjaga dirimu yang sekarang sebagai kendali penuh atas tubuhmu."Edward mengangguk. "Lakukan apa saja yang bisa membuatku tidak berganti kepribadian." Erin meminta pak Edo untuk memutarkan musik. Tidak ingin memaksakan kesukaan dirinya pada Edward, maka Erin bertanya tentang lagu kesukaan Edward. Deretan lagu diberikan Edward pada Erin. Sepanjang perjalanan menuju ke kantor diiringi dengan lagu bahasa Inggris yang disukai Edward. Sesekali Erin juga memastikan ekspresi wajah Edward. "Ehem! Tidak perlu setiap menit juga kau menatapku." "Oh, m
Orang yang memanggil Erin langsung menyeret tangan Erin. Sementara Erin yang ditarik hanya diam saja. Kemungkinan besar Erin diam karena berada di rumah sakit atau orang yang menarik Erin adalah orang baik. "Aman sekarang." Pria yang menarik tangan Erin berbicara yang sekarang berada di kantin rumah sakit. "Terima kasih, Andi. Tapi ... kau tau dari mana kalau aku menghindari orang itu?" Erin terlihat penasaran, karena tidak pernah mengatakan pada orang lain soal dirinya yang dikejar oleh anak buah tante Desi."Aku tadi sempat bertemu dengan orang tadi. Aku tanya tentang kepentingannya kemari. Ternyata ingin bertemu denganmu. Dari tatapannya saja sudah tidak bersahabat. Apalagi sempat melihat sekilas reaksimu tadi."Erin tersenyum sekilas. Dari dulu Andi tidak pernah berubah. Selalu saja Andi cepat membaca situasi dan menjadi penolong Erin. "Sekali lagi terima kasih. Hanya itu yang bisa aku lakukan sampai sekarang padamu. Maaf tidak bisa membalas setimpal.""Tidak apa-apa. Santai sa
"Vije gak suka naik gerbong yang itu!" Vije akhirnya berbicara di sela-sela tangisnya. Erin yang masih mencari cara agar Vije tenang, berusaha mendudukkan Vije. Ia tidak tahu jika Vije suka gerbong tertentu. Jadi, Erin memesankan kereta asal saja. Tidak mempedulikan eksekutif, bisnis, atau ekonomi. Kebetulan kereta yang dipesan sekarang adalah kereta ekonomi."Kalau gitu, kita pulang ya." Erin tidak bisa memaksa Vije menaiki apa yang tidak disukai."Vije mau ganti gerbong aja! Bisa kan, Kak?"Erin melihat jam tangannya. Masih ada waktu. Biasanya pihak kereta api menjual tiket kereta secara mendadak dengan harga miring. Hanya saja harus berebut dan belum tentu dapat."Ayo kalau begitu! Tapi, kalau tidak dapat ... jangan menangis heboh lagi. Karena mendadak. Lalu, kalau tidak bisa duduk bersama juga jangan protes, ya. Karena yang dijual nanti hanya sisanya saja." Erin menarik tangan Vije. Vije menahan dirinya agar tidak mudah ditarik Erin. Akhirnya Erin pasrah."Kenapa lagi?""Vije te
