“Hey ada apa ini?” pekik Rosalyn. Ia juga meringis karena merasakan sakit pada bagian tubuh belakangnya. Sepasang netra hazel merangkak naik memerhatikan penampilan seseorang itu. Seketika Rosalyn terbelalak dan lidahnya terasa kelu karena melihat sesuatu yang tak bisa. Seseorang di hadapannya … menggunakan jaket hitam milik Dewa—hadiah pemberian Rosalyn. Ya ia tahu itu! Rosalyn mengangkat jari telunjuk lalu berujar dengan gugup, “Ka-kamu—” “Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Rosalyn apa kabar?” Netra cokelat orang itu memindai paras cantik Rosalyn. “K-Kak Kevin?” Bibir Rosalyn gemetaran. Sepasang mata jernihnya pun berubah basah. Ia ingin menghambur memeluk pria rupawan di hadapannya. “Kakak … a-ku merindukanmu.” Sayang … Rosalyn tak kuasa bersandar pada pria itu sebab sejak kecil sampai dewasa sikap Kevin acuh tak acuh. Paska perusahaan keluarga bangkrut dan tragedi yang menimpa Vinsensia, ia tidak pernah bertemu atau melihat kakaknya. “Apa kamu tinggal di sini?” tan
Beberapa jam sebelumnya. “Pak Kevin, hari ini Tuan Caldwell berkunjung ke vilanya di Interlaken. Saya dengar Nona Meyer pernah berlibur di sana. Mungkin saja kekasih Anda ada di tempat itu,” ucap seorang informan. “Aku tidak akan melepasmu, Vinsensia! Karena egomu anak kita meninggal,” lirih Kevin sambil memandang foto kekasih hati di atas meja. Pria itu bertanya lagi, “Apa Dewa masih mencariku? Kalau iya siapkan perjalanan yang aman menuju Interlaken dan kumpulkan semua buktinya!" “Baik Pak.” Informan itu mengangguk lantas meninggalkan Kevin sendirian di apartemen sederhana. Tangan Kevin yang terbalut lilitan perban terjulur dan mengusap wajah Vinsensia. Pria itu menatap sendu senyum ceria pujaan hatinya. Kevin ingat kenangan indah merajut cinta bersama gadis itu, tetapi Vinsensia lebih menyukai uangnya daripada Kevin. “Semua ini ulahmu, Sayang. Kalau kita tidak bisa bersama kamu dan Dewa juga tidak!” gumamnya. ** Dewa sudah beberapa kali menghubungi Pandu. Ia mendesak asistenn
“Di mana Dewa?” sahut pria itu dari balik telepon.“Katakan Kak, apa rahasianya?! Kenapa harus bicara dengan Dewa?” tegas Rosalyn.Punggung wanita itu menegang dan tatapannya tertuju pada pintu kamar mandi. Ia sangat khawatir Dewa memergoki percakapan bersama Kevin. Rosalyn ingin tahu semuanya ia tidak mau hidup dalam belegu kebohongan.Kevin tergelak lantas berucap, “Oke, kirim dulu lima miliar. Setelah itu kamu mendapatkan semuanya. Jangan pelit Rosalyn, karena uang hasil menjual jaket tidak cukup untuk bertahan hidup!”“Lima miliar banyak. Aku perlu waktu ke bank,” lirih wanita itu.“Oke. Tarik saja secara tunai! Kita bertemu sembilan puluh menit lagi di toko bunga Blume.”Setelah itu Kevin mengakhiri panggilan suara.Sedangkan Rosalyn mendadak lupa akan tujuannya menunggu Dewa di kamar. Ia mengambil dua buah tas besar kemudian bergegas meninggalkan mansion. Tidak ada yang curiga sebab Feli, Tuan Jack dan Claudya tengah menemani Arimbi di dalam kamar. Berbeda dengan Brahma bermain
“Apa maksudmu? Jangan sembarang bicara!” Sorot netra kelabu yang setajam elang menghunus relung hati Rosalyn. “Ah iya aku lupa. Kamu lebih percaya bukti yang terlihat, jadi … periksa saja sendiri!” Rosalyn menyerahkan hardisk serta map kecil di depan dada bidang. Setelah memberikan itu, ia beranjak menuju kamar utama. Rosalyn juga mengunci kamarnya lalu menelungkupkan tubuh di atas ranjang. Ia mengepalkan tangan sembari memukul perih bantal milik Dewa. “Bisa-bisanya aku percaya padamu. Kamu keterlaluan Dewa!” lirihnya. Sedangkan Dewa tak membuang waktu, ia memeriksa isi hardisk ekstrenal di ruang kerja. Tubuh kekarnya seketika limbung dan terkulai lesu di atas kursi. Sepasang manik kelabunya memerah dan bibirnya gemetaran tatkala menyaksikan bagaimana mobil sport miliknya menghantam tubuh Rosalyn, wanita yang sedang mengandung anak-anaknya. “Rosalyn … maaf,” ucapnya lirih. Dengan langkah sempoyongan, Dewa menghampiri Rosalyn. Namun pintunya terkunci dari dalam sehingga ia hanya
