“Kenapa lagi?” tanya Dewa. Tiba-tiba saja pria itu melingkarkan tangan kekarnya pada perut rata Rosalyn. Tentu saja membuat wanita itu terkesiap dan tidak dapat melarikan diri karena dekapan Dewa sangat erat.Alih-alih menjawab justru Rosalyn melontarkan pertanyaan, “Menurutmu kenapa?”“Tidak apa-apa masih ragu. Lain waktu juga kamu luluh,” sahut Dewa. Kelopak mata Rosalyn langsung melebar serta kepalanya menggeleng pelan. Ia merasa bagaimana mungkin seorang Antakadewa dapat mengucapkan kata-kata percaya diri. “Saranku … seandainya gagal, kamu jangan menangis ya.” Ucapan lembut Rosalyn diakhiri senyum manis.Namun seringai tipis terukir pada bibir sensual pria itu. Dalam hitungan satu detik Dewa memutar tubuh Rosalyn sehingga keduanya saling berhadapan. Ia menggunakan punggung tangannya untuk membelai lembut tulang pipi Rosalyn lalu bergeser pada bibir ranum.“Bibir seksimu ini jahat banget,” keluh pria itu. Dewa melangkah maju, membuat Rosalyn terpaksa mundur perlahan hingga pung
“Hey ada apa ini?” pekik Rosalyn. Ia juga meringis karena merasakan sakit pada bagian tubuh belakangnya. Sepasang netra hazel merangkak naik memerhatikan penampilan seseorang itu. Seketika Rosalyn terbelalak dan lidahnya terasa kelu karena melihat sesuatu yang tak bisa. Seseorang di hadapannya … menggunakan jaket hitam milik Dewa—hadiah pemberian Rosalyn. Ya ia tahu itu! Rosalyn mengangkat jari telunjuk lalu berujar dengan gugup, “Ka-kamu—” “Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Rosalyn apa kabar?” Netra cokelat orang itu memindai paras cantik Rosalyn. “K-Kak Kevin?” Bibir Rosalyn gemetaran. Sepasang mata jernihnya pun berubah basah. Ia ingin menghambur memeluk pria rupawan di hadapannya. “Kakak … a-ku merindukanmu.” Sayang … Rosalyn tak kuasa bersandar pada pria itu sebab sejak kecil sampai dewasa sikap Kevin acuh tak acuh. Paska perusahaan keluarga bangkrut dan tragedi yang menimpa Vinsensia, ia tidak pernah bertemu atau melihat kakaknya. “Apa kamu tinggal di sini?” tan
Beberapa jam sebelumnya. “Pak Kevin, hari ini Tuan Caldwell berkunjung ke vilanya di Interlaken. Saya dengar Nona Meyer pernah berlibur di sana. Mungkin saja kekasih Anda ada di tempat itu,” ucap seorang informan. “Aku tidak akan melepasmu, Vinsensia! Karena egomu anak kita meninggal,” lirih Kevin sambil memandang foto kekasih hati di atas meja. Pria itu bertanya lagi, “Apa Dewa masih mencariku? Kalau iya siapkan perjalanan yang aman menuju Interlaken dan kumpulkan semua buktinya!" “Baik Pak.” Informan itu mengangguk lantas meninggalkan Kevin sendirian di apartemen sederhana. Tangan Kevin yang terbalut lilitan perban terjulur dan mengusap wajah Vinsensia. Pria itu menatap sendu senyum ceria pujaan hatinya. Kevin ingat kenangan indah merajut cinta bersama gadis itu, tetapi Vinsensia lebih menyukai uangnya daripada Kevin. “Semua ini ulahmu, Sayang. Kalau kita tidak bisa bersama kamu dan Dewa juga tidak!” gumamnya. ** Dewa sudah beberapa kali menghubungi Pandu. Ia mendesak asistenn
“Di mana Dewa?” sahut pria itu dari balik telepon.“Katakan Kak, apa rahasianya?! Kenapa harus bicara dengan Dewa?” tegas Rosalyn.Punggung wanita itu menegang dan tatapannya tertuju pada pintu kamar mandi. Ia sangat khawatir Dewa memergoki percakapan bersama Kevin. Rosalyn ingin tahu semuanya ia tidak mau hidup dalam belegu kebohongan.Kevin tergelak lantas berucap, “Oke, kirim dulu lima miliar. Setelah itu kamu mendapatkan semuanya. Jangan pelit Rosalyn, karena uang hasil menjual jaket tidak cukup untuk bertahan hidup!”“Lima miliar banyak. Aku perlu waktu ke bank,” lirih wanita itu.“Oke. Tarik saja secara tunai! Kita bertemu sembilan puluh menit lagi di toko bunga Blume.”Setelah itu Kevin mengakhiri panggilan suara.Sedangkan Rosalyn mendadak lupa akan tujuannya menunggu Dewa di kamar. Ia mengambil dua buah tas besar kemudian bergegas meninggalkan mansion. Tidak ada yang curiga sebab Feli, Tuan Jack dan Claudya tengah menemani Arimbi di dalam kamar. Berbeda dengan Brahma bermain