Erin mendapatkan bisikan berupa rencana memisahkan Edward dengan Celine. Tentu saja Erin menolak. Ia tugasnya bukan penghancur hubungan, melainkan seorang pengasuh. "Vije tidak perlu ikut campur dengan urusan kak Edward. Karena kita tidak tahu bagaimana perasaan kak Edward pada kak Celine. Menyebalkan menurut kita, belum tentu menyebalkan juga pada orang lain." Erin sesekali menanamkan cara menghargai orang pada Vije.Vije hanya mengangguk-anggukkan kepala. "Iya, ya. Contohnya saja seperti papa. Vije suka sekali sama kereta api. Tapi, papa berapa kali diberitahu tetap saja tidak suka.""Nah, itu ada contohnya. Jadi, sekarang mengerti kan?" Vije mengangguk dengan semangat. Aktivitas Erin dengan Vije diperhatikan oleh orang-orang yang ada di kereta makan. Ada yang menatap aneh dan ada yang menggunjing kondisi Vije. "Ayo pergi, Kak!" Vije mengajak Erin pergi dari kereta makan setelah menghabiskan makanan. Erin akan pergi dari kereta makan bersama Vije. Namun perkataan seorang wanita
"Apa permintaanmu?" Elisa terdengar penasaran dari seberang telepon.Alex memperbesar volume suara, agar Erin bisa mendengarnya. Walaupun Erin berusaha menjauh agar tidak mendengar percakapan Alex dan Elisa. Namun Alex menahan tangan Erin agar tetap mendengar pembicaraannya dengan Elisa."Aku tau kalau kau hanya ingin harta dari iblis itu. Jadi, aku akan mewujudkannya. Asalkan kau menjamin semua yang aku inginkan terwujud."Erin tampak terkejut dengan ucapan Alex. Ia tidak pernah terpikirkan kalau Elisa menginginkan harta Xander ayah dari Edward. Padahal dari luar Elisa terlihat seperti ibu peri bagi Edward. "Apa yang kau inginkan?""Semua yang aku lakukan tercukupi. Tidak ada hambatan.""Apa semua yang kau dapatkan masih kurang hingga meminta sesuatu lagi padaku?"Erin yang awalnya masih tidak percaya, begitu mendengar ucapan Elisa yang berbeda seratus delapan puluh derajat. Hal itu membuat Erin berpikir ulang. "Kalau begitu, ya sudah. Kau jangan ganggu aku. Kita hidup pada masing-
Alex menutup mulut Erin. Ia kemudian menarik Erin untuk memasuki mobil. Walaupun Erin terlihat kesakitan, Alex tidak peduli."Kemari kau anak bangst!" Xander berteriak. Alex tak mendengarkan Xander yang mengejarnya. Ia terus menancap gas dengan cukup gila, mobil sampai sedikit terangkat saat keluar dari gerbang. Erin berpegangan erat. Ia pikir Xander akan berhenti mengejar Alex. Rupanya dugaan Erin salah. Sebuah mobil tampak keluar dari rumah dengan mengikuti Alex."Sialan! Dia benar-benar ingin mati!" Alex berniat membalikkan mobilnya, lalu beradu bagian depan mobil."Alex! Kau jangan gila! Aku tidak ingin mati!" ucap Erin dengan gemetar saat melihat mobil Alex berbalik, lalu seakan-akan ingin menabrak mobil yang mengikutinya."Alex!" teriak Erin sembari menutup mata. Ia pasrah terhadap apa yang akan terjadi. Jika memang Erin nanti mati, hanya bisa memasrahkan ayahnya pada Sang Pencipta saja untuk menjaga sang ayah.Perlahan Erin membuka mata akibat tidak mendengar suara tabrakan.