“K-kamu mengenalku?” Vinsensia menatap kaget pada seseorang itu. Samar-samar ia mengenal garis wajahnya tetapi lupa melihat atau bertemu di mana.Orang itu menyahut, “Tentu saja. Bukankah … teman Tuan Caldwell?”Vinsensia tersenyum manis dengan bibir keringnya. Gadis itu mendekatkan diri lantas merangkul lengan orang itu dan berlagak akrab.“Kalau gitu pinjamkan aku uang. Kamu bersedia? Tenang saja, aku ini memiliki hubungan Istimewa dengan Dewa. Aku pasti bayar.” Orang itu tampak ragu, apalagi melihat penampilan Vinsensia yang sangat berantakan dan usang. Gaya mewah nan mahal yang dahulu melekat erat sekarang tidak ada lagi.“Tapi Nona—”Vinsensia menimpali, “Sudahlah kamu tenang saja. Aku pinjam uang lima juta dan mobil ya, nanti asisten Dewa mengganti semuanya.” Seseorang itu mengangguk lalu menyerahkan uang tunai dan kunci mobil. Kemudian menatap Vinsensia dengan perasaan gundah.“Nona tolong kembalikan ya mobilnya. Besok saya harus pulang dan bekerja, saya takut dipecat,” cicit
“Pandu, apa kamu sudah menemukan titik lokasi keberadaan Vinsensia?” Dewa memperhatikan asistennya melalui kaca spion dalam mobil. Alasannya, sudah lebih dari satu minggu paska Dewa memerintah Pandu mencari tahu semua rekam jejak peristiwa lima tahun lalu. “Menurut informasi pelayan di vilanya, Nona Meyer mengunjungi kampung halaman mendiang Tuan Meyer,” ucap Pandu. “Tidak biasanya kamu bekerja lambat,” sinis pria itu merasa tidak puas atas kinerja sang asisten. Pandu menghela napas, sembari menyetir mobil ia bergumam, “Itu karena Pak Dewa memberikan banyak tugas yang harus selesai dalam waktu bersamaan.” Sebelum menuju kampung halaman ayah Vinsensia, terlebih dahulu Dewa menjemput Givano—orang kepercayaan Arjuna. Dewa memberi salam hormat pada pria paruh baya itu kemudian menceritakan semua yang terjadi. Akan tetapi Givano telah mengetahuinya dari Arjuna. Bahkan asisten paruh baya itu menyerahkan map tipis ke tangan Dewa. “Bukalah! Semoga jantungmu baik-baik saja," t
“Pergi ke mana?” sentak Dewa pada pelayan paruh baya itu.“Maaf Tuan, saya tidak tahu.” Suasana hati Dewa kian berantakan, garis ketampanannya menegang sekaligus pucat di bawah cahaya lampu kristal. Ia hendak keluar dari mansion untuk mencari Rosalyn tetapi suara bariton dari lantai dua mencegah langkah kakinya.“Apa kamu lupa bagaimana kondismu?!”Seketika Dewa mendongak menatap sang ayah yang berdiri angkuh sembari menopang tangan pada railing. Senyum pilu terukir tipis pada bibir sensual pria itu. Ia berujar, “Kenapa Ayah mengizinkan Rosalyn pergi? Susah payah aku menaklukannya!” Bukannya menjawab atau menenangkan putra sulung, Arjuna malah melontarkan pertanyaan sinis, “Menurutmu kenapa Rosalyn memilih pergi?”“Ayah!” teriak Dewa.“Perbaiki dirimu, Dewa!” tegas pria paruh baya itu.Diam dan hening, Dewa tidak mendebat lagi sebab menyadari betapa banyak kesalahannya. Ia menengadahkan kepala sembari menghirup udara, tetapi dadanya terasa sesak. Pelan-pelan ia melangkah gontai mema
“Tentu saja melalui jalur hukum. Perbuatannya sudah membahayakan nyawa!” ucap Dewa sembari memandangi pintu pondok. Fabian mengangguk paham. Keduanya turun dari mobil lalu mengetuk pintu pondok. Sayup-sayup mereka mendengar suara tangis serta jeritan dua perempuan. Seketika Fabian dan Dewa beradu pandang dengan bingung. Sepuluh menit menunggu, pintu pondok itu terbuka lebar. Tampak seorang wanita paruh baya bercucuran keringat dan kening berdarah. Hanya saja tubuh perempuan sepuh itu mematung tatkala melihat Dewa. “Menantu?!” pekik wanita itu. “Bibi Mathilda?” sahut Dewa dan Fabian. “Terima kasih sudah datang, kalian menolongku dari perempuan iblis itu!” Mathilda menengok ke belakang. Dewa berdeham kecil dan sorot matanya menerobos ke dalam pondok. Ia mencari-cari sosok Vinsensia. “Sebenarnya kami ke sini mau bertemu Vinsensia. Bibi, dia telah membunuh Rosalyn.” Dewa tak bisa menahan kata-katanya lagi. Seketika Mathilda membeliak lantas limbung di ambang pintu. Sigap