“Apa maksudmu? Jangan sembarang bicara!” Sorot netra kelabu yang setajam elang menghunus relung hati Rosalyn. “Ah iya aku lupa. Kamu lebih percaya bukti yang terlihat, jadi … periksa saja sendiri!” Rosalyn menyerahkan hardisk serta map kecil di depan dada bidang. Setelah memberikan itu, ia beranjak menuju kamar utama. Rosalyn juga mengunci kamarnya lalu menelungkupkan tubuh di atas ranjang. Ia mengepalkan tangan sembari memukul perih bantal milik Dewa. “Bisa-bisanya aku percaya padamu. Kamu keterlaluan Dewa!” lirihnya. Sedangkan Dewa tak membuang waktu, ia memeriksa isi hardisk ekstrenal di ruang kerja. Tubuh kekarnya seketika limbung dan terkulai lesu di atas kursi. Sepasang manik kelabunya memerah dan bibirnya gemetaran tatkala menyaksikan bagaimana mobil sport miliknya menghantam tubuh Rosalyn, wanita yang sedang mengandung anak-anaknya. “Rosalyn … maaf,” ucapnya lirih. Dengan langkah sempoyongan, Dewa menghampiri Rosalyn. Namun pintunya terkunci dari dalam sehingga ia hanya
“K-kamu mengenalku?” Vinsensia menatap kaget pada seseorang itu. Samar-samar ia mengenal garis wajahnya tetapi lupa melihat atau bertemu di mana.Orang itu menyahut, “Tentu saja. Bukankah … teman Tuan Caldwell?”Vinsensia tersenyum manis dengan bibir keringnya. Gadis itu mendekatkan diri lantas merangkul lengan orang itu dan berlagak akrab.“Kalau gitu pinjamkan aku uang. Kamu bersedia? Tenang saja, aku ini memiliki hubungan Istimewa dengan Dewa. Aku pasti bayar.” Orang itu tampak ragu, apalagi melihat penampilan Vinsensia yang sangat berantakan dan usang. Gaya mewah nan mahal yang dahulu melekat erat sekarang tidak ada lagi.“Tapi Nona—”Vinsensia menimpali, “Sudahlah kamu tenang saja. Aku pinjam uang lima juta dan mobil ya, nanti asisten Dewa mengganti semuanya.” Seseorang itu mengangguk lalu menyerahkan uang tunai dan kunci mobil. Kemudian menatap Vinsensia dengan perasaan gundah.“Nona tolong kembalikan ya mobilnya. Besok saya harus pulang dan bekerja, saya takut dipecat,” cicit
“Pandu, apa kamu sudah menemukan titik lokasi keberadaan Vinsensia?” Dewa memperhatikan asistennya melalui kaca spion dalam mobil. Alasannya, sudah lebih dari satu minggu paska Dewa memerintah Pandu mencari tahu semua rekam jejak peristiwa lima tahun lalu. “Menurut informasi pelayan di vilanya, Nona Meyer mengunjungi kampung halaman mendiang Tuan Meyer,” ucap Pandu. “Tidak biasanya kamu bekerja lambat,” sinis pria itu merasa tidak puas atas kinerja sang asisten. Pandu menghela napas, sembari menyetir mobil ia bergumam, “Itu karena Pak Dewa memberikan banyak tugas yang harus selesai dalam waktu bersamaan.” Sebelum menuju kampung halaman ayah Vinsensia, terlebih dahulu Dewa menjemput Givano—orang kepercayaan Arjuna. Dewa memberi salam hormat pada pria paruh baya itu kemudian menceritakan semua yang terjadi. Akan tetapi Givano telah mengetahuinya dari Arjuna. Bahkan asisten paruh baya itu menyerahkan map tipis ke tangan Dewa. “Bukalah! Semoga jantungmu baik-baik saja," t