Brraaaaakkk!Xander melemparkan lampu hias pada tubuh Alex saat mulai bangkit. Hal itu tak membuat Alex gentar. Walaupun rasa sakit yang dirasakannya tidak hanya tubuh saja, melainkan batinnya juga sakit.Bugh! Alex menyerang Xander dengan menyeruduk dengan kepalanya hingga Xander terjatuh. Ketika Xander terjatuh, Alex langsung menerjangnya. Dug!Tubuh Alex dijatuhkan dengan keras pada bagian perut Xander. Pukulan diberikan Alex pada Xander. Sayangnya tangan Xander dengan sigap menangkis. "Anak sialan! Tidak tahu diri!" Xander mendorong Alex hingga oleng ke kanan. Namun tidak bisa menjatuhkan Alex, karena kaki Alex mengunci tubuh Xander. "Aku tidak minta dilahirkan bangst! Kenapa kau menginginkan aku ada!" Alex berteriak di wajah Xander. Bugh!Pukulan keras diberikan Xander pada Alex. Erin dan Elisa tidak tahan dengan pemandangan ayah dan anak yang saling menyiksa. Elisa menahan Xander. Sedangkan Erin menahan Alex. Mereka kemudian masing-masing menarik Xander baik Alex agar bisa
"Kak Erin, ini bukan jalan ke rumah Vije."Perkataan Vije membuat Erin bisa fokus kembali. Namun memang Erin tidak bisa membawa Vije pulang ke rumah. Ponsel Erin berdering kembali. Kali ini ayah Edward yang menelepon. Keringat dingin dirasakan Erin saat sempat mengintip nama yang tertera. Erin menepikan mobil. Ia tidak mungkin mengabaikan panggilan dari ayah Edward. Bisa tamat riwayat Erin jika melakukannya."Halo, Pak. Ada apa?""Ada apa katamu? Di mana Edward!" tanya ayah Edward dengan nada kesal.Erin sampai menjauhkan ponselnya demi meredam suara ayah Edward. "Ada bersama saya, Pak." Erin tidak bisa berbohong. Kalau suatu hal diawali dengan kebohongan, maka seterusnya akan memerlukan kebohongan untuk menutupinya. "Bawa ke hadapanku sekarang!" "Tapi, Tuan Muda Edward ada rapat setengah jam lagi, Pak." "Tidak perlu datang! Lebih penting datang ke hadapanku sekarang!""Maaf, Pak. Anda ada di mana?""Di rumah."Klik!Sambungan telepon terputus secara tiba-tiba. Erin dilema. Elisa
Hari buruk Erin berlalu kemarin. Namun bukan berarti hari ini Erin akan bahagia. Masih ada misteri yang akan dijalani hari ini. Semalam Alex tidak melakukan hal buruk, melainkan hanya memasak kembali menu yang dimasak Erin. Rasa masakannya jauh lebih enak daripada milik Erin. Perbedaannya Erin bumbu versi rempah Indonesia. Sedangkan Alex memasak dengan bumbu yang sama dengan masakan Western.Erin terbangun dari tidurnya. Ia tidak sadar jika tertidur di meja minibar yang ada di dapur. Anehnya Erin tidur dengan berbantalkan tangan Alex. Alex yang tertidur dimanfaatkan oleh Erin untuk mencari ponsel. Terakhir kali Erin tahu jika ponselnya disembunyikan Alex di dalam sakunya. "Kalau aku mengambil dari dalam sakunya, apa nanti tidak membuatnya bangun?" gerutu Erin. Erin akhirnya membiarkan Alex tertidur. Sepanjang malam Erin dan Alex hanya bercerita. Terkadang Erin mengerti perasaan Alex. Rupanya Alex tidak hanya merugikan saja. Alex sama seperti manusia biasa. Tangan Erin perlahan ing
Erin menelan ludahnya susah payah. Ia seakan dikunci oleh tatapan dari Alex. Tak disangka ucapan asal yang dilontarkan Erin membuat Alex tampak bersungguh-sungguh."Kenapa tidak menjawab?""Maaf. Aku tadi asal bicara. Jangan jadikan dirimu pembunuh. Jika itu terjadi, sampai kau masuk neraka pun ... aku akan tetap membalasmu.""Ck! Kau di dunia saja lemah seperti ini. Percaya diri sekali kalau di akhirat lebih hebat?" "Biarkan saja!" Cup!Alex mencium bibir Erin. Selanjutnya Erin menipiskan bibirnya agar tidak bisa terhisap kembali oleh bibir Alex. "Alex, jangan perlakukan aku seenaknya. Kau tidak menyukaiku. Jadi, tolong jangan jadikan aku jalangmu.""Aku tidak menjadikan kau sebagai jalangku. Kau memang milikku." Alex beralih mencium pipi Erin. Ia tidak menyerah kalau hanya bagian bibir saja yang ditutup aksesnya oleh Erin."Alex, tolong jangan meninggalkan kesan buruk di benakku. Aku ingin berteman denganmu layaknya aku bersama Edward dan Vije.""Aku tidak mau disamakan dengan me
Darwin sempat menoleh ke belakang. Ia ingin memastikan kalau Alex tidak muncul secara tiba-tiba. Karena cerita kelam Alex merupakan hal yang dibenci untuk disebarkan pada orang lain."Om?" Erin tanpa sadar lancang memanggil Darwin agar meneruskan ceritanya."Oh, iya! Maaf. Om tadi hanya ingin memastikan ada Alex atau tidak. Cerita ini sebenarnya tidak bisa disebarkan. Berhubung kau sempat terseret kasus Revan. Makanya Om beritahu.""Kalau memang privasi tidak apa-apa disimpan saja, Om. Erin tidak mau Om nanti dimusuhi oleh Alex.""Tenang saja. Tidak akan terjadi. Alex tidak bisa hidup tanpa, Om. Dia meskipun terlihat arogan, hanya Om yang diandalkan dan dipercaya oleh Alex." Darwin terlihat membanggakan diri.Erin hanya tersenyum kecil menanggapi Darwin. Cukup unik keluarga besar Vijendra. Mulai dari ayah yang kejam, anak yang memiliki kepribadian ganda dan paman yang terlihat berbeda dentan tampilan luarnya."Sampai mana tadi ceritanya?""Sampai Alex bertemu Revan dengan membawa paca
Tidak seperti dugaan Erin, Alex tidak melakukan sesuatu yang membahayakan bagi bibi Surti. Alex hanya merebut ponsel bibi Surti agar tidak mengangkat telepon."Bi, saya pulang!""Lo, Nak Alex. Kenapa pulang? Ini sudah malam."Alex tak menjawab. Ia justru menarik tangan Erin. Sementara Erin memberikan permintaan maaf secara halus pada bibi Surti. Kini Alex dan Erin berada di dalam mobil. Langsung saja Alex menancap gas dengan kecepatan tinggi setelah keluar dari halaman rumah. Erin sempat memperhatikan Alex. Tatapan Alex sempat memperlihatkan ada aura ketakutan meskipun hanya sekilas. Erin menghargai Alex yang menyembunyikan sesuatu."Rumahmu di mana?" tanya Alex di sela-sela mengemudinya."Tidak ada.""Kau aslinya gelandangan?""Hei! Bukan berarti aku gelandangan.""Kan gelandangan saja yang tidak memiliki rumah.""Ya, memang benar. Tapi, kenyataanya rumahku sudah tidak ada. Sudah diratakan menjadi tanah.""Kenapa boleh diratakan begitu saja? Biasanya kan, rumah menyimpan kenangan?"
Alex masih tak menjawab pertanyaan Erin. Ia fokus mengemudi. Tujuan Alex entah akan membawa Erin kemana.Perjalanan yang cukup panjang membuat Alex berhenti di depan sebuah klinik. Ia meminta Erin turun dari mobil. "Kenapa kita datang ke klinik?""Sejak tadi darahmu selalu keluar. Itu terlihat menjijikkan. Jadi, aku membawamu kemari."Erin mengartikan kalau Alex gengsi mengatakan kalau peduli pada luka Erin. Namanya juga wanita pasti cenderung berprasangka lebih jauh dari kenyataan."Ayo!" Alex berdiri tepat di depan pintu mobil dekat Erin. "Sabar sedikit." Erin keluar dari mobil dengan langkah yang hampir terjatuh. Rupanya Erin baru merasakan kalau kepalanya pusing. Mungkin lebih tepatnya baru dirasakan, meskipun sejak tadi kepala Erin pusing. Di dalam klinik Erin diberi penanganan agar darah di dalam hidungnya tidak keluar terus-menerus. Sementara Alex menunggu di luar ruangan. Terlihat jelas jika Alex enggan masuk ke dalam ruangan. Pengobatan pada luka di hidung Erin terganggu