“Pergi ke mana?” sentak Dewa pada pelayan paruh baya itu.“Maaf Tuan, saya tidak tahu.” Suasana hati Dewa kian berantakan, garis ketampanannya menegang sekaligus pucat di bawah cahaya lampu kristal. Ia hendak keluar dari mansion untuk mencari Rosalyn tetapi suara bariton dari lantai dua mencegah langkah kakinya.“Apa kamu lupa bagaimana kondismu?!”Seketika Dewa mendongak menatap sang ayah yang berdiri angkuh sembari menopang tangan pada railing. Senyum pilu terukir tipis pada bibir sensual pria itu. Ia berujar, “Kenapa Ayah mengizinkan Rosalyn pergi? Susah payah aku menaklukannya!” Bukannya menjawab atau menenangkan putra sulung, Arjuna malah melontarkan pertanyaan sinis, “Menurutmu kenapa Rosalyn memilih pergi?”“Ayah!” teriak Dewa.“Perbaiki dirimu, Dewa!” tegas pria paruh baya itu.Diam dan hening, Dewa tidak mendebat lagi sebab menyadari betapa banyak kesalahannya. Ia menengadahkan kepala sembari menghirup udara, tetapi dadanya terasa sesak. Pelan-pelan ia melangkah gontai mema
“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka
Kevin menghela napas melihat tanggapan Lily. Haruskan ia menyerah dan tenggelam ke dasar lautan patah hati? Ya, mungkin … karena ini bukanlah kali pertama gadis itu menolaknya. Pria itu menarik tangannya. Namun ….“Cincinya kebesaran. Enggak sesuai ukuran jariku,” kata gadis itu menggunakan bahasa informal . Lily mengulurkan tangan kanan, yang menampilkan jemari ramping dan mungil.Seketika Kevin memperhatikan jemari gadis itu, dan pikirannya mencerna maksud ucapan Lily barusan. Bagi seorang pria, tentunya ini merupakan teka-teki. “Umm … maksudmu?” Alis tebal Kevin terangkat.Lily tersenyum jengah mendengar pertanyaan itu. Tanpa banyak bicara, gadis itu mengambil cincin dari tangan Kevin, lalu menyematkan sendiri pada jari manisnya.“Ini kebesaran, lihat bukan?” keluh gadis itu dengan bibir merengut yang sangat menggoda.Melihat cincin pilihannya melingkar pada jari manis sang gadis pujaan hati, membuat pria itu kegirangan. Kevi
Untuk sesaat keduanya membeku di tempat. Tidak ada aksi apa pun selain saling memandang lekat-lekat dengan isi pikiran masing-masing.Lily mereguk saliva karena saat ini tubuhnya hanya tertutupi sehelai handuk putih saja. Ia meremas kain handuk dengan erat, khawatir terjadi hal yang tidak seharusnya.“Maaf, aku lancang ….” Kevin berbalik badan dan menutup pintu.Pria itu bersandar pada pintu sambil mengatur napas. Melihat kemolekan seorang wanita, ditambah memiliki kenangan ranjang membuat nalurinya sebagai lelaki tersulut gairah. Ia ingin menyentuh, membelai dan mengecup setiap jengkal kulit mulus itu. Hanya saja, tidak! Kevin melawan egonya.Pria itu kembali ke kamar. Ia menemani Janeta, dan berupaya menenangkan batita itu.Sedangkan Lily masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Namun, napasnya tidak tegang lagi. Ada kelegaan setelah Kevin pergi.“Dia …,” gumam gadis itu sambil mengangguk.Lily menggunakan pakaian serba panjang. Entah mengapa ia teringat pada tatapan Kevin tadi. Set
Beberapa hari berlalu, Lily tampak kesulitan berpamitan dengan Janeta. Gadis itu selalu menahan diri untuk pulang ke peternakan. Pada akhirnya ia menemani Janeta di vila atau rawat jalan ke rumah sakit. Seperti hari ini, Lily mengantar Janeta bertemu dokter.Akan tetapi, gadis itu tidak menduga Kevin datang menjemputnya. Bahkan mereka makan bertiga di restoran.Setelahnya Kevin membawa Lily dan Janeta pulang.“Kamu yakin bisa sendirian? Janeta berat. Biar aku saja yang gendong,” ujar Kevin.“Saya kuat, Pak.” Lily tidak menggubris ucapan Kevin. Gadis itu merengkuh tubuh batita yang terlelap tidur dari jok belakang, menggendongnya dan membawa ke kamar.Dengan hati-hati, Lily membaringkan Janeta, lantas mengecup kening batita itu. Ia tersenyum sambil menatap wajah polos bocah kecil yang agak mirip dengan Vinsensia.“Mama sayang kamu, Janeta,” gumam Lily.Hingga derit pintu terbuka membuat Lily menoleh